Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121532 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lukita Wijaya
"Kehidupan multikultural di Indonesia membuat kerukunan beragama menjadi penting untuk dijaga dengan baik. Kerukunan antar umat beragama dapat dicapai dengan mengadopsi konsep-konsep komunikasi antarbudaya dan peran dari culture broker untuk meminimalisir terjadinya konflik. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan atau standpoint culture broker umat Buddha keturunan Tionghoa mengenai kerukunan beragama di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus, penelitian ini melakukan wawancara terhadap dua subjek penelitian yang merupakan culture broker. Informan S adalah Penyelenggara Agama Buddha di X yang berlokasi di salah satu kabupaten di Indonesia yang bertugas untuk membina, menaungi, membimbing dan bertanggunjawab atas semua kegiatan keagamaan agama Buddha di kabupaten tersebut. Informan RA merupakan akademisi dan Ketua Umum Organisasi Buddha Y. Hasil penelitian menyoroti peran culture broker dalam menjembatani konflik antarbudaya dan kesalahpahaman komunikasi di tengah dinamika sosial Indonesia yang kompleks. Mereka mengadopsi nilai-nilai Buddha seperti Interdependent Origination, Non-Violence Communication (NVC), dan Mindfulness dalam upaya mereka untuk memfasilitasi dialog yang harmonis dan mengurangi konflik. Namun demikian, standpoint dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa kerukunan antarbudaya di Indonesia merupakan hal yang semu. Meskipun beberapa kelompok minoritas tidak merasakan perlakuan diskriminatif secara langsung, tetapi masih terdapat insiden yang tidak adil dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan umat Buddha.

Multicultural life in Indonesia makes it important to maintain religious harmony. Harmony between religious communities can be achieved by adopting the concepts of intercultural communication and the role of culture brokers to minimize conflict. This research aims to explain the views or cultural viewpoints of Buddhists of Chinese descent regarding religious harmony in Indonesia. Using a qualitative approach with a case study research strategy, this research conducted interviews with two research subjects who were culture brokers. Informant S is a Buddhist Religion Organizer in Informant RA is an academic and General Chair of the Buddhist Y Organization. The research results highlight the role of culture brokers in bridging intercultural conflicts and communication misunderstandings amidst Indonesia's complex social dynamics. They adopt Buddhist values ​​such as Interdependent Origination, Non-Violence Communication (NVC), and Mindfulness in their efforts to facilitate harmonious dialogue and reduce conflict. However, the viewpoint of this research also shows that intercultural harmony in Indonesia is a false thing. Although some minority groups do not experience direct discriminatory treatment, there are still incidents of injustice and difficulties in meeting the needs of Buddhists."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samovar, Larry A.
California: Wadsworth, 1991
303.48 SAM c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi
"Latar belakang permasalahan yang mendarong dilakukannya studi penelitian ini ialah perkembangan dunia saat ini yang menampakkan semakin meningkatnya saling ketergantungan antar negara. Berbagai kepentingan atau minat yang mewarnai arus hubungan antar negara, serta perkembangan alat perhubungan dan teknologi, semakin meningkatkan hubungan yang mulanya terkendali oleh waktu maupun jarak ruang. Pertemuan antar manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda menjadi tidak terhindarkan dan setiap saat terjadi proses adaptasi antar budaya, yaitu ketika orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya yang baru.
Adaptasi antar budaya tercermin pada kesesuaian antara pola komunikasi pendatang ke suatu lingkungan baru dengan pola komunikasi yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Sebaliknya, adaptasi antar budaya juga ditunjang oleh kesesuaian pola komunikasi. Salah satu hakekat komunikasi ialah kegiatan pencaharian dan perolehan informasi dari lingkungan. Informasi dapat diperoleh melalui saluran media massa dan saluran non-media massa. Komunikasi massa dan komunikasi non-media massa merupakan unsur-unsur dari kegiatan komunikasi sosial, yang saling tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi.
