Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181771 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zaki Farhan
"Pendahuluan : Sevofluran memiliki waktu pulih sekitar 3 sampai 4 menit lebih cepat dibandingkan dengan isofluran dan 3 menit lebih lama dibandingkan desfluran. Sevofluran berkontribusi menyebabkan emergence agitation. Pemberian propofol 0,5 mg/kg setelah pengakhiran sevofluran diharapkan tidak lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol dan dapat menurunkan kejadian emergence agitation pada pasien pediatrik bedah oftalmologi. Metode : Penelitian ini adalah uji acak tersamar ganda yang melibatkan 74 pasien anak usia 2-6 tahun yang menjalani operasi oftalmologi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diberikan propofol 0.5 mg/kg dan kelompok kontrol yang diberikan NaCl 0,9% setelah pengakhiran sevofluran. Setelah tindakan selesai akan dicatat waktu pulih dan dilakukan observasi kejadian emergence agitation dengan menggunakan skala PAED. Hasil : Median waktu pulih pasien yang diberikan propofol 19 (10-29) menit dibandingkan kelompok kontrol 15 (9-20) menit dengan P <0,05. Kejadian emergence agitation pada kelompok propofol 10,8% dibanding kelompok kontrol 51,4% dengan P< 0,001. Kejadian efek samping hipotensi dan desaturasi 0%. Simpulan : Pemberian propofol 0,5 mg/kg setelah pengakhiran sevofluran memiliki waktu pulih yang lebih buruk dibandingkan kelompok kontrol, namun secara klinis tidak berdampak signifikan dan dapat menurunkan insiden emergence agitation.

Background: Sevoflurane has a recovery time that is approximately 3 to 4 minutes faster than isoflurane and 3 minutes longer than desflurane. Sevoflurane contributes to emergence agitation. Administration of propofol 0.5 mg/kg after discontinuation of sevoflurane is expected to be no worse than the control group and can reduce the incidence of emergence agitation in pediatric ophthalmology surgical patients. Methods: This study is a double-blind randomized trial involving 74 pediatric patients aged 2-6 years undergoing ophthalmic surgery at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. Patients were divided into two groups: one group received 0.5 mg/kg propofol and the control group received 0.9% NaCl after the termination of sevoflurane. After the procedure, recovery time was recorded and the incidence of emergence agitation was observed using the PAED scale. Results: The median recovery time for patients who received propofol was 19 (10- 29) minutes compared to the control group at 15 (9-20) minutes with P < 0.05. The incidence of emergence agitation in the propofol group was 10.8% compared to 51.4% in the control group with P < 0.001. The incidence of side effects such as hypotension and desaturation was 0%. Conclusion: Administration of 0.5 mg/kg propofol after the termination of sevoflurane results in a longer recovery time compared to the control group, but this is not clinically significant and can reduce the incidence of emergence agitation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Sinardja
"BAB I PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang anestesiologi antara lain berupa penemuan obat anestetika baru. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan anestesia pada bedah mata menjadi lebih baik. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) yang hebat dan berbahaya selama pemberian anestesia dapat dicegah. Peningkatan TIO merupakan masalah penting yang hendaknya diperhatikan pada bedah mata intraokular.
Sebelum abad ke XX bedah mata intraokular Umumnya dilakukan dengan analgesia lokal, karena pada waktu itu pemberian anestesia sering menimbulkan penyulit seperti batuk, tahan nafas dan muntah yang menyebabkan kenaikan TIO. Namun menurut penelitian yang dilakukan kemudian telah terbukti, bahwa penyulit yang terjadi lebih banyak dijumpai pada pemberian analgesia lokal daripada pemberian anestesia umum. 1,2,3,4,5,c5
Pada bedah mata intraokular insisi dilakukan melalui kamar depan, yaitu ditempat cairan bola mata mengalir keluar. Bila pada saat itu terjadi peninggian TIO, maka isi bola mata seperti iris, lensa mata dan korpus vitreum akan mengalir keluar, hal ini dapat menyebabkan kebutaan. Sebaliknya bila penurunan TIO terlalu rendah, maka pembedahan akan terganggu. Penurunan TIO yang mendadak dapat menyebabkan dinding bola mata menciut, sehinggga pembuluh darah tertarik dan menyebabkan perdarahan intraokular. 1,2,3,4,5,6
Thaib dan kawan-kawan ( 1978 ) dalam penelitiannya terhadap 412 kasus bedah mata telah membuktikan, bahwa penyulit prolaps iris akibat kenaikan TIO lebih banyak dijumpai pada analgesia lokal dibandingakan dengan anestesia N20 - halotan dengan ventilasi spontan . 3.A,7,8,2
Peninggian TIO pada pemberian anestesia umum dapat terjadi pada saat induksi, intubasi dan pemulihan anestesia.
