Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135234 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susanty Yuriani
"Pasien sakit kritis mengalami peningkatan laju atrofi otot yang memengaruhi keberhasilan ekstubasi. Pemeriksaan massa otot dengan alat tervalidasi terbatas karena instabilitas klinis, kesulitan transfer pasien, dll. Lingkar betis (LB) berkorelasi dengan hasil pemeriksaan massa otot tervalidasi, sederhana, dan efisien. Studi bertujuan mengetahui hubungan LB awal admisi dengan keberhasilan ekstubasi. Studi kohort prospektif melibatkan 65 subjek berusia 18−70 tahun, pengguna ventilasi mekanis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Pemantauan sejak admisi ICU hingga pasien ekstubasi atau maksimal 14 hari pasca intubasi. Subjek didominasi laki-laki (67,7%), rerata usia 48,2 ± 13,8 tahun, dan indeks massa tubuh 23,77 ± 6,30 kg/m2. Sebagian besar pasien bedah (81,5%) dan memiliki komorbiditas (81,5%). Durasi intubasi 43 jam (12-401). Rerata LB awal 32,8 ± 3,4 cm dan LB akhir 32,1 ± 3,6 cm, terdapat beda rerata -0,68 cm (p <0,001). Tidak ditemukan hubungan LB awal dengan keberhasilan ekstubasi (RR 1,23; IK 95%: 0,89−1,69, p = 0,199). Lingkar betis awal sebagai pemeriksaan untuk massa otot bukan prediktor keberhasilan ekstubasi. Analisis tambahan menemukan perbedaan rerata bermakna LB awal dan LB akhir yang diukur. Perubahan LB didapatkan perbedaan nilai bermakna antara kelompok berhasil ekstubasi dibandingkan sulit ekstubasi.

Critically ill patients experience an increased rate of muscle atrophy that affects the success of extubation. Examination of muscle mass with validated tools is limited due to clinical instability, difficulty in patient transfer, etc. Calf circumference (LB) correlates with the results of a validated, simple and efficient muscle mass examination. The study aims to determine the relationship between initial LB admission and successful extubation. A prospective cohort study involving 65 subjects aged 18−70 years, users of mechanical ventilation at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Monitoring from ICU admission until the patient is extubated or a maximum of 14 days after intubation. Subjects were predominantly male (67.7%), mean age 48,2 ± 13,8 years, and body mass index 23,77 ± 6,30 kg/m2. Most of the patients were surgical (81,5%) and had comorbidities (81,5%). Duration of intubation 43 hours (12-401). The mean initial LB was 32,8 ± 3,4 cm and final LB 32,1 ± 3,6 cm, there was a mean difference of -0,68 cm (p <0.001). There was no association between early LB and extubation success (RR 1,23; 95% CI: 0,89−1,69, p = 0,199). Initial calf circumference as a test for muscle mass is not a predictor of successful extubation. Additional analysis found significant mean differences in initial LB and final LB measured. There was a significant difference in LB changes between the successful extubation group compared to the difficult extubation group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Firdausia
"Latar Belakang: Multipel sklerosis (MS) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi dan demielinasi pada sistem saraf pusat. Proses tersebut mengakibatkan penurunan volume, tidak hanya di substansia alba namun juga di substansia grisea. Laju atrofi tersebut berlangsung lebih cepat 0,5-1,3% per tahun dibandingkan orang normal 0,1-0,4% per tahun. Proses inflamasi dan atrofi tersebut menyebabkan semakin beratnya disabilitas pada pasien dan nantinya memengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara atrofi baik di substansia alba dan grisea dengan derajat disabilitasnya serta mencari faktor-faktor yang memengaruhi atrofi.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif potong lintang yang melibatkan 28 pasien MS. Seluruh pasien MS dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan EDSS, pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal, dan MRI kepala kontras. Gambaran MRI potongan 3DT1 diambil dan dilakukan penghitungan volume otak dengan piranti lunak freesurfer 6.0.
