Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33929 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Margiana
"Pendahuluan: Perubahan fisiologi paru pascanatal berkaitan dengan berbagai perubahan mikroskopik paru, terutama jaringan alveolar paru, baik pada komponen interstisial maupun epitelnya. Interstisial paru akar mengalami penebalan yang diduga disebabkan oleh perubahan komposisi serat-seratnya, terutama kolagen. Namun, perubahan tersebut masih dalam perdebatan dan proses yang mendasarinya masih belum jelas. Komponen epitelium yang mengalaml perubahan adalah pneumoslt II. Rasio pneumosit II terhadap pneumosit I diduga menurun dengan bertambahnya usia. Penurunan ini tentunya akan berpengaruh pada fungsinya dalam menjaga ketersediaaan surfaktan paru. Untuk memelihara fungsi vital dan normal sintesis surfaktan, jaringan paru juga bergantung pada ketersediaan glukosa karena glukosa merupakan komponen pembentuk batang tubuh gliserol (glycerol backbone) surfaktan. Pada proses penuaan, telah dilaporkan terjadinya akumulasi glikogen pada otak, otot rangka dan ginjal, sehingga ada pendapat bahwa glikogen merupakan penanda sel yang menua (senescence cell). Meskipun demikian, penelitian tentang akumulasi glikogen pada jaringan paru yang menua belum pemah dilaporkan. Penelltian ini bertujuan untuk mengamati perubahan gambaran" mikroskopik parenkim paru, terutama jaringan interstisial dan pneumosit II pada tikus Sprague-dawley berbagai kelompok usia pascanatal. Desaln: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional untuk mengetahui korelasi antara usia dengan ketebalan jaringan interstisial, jumlah serat kolagen interstisial, penumpukan glikoprotein dan glikogen dalam jaringan interstisial, rasio pneumositll terhadap pneumosit I, dan akumulasi glikogen dalam pneumosit II. Uji korelasi dilakukan dengan uji korelasi Spearman ~0,05) dengan bantuan program SpSS 17. Metode: Penelitian dilakukan pada tikus Sprague-dawley usia 2 han (n=6) , 4 hari (n=6), 10 hari (n=6), 16 hari (n=6), 3-4 bulan (n=6) dan lebih dan 12 bulan (n=6). Setelah difiksasi, jaringan paru dipotong dengan ketebalan 5~m dan dlwama dengan trichrome Mason untuk memvisualisasikan kolagen dan dengan periodic acid Schiff untuk memvisualisasikan glikoprotein dan glikogen. Hasll: Terdapat korelasi kuat antara usia dengan penumpukan glikoprotein dan glikogen dalam interstisial (r=0,712), korelasi sedang antara usia dan jumlah serat kolagen interstisial (r= 0,687) dan korelasi lemah antara usia dengan ketebalan jaringan interstisial (r=0,291 pada sediaan trichrome Mason, dan r=O,365 pada sediaan PAS), dan akumulasi glikogen dalam pneumosit II (r=O,266). Namun, tidak ada korelasi antara usia dan rasio pneumosit " terhadap pneumosit I (r=0,123). Keslmpulan: Dengan bertambahnya usia, maka pada jaringan interstisial paru akan terjadi peningkatan ketebalan, peningkatan serat-serat kolagen, serta penumpukan glikoprotein dan glikogen. Sedangkan pada epitel paru, terdapat akumulasi glikogen dalam pneumosit II, tetapi tidak terbukti adanya penurunan rasio pneumosit " terhadap pneumosit I.
.....Background: Physiological changes in postnat4nQ'Are associated with a variety of microscopic changes in the lung, especially th~lar lung tissue, both in the interstitial and epithelial component. The thickness of interstitial tissue will increase, which is supposed to be due to changes in the fiber composition, particularty collagen. However, that change is still in debate and the underlying process is stili unclear. The epithelial component changes in its pneumocyte II. The ratio of pneumocyte II against pneumocyte I is supposed to decline with age. This decrease will certainly affect their function in maintaining the supply of pulmonary surfactant. To maintain normal vital function and synthesis of surfactant, lung tissue depends on the availability of glucose because glucose is the building blocks of surfactnanfs glycerol backbone. In the aging process, glycogen accumulation in th~ brain, skeletal muscle and kidney has been reported. This leads to the idea that, glycogen is a marker for senescenCe cells. Nevertheless, studies on glycogen accumulation in aging lung tissue have not been reported yet. This study aims to observe the microscopic changes of the lung tissue, both the interstitial tissue and pneumocyte II of various postnatal ages groups of Sprague-dawley rats. Design: This was an observational analytical study to analyze the correlation between age and the thickness of the interstitial tissue, the thickness of interstitial collagen fibers, glycoprotein and glycogen accumulation in the interstitial, pneumocyte 1111 ratio, and glycogen accumulation in pneumosit II. Correlation tests were performed with Spearman correlation test (p ~ 0.05) using SPSS 17 for Windows. Methods: The study was conducted on 2 days (n = 6), 4 days (n = 6),10 days (n = 6), 16 days (n = 6), ~ months (n = 6) and more than 12 months (n = 6) Spraguedawley rats. Lung tissue was fixed, cut with a thickness