Pengaruh induksi dan intubasi terhadap TIO merupakan kesatuan pengaruh premedikasi, obat induksi dan pelumpuh otot serta jenis 7,2,10 ventilasi yang digunakan.
Thaib dan kawan-kawan ( 1987 ) telah membuktikan teknik anestesia N20 - halotan dengan menggunakan obat pelumpuh otot vekuronium ternyata dapat menurunkan TIO lebih besar dibandingkan dengan menggunakan anestesia N20 - halotan - pankuronium.9
Mirakhur dan kawan-kawan (1988) telah membandingkan perubahan T1O pada waktu induksi dengan propofol dan tiopental pada 40 kasus bedah mata berencana. Ternyata didapatkan penurunan TIO sebesar 53 % pada induksi propofol dan 40 % pada induksi tiopental, penurunan ini cukup bermakna baik pada induksi tiopental maupun propofol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan perubahan TIO pada induksi dan intubasi dengan tiopental dan propofol yang dikombinasikan dengan vekuronium.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 6728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miratasya
"Latar belakang. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran data dasar nilai normal pERG, ketebalan RNFL dan GCIPL pada subjek normal dan subjek dengan POAG derajat early, moderate dan severe serta menilai korelasi antara masing-masing modalitas pemeriksaan.
Metode. Penelitian potong lintang yang dilakukan pada 36 mata normal dan 42 mata dengan POAG (derajat early, moderate dan severe) usia 18-60 tahun di RSCM. Semua subjek menjalani pemeriksaan oftalmologi dasar dan pemeriksaan penunjang yaitu Humphrey standard automated perimetry, OCT peripapil dan makula menggunakan CirrusTM dan pERG menggunakan MonPack One dari Metrovision.
Hasil. Berdasarkan data normal didapatkan ketebalan rerata RNFL 106,3 ± 11,0 μm, ketebalan rerata GCIPL 83,3 ± 3,5 μm, waktu implisit P50 52,7ms , amplitudo P50 7,9 (3,4 – 15,6) μV, waktu implisit N95 101,3 ± 5,2 ms, amplitudo N95 10,6 (6,0 – 18,7) μV. Dibandingkan dengan kelompok POAG early didapatkan perbedaan bermakna pada ketebalan RNFL (p = 0,007), amplitudo P50 (p = 0,005) dan amplitudo N95 (p = 0,004), tanpa perbedaan bermakna pada ketebalan GCIPL, sedangkan pada kelompok moderate dan severe didapatkan perbedaan pada semua variabel (p<0,05). Korelasi positif sedang dan lemah ditemukan pada kelompok normal antara ketebalan RNFL dengan amplitudo P50 dan N95, tidak ada korelasi hasil pemeriksaan pERG dengan ketebalan GCIPL.
Kesimpulan. Pattern ERG adalah pemeriksaan objektif yang dapat membedakan antara kelompok normal dengan POAG, pemeriksaan pERG pada POAG harus memperhatikan floor effect.

Introduction. The study aims to evaluate and compare the pERG result, RNFL and GCIPL thickness in normal group to the groups with early, moderate and severe POAG and evaluate its correlation.
Methods. Cross-sectional study was done on 36 normal eyes and 42 eyes with POAG (mild, moderate and severe),subjects with age range of 18-60 years old in RSCM Kirana. Each group underwent complete basic ophthalmology examinations, Humphrey standard automated perimetry, peripapillary and macular OCT CirrusTM and MonPack One pERG from Metrovision.
Results. The data on normal group were as follow: RNFL thickness 106,3 ± 11,0 μm, GCIPL thickness 83,3 ± 3,5 μm, P50 implicit time 52,7 ms , P50 amplitude 7,9 (3,4 – 15,6) μV, N95 implicit time 101,3 ± 5,2 ms, N95 amplitude 10,6 (6,0 – 18,7) μV. Significant differences were found in RNFL thickness (p = 0,007), P50 amplitude (p = 0,005) and N95 amplitude (p = 0,004) in the early POAG group compared to the normal group, meanwhile on moderate and severe group all of the variable examination result including the GCIPL thickness were significantly different (P<0,05). Positive moderate and weak correlations were found between RNFL thickness in normal group with P50 and N95 amplitude, no correlation between pERG result with GCIPL thickness.