Hasil: Volume substansia alba maupun grisea pasien MS lebih rendah signifikan dibandingkan kontrol sehat (p<0,001 dan p=0,001). Untuk proporsi atrofi juga lebih banyak dibandingkan kontrol sehat. EDSS pasien dengan atrofi substansia alba berbeda bermakna dibandingkan dengan yang tidak atrofi (p=0,009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia alba adalah usia, usia onset, jenis kelamin, pendidikan, tipe MS, dan jumlah lokasi lesi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia grisea adalah jumlah lokasi lesi.
Kesimpulan: Volume substansia alba dan grisea pasien MS lebih rendah dibandingkan kontrol sehat. Atrofi substansia alba memengaruhi disabilitas pasien.

Background : Multiple sclerosis (MS) is an autoimmune disease that causes inflammation and demyelination in the central nervous system. The process resulted in a decrease in volume, not only in the white matter but also in the gray matter. The rate of atrophy is 0.5-1.3% per year faster than normal people 0.1-0.4% per year. These inflammatory and atrophic processes cause more severe disability in patients and later affect the quality of life of patients. This study aims to assess the relationship between atrophy both in gray and white matter with the degree of disability and to look for factors that influence atrophy.
Methods : This research was a cross-sectional descriptive study involving 28 MS patients. All patients underwent history taking, physical examination and EDSS examination, laboratory tests of kidney function, and contrast head MRI. MRI images of 3DT1 pieces were taken and the brain volume was calculated using freesurfer 6.0 software.
Results : The volume of white and gray matter of MS patients was significantly lower than healthy controls (p <0.001 and p = 0.001). For the proportion of atrophy also more than healthy controls. EDSS of patients with white matter atrophy was significantly different compared to those without atrophy (p = 0.009). Factors related to white matter atrophy are age, age of onset, sex, education, type of MS, and number of lesion locations. Factors associated with gray matter atrophy are the number of lesion sites.
Conclusions:
The volume of white and gray matter of MS patients is lower than that of healthy controls. Atrophy of the substance of the alba affects the disability of the patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hapsari Mitayani
"Latar Belakang: Sarkopenia merupakan salah satu sindrom geriatri yang dapat menyebabkan luaran yang buruk. Dibutuhkan pemeriksaan yang lebih sederhana dibandingkan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) atau Dual energy X- ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur massa otot sebagai komponen penting sarkopenia. Namun, belum ada studi di Indonesia yang meneliti perannya dalam memprediksi massa otot pada pasien usia 60 tahun atau lebih.
Tujuan: Mengetahui performa diagnostik lingkar betis untuk estimasi massa otot sebagai komponen sarkopenia pada pasien usia 60 tahun atau lebih.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu uji diagnostik menggunakan desain uji potong lintang yang dilakukan di poliklinik geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM selama bulan April-Juni 2018. Pengukuran massa otot menggunakan DXA dan penentuan titik potong berdasarkan Asian Working Group of Sarcopenia (AWGS).
Hasil: Dari 120 subjek didapatkan 46 lelaki (38,3%) dan 74 perempuan (61,7%). Didapatkan titik potong lingkar betis kelompok lelaki dibawah 34 cm (sensitivitas 64.7%, spesifitas 79.3%, NDP 64.7%, NDN 79.3%, AUC 73.1%) dan 29 cm untuk perempuan (sensitivitas 71.4%, spesifitas 95.5%, NDP 62.5%, NDN 97.0%, AUC 96.4%).
Simpulan: Akurasi diagnostik lingkar betis cukup baik sebagai prediktor massa otot pada pasien perempuan usia 60 tahun atau lebih.

Background: Sarcopenia is one of the geriatric syndromes that lead to poor outcomes. A simpler method than Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) or Dual energy X- ray Absorptiometry (DXA) is needed to measure muscle mass as essential component of sarcopenia. Previous studies have shown calf circumference (CC) as surrogate marker of muscle mass. However there has been no study on the role of CC in predicting muscle mass in both gender of elderly outpatient.
Objectives: To investigate the diagnostic performance of CC to estimate muscle mass in elderly outpatient.
Methods: A cross sectional study was conducted at Geriatric Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta during April-June 2018, using DXA as a reference test for measuring muscle mass. Asian Working Group of Sarcopenia (AWGS) criteria was used to classify muscle mass as normal or low.