of 5JJm and stained with Mason's trichrome to visualize collagen and with periodic acid Schiff to visualize glycoprotein and glycogen. Results: There was a high correlation between age and glycoprotein and glycogen accumulation in the interstitial (r=0.712), a moderate correlation between age and the amount of interstitial collagen fibers (r = 0.687), and a low correlation between age and the thickness of the interstitial tissue (r = 0.291 for the trichrome Mason preparation and 0.365 for the PAS preparation) and glycogen accumulation in pneumocyte II (r = 0.266). However, there was no correlation between age and pneumocyte 1111 ratio (r=0.123). Conclusion: With increasing age, the interstitial lung tissue will Increase in its thickness, collagen fibers, and glycoprotein and glycogen accumulation. Wlereasin the lung epithelium, there is an accumulation of glycogen in pneumocyte II, but there is no evidence of pneumositlill ratio decline."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T58024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamuri, Aly
"Terkait pertambahan usia, penurunan fungsi paru dapat terjadi karena adanya perubahan struktur histologis alveolus. Tujuan penelitian ini adalah : untuk mengetahui korelasi ketebalan septum interalveolar paru tikus Sprague dawley terhadap pertambahan usia. Metode penelitian ini adalah penelitian berbasis laboratorium dengan desain cross sectional. Sebagai subjek penelitian, digunakan tikus Sprague-dawley yang terbagi dalam empat kelompok usia : 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, di atas 12 bulan. Sesuai dengan kelompok usia, kemudian dilakukan pengambilan jaringan paru dan diwarnai dengan metode pewarnaan trichrome-masson. Penghitungan nilai tebal septum dilakukan dengan membandingkan jumlah total tebal septum dengan lebar lapang pandang. Dengan metode saphiro-wilk didapatkan nilai persebaran data yang normal dan dilanjutkan dengan uji korelasi. Hhasil analisis data penelitian yang didapat berdasarkan kelompok usia, diperoleh ketebalan septum alveolus sebesar 0.436 ± 0.059 m untuk kelompok usia 2 hari, 0.399 ± 0.022 m pada kelompok usia 16 hari, 0.474 ± 0.043 m pada kelompok 3-4 bulan, serta 0.512 ± 0.020 m pada kelompok tikus usia lebih dari 12 bulan. Kesimpulan penelitian berdasarkan hasil uji korelasi pearson, diperoleh nilai r=0,375 yang menandakan adanya korelasi lemah antara pertambahan usia dengan ketebalan septum interalveolar.

As age goes by, changes in intrapulmonary condition may result in respiratory disorders. This research aims to find correlation between interalveolar septal thickness and age. Research method used in this study was laboratorim-based study with cross sectional design. As a subject used in this study, Sprague dawley rat sorted in age-related order : 2 days group, 16 days group, 3-4 months group, more than 12 months group. In accordance with the age-related grouping, alveolar tissue sampling was done and stained by trichrome-masson staining method. Measurement was done by comparing interalveolar septal thickness with microscope field of view. Result data normality evaluated by Shapiro-wilk test then tested with Pearson correlation test. Calculation of mean alveolar wall thickness value from each age-related groups gives following results: 2-days group: 0.436 ± 0.059 m thick, while 16-days group: 0.399 ± 0.022 m thick, 3-4 months old group: 0.474 ± 0.043 m thick, and >12 months old group: 0.512 ± 0.020 m thick. Pearson correlation test gave result of r=0,375 which marked a weak correlation between age and interalveolar septum thickness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Aprilia Asthasari
"Alveolus neonatus mengalami perkembangan dalam hal jumlah dan ukuran pada masa pascanatal. Pada perkembangan tersebut, jumlah alveolus bertambah dan dimensi alveolus – dalam hal diameter – meningkat bersama dengan peningkatan volume total paru. Penelitian ini bertujuan mencari korelasi panjang diameter alveolus dengan usia pada perkembangan paru neonatus. Desain penelitian merupakan potong lintang dalam studi analitik observational. Empat kelompok tikus Sprague-Dawley usia 2, 4, 10, dan 16 hari digunakan sebagai model coba. Paru tikus yang telah dijadikan sediaan histologis difoto di bawah mikroskop untuk kemudian diukur dengan program Optilab Image Raster. Panjang diameter alveolus paru tikus Sprague-Dawley diukur pada sepertiga tengah lapang pandang dengan metode proporsi, yaitu membandingkan total panjang diameter alveolus pada satu lapang pandang dengan total panjang lapang pandang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata panjang diameter alveolus mengalami penurunan dari 0,466 (SD 0,093) pada usia 4 hari menjadi 0,401 (SD 0,126) pada usia 16 hari. Namun, korelasi usia dan panjang diameter alveolus tidak signifikan dengan kekuatan korelasi lemah (Spearman, p = 0,451 dan r = -0,162). Disimpulkan bahwa panjang diameter alveolus paru tidak berkorelasi dengan usia perkembangan neonatus tikus Sprague-Dawley.