Conclusion. Pattern ERG is an objective tools to differentiate between normal and POAG subjects, pERG examination in POAG group especially the severe group needs to evaluate the floor effect by doing the prior OCT examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Firman
"Pendahuluan: Pasien anak merupakan populasi yang sering dilaporkan mengalami komplikasi pascabedah, diantaranya mual muntah pasca bedah (33-82%) danemergence delirium (ED ; 2-80%). Kedua komplikasi tersebut sangat menurunkan kualitas kesejahteraan pascabedah, menurunkan tingkat kenyamanan serta kepuasan orang tua, serta mengganggu jahitan dan meningkatkan persepsi terhadap nyeri. Mual muntah pascabedah dan ED merupakan kondisi multifaktorial, salah satunya diperkirakan akibat pengaruh puasa prabedah. Cairan karbohidrat elektrolit telah dilaporkan berpengaruh positif terhadap luaran pascabedah, diantaranya menurun nya angka mual muntah pasca bedah, menurun nya angka nyeri, serta meningkatkan kenyamanan pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah dibandingkan dengan air putih, terhadap angka kejadian mual muntah pascabedah dan ED pada pasien anak yang menjalani operasi elektif.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang melibatkan 90 pasien anak usia 1-12 tahun yang menjalani pembedahan elektif. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok: kelompok cairan karbohidrat elektrolit (n=45) dan kelompok kontrol yang mendapat air putih (n=45), masing-masing diberikan 50 ml/kgBB pada 12 jam sebelum pembedahan dan diminum bertahap hingga 1 jam sebelum induksi. Setelah pembedahan pada saat pasien berada di ruang pulih, dilakukan pemantauan untuk menilai kejadian mual muntah pascabedah. Kejadian ED dinilai menggunakan PAED skor dengan diangggap positif bila skor 10.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna terhadap kejadian mual pascabedah (3,3% pada cairan karbohidrat elektrolit vs 12,2% pada air putih; p 0,039), namun tidak pada muntah pascabedah (4,4% vs 8,8% ; p 0,677). Angka kejadian ED ditemukan 6,6% (4,4% pada karbohidrat elektrolit ; 8,8% pada air putih) dan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Meski demikian kelompok cairan karbohidrat elektrolit cenderung menunjukkan angka skor PAED yang lebih rendah (p 0.06).
Kesimpulan: Pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah berhubungan dengan angka kejadian mual pascabedah yang lebih rendah, namun tidak dengan muntah pasca bedah. Pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah tidak berhubungan dengan angka kejadian ED, namun berhubungan dengan skor PAED yang lebih rendah.

Introduction: Pediatric patients often develop post-operative complications, that includes post operative nausea vomiting (PONV ; 33-82%) and emergence delirium (ED ; 2-80%). Both complications greatly affect the quality of post-op conditions, decrease in comfort and parents’ satisfaction, as well as disruption of surgical wound and heighten perception of pain. PONV and ED are of multifactorial causes, one of which is preoperative fasting. Oral carbohydrate electrolyte-containing fluid has been reported to improve post-operative outcomes, such as lower incidence of PONV, lower pain scores and improves level of comfort. The current study aimed to evaluate the effect of preoperative oral carbohydrate electrolite-containing solution compared to standard mineral water to the incidence of PONV and ED in children undergoing elective surgery.
Methods: This single-blind randomized controlled study included 90 patients aged 1 – 12 years old undergoing elective surgery. Patients were divided into 2 groups: the carbohydrate electrolyte group (n=45) and the control mineral water group (n=45). Both groups were given 50 ml/kgBW of designated fluid 12 hours prior to surgery and can be consumed until 1 hour before induction. Following the surgery, while the patient was in the recovery room, the incidence of PONV was evaluated. The incidence of ED was evaluated using PAED score; positive in PAED score 310.
Results: There is a significant difference in the incidence of post-operative nausea (3.3% in the carbohydrate electrolyte group vs 12.2% in the control group; p 0.039), but not in postoperative vomiting (4.4% vs 8.8% ; p 0.677). The incidence of ED was 6,6% (4,4% in the treatment group vs 8,8% in the control group) and did not differ significantly between two groups. However the actual PAED score in the carbohydrate electrolyte group was found significantly lower (p 0.06).
Conclusion: The incidence of post-operative nausea is significantly lower in the carbohydrate electrolyte group compared to the mineral water group, but not for the post operative-vomiting. The incidence of ED did not differ significantly, however carbohydrate electrolyte group tends to have lower PAED score.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baltimore: Williams & Wilkins , 1996
618.92 TEX
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wolffson, James
Edinburgh: Butterworth-Heinemann, 2009
617.715 WOL o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi: Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins, 2007
617.7 CLI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2008
617.7 VAU
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Elsevier, 2016
617.7 OPH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>