Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175383 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isti Kholif Maulinur
"Tulisan ini merupakan refleksi pengalaman saya dalam mengikuti Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang diselenggarakan oleh Program Studi Antropologi Sosial, Universitas Indonesia bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (MBKM UI-BRWA). Pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada refleksi metodologi etnografi dalam proses fasilitasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di BRWA. Proses ini juga mengungkap relasi identitas antara saya sebagai mahasiswa program studi antropologi sosial dengan BRWA dan relasi identitas saya sebagai fasilitator dengan masyarakat adat dalam menghasilkan etnografi masyarakat adat. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini bertujuan memberikan gambaran kepada etnografer maupun fasilitator terkait kemungkinan yang akan mereka hadapi saat berada di lapangan. Pendekatan etnografi yang digunakan yaitu dengan Rapid Ethnography Assessment (REA) dengan metode pengambilan data melalui Focus Group Discussion (FGD), wawancara, transek, serta kolaborasi aktif dari masyarakat adat. Kegiatan ini dilakukan di beberapa wilayah adat yang berada di Kalimantan Tengah (Gunung Mas), Kalimantan Timur (Penajam Paser Utara), Kalimantan Utara (Nunukan), dan Riau (Kampar). Upaya menghasilkan etnografi masyarakat adat dengan acuan formulir pendaftaran BRWA merupakan hal yang penting dan krusial dalam proses advokasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Indonesia. Dalam proses melakukan etnografi banyak kemungkinan yang dihadapi oleh seorang etnografer sekaligus fasilitator, baik ekspektasi dari masyarakat adat hingga tantangan dan penyesuaian saat berada di lapangan.

This paper reflects on my experience participating in the Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Program organized by the Social Anthropology Study Program at the University of Indonesia in collaboration with the Indigenous Territory Registration Agency (BRWA). The discussion in this paper focuses on reflecting on the ethnographic methodology in facilitating the recognition and protection of the rights of indigenous communities within the BRWA framework. This process also reveals the identity relationships between myself, as a student of the social anthropology program, and the BRWA, as well as my identity as a facilitator working with indigenous communities to produce an ethnography of these communities. Based on this, the paper aims to provide insight to ethnographers and facilitators regarding the potential challenges they may face in the field. The ethnographic approach employed in this study is Rapid Ethnography Assessment (REA), with data collection methods including Focus Group Discussions (FGD), interviews, transects, and active collaboration with indigenous communities. The activities were conducted in several indigenous territories located in Central Kalimantan (Gunung Mas), East Kalimantan (Penajam Paser Utara), North Kalimantan (Nunukan), and Riau (Kampar). Producing an ethnography of indigenous communities using the BRWA registration form as a guideline is crucial and vital in the advocacy process for the recognition and protection of indigenous legal communities in Indonesia. During the ethnographic process, an ethnographer and facilitator may face various possibilities, from the expectations of indigenous communities to the challenges and adjustments required in the field.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hany Nurul Nissa Suhendar
"Makalah ilmiah akhir ini membahas fetisisasi tradisi yang saya alami berdasarkan pada pengalaman saya sebagai fasilitator di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat (indigenous people). Tulisan ini ditujukan sebagai bentuk kontribusi saya dalam menyajikan narasi terkait implikasi fetisisasi tradisi dalam konteks mencari keaslian masyarakat adat di Indonesia, khususnya di beberapa wilayah adat yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Temuan analisis memperlihatkan fetisisasi tradisi terjadi ketika saya ikut berpartisipasi secara langsung dalam menjalankan rangkaian proses yang terdiri dari registrasi, verifikasi, dan validasi untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan masyarakat adat berdasarkan pada prosedur BRWA.