Results: Of the 120 subjects, 46 subjects were male (38.3%) and 74 were female (61.7%).The optimal Cut-off for CC that indicate low muscle mass was 34 cm for (sensitivity 64.7%, specificity 79.3%, PPV 64.7%, NPV 79.3%, AUC 73.1%) and 29 cm for female (sensitivity 71.4%, specificity 95.5%, PPV 62.5%, NPV 97.0%, AUC 96.4%).
Conclusion: CC can be used to estimate muscle mass in female elderly outpatient, with good diagnostic performance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Anita Khairani
"Otot merupakan fungsi dari aktivitas sehari-hari. Seiring bertambahnya usia, perubahan organ tubuh menyebabkan penurunan massa otot yang berakibat pada individu lanjut usia mengalami penurunan kekuatan tubuh sehingga mobilitasnya berkurang, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, kesulitan menjaga keseimbangan tubuh, meningkatkan resiko seseorang mengidap penyakit. orang lanjut usia mudah jatuh dan mengalami patah tulang. Namun demikian tidak semua metode pengukuran massa otot apendikuler praktis dan murah sehingga diperlukan metode lain yang dapat mengukur massa otot apendikuler dengan biaya yang sederhana, praktis, dan murah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model prediksi massa otot apendikuler berdasarkan lingkar tengah paha, lingkar betis dan lingkar lengan atas sebagai alternatif pengukuran massa otot pada lansia. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang dengan jumlah sampel 101 individu berusia ≥60 tahun (37 laki-laki dan 64 perempuan) di Desa Kadumanggu. Model prediksi yang dihasilkan adalah Massa Otot Apendikuler (kg) = (64.171 x Tinggi Badan (m)) + (1.710 x Indeks Massa Tubuh (kg / m2)) - (0.109 x Lingkar Lengan Atas (cm)) + 0.178 x Lingkar Betis (cm)) + (0,033 x Lingkar Paha Tengah (cm)) - (0,535 x Berat Badan (kg)) - (0,065 x Usia (tahun)) - 98,098 untuk pria lanjut usia (R2 = 0,710; LIHAT = 1, 43 kg ; p <0,05) dan Massa Otot Apendikular (kg) = (8,987 x Tinggi Badan (m)) - (0,170 x Indeks Massa Tubuh (kg / m2)) - (0,117 x Lingkar Lengan Atas (cm)) + (0,121 x Lingkar Betis (cm)) - (0,025 x Lingkar Paha Tengah (cm)) + (0,160 x Berat Badan (kg)) - (0,059 x Usia (tahun)) - 6,491 untuk wanita (R2 = 0,700; LIHAT = 1,23 kg; p <0,05). Model prediksi ini menunjukkan bahwa berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, umur, lingkar tengah paha, lingkar betis, dan lingkar lengan atas memiliki hubungan yang signifikan dengan massa otot apendikuler.

Muscle is a function of daily activities. With age, changes in body organs cause a decrease in muscle mass which results in elderly individuals experiencing a decrease in body strength so that their mobility is reduced, difficulty in carrying out daily activities, difficulty maintaining body balance, increasing a person's risk of suffering from disease. elderly people fall easily and have broken bones. However, not all methods of measuring appendicular muscle mass are practical and inexpensive so that another method is needed that can measure appendicular muscle mass at a cost that is simple, practical, and inexpensive. The purpose of this study was to obtain a predictive model for appendicular muscle mass based on mid-thigh circumference, calf circumference and upper arm circumference as an alternative to measuring muscle mass in the elderly. This study used a cross-sectional study design with a total sample of 101 individuals aged ≥60 years (37 males and 64 females) in Kadumanggu Village. The resulting prediction model is Appendicular Muscle Mass (kg) = (64,171 x Body Height (m)) + (1,710 x Body Mass Index (kg / m2)) - (0.109 x Upper Arm Circumference (cm)) + 0.178 x Calf Circumference (cm)) + (0.033 x Mid Thigh Circumference (cm)) - (0.535 x Body Weight (kg)) - (0.065 x Age (years)) - 98.098 for elderly men (R2 = 0.710; VIEW = 1.43 kg; p <0.05) and Appendicular Muscle Mass (kg) = (8.987 x Body Height (m)) - (0.170 x Body Mass Index (kg / m2)) - (0.117 x Upper Arm Circumference (cm)) + (0.121 x Calf Circumference (cm)) - (0.025 x Mid Thigh Circumference (cm)) + (0.160 x Body Weight (kg)) - (0.059 x Age (years)) - 6.491 for women (R2 = 0.700; VIEW = 1.23 kg; p <0.05). This predictive model shows that body weight, height, body mass index, age, mid-thigh circumference, calf circumference, and upper arm circumference have a significant relationship with appendicular muscle mass."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredia Heppy
"Latar Belakang: Sarkopenia merupakan sindroma geriatri baru tertinggi dengan luaran klinis yang buruk, sehingga perlu dilakukan penapisan. Instrumen penapisan standar memiliki sensitivitas yang rendah. Mini Sarcopenia Risk Assessment (MSRA) merupakan instrumen baru dengan performa penapisan beragam, sehingga perlu diteliti lagi. Penambahan lingkar betis (LB) pada MSRA diharapkan mendapatkan hasil penapisan yang lebih baik.