Alveolar changes in amount and size occur in lung morphogenesis during post-natal development. During the development, the amount of alveolar multiplies and the alveolar dimension – measured in diameter – expanses as the total lung volume increases until alveoli reach its mature age. This study aimed to find a correlation between alveolar diameter and age during post-natal development. The research design was cross sectional, an analytic observational study. Four groups of Sprague-Dawley rats, i.e. 2, 4, 10, and 16 days-old were used as model. Rats' lungs that have been processed histologically were captured as photos under light microscope, and were measured using Optilab Image Raster. The alveolar diameter was measured using ratio of the total length of the diameter and total length of horizontal field on one-third middle of the field. Mean length proportion of alveolar diameter were found decreasing from 0,466 (SD 0,093) at age 4 day to 0,401 (SD 0,126) at age 16 day. However, correlation between alveolar diameter sizes in post-natal ages was insignificant with low correlation power (Spearman p = 0,451 and r = -0,162). In conclusion, alveolar diameter has no correlation with age during lung development of Sprague-Dawley rat's neonates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Andrini Triana Putri
"Pneumosit tipe II penting untuk difusi oksigen. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan jumlah pneumosit tipe II dari usia neonatus, remaja dan dewasa upaya mempertahankan fungsi normal paru dan memelihara ketahanan paru terhadap paparan substansi-substansi berbahaya. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik. Lokasi penelitian adalah di laboratorium Departemen Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Perolehan data yang diambil pada tanggal 16 Mei hingga 30 Juni 2011. Penelitian ini menggunakan tikus Sprague-Dawley.Tikus yang diperoleh dari Animal House FKUI, sampel yang digunakan adalah tikus jantan. Data diolah dengan program SPSS versi 11,5 dengan analisis menggunakan uji statistik Kruskal Wallis. Hasil pengukuran dari rerata kepadatan pneumosit tipe II usia neonatus 0,00018933 / μm2. Usia remaja, rerata kepadatan 0,00023467 / μm2. Usia dewasa, rerata kepadatan sel 0,00023467 / μm2. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara faktor usia terhadap kepadatan pneumosit tipe II.

Pneumosit type II essential for the diffusion of oxygen. The purpose of this study was to determine pnumosit increased number of type II cells from neonatal ages, teens to adults in an effort to maintain normal lung function and maintain pulmonary resistance against exposure to hazardous substances. This study uses observational analytic design. Locations in laboratory research is the Department of Histology Faculty of medicine. Data was taken on May 16 until June 30, 2011. The research was conducted in Sprague-Dawley rats obtained from Animal House Faculty of medicine, the samples used were male rats. Data processed with SPSS version 11.5 with statistical analysis using Kruskal Wallis test. The results of measurements of the average density of pneumosit type II reach age neonates 0.00018933 / μm2. In adolescence, the average cell density reached 0.00023467 / μm2. In adulthood, the average cell density reached 0.00023467 / μm2. Concluded that there is a relationship between the age factor of type II density pneumosit.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyid Mawardi
"Latar belakang: Penuaan paru ditandai dengan perubahan struktur dan fisiologi paru. Secara struktural, terjadi perubahan ketebalan septum interalveolar dan komponen di dalamnya, salah satunya adalah serat kolagen interstisial, sehingga dapat memengaruhi fungsi paru sebagai organ respirasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara jumlah serat kolagen interstitial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analytic correlative. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague-Dawley sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian terdiri atas empat kelompok usia, yaitu 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan >12 bulan yang ditentukan dengan m ± 0.043 μm, dan 0,512 ± 0.020 μm. Uji korelasi non parametrik Spearman (p = 0,03) antara jumlah serat kolagen interstisial dengan ketebalan septum interalveolar menunjukkan nilai koefisien korelasi (r = 0,213). Kesimpulan: Pada penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang lemah antara jumlah serat kolagen interstisial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Dengan demikian, dapat dipikirkan bahwa serat kolagen interstisial dapat mempengaruhi ketebalan septum interalveolar paru tikus yang menua, meskipun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi.
