Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96294 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulkarnain Barasila
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58448
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sanri Pramahdi
"Asma merupakan penyakit intiamasi kronik saluran napas, gejala umumnya sangat bervariasi dan dapat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Pada dekade terakhir ini prevalensi asma meningkat bahkan di beberapa negara dilaporkan telah terjadi kenaikan prevalensi morbiditi dan mortaliti penderita asma. Hal ini diduga karena keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi yang kurang adekuat.
Kematian karena asma di Amerika Serikat tahun 1988 adalah 1,9/100.000 penduduk terutama lebih tinggi pada usia < 45 tahun, tahun 1979 di Kolombia angka kematian 2,06/100.000 dan menurun tahun 1994 menjadi 1,61/100.000. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia tahun 1992 menyimpulkan bahwa asma, bronkitis dan emfisema merupakan urutan ke 7 penyebab kematian atau 5,6% dari total kematian. Data di RS. Persahabatan tahun 1993-1997 mendapatkan 10 kematian yang dihubungkan dengan asma, 9 diantaranya disertai komplikasi seperti pneumonia, gagal jantung, gagal ginjal dan tumor paru.
Peniiaian dan penanganan yang adekuat merupakan kunci pokok yang menentukan apakah seorang pasien dapat teratasi serangannya, berlanjut atau harus dirawat di rumah sakit. Beberapa pasien saat serangan dapat terancam jiwanya bahkan tidak dapat tertolong. Penderita yang berisiko tinggi mengalami kematian adalah penderita yang datang dengan serangan berat, penyakit asmanya jarang dikontrol, respons sebagian atau tidak respons terhadap pengobatan, keterlambatan penggunaan steroid dan keterlambatan penilaian berat serangan baik oleh dokter atau penderita.
Menurut konsensus intemasional tahun 1992 dianjurkan 6 Iangkah dalam penanganan dan penatalaksanaan asma yaitu:
1. Partisipasi pasien dalam pengelolaan asma
2. Dapat dinilai perburukan penyakit dengan peak flow meter
3. Mengenal faktor-faktor pencetus serangan
4. Penggunaan obat-obatan
5. Penanganan serangan
6. Kontrol teratur.
Dalam penanganan serangan asma akut, agonis 132 merupakan terapi pilihan utama baik pada serangan ringan, sedang dan berat. Peranan antikolinergik dalam penatalaksanaan asma akut tergantung berat ringan serangan. Pada asma akut berat pemberian agonis 132 dianjurkan ditambah dengan antikolinergik, pada asma akut sedang pemberian kombinasi ini masih kontroversi, beberapa peneliti mengatakan pemberian kombinasi ini memberikan perbaikan yang berbeda bermakna dan sebagian lagi mengatakan tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pemberian kombinasi ini sedangkan pada asma akut ringan pemberian kombinasi ini disebutkan tidak bermanfaat. Seperti kita ketahui antikolinergik seperti ipratropium bromida mempunyai efek bronkodilator meskipun tidak sekuat dan secepat respons pemberian agonis 132, kelebihannya adalah mempunyai masa kerja yang lama.
Kecenderungan meningkatnya angka morbid iii dan mortatiti asma merupakan permasalahan tersendiri. Salah satu yang diduga menyebabkan meningkatnya angka tersebut adalah keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak adekuat di gawat darurat. Penanganan asma di gawat darurat disesuaikan dengan derajat berat serangan. Penggunaan antikolinergik dengan agonis 132 hanya diindikasikan pada serangan asma berat, sementara untuk serangan sedang dan ringan tidak diberikan antikolinergik, walau pada beberapa kepustakaan lain menuliskan manfaat antikolinergik tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Maurits
"Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan masalah kesehatan dengan kekerapan yang meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia asma merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak setelah infeksi. Berdasarkan survai kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 asma, bronkitis dan penyakit saluran napas lain merupakan penyebab kesakitan nomor lima dan penyebab kematian nomor sepuluh, sedangkan menurut SKRT 1992 asma, bronkitis dan emfisema penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia.