Tujuan: Mengetahui performa penapisan instrumen MSRA dan MSRA-LB terhadap diagnosis sarkopenia pada pasien lansia.
Metode: studi potong lintang dengan subjek lansia di Poliklinik Terpadu Geriatri, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo telah dilakukan bulan Oktober hingga Desember 2022. Data diambil melalui wawancara dan pemeriksaan antropometri, LB, kekuatan genggaman tangan, indeks massa otot apendikular, dan penilaian performa fisik.
Hasil: Diperoleh subjek sebesar 118 pasien dengan proporsi sarkopenia sebesar 19 pasien (16,1%) berdasarkan AWGS 2019. Sensitivitas instrumen MSRA-7, MSRA-5, MSRA-7-LB dan MSRA-5-LB secara berurutan adalah 78,95%, 57,89%, 57,89% dan 42,11%. Sedangkan spesifisitas adalah 30,30%, 46,46%, 87,88% and 93,94%. Model MSRA-LB meningkatkan akurasi diagnosis secara bermakna p=0,003 pada MSRA-7-LB dan p= 0,005 pada MSRA-5-LB p=0,00.
Simpulan: Performa penapisan intrumen MSRA memiliki sensitivitas tinggi pada versi 7 butir pertanyaan. Penambahan lingkar betis memperbaiki akurasi diagnosis instrumen MSRA namun tidak meningkatkan sensitivitas instrumen.

Background: Sarcopenia were the highest prevalence in current geriatric syndrome with unfavorable clinical outcomes and standardized tools to screen was unsensitive. Mini Sarcopenia Risk Assessment (MSRA) has been developed to screen sarcopenia. Even, the performance is inconsistent, that is needed to be evaluated. Adding of calf circumference (CC) was conducted to find better screening performance.
Objective: To determine the screening performance of the MSRA and MSRA-CC instruments.
Methods: A cross-sectional study was conducted in elderly outpatients Cipto Mangunkusumo Central General Hospital, from October to December 2022. Data were collected through interviews and anthropometric examinations, measurements of body weight, hand grip strength, appendicular muscle mass index, and physical performance.
Result: Eligible subjects was 118 patients base on inclusion criteria. Sarcopenia were found 19 (16,1%) subjects based on the 2019 AWGS criteria. The sensitivity values of MSRA-7, MSRA-5, MSRA-7-CC, MSRA-5-CC were 78,95%, 57,89%, 57,89% and 42,11%, respectively. The specificities were 30,30%, 46,46%, 87,88% and 93,94%, respectively. Combination MSRA-CC improved diagnostic accuracy with p value of 7 and 5 version 0,003 and 0,005, respectively.
Summary: The high sensitivity screening performance of MSRA has been found in 7 item questions version. Combination MSRA-CC improved diagnostic accuracy of sarcopenia without increasing of sensitivity those instruments.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu K
"Penerapan prinsip - prinsip ergonomi ditempat kerja masih kurang tersentuh atau mendapat perhatian secara penuh terutama pada pekerjaan perawat di rumah sakit. Postur kerja perawat selama memberikan pelayanan kepada pasien masih dengan postur yang janggal, hal ini dapat mengakibatkan timbulnya keluhan pada sisitem musculoskeletal.