Background: Lung aging is characterized by structure and physiologic changes of the lung. Structurally, the interalveolar septum thickness and all of its components including collagen fiber are change, so that affect the lung function as a respiratory organ. This study is aimed to determine the correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum thickness on Sprague-Dawley rat aging. Method: The design of this research is cross sectional analytic correlative. The data was taken from the lung tissue preparations of 24 rats in 4 groups based on age, 2 days, 16 days, 3-4 months, and >12 months using single blind randomization technique. The methods of preparation making are based on the literatures. Data that was assessed were the histology of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum. Then, they were analized using SPSS 20.0. Result: Sequentially, the modes of interstitial collagen fiber are 1, 2, 2, and 3; while the interalveolar septum thickness means are 0,436 ± 0.059 μm, 0,399 ± 0.022 μm, 0,474 ± 0.043 μm, and 0,512 ± 0.020 μm. By using non parametric Spearman correlation test (p = 0.03), it was obtained the correlation coefficient (r = 0.213) between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness. Conclusion: There is a weak correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness of Sprague- Dawley rat aging. Thus, it can be thought that pulmonary interstitial collagen fiber may affects interalveolar septum thickness of rat aging, although it’s not as the only one factor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Primadian Suprapto
"Pada paru yang menua, terjadi perubahan pada komponen penyusun jaringan alveolus dan jaringan interstitial paru. Perubahan morfologi ini berpengaruh terhadap proses pertukaran gas yang terjadi di alveolus serta penurunan fungsi faal paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ketebalan septum dan rongga udara alveolus pada paru yang mengalami penuaan dengan menggunakan model hewan coba tikus Sprague-Dawley. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectionalanalitic observational. Pengukuran ketebalan septum dan rongga udara alveolus dilakukan pada jaringan paru tikus Sprague-dawley yang dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: kelompok usia 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Hasil pengukuran rata-rata ketebalan septum interalveolar sesuai dengan urutan kelompok usia adalah 0,436 ± 0,059 μm , 0,399 ± 0,022 μm, 0,474 ± 0,043 μm, 0,512 ± 0,020 μm. Sedangkan rata-rata diameter rongga udara alveolus secara berurutan adalah 0,467 ± 0,038 μm, 0,410 ± 0,052 μm, 0,370 ± 0,046 μm, 0,378 ± 0,028 μm. Berdasarkan uji korelasi Pearson, didapatkan hasil bahwa ketebalan septum alveolus mempunyai berkorelasi sedang dengan rongga udara alveolus (r = -0,528). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penuaan tikus Sprague-Dawley, ketebalan septum interalveolar akan bertambah dan rongga udara alveolus akan berkurang.

Aging process on the lung gives a result in morphological changes of alveolus and its interstitial components. These changes alter the respiratory function of the lung as marked as increasing lung residual volume and decreasing lung vital capacity. The aim of this research is to study the morphological changes of alveolus including septum thickness and alveolar air space changes in aging lung. We used cross sectional-analitic observational study to conduct this research. The microscopic observation has been done on Sprague-Dawley rats’ lung preparation from different age group of rats (2 days, 16 days, 3-4 months, and more than 12 months). The means of interalveolar septum measurement are 0.436 ± 0.059 μm, 0.399 ± 0.022 μm, 0.474 ± 0.043 μm, and 0.512 ± 0.020 μm respectively. The means of alveolar air space measurement are 0.467 ± 0.038 μm, 0.410 ± 0.052 μm, 0.370 ± 0.046 μm, and 0.378 ± 0.028 μm respectively. The Pearson correlation study show that there is a moderate correlation between septum thickness and alveolar air space (r = -0.528). As the age of the rats increased, the alveolar septum thickness increased and alveolar air space reduced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Rahardjo Budianto
"Latar Belakang. Penyakit Hirschsprung (PH) adalah suatu penyakit kongenital akibat tidak terbentuknya sel ganglion Meissner dan Auerbach pada lapisan sub mukosa dan lapisan intermuskularis usus. Komplikasi dari PH yang umum terjadi adalah Hirschsprung associated Enterocolitis (HAEC) yang dapat mengancam nyawa, biasa terjadi karena keterlambatan diagnosis PH, namun masih dijumpai pasca operasi definitif PH. Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab HAEC, mulai dari gangguan elektrolit dan air, disbiosis kuman usus maupun gangguan homeostasis mukosa dinding usus, seperti berkurangnya musin yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel neuroendokrin yang berperan pada motilitas dan sekresi usus, namun sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari HAEC. Sel Paneth, salah satu sel epitel pembentuk dinding mukosa usus yang berfungsi sebagai sel pertahanan yang menghasilkan beberapa protein dan peptide antimikroba, salah satunya α-defensin. Dalam keadaan normal sel paneth tidak ditemukan di kolon, namun pada penyakit radang usus seperti Penyakit Crohn dan kolitis ulserativa, ditemukan metaplasia sel Paneth akibat inflamasi yang terjadi. Peran sel paneth yang berfungsi sebagai sel pertahanan terhadap mikroba blm diteliti dalam terjadinya HAEC. IL-β adalah sitokin proinflamasi yang berperan pada peradangan dan kerusakan jaringan usus dan pada penyakit Crohn, peningkatan derajat keparahan peradangan mukosa terlihat sejalan dengan peningkatan konsentrasi protein IL-1β. Indikator inflamasi lainnya yaitu calprotectin, suatu protein penanda biologis yang ditemukan pada tinja ketika terjadi inflamasi di usus dimana konsentrasinya akan meningkat 4-6 kali dari konsentrasinya di plasma. Penelitian ini berfokus pada peran dan fungsi sel Paneth pada patogenesis HAEC dan diharapkan dapat menjawab permasalahan pada HAEC dan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PH di masa yang akan datang.