This final scientific paper discusses the fetishization of tradition that I have experienced based on my experience as a facilitator at Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) in efforts to recognize and protect the rights of indigenous people. This paper is intended as a form of my contribution in presenting a narrative related to the implications of the fetishization of tradition in the context of seeking the authenticity of indigenous people in Indonesia, especially in several indigenous territories located in Central Kalimantan, East Kalimantan, and South Kalimantan Provinces. The findings of the analysis show that the fetishization of tradition occurred when I directly participated in carrying out a series of processes consisting of registration, verification, and validation to fight for the recognition and protection of the existence of indigenous people based on BRWA procedures.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"This is an edited volume with contributions by leading scholars on the central epistemological, theoretical, political, and pedagogical questions and debates that constitute the discipline of Indigenous Studies. The volume emerges from a 2012 symposium hosted by the Indigenous Studies Research Network at Queensland University of Technology. The volume is organized into three sections: the first section includes essays that interrogate the embeddedness of Indigenous studies within academic institutions; the essays in the second section explore the epistemology of the discipline; and the third section's essays are devoted to understanding the locales of critical inquiry and practice. Moreton- Robinson's introductory essay provides a brief history of the discipline"
Tucson : The University of Arizona Press, 2016
305.8 CRI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Ammatuz Zakiah
"Wacana gerakan masyarakat adat muncul di Indonesia seringkali dimaknai sebagai upaya untuk melakukan perlawanan dari ancaman pihak eksternal. Sebagian masyarakat memahami bahwa adat merujuk pada sebuah praktik ritual, norma, atau pun kebiasaan—sebagian juga memahami bahwa adat merujuk pada prosedur untuk menyelesaikan sengketa tenurial yang saat ini menjadi agenda LSM. Masyarakat adat di Indonesia didukung oleh pihak LSM untuk memperjuangkan hak-haknya dengan membawanya turut berperan dalam ranah legislasi. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana aktivitas LSM dalam mengupayakan perlindungan dan pengakuan masyarakat lokal yang memiliki klaim hak atas tanah melalui serangkaian praktik inskripsi. Penelitian ini dilakukan dengan mencakup beberapa proses kegiatan advokasi AMAN dan BRWA di beberapa wilayah IKN. Bersamaan dengan posisi saya sebagai fasilitator yang membantu kedua LSM tersebut, tulisan ini juga menjadi refleksi etnografis. Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana agenda advokasi AMAN BRWA dilakukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan ‘wilayah adat’ serta memperlihatkan bagaimana agenda advokasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sifatnya prosedural, tetapi pada kenyataannya menimbulkan serangkaian konstruksi dan negosiasi. 

The discourse of the indigenous peoples' movement emerging in Indonesia is often interpreted as an attempt to resist external forces. Some communities define adat as referring to ritual practices, norms or customs—while others define adat as a procedure for resolving tenurial disputes, which is currently on the agenda of NGOs. Indigenous peoples in Indonesia are supported by NGOs to advocate for their rights by involving them in legislation. This paper explores how NGO activities seek to protect and recognize local communities with land rights claims through a set of inscription practices. The research was conducted by covering several processes of AMAN and BRWA advocacy activities in several IKN areas. Along with my position as a facilitator assisting the two NGOs, this paper is also an ethnographic reflection. Therefore, this paper aims to explain how AMAN BRWA's advocacy agenda is to identify and formulate 'customary territories' and to illustrate how this advocacy agenda is carried out through procedural steps, but in reality leads to a series of constructions and negotiations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malinowski, Bronislaw, 1884-1942
Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran, 1983
301 MAL d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adiputra
"

Penatalayanan lingkungan pada hakekatnya merupakan penggunaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dengan cara yang memperhitungkan kepentingan masyarakat, generasi mendatang, dan spesies lainnya, serta kebutuhan pribadi, dan menerima tanggung jawab yang signifikan kepada masyarakat. Salah satu aktor penatalayanan lingkunga yang paling “terkenal” tidaklah lain selain masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dalam praktiknya selalu dianggap sebagai sekelompok manusia yang sangat amat mencintai bumi, masyarakat hukum adat dalam praktik yang mereka lakukan selalu dikaitkan dengan betapa mereka sangat menjaga kelestarian alam. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidalah selalu sejalan dengan realitas hukumnya. Sebagai contohnya, Masyarakat Hukum Adat Bali dalam menjalankan upacara agamanya, membutuhkan daging penyu hijau yang mana termasuk kedalam hewan langka. Hal tersebut membangkitkan pertanyaan utama dimana benarkah masyarakat hukum adat merupakan actor penatalayanan lingkungan. Terhadap permasalahan tersebut, dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan metode yuridis normative. Seharusnya, Masyarakat hukum adat, sebagai kumpulan manusia haruslah dipandang sebagai manusia biasa yang tidaklah sempurna dan juga bisa berbuat kerusakan.