Sorotan terhadap hubungan antara komunikasi massa dengan komunikasi non-media massa mengarahkan perhatian pada suatu proposisi dari Miller (1982), yang melihat adanya kemungkinan bahwa 'pengenaan terhadap pesan media massa dalam jumlah banyak dapat menghambat kemampuan orang untuk berkomunikasi secara antar pribadi'. Proposisi Miller tersebut berlandaskan pada pemikirannya tentang adanya tiga jenis informasi, yaitu: informasi kultural, informasi sosiologikal masuk jenis informasi mengenai hasil dari konseptualisasi Miller adalah: bila ramalan dan informasi psikologikal. Masing dapat membantu peramalan seseorang upaya komunikasinya. Inti dari mengenai 'komunikasi antar pribadi' mengenai hasil komunikasi sangat tergantung pada informasi kultural dan/atau sosiologikal, maka para pelaku komunikasi komunikasi terlibat dalam komunikasi 'impersonal'; jika ramalan sangat didasarkan pada informasi psikologika., maka para pelaku komunikasi terlibat dalam komunikasi 'antar pribadi'. Miller menghubungkan ketiga jenis informasi dengan penggunaan saluran komunikasi melalui media massa dan non-media massa. Informasi kultural dan sosiologikal berperan pokok dalam komunikasi melalui media massa, sedangkan informasi psikologikal berperan dalam komunikasi non-media massa.
Proposisi Miller tersebut mendorong pada minat dalam studi ini untuk melihat kemungkinan terjadinya dalam situasi antar budaya, khususnya dalam konteks adaptasi antar budaya. Yang dilihat sebagai permasalahan pokok penelitian ialah: sampai sejauh mana kebenaran bahwa pengenaan media massa dapat menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari komunikasi non-media massa terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari faktor-faktor lain di luar kegiatan komunikasi terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya?
Penelitian lapangan seluruhnya dilaksanakan di kota Tokyo, Jepang, terhadap warga masyarakat Indonesia yang telah menetap sedikitnya satu tahun, tidak mempunyai pertalian hubungan darah maupun perkawinan dengan orang Jepang dan berusia sedikitnya 18 tahun. Sampel ditentukan secara non-probabilita, karena tidak mungkinnya diperoleh daftar lengkap dan terinci mengenai jumlah populasi. Dari 100 kuesioner yang disebarkan, sejumlah 80 dikembalikan kepada peneliti. Penelitian lapangan keseluruhan, yaitu penjajagan dan survey dilaksanakan antara bulan Juli 1991 sampai dengan bulan Mei 1992.
Untuk analisis data dipergunakan:
(1) Metode analisis deskriptif, yaitu terhadap variabel-variabel pokok dalam studi, serta
(2) Metode analisis diskriminan, yakni untuk menjawab pertanyaan mengenai peranan atau kontribusi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Yang dianggap sebagai variabel-variabel independen adalah aspek-aspek yang tercakup dalam konsep-konsep: 'penggunaan media massa', 'komunikasi non-media massa', 'faktor disposisional' dan 'faktor situasional'. Sedangkan yang dilihat sebagai variabel dependen ialah konsep 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Untuk konsep ini digunakan tiga indikator, yaitu 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang', 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'.
Hasil penelitian menemukan bahwa:
(1) 'Faktor disposisional' merupakan faktor yang terbesar peranannya dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah 'rencana menetap keseluruhan', 'perasaan ketika menghadapi perbedaan', 'lama menetap', 'usaha menggunakan bahasa Jepang' dan 'pekerjaan', 'pengetahuan tentang Jepang sebelum menetap'.
(2) ?Penggunaan media massa' merupakan faktor kedua terbesar yang berperan menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah : 'bahasa pengantar dalam menggunakan televisi', 'pilihan topik televisi secara khusus', 'kegiatan lain selama menggunakan televisi' dan 'pilihan topik televisi secara umum'. Menjawab pertanyaan pokok dalam penelitian ini, maka ternyata proposisi Miller yang menyatakan kemungkinan terdapatnya hubungan antara penggunaan media massa dalam jumlah banyak dengan kemampuan komunikasi antar pribadi, kurang didukung oleh data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hubungan itu ada, namun termasuk 'lemah' atau 'rendah'. Ternyata aspek penggunaan media massa yang lebih kuat peranannya adalah 'pilihan topik televisi secara khusus'. Artinya, pelaku adaptasi antar budaya yang mempunyai lebih banyak pilihan topik khusus dalam televisi, adalah yang cenderung untuk memandang hubungannya dengan orang Jepang bersifat 'non-antar pribadi'.
(3) 'Komunikasi non media massa', dalam menunjukkan peranannya, hampir sama besarnya dengan 'penggunaan media massa' dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan ialah . 'penggunaan Bahasa Jepang dalam berkomunikasi antar budaya', 'frekuensi hubungan antar budaya', 'tingkat keakraban dalam hubungan antar budaya' dan 'mayoritas anggota dalam organisasi yang diikuti'.