Proses inflamasi pada asma sangat kompleks karena melibatkan banyak komponen set inflamasi pada asma. Sel inflamasi yang utama berperan pada patogenesis asma adalah set limfosit T, sel mast dan eosinofil. Aktivasi sel limfosit T menyebabkan pengerahan sekresi eosinofil yang menimbukan kerrasakan epitel dan hipereaktiviti bronkus. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang berperan dalam proses inflamasi kronik saluran napas penderita asma dan migrasi eosinofil ke saluran napas merupakan tanda khas pada penderita asma termasuk pada saat eksaserbasi. Inflamasi saluran napas ini dapat dinilai secara langsung dengan mengukur jumlah eosinofil bronkus maupun melalui eosinofil darah.
Pada sejumlah kasus terutama anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan atopi atau alergi melalui mekanisme IgE dependent Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar IgE total serum dengan hiperreaktiviti bronkus pada penderita asma. Jensen dkk menyimpulkan kadar IgE total serum tidak berhubungan dengan derajat hipereaktiviti bronkus. Peran infeksi saluran napas pada eksaserbasi asma sudah diketahui sejak lama terutama infeksi oleh virus yang diperkirakan sebesar 80% pasien. Infeksi bakteri beberapa tahun terakhir ini saja dianggap berperan pada asma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwi Susanto
"Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai set infla nasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan termasuk refluks gastroesofagus.
Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) didefinisikan sebagai gejala dan atau kerusakan mukosa esofagus (esofagitis) akibat refluks abnormal isi lanibung ke dalam esofagus. Refluks gastroesofagus berhubungan erat dengan berbagai gejala dan kelainan saluran napas termasuk batuk kronik serta asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. Oster memperkirakan bahwa serangan asma mungkin disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Kekerapan penyakit refluks gastroesofagus pada asma secara pasti tidak diketahui, diperkirakan antara 34-89%.
Penelitian menunjukkan sekitar 55-82% pasien asma mempunyai gejala PRGE. Hasil pemeriksaan endoskopi pasien asma menunjukkan kekerapan esofagitis antara 27-43%. Peran pengobatan PRGE terhadap kontrol asma masih belum jelas. Pengobatan dengan antirefluks tidak konsisten dalam memperbaiki faal paru, gejala asma, asma ma'am ataupun penggunaan obat asma pada pasien asma tanpa reflux associated respiratory symptoms (RARS).
Rangkuman berbagai penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa terapi dengan obat-obat antirefluks mengurangi gejala asma, mengurangi penggunaan obat-obat asma tetapi mempunyai efek minimal atau bahkan tidak ada pada faal paru. Penghambat pampa proton (PPP) telah dikenal sebagai obat terbaik untuk tatalaksana PRGE. Penggunaan PPP pada pasien asma dengan PRGE terlihat penurunan gejala asma 43% setelah 2 bulan pengobatan serta 57% setelah 3 bulan pengobatan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Kurniati Tjahjadi
"Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang merupakan masalah kesehatan dunia. Adanya perubahan gaya hidup, kerusakan lingkungan, meningkatnya paparan polusi dan alergen berdampak pada kesehatan sistem pernapasan, mengakibatkan angka kejadian asma semakin meningkat. Ekstrak etanol patikan kebo (Euphorbia hirta) diketahui mengandung antiinflamasi, salah satunya adalah β-amyrin, yang secara turun-temurun dipakai untuk mengurangi keluhan batuk pada asma.
Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah herbal patikan kebo benar mempercepat pengurangan keluhan gejala asma bila ditambahkan pada pengobatan penderita asma persisten sedang. Studi awal ini melibatkan 20 orang responden yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok plasebo, masing-masing 10 orang. Kelompok perlakuan mendapat kapsul ekstrak patikan kebo 2 x 2 kapsul / hari yang mengandung 385 mg tiap kapsulnya selama 8 minggu.
Hasil studi secara statistik ditemukan adanya kecenderungan perbaikan nilai skor asma kontrol test (ACT). Ditemukan peningkatan yang tidak bermakna dari nilai arus puncak ekspirasi (APE) maupun penurunan jumlah eosinofil sputum.