Environmental stewardship is essentially a responsible use of natural resources in a way that takes into account the interests of the community, future generations, and other species, as well as personal needs, and accepts significant responsibilities to the community. One of the most "well-known" environmental stewardship actors is nothing but indigenous peoples. Indigenous peoples in practice is always regarded as a group of people who really love the earth, indigenous peoples in their practice is always associated with how they are very preserve nature. However, this statement is not always in line with its legal reality. For example, the Balinese indigenous peoples in carrying out its religious ceremonies, requires green turtle meat which is included in rare animals. This raises the main question where is it true that indigenous people are environmental stewardship actors. Against these problems, in this paper the author conducts research with normative juridical methods. Supposedly, the customary law community, as a collection of people must be seen as ordinary human beings who are not perfect and can also do damage.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Badarsyah
"Masyarakat adat mendiami dan tersebar di seluruh dunia dari Kutub Utara sampai dengan Pasifik Selatan, mereka berjumlah sekitar 370 juta. Sebaran wilayah tempat tinggal mereka mencangkup 22 persen dari permukaan bumi yang secara kebetulan merupakan daerah di mana 80 persen konsentrasi keanekaragaman hayati dunia berada. Masyarakat adat memiliki keterikatan yang erat dengan alam. Keterikatan itu menjadikan mereka memiliki sikap hidup, cara pandang dan budaya yang sangat menghargai alam. Praktek kehidupan mereka selaras dengan upaya menjaga keanekaragaman hayati. Hukum Internasional melalui Konvensi Keanekargaman Hayati mulai mengapresiasi dan memberikan perlindungan kepada hak masyarakat adat atas keanekaragaman hayati. Meski demikian, praktek‐praktek perampasan hak atas tanah, wilayah, dan biopiracy masih marak terjadi. Masyarakat adat juga sampai saat ini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan penuh atas hak menentukan nasib mereka sendiri karena dengan adanya pengakuan hak inilah mereka tidak hanya dapat menjamin keberlangsungan mereka tetapi juga dapat meneruskan sumbangsih positif mereka dalam menjaga lingkungan dan keanekaragaman dunia. Melihat kesenjangan antara pengakuan dan perlindungan hukum dengan praktik yang terjadi atas hak masyarakat adat di bidang keanekaragaman hayati, skripsi ini berupaya memberikan gambaran bagaimana hukum internasional melindungi hak masyarakat adat di bidang keanekaragaman hayati? Bagaimana negara‐negara seperti Brazil, Kamerun, Australia dan Malaysia melindungi hak tersebut bagi masyarakat adat di negara mereka masing‐masing? Kemudian bagaimana Indonesia melindungi hak keanekaragaman hayati masyarakat adatnya?

Indigenous Peoples live and dwell stretch from north pole to southern pacific, approximately there are about 370 milions of them. They live in areas that cover 22 percents of earth surfaces, where apparently 80 percents of biological diversities concentrated. Indigenous peoples have strong and long ties with mother earth. The strong‐connection induces their ways of live, paradigms and cultures in so that they cherish, preserve and honor the nature. Their daily life practices intact with biodiversity preservation. Through the Convention of Biological Diversity, international law has begun to apreciate and protect Indigenous Peoples' Biodiversity Right. Nevertheless, practices of lands dispossession, miss‐appropriations of their traditional knowledges, biopiracy, existed until this very day. Meanwhile, Indigenous Peoples have been struggling to seek full acknowledgement of their self‐determination right, because with the recognition, they are not just may preserve their existance but also continue their positive contributions in preserving and protecting the environments and the world's biodiversity. Knowing the imbalance between the recognition, and protection of laws and negative practices against indigenous peoples right on biodiversity, this paper would like to draw how does international law protect indigenous peoples rights on biodiversity? How do international communities, specifically Brazil, Cameroon, Australia and Malaysia protect their Indigenous Peoples' Rights on biodiversity? Then, how Indonesia protecting such rights?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26246
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Heru Poppy
"Penelitian ini membahas mengenai gerakan masyarakat adat BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) pada masa reformasi. Masyarakat adat yang dikenal dengan sebutan rakyat penunggu mengklaim tanah yang dikelola PTPN II sebagai tanah adat rakyat penunggu. Atas dasar sejarah penguasaan tanah rakyat penunggu, rakyat penunggu melakukan gerakan perlawanan terhadap PTPN II. Redistribusi tanah yang dilakukan pada masa orde baru tidak tepat sasaran sehingga masyarakat adat tidak mendapatkan tanah yang diredistribusi. Perlawanan selalu dilakukan untuk memenuhi tuntutan masyarakat adat mengenai hak atas tanah adat mereka. Pada masa reformasi BPRPI juga melakukan gerakan perlawanan untuk memenuhi tuntutan masyarakat adat BPRPI. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Fokus dari penelitian ini adalah penguatan gerakan yang dilakukan masyarakat adat BPRPI dan dampak penguatan gerakan sosial pada masa reformasi. Hasil penelitian memperlihatkan penguatan identitas adalah salah satu cara BPRPI melakukan perlawanan.