(4) 'Faktor situasional' adalah yang terkecil peranannya terhadap 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Aspek dari faktor situasional yang menunjukkan peranannya hanyalah 'pengalaman pernah tersinggung atau tidak tersinggung karena perlakuan orang Jepang' dan 'tetangga terdekat dari tempat tinggal'.
Secara keseluruhan, dari hasil studi dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang sebagai hubungan antar pribadi' tidak sama dengan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'. Data kategorikal atau informasi kultural dan sosiologikal tetap diperlukan bagi berlangsungnya 'komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
D345
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviana Mayudrasari Suhargo Arif
"Salah satu tujuan pendidikan di KWJ adalah agar ilmu yang diperoleh dapat digunakan untuk mempererat hubungan antara Jepang dan Indonesia, dalam segala bidang. Sebagai pendidik di lingkungan industri manufaktur, penulis berkesempatan berkeliling ke berbagai perusahaan di Indonesia, mulai dari perusahaan besar, menengah dan kecil (IKMl/ndustri Kecil dan Menengah). Baik perusahaan PMDN (Penanarnan Modal Dalam Negeri), maupun PMA (Penanaman Modal Asing) dari Jepang, Korea, Amerika, Taiwan dan Singapura.
Dalam pelaksanaan kerja, ketika melakukan konsultasi untuk suatu perusahaan, yang digunakan juga sebagai bahan penelitian, maka masalah yang paling sering muncul adalah mengenai komunikasi internal di dalam perusahaan itu sendiri. Hal menarik yang ditemukan dalam pelaksanaan konsultasi dan penelitan yang dilakukan kemudian adalah bahwa ada perbedaan cars berkomunikasi di antara mereka (baik orang Indonesia yang berbicara kepada orang Jepang, maupun sebaliknya). Salah satu faktor utamanya adalah bahasa dan budaya.. Untuk itu, dalam thesis ini, penulis mengambil topik "Perbedaan Cara Berkomunikasi Antara Pekerja Jepang dan Pekerja Indonesia dalam Penerapan Horenso (Studi Kasus pada perusahaan Jepang di Indonesia)".
Penelitian dilakukan selama 2 tahun terakhir dengan fokus pads perusahaan Jepang di Indonesia, karena faktor kemudahan akses untuk mengetahui tentang aktivitis perusahaan Jepang di Indonesia. Lebih dari 70% pelanggan dari Matsushita Gabel Institute adalah perusahaan yang memiliki afliasi dengan perusahaan di Jepang."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T17577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Eka Santi
"Perusahaan multinasional sangat erat kaitannya dengan adanya komunikasi antarbudaya dan pertemuan antarbudaya. Setiap budaya memiliki dimensi budaya nasional masing-masing. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam melalui interpretative phenomenological analysis yang bertujuan untuk mengungkapkan pemaknaan pengalaman secara eksploratif bagaimana budaya kerja perusahaan yang dibentuk dalam Hofstede's cultural dimensions yang diimplementasikan oleh jajaran manajemen Jepang dan manajemen lokal di dalam PT. Hanwa Indonesia. Serta untuk mengungkapkan bentuk-bentuk pertemuan antarbudaya Indonesia dan Jepang di dalam PT. Hanwa Indonesia khususnya culture shock, akulturasi, dan komunikasi verbal dan nonverbal yang terikat budaya. Dalam studi ini ditemukan bahwa dimensi yang terbentuk dengan menggunakan Hofstede's cultural dimensions di dalam PT. Hanwa Indonesia yaitu large power distance, strong uncertainty avoidance, femininity, individualism, dan short term orientation. Pertemuan antarbudaya yang terjadi di dalam PT. Hanwa Indonesia yang dialami oleh para manajemen baik manajemen Jepang dan manajemen lokal yaitu culture shock, kemudian setelah melalui masa culture shock terdapat proses akulturasi di dalam perusahaan ini, terakhir adanya proses komunikasi verbal dan nonverbal antar kedua pihak baik manajemen Jepang maupun manajemen lokal. Dengan adanya manajer lokal di dalam PT. Hanwa Indonesia, memiliki fungsi sebagai penghubung antara budaya kerja Jepang dan budaya kerja Indonesia.