Tujuan. Mengetahui peran sel Paneth, α-defensin, IL-β dan calprotectin pada patogenesis HAEC
Metode Penelitian. Penelitian menggunakan hewan coba tikus jantan Sprague-Dawley. Kelompok sampel dibagi menjadi 11 kelompok yang terdiri dari 10 kelompok perlakuan BAC 0.1% dan 1 kelompok kontrol. Jumlah masing–masing kelompok adalah 5 ekor. Pengambilan sampel dan sacrifice dilakukan pada hari ke-0, 3, 5, 7, 10, 12, 14, 16, 18 dan 21 hari setelah 7 hari diberi perlakuan BAC. Jaringan usus kolon sigmoid dan serum diambil untuk pemeriksaan histologi (derajat enterokolitis dan metaplasia sel Paneth) menggunakan pewarnaan hematoxyllineosin serta pemeriksaan biokimia menggunakan teknik ELISA untuk menentukan konsentrasi α- defensin, IL-β dan calprotectin. Analisis statistik data numerik menggunakan uji Anova, uji Mann–Whitney dan uji korelasi Spearman.
Hasil. Enterokolitis mulai terjadi pada kelompok PH+7 dengan derajat yang makin meningkat sejalan dengan waktu. Terdapat perbedaan bermakna pada metaplasia sel Paneth antara kelompok PH+0 dan PH+7 serta PH+0 dan PH+18, namun tidak didapati perbedaan bermakna pada konsentrasi α-defensin jaringan, α-defensin serum, IL-β dan calprotectin terhadap kelompok PH+0. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara konsentrasi α-defensin dengan jumlah metaplasia sel Paneth, α-defensin serum, IL-β dan calprotectin.
Simpulan. Derajat enterokolitis meningkat sejalan dengan berjalannya waktu pada PH yang tidak dilakukan intervensi dan terjadi metaplasia sel Paneth yang tidak diikuti dengan peningkatan konsentrasi konsentrasi protein α-defensin.

Background. Hirschsprung disease (HD) is a congenital disease, characterized by absence of Meissner and Auerbach ganglion cells in the submucosal and intermuscularis layer of the gut. Hirschsprung Associated Enterocolitis (HAEC) is a common and sometimes life threatening complication of HD, presenting either before operation due to delayed in diagnosis or after definitive surgery for HD. Variety of HAEC causes has been thought, such as electrolyte and water metabolism defect, infection caused by dysbiosis of gut microflora, and various dysfunction of intestinal homeostasis like disordered intestinal motility by neuroendocrine cells, mucosal immunity defect and abnormal mucin production by goblet cells. Despite the advancement of HD management therapy, HAEC etiology and pathophysiology remain poorly understood and unconfirmed. Paneth cell, one of the principle cell type of the epithelium of the intestinal mucosal wall, an innate antimicrobial peptides that contribute to mucosal host defence by producing antimicrobial peptides and protein, including α-defensin. Normally, Paneth cell is not found in the adult colon, but in intestinal bowel disease (IBD) like Crohn disease and ulcerative colitis, paneth cells metaplasia due to inflammation was found. The role of paneth cell as mucosal host defence has not been investigated in the pathophysiology of HAEC. Pro inflammation cytokine IL-β known to be involve in the inflammation and tissue defective in Crohn disease, where increasement of the inflammation degree was followed by IL-β increasement respectively. Other inflammation indicator, calprotectin, a biomarker protein, found in the feces when inflammation occurred in the intestine, would increased 4-6 fold from the plasma concentration. This study is to investigate the role of paneth cell in the pathogenesis of HAEC so that morbidity and mortality of HD could be lowered in the future.
Aim. To investigate the role of Paneth cell, α-defensin, IL-β and calprotectin in HAEC patogenesis.
Method. Male Sprague Dawley rat was used in this study, divided into 11 groups, one control group and 10 Benzalkonium Chloride (BAC) 0.1% intervention groups, each group consisted of r rats. Sacrifice and sample harvesting done on day 0, 3, 5 ,7 10,12, 14, 16, 18 and 21; 7 days after BAC 0.1% intervention was done. Sigmoid colon and blood serum harvested for histological examination (aganglionosis segmen, HAEC degree and Paneth cell metaplasia) with hematoxyllin-eosin staining and biochemical examination with ELISA technique to measure α-defensin, IL-β and calprotectin concentration. Statistic analisys using Anova, Mann-Whitney test and Spearman test.
Result. HAEC occurred on the 7th day after 14 days application of BAC, analog to 7 days after HD, with increasement of enterocolitis degree along with the time of scarifice. In term of paneth cell metapasia, there is a significant differences between HD+0 and HD+7, and between HD+0 and HD+18, but there is no significant differences for tissue and plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin concentration compare to HD+0. There are no significant correlation between tissue α-defensin concentration compare to paneth cell metaplasia, plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin respectively. There are also no significant correlation between degree of Enterocolitis compare to paneth cell metaplasia, tissue and plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin.
