Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183455 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kiki Tanlim
"Perkembangan ekonomi global sejak awal tidak terlepas dari kemajuan negara, yang ditandai dengan hubungan erat antara pemerintah dan negara lain. Kejahatan ekonomi, yang diakui di Indonesia sejak Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955, masuk dalam ranah hukum pidana ekonomi. Kejahatan ini meliputi berbagai jenis seperti penipuan, korupsi, pencucian uang, yang sering dikenal sebagai kejahatan kerah putih. Pada umumnya, kejahatan ini melibatkan sebuah korporasi atau perusahaan, dimana upaya penegakan hukum yang dilakukan menjadi lebih kompleks dibandingkan dengan kejahatan individual. Oleh sebab itu, perlu suatu penanganan yang efektif oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, yang terdiri dari beberapa subdirektorat yang menangani berbagai aspek ekonomi. Salah satu intervensi yang dapat dilakukan adalah penerapan konsep Vicarious Liability dalam rangka menentukan tanggung jawab perusahaan atas tindakan pidana yang dilakukan oleh karyawannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode hukum empiris-normatif untuk memahami dan menganalisis fenomena hukum secara holistik. Wawancara difokuskan pada pandangan dan kompetensi penyidik dalam menerapkan Tanggung Jawab Pihak Ketiga sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Sumber data meliputi data primer dari wawancara lapangan dan data sekunder dari penelitian kepustakaan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tantangan utama bagi kompetensi penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri dalam menerapkan Konsep Vicarious Liability dalam penyidikan tindak pidana ekonomi terletak pada kurangnya pelatihan khusus bagi penyidik. Meskipun beberapa penyidik Dittipideksus telah mengikuti pelatihan lanjutan, hanya sedikit yang mendapat fokus pelatihan khusus pada penyidikan terhadap tindak pidana ekonomi. Melalui langkah-langkah konkret seperti program pelatihan khusus, refreshment rutin, forum diskusi, evaluasi mingguan, dan sertifikasi, kompetensi penyidik Dittipideksus dapat ditingkatkan sehingga dapat menerapkan konsep Vicarious Liability dengan lebih efektif. Selanjutnya, penelitian ini menemukan bahwa dibutuhkan pengimplementasian SOP Penyidikan Tindak Ekonomi yang jelas, sistematis, dan memenuhi kriteria seperti identifikasi yang akurat, informasi spesifik, pelatihan efektif, pemahaman risiko, serta kerangka kerja dokumentasi menjadi krusial bagi Penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan efektif terhadap tindak pidana ekonomi.

Since its inception, global economic development has been inseparable from the progress of the country, which is characterized by close relations between the government and other countries. Economic crimes, which have been recognized in Indonesia since Emergency Law Number 7 of 1955, fall within the realm of economic criminal law. These crimes include various types such as fraud, corruption, money laundering, which are often known as white collar crimes. In general, this crime involves a corporation or company, where law enforcement efforts are more complex than individual crimes. Therefore, effective handling is needed by the Directorate of Special Economic Crimes (Dittipideksus) Bareskrim Polri, which consists of several sub-directorates that handle various economic aspects. One intervention that can be carried out is the application of the Vicarious Liability concept in order to determine the company's responsibility for criminal acts committed by its employees. This research uses a qualitative approach and empirical-normative legal methods to understand and analyze legal phenomena holistically. The interviews focused on the views and competencies of investigators in implementing Third Party Responsibilities in accordance with Law Number 1 of 2023. Data sources include primary data from field interviews and secondary data from legal literature research. The research results show that the main challenge for the competence of Dittipideksus Bareskrim Polri investigators in applying the Vicarious Liability Concept in investigating economic crimes lies in the lack of special training for investigators. Although several Dittipideksus investigators have received advanced training, only a few have received special training focused on investigating economic crimes. Through concrete steps such as special training programs, regular refreshments, discussion forums, weekly evaluations, and certification, the competence of Dittipideksus investigators can be improved so that they can apply the concept of Vicarious Liability more effectively. Furthermore, this research found that it is necessary to implement SOPs for Economic Crime Investigations that are clear, systematic, and meet criteria such as accurate identification, specific information, effective training, understanding risks, and documentation frameworks which are crucial for Dittipideksus Bareskrim Polri investigators to ensure proper law enforcement. fair and effective against economic crimes."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Dessy Puspitasari
"

Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban subyek hukum atas perbuatan melawan hukum di bidang lingkungan hidup yang dilakukan subyek hukum yang berada dalam pengawasannya. Perbuatan melawan hukum dalam hukum lingkungan di Indonesia dapat dikenakan pertanggungjawaban ketat (strict liability) dalam kondisi tertentu. Selain itu, pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum juga dapat dibebankan kepada subyek hukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan subyek hukum yang berada dalam pengawasannya berdasarkan konsep tanggung gugat (vicarious liability). Fokus permasalahan dalam skripsi ini adalah kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan subyek hukum bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan subyek hukum yang berada dalam pengawasannya dan penerapan strict liability dalam hukum lingkungan di Indonesia. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, menggunakan alat pengumpulan data studi dokumen. Dalam pengolahan data digunakan metode kualitatif yang menghasilkan peknelitian yang bersifat deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kondisi-ondisi dimana tanggung gugat dapat dibebankan kepada subyek hukum yang melakukan pengawasan dan terdapat kondisi-kondisi dimana tanggung gugat tidak dapat dibebankan kepada subyek hukum yang melakukan pengawasan.


This thesis discusses the liability for unlawful act of legal subject under supervision in enviromental law. According to enviromental law in Indonesia, unlawful act may be subject to strict liability concept under certain conditions. Moreover, the liability for unlawful act may be charged to legal subject for unlawful act of legal subject under their supervision based on vicarious liability concept. The problem focus of this thesis is the certain conditions that can cause legal subject being responsible for unlawful act of legal subject under supervision and the application of strict liability concept in enviromental law in Indonesia.

This research is normative, use the data collection tool document study. In the data processing used qualitative methods which produce descriptive analytical study. The research results indicate that vicarious liability concept may be subject to legal subject for unlawful act of legal subject under their supervision in a certain conditions.

"
Universitas Indonesia, 2014
S56829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayangsari Kesuma
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penerapan tanggung gugat rumah sakit terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh dokter yang melakukan tindakan malpraktik. Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi bagaimana ketentuan hukum perdata menilai malpraktik kedokteran sebagai Perbuatan Melawan Hukum, bagaimana penerapan tanggung gugat rumah sakit atas malpraktik kedokteran, dan bagaimana hukum memberikan perlindungan terhadap pasien atas terjadinya sengketa medis pada putusan Nomor 484/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel, 66/PDT/2016/PT.DKI, 1001 K/Pdt/2017 dan putusan Nomor 11/Pdt.G/2019/PN.SGT?. Penulisan ini akan menggunakan metode yuridis-normatif atau penelitian doktrinal, sehingga penulis akan melaksanakan penelusuran literatur serta studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa teori yang menilai bagaimana rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian medis dokter seperti doktrin vicarious liability, teori central responsibility, teori ostensible agency, dan teori corporate liability.