Penelitian terhadap kemungkinan timbulnya risiko ergonomi di rumah sakit lebih difokuskan pada unit perawatan ICU dengan melakukan pengamatan lapangan secara langsung dan melakukan pengukuran risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs )
Musculoskeletal Disorders terjadi karena proses penumpukan cidera atau kerusakan , kecil pada sistem Musculoskeletal akibat trauma berulang sehingga membentuk kerusakan yang menimbulkan rasa sakit, keluhan MSDs bersifat universal dan subyektif. Nilai subyektifitas dapat ditingkatkan menjadi obyektifitas. Agar keluhan tersebut dapat menjadi nilai obyektif maka perlu bukti pengukuran dengan menggunakan metode OWAS.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pekerjaan perawat pada shift pagi, sore dan malam mengandung risiko keluhan MSDs. Kegiatan atau pekerjaan perawat yang mendominasi adanya postur janggal adalah kegiatan keperawatan pada shift pagi. Dan untuk pekerjaan perawat yang mendominasi kategori 3 dan kategori 4, yang dapat mengakibatkan kemungkinan timbulnya keluhan MSDs, adalah kegiatan memandikan, mengangkat pasien, melakukan ganti balutan luka , merubah posisi pasien dan melakukan pengukuran urine.
Hal yang mendasar, bahwa perawat bekerja dengan postur yang janggal adalah kurangnya pengetahuan dan ketrampilan tentang ergonomi dan tingginya beban kerja perawat di unit ICU, sehingga rumah sakit perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja perawat dengan memonitor sistem kerja dan beban kerja yang dapat mengakibatkan keluhan MSDs serta membuat dan melaksanakan program pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ergonomi bagi perawat.

Ergonomic Risk Analysis among Nurses who Work Awkward posture in Intensive Care Unit, Serang Hospital, Leading The Possibility of Musculoskeletal Disorders The application of ergonomic principles at work station is still lack of concern, especially at hospital. The posture of nurses dealing with serving a patient is still on awkward posture. So they complaint of Musculoskeletal Disorders ( MSDs ).
The research on the possibility of the appearance of ergonomic risk at hospital activities are more focused on the nursing group in the unit of ICU by direct field observation
Musculoskeletal Disorders are caused by the process of the accumulation of injuries or small damage in musculoskeletal system. The complaint of MSDs is universal and subjective. Subjective value can be proofed to be objectives value. The subjective complaint to be objective value, is necessary to have an evidence through the measurement using OWAS method.
The result of the research is categorized by the groups nurse who work morning, afternoon, and evening shifts . The nurse works that dominated by awkward posture are the nursing activities in morning shift. For the nursing work of the three shift dominating category 3 and category 4, where the complaint of MSDs are the activities of bathing, lifting patients, replacing injury bandage, changing position of a patient, collecting and measuring of urine.
Basically nurses who work with awkward posture are due to lack of knowledge and skill in ergonomic and heavy working at ICU. Therefore a hospital needs to be evaluated an working pattern of nurses by monitoring work system and work burden that cause MSDs complaint through training program to improve knowledge and skill in ergonomics.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ainun
"Latar Belakang: Meningkatnya populasi geriatri membuat sindrom frailty akan banyak ditemui di praktik klinik sehari-hari. Fenotip frailty dikaitkan dengan rendahnya massa otot secara teori, namun masih terdapat perbedaan hasil di antara penelitian yang ada.
Tujuan: Mengetahui rerata indeks massa otot pada populasi geriatri di rawat jalan dan hubungannya dengan status frailty.
Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang terhadap pasien berusia ≥60 tahun di poliklinik Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, periode waktu April-Juni 2018. Dilakukan pengambilan data antropometri, pengisian kuesioner Cardiovascular Health Study (CHS) dan pengukuran indeks massa otot dengan dual energy X-ray absoprtiometry (DXA). Parameter indeks massa otot diukur berdasarkan appendicular lean mass (ALM) yang disesuaikan dengan tinggi badan (ALM/TB2) dan indeks massa tubuh (ALM/IMT).