Conclusion. HAEC degree increase alongside with time in HD without intervention, Paneth cell metaplasia occurred in HAEC but not followed by increasement of α-defensin concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zulhandani
"Pendahuluan: Indonesia adalah negara dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak ketiga di dunia (sekitar 10% dari total kasus di dunia) dan 6,5% dari infeksi TB merupakan kasus TB ekstrapulmonal, dimana 50% diantaranya menyerang tulang belakang. Saat ini regimen pengobatan TB masih mengandalkan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral. Pemberian OAT dalam jangka panjang memiliki angka kejadian efek samping yang cukup tinggi sebesar 8,3%, sehingga perlu dicari alternatif laindalam pengobatan TB. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penggunaan teknologi pelepasan obat terkontrol atau slow release sebagai modalitas terapi lokal pada infeksi TB muskuloskeletal khususnya tulang belakang. Dengan ditempatkannya rifampisin yang bersifat hidrofobik di dalam kapsulasi senyawa hidrofilik non-imunogenik serta non karsinogenik seperti Polyvinil Alcohol (PVA), diharapkan memiliki kemampuan slow releasesehingga dapat diimplantasi pada fokus infeksi sebagai terapi lokal selama tenggat waktu yang diharapkan tanpa pasien harus mengkonsumsi obat oral.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji eksperimental invivo pada 12 tikus Sprague Dawley betina berusia 5-7 bulan dengan berat 180 – 220 gram dengan menggunakan desain penelitian post test only control group. Evaluasi dilakukan dengan mengukur kadar rifampisin dalam jaringan tulang belakang serta kadar SGOT dan SGPT dalam darah. Analisis dilakukan menggunakan metode deskriptif dan uji perbandingan menggunakan SPSS 25.
Hasil: Penelitian dilakukan hewan uji dengan median usia 5 bulan (5 – 7) yang terdiri dari 12 subjek betina (100%). Rerata berat badan hewan uji yaitu 196.5±3.92 gram. Sebanyak 7 subjek penelitian memiliki berat badan diatas 200-gram dan 5 subjek lainnya dengan berat dibawah 200-gram. Hasil uji normalitas ditemukan adanya distribusi data yang tidak normal pada usia (sig. <0.05), sementara pada variabel berat badan ditemukan adanya distribusi data yang normal (sig. >0.05). Penilaian secara kualitiatif menunjukkan bahwa sampel bubuk tulang pada kelompok perlakuan lokal memperlihatkan warna lebih kemerahan jika dibandingkan bubuk tulang pada kelompok perlakuan oral. Namun dalam pemeriksaan kadar rifampisin secara kuantitatif menggunakan metode HPLC, menunjukkan tidak terdeteksi kadar rifampisin pada kedua kelompok dimana rifampisin seharusnya terdeteksi pada retention time untuk sekitar menit 15,06 dengan panjang gelombang 254nm. Pada uji hipotesis antara perlakuan dan penanda fungsi hati berupa SGOT dan SGPT dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan, menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.005 dan p=0.002). Terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metode pemberian rifampisin secara peroral dengan implantasi lokal rifampisin terenkapsulasi PVA dimana angka SGPT pada sampel darah kelompok perlakuan oral menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun sebaliknya SGOT pada kelompok perlakuan lokal justru menunjukkan angka yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Deteksi kandungan rifampisin pada sampel jaringan tulang belakang menggunakan metode HPLC pasca implantasi sediaan rifampisin terenkapsulasi PVA pada hari ke 14, belum mampu membuktikan terjadinya slow release di dalam jaringan hidup secara kuantitatif dan belum dapat dinilai lebih efektif dari segi penyerapan obat ke dalam jaringan tulang belakang jika dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral. Namun pemberian rifampisin terenkapsulasi PVA secara lokal pada tulang belakang menunjukkan efek hepatotoksitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral dibuktikan dengan meinigkatnya angka SGPT di dalam darah.

Introduction: Indonesia is a country with the third most cases of tuberculosis (TB) in the world (about 10% of worldwide TB cases) and 6.5% of TB infections are extrapulmonary, of which 50% affect the spine. Current reliance on combination of oral Anti Tuberculosis Drugs (ATD) and long term medication has given a fairly high incidence of side effects of 8.3%. Under these circumstances, it is necessary to look for other alternatives in TB treatment. This study aims to assess the use of controlled or slow release drug technology as a local therapy modality in musculoskeletal TB infection cases, especially the spine. With the encapsulation of hydrophobic drug substances inside a non-immunogenic and non-carcinogenic hydrophilic compound such as Polyvinyl Alcohol (PVA), it is expected to have a slow release capability so that it can be implanted in the focus of infection as local therapy during the expected deadline without having the patient to take oral medication.
Method: This study is an in vivo experimental study on 12 female Sprague Dawley rats aged 5-7 months weighing 180 – 220 grams using a post test only control group research design. The evaluation was carried out by measuring the level of rifampicin in spinal tissue and the level of SGOT and SGPT in the blood sample. We analyze the result using a descriptive method and a comparison test using SPSS 25.