This paper analyzes how the hospital is liable for losses incurred by doctors who commit malpractice. The formulation of the problems that will be discussed in this study include how the provisions of civil law assess medical malpractice as a tort, how the implementation of hospital liability for medical malpractice, and how the law provides protection to patients for medical malpractice in Decision Number 484/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel, 66/PDT/2016/PT.DKI, 1001 K/Pdt/2017 and Decision Number 11/Pdt.G/2019/PN.SGT. This paper will use the juridical-normative method or doctrinal research. This writing will use the juridical-normative method or doctrinal research, so that the author will carry out literature searches and literature studies. The results show that there are several theories that assess how hospitals are responsible for doctors' medical negligence such as the doctrine of vicarious liability, central responsibility theory, ostensible agency theory, and corporate liability theory.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juanita Tiffany Putri
"Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh adanya pertanggungjawaban pengganti atau dikenal dengan vicarious liability, yang diangkat dari kasus PT. Antam melawan Budi Said. Dalam kasus tersebut, meskipun perbuatan melawan hukum dilakukan oleh karyawan dari PT. Antam, namun PT. Antam tetap diharuskan untuk mengganti kerugian yang telah diderita oleh Budi Said. Bentuk penggantian tanggung jawab ini diterapkan kepada PT. Antam sebagai penjelmaan dari pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penulisan ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus dari Putusan tingkat pertama, banding, kasasi, dan PK dari PT. Antam melawan Budi Said yang dianalisis dengan menggunakan teori kepastian hukum dan konsep vicarious liability. Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa adanya disparitas antar putusan hakim dikarenakan belum diaturnya terkait dengan bentuk pembatasan dari vicarious liability. Bahwa penerapan doktrin vicarious liability dalam pasal 1367 ayat (3) agar dapat mewujudkan kepastian hukum, seharusnya perlu dibatasi dengan pula memberikan bentuk - bentuk spesifik sebagai syarat dari pemenuhan pembatasan atas pertanggungjawaban pengganti sebagaimana tertuang dalam pasal 1367 ayat (5). Kekalahan PT.Antam dalam putusan MA No 554 PK/Pdt/2023 tidak menutup kemungkinan dilakukan upaya hukum kembali. Dimana sesuai dengan SEMA No 4 Tahun 2016, maka PT. Antam dapat melakukan upaya hukum kembali berupa peninjauan kembali kedua dengan syarat melampirkan putusan yang saling bertentangan.

The background to writing this thesis is the existence of vicarious liability, which is based on the case of PT. Antam against Budi Said. In this case, even though the unlawful act was committed by an employee of PT. Antam, but PT. Antam is still required to compensate for the losses suffered by Budi Said. This form of replacement of responsibility is applied to PT. Antam is an incarnation of article 1367 of the Civil Code. This writing uses a type of normative juridical research with a case approach from first level decisions, appeals, cassation, and PK from PT. Antam against Budi Said which was analyzed using the theory of legal certainty and the concept of vicarious liability. From the results of this research, it can be seen that there is disparity between judges' decisions because there is no regulation regarding the form of limitation of vicarious liability. That the application of the vicarious liability doctrine in article 1367 paragraph (3) in order to realize legal certainty, should need to be limited by also providing specific forms as a condition for fulfilling the limitations on vicarious liability as stated in article 1367 paragraph (5). PT Antam's defeat in Supreme Court decision No. 554 PK/Pdt/2023 does not rule out the possibility of taking legal action again. Where in accordance with SEMA No. 4 of 2016, PT. Antam can take legal action again in the form of judicial review II with the condition of attaching a conflicting decision."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Putri Safira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana prinsip Vicarious Liability majikan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawan franchise perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia demi menjamin kepastian hukum dan keadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktriner dengan pendekatan terhadap putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat. Vicarious liability merupakan asas yang memungkinkan seseorang bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain atau benda di bawah pengawasannya. Meskipun vicarious liability telah diakui dalam Pasal 1367 KUHPerdata, hingga saat ini belum ada pengaturan atau putusan hukum yang secara eksplisit mengatur tanggung jawab franchisor dalam perjanjian franchise di Indonesia. Fokus pengaturan di Indonesia saat ini hanyalah berdasar pada perjanjian kerja saja. Sebaliknya, di Amerika Serikat, vicarious liability majikan pada bisnis franchise telah dikenal luas, dengan banyak putusan pengadilan yang menetapkan bahwa franchisor maupun franchisee dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan karyawan franchisee apabila terbukti memiliki kontrol signifikan terhadap operasi franchisee. Pendekatan ini memberikan perlindungan hukum yang lebih luas dengan mempertimbangkan hubungan antara franchisor dan franchisee, terutama jika franchisor memiliki pengaruh besar terhadap manajemen operasional franchisee. Untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan di Indonesia, perlu adanya pengaturan mengenai tanggung jawab franchisor atas tindakan karyawan franchisee, khususnya dalam situasi di mana franchisor memiliki kontrol signifikan terhadap aspek operasional franchisee. Pengaturan ini dapat mencakup batasan dan kriteria yang jelas terkait pengaruh franchisor, sehingga tanggung jawab hukum tidak hanya bergantung pada perjanjian kerja antara franchisee dan karyawan, tetapi juga mencakup hubungan hukum antara franchisor dan franchisee.