Asthma is a chronic respiratory disease which has become a global health issue. Effect of lifestyle changes, environmental degradation, pollution and allergen exposure on the health of the respiratory system, have led to the increasing incidence of asthma. Ethanolic extract of patikan kebo (Euphorbia hirta) is known to have an antiinflamatory effect due to one of its active compound, β-amyrin. Patikan kebo has been used for generations to reduce cough in asthma.
Therefore, we wanted to see whether or not the addition of patikan kebo in treatment of moderate persistent allergic asthma can accelerate the reduction of asthma symptoms. This is a preliminary study, consisted of 20 subjects divided into 2 groups: the treatment group and the placebo group, 10 people each. The treatment group received extract capsules patikan kebo extract capsules at 2 x 2 capsules / day containing 385 mg per capsule for 8 weeks.
The study shows a statistically significant trend toward improved asthma control test (ACT) scores. There is no significant increase of peak expiratory flow or decrease in the number of sputum eosinophils."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T32159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Utami Iriani
"Polusi udara di DKI Jakarta terus menunjukkan peningkatan bahkan beberapa polutan telah melewati nilai ambang batas. Meningkatnya kadar polutan di udara menimbulkan serangan asma dan bronkitis pada masyarakat. Tahun 2001 penyakit saluran napas bawah adalah termasuk penyakit 10 besar di Indonesia dan di Jakarta berada pada peringkat 15 besar.
Studi ekologi dengan analisis time trend ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi parameter ISPU dengan serangan asma/bronkitis. Data yang digunakan adalah data skunder harian iklim (radiasi matahari, kelembaban, suhu arah angin, kecepatan angin), parameter ISPU (PM10, SO2, 03, NO2) dari BPLHD DKI Jakarta dan kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari pasien yang terserang asma/bronkitis dari 5 RS (Fatmawati, Pasar Rebo, Koja, Sumber Waras, Cipto Mangunkusumo) yang masing-masing mewakili wilayah di DKI Jakarta.
Dan data per minggu selama tahun 2002-2003 ditemukan radiasi matahari di Jakarta 151,65 W/m2, kelembaban 75,68 %, suhu 27,95°C, arah angin 159,93°, kecepatan angin 1,83 m/s. Rata-rata per minggu PM10 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3 , 03 53,21 µg/m3 , NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 dan 67,9 % dalam kategori sedang. Rata-rata per minggu kunjungan asmalbronkitis 47 kali. Radiasi matahari mempunyai korelasi positif dengan 03 dan ISPU. Kelembaban mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Suhu mempunyai korelasi positif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Arah angin mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Kecepatan angin berkorelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan PM10, SO2, dan 03. Asma dan bronkitis mempunyai korelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan 03. Hasil analisis time trend dalam periode tiga bulanan didapatkan pola kunjungan asma dan bronkitis tidak mengikuti pola konsentrasi kualitas udara ambien dan ISPU.
Disimpulkan bahwa keadaan suhu dan kelembaban di Jakarta masih nyaman dengan radiasi matahari yang cukup. Arah angin Selatan Tenggara dengan kecepatan sepoi lembut. Semua parameter ISPU masih di bawah baku mutu dan sebagian besar udara Jakarta selama tahun 2002-2003 dalam kategori sedang. Tingginya konsentrasi NO2 di udara sejalan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pasien yang terserang asrna/bronkitis. Perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk membuat suatu sistem kewaspadaan dini bagi penderita asmalbronkitis tentang buruknya kualitas udara. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam hubungan kausalitas diperlukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lama dan dengan desain kohort.

Relationship Between Climate, Pollutant Standard Index (PSI) and Asthma Bronchitis Attack in DKI Jakarta 2002-2003 (Ecology Time Trend Study in 5 General Hospitals in DKI Jakarta)Air pollution in DKI Jakarta increases continuosly every year even some pollutant have been over threshold limit value. This can cause asthma attack and bronchitis to people whose exposed. In 2001, chronic respiratory diseases still in 10 big diseases class in Indonesia and 15 in Jakarta.