Results: The study was conducted on Sprague Dawley rat with a median age of 5 months (5 – 7) consisting of 12 female subjects (100%). The average body weight of the test subject was 196.5±3.92 grams. A total of 7 study subjects weighed above 200-grams and 5 other subjects were weighed under. The results of the normality test found that there was an abnormal distribution of data for age (sig. <0.05), while the weight variable was found to have a normal distribution of data (sig. >0.05). The qualitative assessment showed that the bone powder samples in the local treatment group showed a more reddish color than in the oral treatment group. However, quantitative measurement using the HPLC method, showed no detectable levels of rifampicin in both groups where rifampicin should have been detected at 15.06 minutes of retention time with a wavelength of 254nm. The hypothesis test between treatment and liver function markers in the form of SGOT and SGPT was carried out using unpaired t-test, showing significant results (p = 0.005 and p = 0.002). There was a significant difference in the two groups which explained that there was a relationship between the method of giving rifampin orally and local implantation of PVA-encapsulated rifampicin where the SGPT number in the blood sample of the oral treatment group showed a higher number. On the other hand, the SGOT in the local treatment group actually showed a higher number.
Conclusion: Detection of rifampicin content in spinal tissue samples using the HPLC method after implantation of PVA-encapsulated rifampicin preparations on day 14 has not been able to prove its slow release capability in living tissue quantitatively and cannot concluded to be more efficient in terms of absorption into the spinal tissue compared to oral administration. However, local administration of PVA-encapsulated rifampicin in the spine showed a lower hepatotoxicity effect than oral rifampicin as evidenced by an increase of SGPT levels in the blood.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Maulina
"ABSTRAK
Mangiferin merupakan salah satu senyawa derivat xanton yaitu C-glikosilxanton yang berpotensi dikembangkan menjadi agen pengkelat besi namun bioavailabilitas pada pemberian secara oral sangat rendah dan kelarutannya kurang baik. Preparasi mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat diharapkan dapat meningkatkan bioavailabilitas mangiferin karena dengan memperkecil ukuran mangiferin akan memperbesar luas permukaan dan meningkatkan interaksi dengan pelarut sehingga kelarutan akan meningkat. Nanopartikel juga dapat menghantarkan senyawa obat dengan baik sampai ke unit-unit kecil dalam tubuh, meningkatkan distribusi, serta obat tepat target, sehingga meningkatkan efek terapetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai parameter farmakokinetik nanopartikel kitosan-alginat mangiferin yang diberikan secara oral pada tikus. Penelitian dilakukan pada tikus jantan Sprague-Dawley yang diberi nanopartikel kitosan-alginat mangiferin sebesar 50 mg/kgBB secara oral. Darah diambil dari vena ekor pada 0; ½; 1; 2; 3; 4; 4½; 5; 5½ dan 6 jam setelah pemberian oral. Hati dan jantung diambil pada jam ke 4 dan 6 setelah pemberian oral. Analisis kadar mangiferin pada plasma, hati dan jantung menggunakan HPLC. Parameter farmakokinetik telah dihitung. Konsentrasi maksimum nanopartikel kitosan-alginat mangiferin dalam plasma mencapai 634,65 ± 10,37 ng/mL dengan Tmax 4 jam setelah pemberian oral dan waktu paruh eliminasi (t1/2) adalah 6,45 ± 0,15 jam. Konsentrasi nanopartikel kitosan-alginat mangiferin di jantung dan di hati pada jam keempat dan keenam setelah pemberian oral berturut-turut adalah 753,16 ± 93,48 ng/mL, 1976,55 ± 40,06 ng/mL, 1998,81 ± 72,25 ng/mL, dan 3562,81 ± 189,28 ng/mL. Peningkatan kadar mangiferin pada kelompok nanopartikel kitosan-alginat mangiferin di plasma, jantung dan hati menunjukkan bentuk nanopartikel kitosan-alginat mangiferin memiliki absopsi yang lebih baik dibanding kelompok mangiferin. Preparasi nanopartikel kitosan-alginat mangiferin dapat mempengaruhi profil farmakokinetik mangiferin pada plasma dan distribusinya pada hati dan jantung tikus.