This paper analyzes how the principle of Vicarious Liability of employers for unlawful acts committed by franchise employees needs to be regulated in Indonesian laws and regulations in order to ensure legal certainty and justice. This study uses a doctrinal research method with an approach to court decisions in the United States. The concept of vicarious liability is a principle that allows someone to be responsible for unlawful acts committed by another person or object under his/her supervision. Although vicarious liability has been recognized in Article 1367 of the Civil Code, to date there has been no regulation or legal decision that explicitly regulates the responsibility of franchisors in franchise agreements in Indonesia. The focus of regulation in Indonesia is currently only based on employment agreements. In contrast, in the United States, the concept of vicarious liability in the franchise business is widely known, with many court decisions establishing that both franchisors and franchisees can be held liable for the actions of franchisee employees if they are proven to have significant control over the franchisee's operations. This approach provides broader legal protection by considering the relationship between the franchisor and franchisee, especially if the franchisor has a significant influence on the franchisee's operational management. To ensure legal certainty and justice in Indonesia, there needs to be a regulation regarding the franchisor's liability for the actions of franchisee employees, especially in situations where the franchisor has significant control over the operational aspects of the franchisee. This regulation can include clear limitations and criteria regarding the franchisor's influence, so that legal liability does not only depend on the employment agreement between the franchisee and the employee, but also includes the legal relationship between the franchisor and the franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilson Matthew Jogi Lincoln
"Pelayanan kesehatan secara hukum memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kehidupan yang sehat. Idealnya, hal ini dilakukan oleh dokter dengan memberikan tindakan yang didasarkan sesuai diagnosa yang dilakukan. Ada kalanya dokter melakukan tindakan medis dengan kelalaian ataupun kesalahan sehingga menyebabkan kerugian bagi pasien yang ditanganinya, baik berupa materiil maupun immateriil. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis doktriner dengan membandingkan ketentuan ganti rugi keperdataan dalam hal malapraktik kedokteran di Indonesia dan di Spanyol dengan membandingkan berbagai ketentuan seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Kesehatan, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Kode Perdata Spanyol, Undang-undang Sektor Publik Spanyol, Undang-undang Kedokteran Spanyol, Kode Deontologis Medis Spanyol, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Melalui penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan hukum Indonesia mengenai ganti rugi perdata dalam hal malapraktek kedokteran perlu untuk dispesifikasi lagi, yaitu dalam hal perluasan ruang lingkup ganti rugi yang tidak hanya terbatas pada kerugian langsung, serta dalam hal kewajiban dokter untuk memiliki jaminan keuangan untuk menjamin dikompensasikannya kerugian yang dialami pasien sebagai akibat dari tindakan dokter yang lalai maupun tidak sesuai kode etik.

Health care legally aims to fulfil people's need for a healthy life. Ideally, this is done by doctors by providing actions that are based on the diagnosis made. There are times when doctors perform medical actions with negligence or errors that cause harm to the patients they handle, both in the form of material and immaterial. This research is written using the doctrinaire juridical method by comparing the provisions of civil compensation in the event of medical malpractice in Indonesia and Spain by comparing various provisions such as the Civil Code, Health Law, Indonesian Medical Code of Ethics, Spanish Civil Code, Spanish Public Sector Law, Spanish Medical Law, Spanish Medical Deontological Code, as well as other laws and regulations. Through this research, it can be concluded that the Indonesian legal provisions regarding civil compensation in the event of medical malpractice need to be further specified, namely in terms of expanding the scope of compensation that is not only limited to direct losses, as well as in terms of the doctor's obligation to have financial guarantees to ensure compensation for losses suffered by patients as a result of the doctor's negligent actions or not in accordance with the code of ethics."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaira Machmudya Salsabila
"Dengan hadirnya era digitalisasi, hadir pula cara-cara baru untuk mengakses dan memanfaatkan karya musik melalui sarana digital. Isu-isu mengenai hak cipta musik pun menjadi semakin beragam. Kemunculan hadirnya pemanfaatan karya musik dalam platform User-Generated Content memunculkan isu pertanggungjawaban platform yang bersangkutan apabila terjadi pelanggaran hak cipta yang dilakukan secara langsung oleh pengguna. Di Indonesia, ketentuan mengenai pertanggungjawaban dalam pelanggaran hak cipta secara tidak langsung terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan mengenai pertanggungjawaban tidak langsung dalam pelanggaran hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia dan bagaimana pelanggaran hak cipta dalam TikTok, sebuah aplikasi User-Generated Content, harus dipandang menurut hukum hak cipta yang berlaku di Indonesia dan menurut prinsip-prinsip yang sudah berkembang sebelumnya di negara-negara lain, yakni vicarious and contributory copyright infringement. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TikTok tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak terpenuhinya beberapa elemen dari vicarious dan contributory copyright infringement. Kesimpulan lebih lanjut menyatakan bahwa perlu adanya pengaturan lebih spesifik mengenai pertanggungjawaban platform digital dalam hal adanya pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh pengguna.