Ecology study with time trend analysis is aimed at finding relationship between parameters of PSI with asthma attack and bronchitis. Climate data such as sun radiation, humidity, temperature, wind direction and wind speed is get from BPLHD Jakarta. Parameters of PSI such as PM10, SO2, 03, NO2 is get from BPLHD also. Asthma attack and bronchitis visit is get from 5 general hospitals in Jakarta which each hospital represent every district.
From 2002-2003, it is found that the weekly average of sun radiation in Jakarta is 151,65 W/m2, humidity 75,68 %, temperature 27,95°C, wind direction 159,93°, wind speed 1,83 m/s. Weekly average of PM10 is 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3, 03 53,21 µg/m3, NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 and 67,9 % data still in middle category, The weekly average of asthma /bronchitis attack visit is 47 times. Sun radiation have positive correlation with 03 and PSI. The humidity negative correlation with PM10, SO2, 03, NO2 and PSI. The temperature have positive correlation with PM10, SO2, 03, NO2. The wind direction in Jakarta from 2002-2003 have negative correlation with PM10, S02, 03, NO2 and PSI. The wind speed have positive correlation with NO2 and negative correlation with PM10, SO2, and 03. Asthma attack and bronchitis have positive correlation with NO2 and negative correlation with 03. The result of time trend analysis in 3 months period show that the trend pattern of asthma /bronchitis attack visit doesn't follow the trend pattern of PSI parameters.
It is conclude that the temperature and humidity of Jakarta still comfort for human with enough radiation intensity. Wind direction is South East and in slow speed. All PSI parameters still under treshold limit value and most of the air condition of Jakarta in 2002-2003 is still in the middle category. The highest concentration of NO2 is, the more asthma/bronchitis patient's visit. It is need over sector cooperation to make early detection system for asthma/bronchitis sufferer about how bad the air quality. To get better conclusion of causality it is need more research in long term, for instance (5-10) years and in cohort design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13131
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Medina Husen
"Diagnosis dan tatalaksana batuk kronik berulang (BKB) pada anak masih menjadi masalah karena etiologinya yang beragam. Selain anamnesis dan pemeriksaan finis yang seksama, upaya untuk tatalaksana BKB yang baik memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang tergantung dari indikasinya. Salah satu pemeriksaan penunjang pada BKB adalah uji provokasi bronkus yang dapat membuktikan adanya hiperreresponsivitas bronkus (HRB). Stimulus bronkospasmogenik dapat berupa zat farmakologis maupun nonfarmakologis. Golongan zat farmakologis yang sering dipakai adalah histamin dan metakolin sedangkan zat nonfarmakologis diantaranya adalah salin hipertonik (SH) 4,5 %.
Histamin dan melakolin adalah baku emas uji provokasi bronkus dianggap cukup balk untuk membedakan subjek asma dan normaL Sensitivitas dan spesifisitasnya sebesar 92-100% dan 92-93%, NDP 29-92%, NDN 92-100%. Dari beberapa penelitian diketahui pula bahwa derajat HRB oleh histamin sesuai dengan derajat asmanya, makin berat asma maka HRB terhadap histamin akin sema kin berat. Namun akhir-akhir ini histamin harganya mahal dan sulit ditemukan di Indonesia karena harus diimport dari luar negeri. Oleh karena itu saat ini dicari alternatif uji provokasi bronkus yang derajat akurasinya setara dengan histamin.
Salin hipertonik 4,5% mulai dikenalkan secara luas sejak tahun 1980 terutama di Australia. Zat ini dapat dibuat di laboratorium obat sederhana dari kristal NaCl. Harganya murah dan cara membuatnya pun mudah. Beberapa penelitian sebelumnya mendapatkan nilai spesifisitasriya berkisar antara 92-100% namun sensitivitasnya flushing dari sakit kepala sedangkan salin hipertonik dapat menyebabkan iritasi tengorokan. Nilai reprodusibiiitas kedua uji provokasi terbukti cukup baik.