ABSTRACT
Mangiferin is one of the xanthone derivative compounds, namely C-glicosylxanthones which has the potential to be developed into an iron chelating agent but the bioavailability of oral administration is very low, and its have poor solubility. The preparation of mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles are expected to increase the bioavailability of mangiferin because by reducing particle size it will increase the surface area and increase interaction with the solvent so that solubility will increase. Nanoparticles can also deliver medicinal compounds well to small units in the body, increase distribution, and target drugs, thereby increasing therapeutic effects. The purpose of this study was to determine the various pharmacokinetic parameters of chitosan-alginate mangiferin nanoparticles given orally in rats. The study was conducted on Sprague-Dawley male rats were given 50 mg/ kgBW of chitosan-alginate mangiferin orally. Blood samples were taken from the tail vein at 0; ½; 1; 2; 3; 4; 4½; 5; 5½ and 6 hours after oral administration. Heart and liver organs are taken at the fourth and sixth hour after oral administration. Analysis of mangiferin levels in plasma, liver, and heart using HPLC. The pharmacokinetics parameters were calculated. The maximum concentration of chitosan-alginate mangiferin nanoparticles in plasma reached 634.65 ± 10.37 ng/mL with Tmax 4 hours after oral administration, and the apparent elimination half-life (t1/2) was 6,45 ± 0,15 hours. Concentrations in the heart and liver in the fourth and sixth hours after oral administration were 753,16 ± 93,48 ng/mL, 1976,55 ± 40,06 ng/mL, 1998,81 ± 72,25 ng/mL, and 3562,81 ± 189,28 ng/mL. Increased concentrations of chitosan-alginate mangiferin nanoparticles in plasma, heart, and liver showed that chitosan-alginate mangiferin nanoparticles had good absorption. Preparation of chitosan-alginate mangiferin nanoparticles can affect the pharmacokinetic profile of mangiferin in plasma and its distribution to the liver and heart of rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harmantya Mahadhipta
"Pendahuluan
Fraktur kominutif dapat memberikan permasalahan berupa nonunion. Penggunaan graft untuk mengatasi masalah tersebut masih diperdebatkan. Autograft merupakan baku emas dalam penggunaan graft, namun keterbatasannya adalah persediaan yang terbatas. Untuk itu banyak beredar pengganti autograft seperti allograft, xenograft, dan graft sintetik (biomaterial scaffold). Graft harus mempunyai biokompatibilitas yang baik guna mendukung penyembuhan fraktur.
Metode
Dilakukan randomized post test only control group terhadap 30 tikus Sprague Dawley guna menilai biokompatibilitas scaffold secara in vivo. Scaffold yang digunakan adalah hidroksiapatit (HA)-Bongros®, nanokristalin HA-CaSO4 (Perossal®), nanokristalin HA (Ostim®), morselized bovine xenograft (BATAN), dan HA-lokal bank jaringan dr. Sutomo. Dilakukan penilaian reaksi jaringan (jumlah sel datia benda asing dan limfosit), skor radiologis dan histologis pada minggu ke-8.
Hasil
Perbedaan bermakna ditunjukkan pada jumlah sel datia benda asing memberikan perbedaan bermakna (p=0,003), namun tidak dengan limfosit (p=0,397). Scaffold HA-lokal menunjukkan jumlah sela datia benda asing paling banyak. Skor histologis memberikan perbedaan bermakna (p=0,013) , namun skor radiologis tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p = 0,204 untuk proyeksi antero-posterior dan p = 0,506 untuk proyeksi mediolateral). Didapatkan 2 subjek yang drop out yaitu 1 subjek pada kelompok kontrol (implant failure) dan 1 subjek pada kelompok IV (osteomielitis). Terdapat korelasi yang bermakna antara jumlah sel datia benda asing dan skor histologis (p=0,034).
Diskusi
Biokompatibilitas scaffold secara in vivo ditentukan oleh komponen fisik dan kimia pembentuknya. Secara fisik, scaffold yang memiliki pori-pori menunjukkan skor histologis yang lebih baik. Komponen kimia pembentuk scaffold dapat memengaruhi reaksi jaringan. Jumlah sel datia benda asing berhubungan dengan sitotoksisitas scaffold.

Introduction
Comminuted fracture may result as nonunion. The use of bone graft is still debatable for treating comminuted fracture. Autograft is the gold standard of bone graft. However, it has a limitation in supply. Therefore, the use of other source of graft (allograft, xenograft, or synthetic) is increasing. Graft must have good biocompatibility in order to enhance fracture healing.
Method
Randomized post test only control group was conducted in 30 Sprague-Dawley rat in order to evaluate biocompatibility of the scaffold. We used hidroxyapatite (HA)-Bongros®, nanocrystalline (HA)-CaSO4 (Perossal®), nanocrystalline HA (Ostim®), morselized bovine xenograft (BATAN), dan local HA from dr. Sutomo Hospital as the scaffold. Tissue reaction (the amount of foreign body giant cell and lymphocyte), radiological and histological score was evaluated at 8th weeks.
Result
The amount of foreign body giant cell (FBGC) and histological score showed significant difference (p=0,003 and p=0,013). Local HA scaffold showed the most FBGC accumulation. There was no significant difference in the amount of lymphocyte (p=0,397) and radiological score (p=0,204 for antero-posterior projection and p=0,506 for medio-lateral projection). Two subjects were considered drop out, one due to implant failure (control group) and the other due to osteomyelitis (group IV). There was significant correlation between the amount of foreign body giant cell and histological score (p=0,034).
Discussion
Both physical and chemical factor influenced biocompatibility of scaffold. Scaffolds that have pores showed better histological score compared to that has none. Chemical compound of the scaffold play important role in tissue reaction. The amount of FBGC showed the cytotoxic level of the scaffold.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>