In multinational company it is closely related with intercultural communication and intercultural encounters. Each culture has its own national cultural dimension. This study method was conducted qualitatively with in-depth interviews uses interpretative phenomenological analysis which aims to reveal the exploratory meaning of experience of how the work culture of the company formed through Hofstede's cultural dimensions implemented by Japanese management and local management within PT. Hanwa Indonesia. Also to reveal the forms of Indonesian and Japanese intercultural encounters in PT. Hanwa Indonesia especially culture shock, acculturation, and verbal and nonverbal communication. The study showed that Hofstede's cultural dimensions in PT. Hanwa Indonesia are large power distance, strong uncertainty avoidance, femininity, individualism, and short term orientation. Intercultural encounters that occurred in PT. Hanwa Indonesia experienced by both of Japanese management and local management from culture shock, then acculturation process, finally there was verbal and nonverbal communication process between Japanese management and local management. With the presence of local managers, it has a function as a bridge between Japanese work culture and Indonesia work culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mey Sugijanto
"Penelitian komunikasi antarbudaya dan antarpribadi ini mengambil responden 7 (tujuh) pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya antara etnis Jawa dengan etnis Minangkabau. Dengan alasan bahwa kedua budaya tersebut, secara tata cara adat maupun sistem kekerabatan atau kekeluargaannya tentulah berbeda, pada budaya Jawa lebih bersifat patrilineal sedangkan di budaya Minangkabau bersifat matrilineal. Meskipun kedua budaya berbeda, tetapi dalam keseharian pada kehidupan bermasyarakat, kedua budaya ini secara relatif tidak mempunyai konflik.
Secara mikro, angka perkawinan pasangan suami-isteri yang berbudaya Jawa dengan Minangkabau pastilah banyak, meskipun secara pasti penulis tidak mengetahuinya. Pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini secara teoritis sangatlah dekat dengan aspek-aspek budaya, sehingga terjadi proses asimilasi budaya. Meskipun kedua budaya ini termasuk ke dalam rumpun budaya high contextnya Edward T. Halt (1977), tetapi menurut M. Budyatna (1993) dalam high context itu sendiri terdapat high-high context, high-medium context dan high-low context. Pada budaya Jawa lebih kental dengan high-high context, sedangkan budaya Minangkabau dekat dengan high-medium context. Meskipun terdapat perbedaan dalam tataran budaya keduanya, kebanyakan pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya tidak terjadi kerenggangan.
Pendekatan dalam penelitian dipergunakan teori Penetrasi Sosial (Altman and Taylor, 1973) dengan tahapan-tahapannya, yaitu Orientasi, Exploratory Affective Exchange, Dyad Members dan Stable Exchange. Pada tahapan-tahapan tersebut, masing-masing individu pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, melakukan pengungkapan diri (self disclosure). Karena semakin akrab seseorang dengan orang lain, maka semakin terbukalah ia dengan pasangannya (Gudykunst and Kim; 1997 : 323-324).
Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif, menurut Miles and Huberman (1993: 15), "penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif". Sedangkan menurut Bogdan and Taylor (1975 : 5), bahwa, "penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri".
Adapun hasil-hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pasangan menikah atau suami-isteri melalui tahapan-tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dengan rentang waktu yang bervariatif, meskipun pada pasangan ketiga tidak melalui tahap orientasi. Dalam masing-masing tahapan tersebut, terjadi pengungkapan diri (self disclosure) atau pertukaran informasi/keintiman hubungan maupun yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pertukaran hubungan atau ukuran kedalaman dan keluasan kepribadian, seperti karakteristik personal, hasil pertukaran hubungan dan konteks situasional.
Sebagai kesimpulan dari penelitian pasangan menikah atau suami-isteri yang berbeda budaya ini, ketujuh pasangan sebagai responden atau informan penelitian ini masing-masing mengikuti tahapan dalam teori Penetrasi Sosial dan hasilnya masih relevan jika dibandingkan asal dari teori ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Yuanita
"Ekspatriat yang bekerja di Jakarta dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi dan mengatasi hambatan antarbudaya agar dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik. Keberhasilan adaptasi ini adakalanya membuat ekspatriat menjadikan dirinya culture broker yang menjembatani interaksi antarbudaya dari dua budaya yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan proses adaptasi dan mengidentifikasi kompetensi antarbudaya para ekspatriat industri hulu migas di Jakarta. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif eksploratif penelitian ini melakukan wawancara terhadap lima subjek penelitian. Kelima subjek dipilih menggunakan metode purposive recruitment dengan pertimbangan tertentu (deliberate) dan juga bersifat luwes (flexible). Hasil penelitian menemukan bahwa tidak semua ekspatriat di Jakarta mengalami culture shock, namun pada akhirnya semua ekspatriat mencapai akulturasi yang ditandai dengan merasa betah bekerja di Jakarta. Keberhasilan adaptasi antarbudaya ini menghasilkan kompetensi antarbudaya yang membuat ekspatriat ada yang mengambil peran sebagai culture broker. Culture broker di Jakarta secara spesifik memiliki ciri-ciri yaitu bilingual, bikultural, multikultural, tertarik pada budaya tuan rumah, yakin bahwa budaya tuan rumah memiliki nilai-nilai khusus, mau mendengarkan pekerja tuan rumah dan mencintai negara tuan rumah. Sebagai catatan tambahan, mereka harus juga memiliki posisi dengan wewenang tertentu secara hierarki dalam organisasi perusahaan (misalnya merupakan pimpinan selevel manajer) untuk dapat menegaskan pengaruh dalam komunikasi walaupun perannya sebagai culture broker dijalani secara kasual dan informal.