Hasil: Didapatkan proporsi subjek frail, pre-frail dan robust berdasarkan skor CHS berturut-turut adalah 29,17%, 58,33% dan 12,5%. Terdapat perbedaan rerata indeks massa otot dengan parameter ALM/TB2 antara pasien yang frail dan yang tidak (6,54 (1,01) Kg/m2 vs 7,03 (0,91) Kg/m2; p=0,01), namun tidak halnya dengan ALM/IMT (p=0,72). Tidak terdapat hubungan yang bermakna baik antara kejadian sindrom frailty dengan indeks massa otot ALM/TB2 (PR 2,03; 95% IK 0,80-5,15; p=0,13) maupun ALM/IMT (PR 5,09; 95% IK 0,45-58,06; p=0,2). Dari analisis multivariat faktor perancu didapatkan hubungan bermakna antara nutrisi (PR 3,67; 95% IK 1,59-8,49; p=0,02) dan status fungsional (PR 4,94; 95% IK 2,01-11,75; p=0,00) dengan kejadian sindrom frailty.
Simpulan: Indeks massa otot yang rendah saja tidak dapat dijadikan faktor prediktif terjadinya sindrom frailty, melainkan perlu digabungkan dengan parameter lain seperti kualitas atau fungsi otot, status fungsional dan nutrisi. Penggunaan indeks massa otot dengan parameter ALM/TB2 lebih disarankan.

Background: Population ageing worldwide is rapidly accelerating along with development of frailty syndrome. A theoretical link between frailty and low lean mass has been established, and low lean mass as frailty predictor, but studies conducted show inconclusive result.
Objectives: To obtain appendicular lean mass values among geriatric outpatients and its association with frailty status.
Methods. Cross-sectional study conducted to elderly patients (≥60 years old) in the Geriatric Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital in April-June 2018. Each subject underwent anthropometric measurement, frailty evaluation using Cardiovascular Health Study (CHS) questionnaire dan lean mass measurement using dual energy X-ray absoprtiometry (DXA). Appendicular lean mass (ALM) measured was adjusted by height squared (ALM/ht2) and BMI (ALM/BMI)
Results: The proportion of frail, pre-frail and robust according to CHS were 29,17%, 58,33% and 12,5% respectively. We found significant difference in ALM/ht2 between frail dan non-frail subjects (6.54 (1.01) Kg/m2 vs. 7.03 (0,91) Kg/m2; p=0.01) but nonsignificant result for ALM/BMI (p=0.72). No association was found between frailty and muscle mass index of ALM/ht2 (PR 2.03; 95%CI 0.80-5.15; p=0.13) or ALM/BMI (PR 5.09; 95% CI 0.45-58.06; p=0.2). From multivariate analysis, there was significant association between nutritional status (PR 3,67; 95% CI 1,59-8,49; p=0,02), functional status (PR 4,94; 95% CI 2,01-11,75; p=0,00) and frailty.
Conclusion: Low lean mass alone cannot be used as predictive factor for frailty syndrome, further analysis using another parameter such muscle's quality or function, nutritional status and functional status are needed. This study supports ALM/ht2 as chosen muscle index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lanti Surjana
"The Effect of Working Programs on Low Back Pain Occured on Women Employer at P.T. Dewi Duta Busana Tama in North of JakartaLow back pain is a sign of sigh or disturbance of movement system usually found out in working area. In several industries such as garment industry, especially in sewing division because they worked with backless chair. Low back pain is a silent symptom, most of them consider that low back pain is a small minority of case. So that, they didn`t pay more attention to this matter, and it will be decreasing of productivity not only in quality and quantity but also a great losses in treatment. Low back pain is strongly related with posture and working position, design equipments, facility, layout of working area. Special attention and well management must be paid to the caused factors so, low back pain can be prevented.
Experimentally study held in garment industry that low back pain is used to find in sewing division. A simple experiment study held and it finds that in amount of 171 population women employers which is divided in two groups, they are consisted of control groups and intervency groups based in random row. The purpose of this experimental study is to know how far the influence of working program and its implementation, as well as sitting stretches on their work.