With the emergence of the digitalization era, there are also new ways to access and utilize musical works through digital means. Issues regarding music copyright are becoming increasingly diverse. The emergence of the presence of the use of musical works on the User-Generated Content platform raises the issue of the responsibility of the platform concerned if there is a copyright infringement that is carried out directly by the user. In Indonesia, provisions regarding liability for indirect copyright infringement are contained in Article 10 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. This thesis aims to analyze the provisions regarding indirect liability for copyright infringement in the Copyright Law in Indonesia and how copyright infringement in TikTok, a User-Generated Content application, must be viewed according to the applicable copyright law in Indonesia and according to the principles that have been developed previously in other countries, namely vicarious and contributory copyright infringement. The results of this study indicate that TikTok cannot be held accountable for not fulfilling several elements of vicarious and contributory copyright infringement. The conclusion further states that there is a need for more specific arrangements regarding the liability of digital platforms in the event of copyright infringement committed by users within the Indonesian Copyright Law."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revisa Ayunda Putri Pratama
"Tulisan ini menganalisis problematika pertanggungjawaban korporasi yang dilatarbelakangi pada diaturnya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam KUHP 2023. Dalam melihat korporasi sebagai subjek hukum pidana tentunya diperlukan teori-teori tersendiri sebab korporasi bukan entitas manusia sehingga untuk mencari kesalahan korporasi diperlukan pendekatan yang berbeda dengan kesalahan manusia. Tulisan ini juga akan menganalisis evolusi pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang sektoral yang disertai dengan analisis putusannya. Kemudian akan terdapat refleksi apakah KUHP 2023 sudah cukup menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam undang-undang sektoral tersebut. Akan tetapi ternyata KUHP 2023 masih mengalami stagnasi dalam mengatur pertanggungjawaban korporasi. Hal tersebut tecermin pada pandangan bahwa tindak pidana korporasi yang dianggap hanya bisa dilakukan oleh pengurus korporasi dalam Pasal 46 KUHP 2023. Maknanya KUHP 2023 hanya menggunakan pendekatan derivatif dalam mencari kesalahan korporasi, padahal perkembangan teori sudah melahirkan pemikiran bahwa korporasi dapat dipersalahkan atas tindakannya sendiri. Selain itu, ternyata KUHP 2023 juga belum memperinci mengenai apa yang dimaksut sebagai pengurus yang bertanggung jawab sehingga masih besar kemungkinan adanya penafsiran yang salah dalam menjadikan pengurus sebagai subjek yang bertanggung jawab. Tulisan ini juga akan mengomaparasikan pengaturan pertanggungjawaban korporasi dan pengurus korporasi yang diatur di Australia dan Belanda yang kini telah mengatur mengenai corporate fault model dan pertanggungjawaban pengurus korporasi secara terpisah.