Prevalensi asma pada BKB cukup tinggi berkisar antara 40-6d%. Uji provokasi bronkus yang dilakukan pada pasien BKB tujuannya adalah untuk memastikan diagnosis asma bukan untuk skiring karena biasanya pasien yang berkunjung ke Poliklinik RSCM sudah berobat ketempat lain sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan uji diagnosis yang sensitif untuk menegakkan diagnosis dan menentukan tata]aksana yang optimal. Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu seberapa baik kemampuan SH 4,5% untuk mendiagnosis asma pada anak dengan batuk kronik berulang.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum
Membuktikan bahwa uji provokasi SH 4,5% dapat mengantikan uji provokasi his tamin sebagai uji diagnostik altematif asma pada pasien BKB.
Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik pasien BKB yang dilakukan uji provokasi.
2. Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio kernungkinan negatif dari uji provokasi SH 4,5%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maharani
"Penyakit asma telah dikenal secara luas namum belum pernah dijelaskan secara mendetil. Tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT) dapat mendeteksi struktur tidak normal pada penderita asma. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik lesi asma dan hubungannya dengan data klinis pada hasil Tes kontrol asma (ACT).
Penelitian dilakukan secara prospektif dengan metode potong lintang terhadap penderita asma yang berobat ke poli asma RSUP Persahabatan Jakarta selama bulan Januari ? Februari 2014, mereka kemudia di rujuk untuk menjalani pemeriksaan HRCT setelah pemeriksaan awal dan mengisi ACT.
Dari 34 kasus, 33 (97%) mengalami penyempitan lumen bronkial, 21 (61,7%) mengalami penebalan dinding bronkial, 15 (44,1%) mengalami gambaran mosaik, 5(5,8%) mengalami bronkiektasis dan seluruhnya (100%) mengalami emfisema. Hasil ACT yang didapat adalah pasien terkontrol sebagian (35,2%) dan tidak terkontrol (64,7%). Ketika dihubungkan dengan hasil ACT, maka penyempitan lumen bronkial (p=0,970), penebalan dinding bronkus (p=0,488), gambaran mosaik (p=0,882), bronkiektasis (p=0,137) dan emfisema tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Lesi lainnya yang ditemukan dan berkaitan dengan ACT adalah tuberkulosis (11,8%; p=0,273), granuloma (2,9%; p=1,000), aspergiloma bronkopulmonari alergik (5,9%; p=0,529) dan bronkitis (5,9%; p=1,000).
Gambaran lesi karakteristik penderita asma bronkial pada HRCT merupakan hal yang penting, karena dapat memperlihatkan komplikasi lain yang menyertai asma, namun karakteristik lesi tersebut tidak berkaitan dengan hasil ACT.

The coexistence of asthma is widely recognized but has not been well described. High resolution computed tomography (HRCT) can detect the structural abnormalities in asthma. This study attempts describe the characteristic lesion of asthma and to correlate these abnormalities with clinical and asthma control test (ACT) data.
We perfomed a prospective cross sectional study of 34 asthma patients who were attending outpatient Persahabatan Hospital, Jakarta from January-February 2014, that were subjected to HRCT after initial evaluation and ACT.
Thirtythree subjects (97%) had narrowing of bronchial lumen, 21 (61.7%) had bronchial wall thickening, 15 (44.1%) had mosaic attenuation, 5 (5.8%) had bronchiectasis and 34 (100%) had emphysema. The ACT result were partial controlled patients (35.2%) and not controlled (64.7%). When correlated with ACT result, the narrowing of bronchial lumen (p=0.970), bronchial wall thickening (p=0.488), mosaic attenuation (p=0.882), bronchiectasis (p=0.137) and emphysema showed no significant association. Another HRCT findings that correlate with ACT were tuberculosis (11.8%; p=0.273), granuloma (2.9%; p=1.000), aspergilloma bronchopulmonary allergica (5.9%; p=0.529) and bronchitis (5.9%; p=1.000).
HRCT findings of characteristic lesion are important in bronchiale asthma patients, because they can describe other complication / comorbidity eventhough they were not correlate well with ACT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>