Expatriates who work in Jakarta are required to have the abilities to adapt and to overcome intercultural barriers in order to carry out their duties properly. The successful adaptation most likely nurtures expatriates into culture brokers that bridges intercultural interaction of two different cultures. This study aims to describe the process of intercultural adaptation and identify the intercultural competence of expatriates in the upstream oil and gas industry in Jakarta. By using an exploratory qualitative approach, this study convey in-depth interview to five of research subjects It selects five subjects using purposive recruitment with certain considerations (deliberate) and flexibilities. The result of the study states that not all expatriates experienced culture shock, however all expatriates managed to get through culture shock and completed acculturation to the level of enjoying their assignments in Jakarta. This success also allows expatriates to obtain good cultural competencies and take the role as culture brokers. Culture brokers in Jakarta have shown special characteristics, namely being bicultural, bilingual, multicultural, have a high interest to host country’s culture, certain that host country culture has special values, willing to listen the locals employee, and developed a love towards the host country. As an additional note, they must have positions with certain hierarchical authority in the corporate organizations (i.e. leaders at the manager level) to be able to assert impacts in communication even though their role as culture brokers is carried out casually and informally."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta.
Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial
hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap
sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh
Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari
pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri

ABSTRAK
This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several
personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and
important part of the conversion process typically canging self concept and
forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Lutfia
"Arab Saudi merupakan negara yang memiliki permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) non formal dengan jumlah terbesar, sehingga peneliti tertarik dan bertujuan meneliti bagaimana hambatan komunikasi antar budaya yang dialami TKI dengan majikannya di Arab Saudi, dan bagaimana upaya yang dilakukan TKI untuk mengatasi hambatan tersebut berdasarkan pengalaman TKI yang pernah bekerja di Arab Saudi. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Penelitian ini menggunakan model komunikasi antar budaya yang dikemukakan Gudykunst dan Kim dan beberapa masalah potensial yang dapat menghambat komunikasi antar budaya oleh Samovar,dkk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat masalah-masalah (problem potensial) yang muncul dalam interaksi TKI dengan majikan di Arab Saudi yang dapat membawa implikasi adanya hambatan komunikasi dalam interaksi antara TKI dengan majikan. Secara umum terdapat beberapa kesamaan hambatan komunikasi yang dialami oleh TKI dengan majikannya yaitu ketika kali pertama bekerja sebagai TKI di Arab Saudi adalah berupa perbedaan bahasa dan nada suara, perbedaan interpretasi nonverbal, ketidakpastian dan kecemasan yang tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti melihat bagaimana latar belakang pendidikan dan pengalaman lamanya bekerja menyebabkan munculnya beberapa perbedaan pengalaman hambatan komunikasi yang dialami TKI dengan majikannya di Arab Saudi yaitu etnosentrisme dan stereotipe negatif terhadap majikan, jarak kekuasaan yang tinggi, dan perbedaan gaya komunikasi.

Saudi Arabia is a country that having the biggest problem of non formal Indonesian overseas workers. Therefore, researcher is interested and intended to investigate regarding intercultural communication barrier that happens between the worker and employer in Saudi Arabia and how the workers deal with it based on their experiences. This research is using constructivism paradigm with qualitative approach and descriptive research type. Intercultural commuication's model proposed by Gudykunst and Kim, potensial problems that can be detaining intercultural communication by Samovar,et.al are used by researcher in this research. The result of this research shows that there are potential problems that arise in the workers-employers interaction. These problems can bring implication about communication barriers when they interact. Generally, there are similarities regarding communication barriers that happens between workers-employers, especially when the workers work in Saudi for the first time, those are language and voice tone differences, nonverbal interpretation differences, uncertainty and high anxiety. In this research,the researcher saw how education background and work experience make the communication barriers experiences between workers getting different. The differentiations are ethnocentrism and negative stereotype to the employer, high power distance, and communications style difference.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>