This thesis discusses about indigenous people movement BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) at the time of reformation. Indigenous people that are known as rakyat penunggu claim land managed by PTPN II as indigenous people?s land. Based on the history of rakyat penunggu land ownership, they commit contentious movement toward PTPN II. Land redistribution is done in the new order, is not right on target so indigenous people do not get that land. The contentious is always done to fulfill indigenous people claims about the right on their indigenous land. In reform era, BPRPI also commit contentious movement getting their claims. This thesis is using qualitative method and descriptive research?s type. This thesis focuses on movement of BPRPI reinforcement and impact of the social movement reinforcement. The result of research is showing that recognition of identity is one of way to make contentious."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S45035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hutapea, Hudson
"Tesis ini membahas tentang legal standing masyarakat adat yang belum atau tidak ditetapkan sebagai kesatuan masyarakat hukum melalui peraturan daerah (perda) karena menjadi masalah tentang bagaimana dapat membuktikan kedudukan hukumnya di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara ketika memperjuangkan tanah ulayat. Sebagaimana yang penulis teliti pada putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 584 tahun 2022 yang pada pokoknya menegaskan bahwa legal standing Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus dibuktikan secara hukum melalui Perda yang merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode deskriptif analitis dimana teori teori hukum digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah putusan hakim. Sebagai simpulan terdapat perbedaan pendapat antara penetapan ketua pengadilan TUN yang harusnya jadi pintu masuk masyarakat adat lolos dismissal sebagai kesatuan MHA dengan majelis hakim yang mengadili perkara sengketa yang berkesimpulan masyarakat adat harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan Perda. Kemudian bagi masyarakat adat yang belum mendapatkan pengakuan Perda dapat menggunakan pasal 6 ayat 2 Perma No 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai dasar pelaksana “self determination” (menentukan nasib sendiri) untuk pembuktian legal standing sebagai kesatuan MHA. Masyarakat Adat harus menyusun bukti bukti dalam gugatan tentang unsur unsur syarat kesatuan MHA sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2 Perma No 2 Tahun 2016 untuk selanjutnya dibuktikan dan diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara, jadi tidak perlu harus ada Perda.

This thesis discusses the legal position of indigenous peoples who have not been or have not been established as a legal community unit through regional regulations (perda) because it becomes a problem of how to maintain their legal standing before the State Administrative Court when fighting for communal land. As the author examines the cassation decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 584 of 2022 which in essence emphasizes that the legal position of Indigenous Peoples (MHA) must be legally proven through a Regional Regulation which refers to the provisions of Article 67 paragraph (1) and (2) of the Forestry Law Number 41 of 1999. The form of research used is normative legal research with descriptive analytical methods where legal theories are used as an analytical knife in dissecting judge's decisions. For example, there is a difference of opinion between submitting the head of the TUN court which should be so that the entrance of indigenous peoples passes dismissal as an MHA Association and the panel of judges adjudicating lawsuits that conclude that indigenous peoples must first obtain recognition from a regional regulation. Then for indigenous peoples who have not received regional regulation recognition, they can use article 6 paragraph 2 of Perma No. 2 of 2016 concerning Guidelines for Proceeding in Disputes on Determining Development Locations for the Public Interest in the State Administrative Court as the basis for implementing "self-determination" to prove legal standing as a unit MHA. Indigenous peoples must compile evidence in a lawsuit regarding the elements of the MHA unitary requirements as stipulated in Article 6 2 Perma No 2 of 2016 to be further proven and tested at the State Administrative Court, so there is no need for a regional regulation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>