This thesis analyzes the problems of corporate liability. Background of this thesis is  regulation of corporations as subjects of criminal law in the 2023 Indonesia Criminal Code. In viewing corporations as subjects of criminal law, specific theories are necessary because corporations are not human entities, so different approaches are needed to identify corporate fault compared to human fault. This thesis will also analyze the evolution of corporate liability regulations in sectoral laws accompanied by analysis of their rulings. Then there will be reflections on whether the 2023 Indonesia Criminal Code is sufficient as a solution to the problems that arise in those sectoral laws. However, it turns out that the 2023 Indonesia Criminal Code still experiences stagnation in regulating corporate accountability. This is reflected in the view that corporate crimes are considered to be only committed by corporate officers under Article 46 of the 2023 Indonesia Criminal Code. This means that the 2023 Indonesia Criminal Code only uses a derivative approach in seeking corporate fault, whereas the development of theories has already led to the thought that corporations can be blamed for their own actions. Furthermore, the 2023 Indonesia Criminal Code also does not yet specify what is meant by responsible officer, so there is still a high possibility of misinterpretation in making officers the responsible subjects. This thesis will also compare the regulation of corporate liability and corporate officers as regulated in Australia and the Netherlands, which now regulate the corporate fault model and corporate officers liability separately."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamzah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiawan Dwi Atmojo
"Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menetapkan 3 (tiga) organ perseroan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. Direksi berfungsi pada pokoknya untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sedangkan Dewan Komisaris berfungsi melakukan pengawasan umum dan/atau khusus sesuai dengan Anggaran Dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Pada setiap masa akhir jabatannya, Direksi mempertanggung jawabkan pengurusan perseroan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, yang memiliki kewenangan yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan Undang-Undang dan/atau Anggaran Dasar perseroan. Rapat Umum Pemegang Saham kemudian memberikan pelunasan dan pembebasan tanggung jawab (acquit et de charge) kepada Direksi jika tindakan kepengurusan perseroan telah tercermin dalam laporan keuangan.
Pada tahun 2006, PT Indosat Mega Media sebagai perseroan yang menyediakan jasa internet (Internet Service Provider) menyelenggarakan jasanya melalui jaringan bergerak seluler milik PT Indosat Tbk melalui perjanjian kerjasama broadband. Kerjasama ini telah dipertanggung jawabkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham pada tahun 2011 dan telah mendapatkan acquit et de charge kepada Direksi yang diwakili oleh Indar Atmanto selaku Direktur Utama. Kejaksaan Agung sebagai aparat penegak hukum mendakwa Indar Atmanto telah menggunakan frekuensi 2.1 GHz (3G) untuk menyelenggarakan jasa internetnya sehingga mengakibatkan kerugian negara sedangkan telah diketahui Direksi telah mendapatkan acquit et de charge dari Rapat Umum Pemegang Saham. Permasalahan hukum timbul atas pertanyaan sejauh mana acquit et de charge melindungi Direksi secara perdata dan pidana.

Act No. 40 of 2007 concerning Limited Liability Company establishes three (3) organs of the company i.e. General Meeting of Shareholders, the Board of Directors, and the Board of Commissioners. Board of Directors take full responsibility for the management of the company for the benefit of the company, while the Board of Commissioners for performing general supervision and/or in accordance with the Articles of Association as well as giving advice to the Board of Directors. At the end of their period, the Board of Directors accountable to the shareholder or management in General Meeting of Shareholders, which has special authority which is not granted to the Board of Directors or Board of Commissioners within construed to the Act and/or the Articles of Association of the company. Afterward, General Meeting of Shareholders grant release and discharge of responsibility (acquit et de charge) to the company's Board of Directors if the duty has been reflected in the financial statements.
In 2006, PT Indosat Mega Media as an Internet Service Provider company, provide services through mobile cellular network owned by PT Indosat Tbk through broadband cooperation agreements. This cooperation has been accountable to the General Meeting of Shareholders in 2011 and the Board of Directors, represented by Indar Atmanto as CEO, has gained acquit et de charge. Attorney General as law enforcement officers indicted Indar Atmanto has been using 2.1 GHz frequency (3G) to provide internet services, therefore, resulting state loss while it is known that the Board of Directors has been obtained acquit et de charge from the General Meeting of Shareholders. Legal problem arisen is how acquit et de charge could protect the Board of Directors from the liability of civil lawsuit and the criminal indicment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42888
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>