The result of experimental study is show that intervency group can reduce low back pain until 80% and decreasing of pain 11%. According to t - test for paired sample is found a significant result, so intervency program is very important to loss of low back pain, with sitting stretches it will make our body fit, in order to prevent occupational disease, improvement and maintenance of fitting condition of employer must be optimally.

Nyeri muskuloskeletal daerah pinggang adalah suatu bentuk keluhan atau gangguan sistem gerak tubuh yang banyak dijumpai ditempat kerja. Diberbagai sektor industri termasuk industri garmen pakaian jadi, terutama dibagian jahit, karena duduk menjahit tanpa sandaran. Karena kasusnya kurang mencolok (silent) dan sering dianggap wajar oleh yang bersangkutan, menyebabkan keluhan atau gangguan tersebut kurang mendapat perhatian dari pengelola sumber daya manusia. Padahal keluhan ini dapat mengganggu proses produksi baik kuantitatif maupun kualitatif, dan juga menimbulkan terjadinya ekonomi biaya tinggi, karena pengobatan yang mahal. Nyeri muskuloskeletal daerah pinggang berkaitan erat dengan sikap dan posisi kerja, disain alat dan fasilitas kerja, tata letak sarana kerja dan sebagainya. Dengan memperhatikan dan menata factor-faktor penyebab dan pencetusnya, maka nyeri muskuloskeletal daerah pinggang dapat dihindari.
Penelitian ini dilakukan diperusahaan garmen, dimana nyeri muskuloskeletal daerah pinggang rawan terjadi, apalagi dibagian jahit, pekerja wanita bagian jahit. Jenis penelitian ini Experimental Murni yang sederhana, dimana jumlah populasi pekerja wanita bagian jahit 171 orang, sampel penelitian 17 responden, yang dibagi 2 kelompok kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, yang dipilih secara acak berdasarkan baris tempat kerja. Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh pola kerja dan perlakuan yaitu peregangan otot di tempat duduk terhadap nyeri muskulosceletal daerah pinggang.
Hasil penelitian kelompok perlakuan dapat menghilangkan nyeri muskuloskeletal daerah pinggang 89% , dan menurunkan ambang sakit 11%. Dengan uji statistik didapatinya hasil yang bermakna, jadi jelaslah sangat dibutuhkan pola kerja yang terputus dengan diselingi peregangan otot dibangku kerja sehingga tidak membuang waktu kerja, untuk menghilangkan keluhan nyeri muskulosceletal daerah pinggang. Dengan peregangan otot dapat didapati kebugaran jasmani, jadi untuk menghindari penyakit akibat kerja pada umumnya, haruslah dengan perbaikan dan pemeliharaan kesegaran jasmani pekerja seoptimal mungkin."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Rohjani
"Musculoskeletal disorder (MSD) menjadi sangat penting karena MSD merupakan penyebab terbesar hilangnya hari kerja akibat cidera di hampir setiap jenis industri. Selain itu, musculoskeletal disorders, terutama pada bagian punggung merupakan masalah kesehatan yang paling memakan biaya. Sedangkan masalah musculoskeletal disorders ini belum banyak dipahami oleh perusahaan-perusahaan, terutama di Indonesia.
Penelitian terhadap kemungkinan timbulnya musculoskeletal disorders yang disebabkan oleh risiko ergonomi pada pekerjaan di pembuatan televisi dilakukan dengan pengamatan di lapangan secara langsung dan didukung oleh survey gejala untuk mendapatkan data keluhan dari operator. dan data medis yang didapatkan secara sekunder.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pekerjaan di unit Final Assembly, tepatnya pekerjaan packing II (menutup dus) merupakan pekerjaan yang mempunyai risiko yang melibatkan anggota badan terbanyak, meliputi tangan, bahu, leher dan punggung dan sekaligus mempunyai nilai risiko tertinggi.
Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa risiko ergonomi di dept. TV terutama disebabkan oleh work station yang tidak sesuai dengan standar kriteria, disamping faktor dari pekerja dan lingkungannya. Faktor lain dari mesin yang mendukung timbulnya musculoskeletal disorders adalah masalah maintenance mesin dan desain dari handtool.
Selain work design, faktor lingkungan juga mempengaruhi timbulnya fatigue. Hampir di seluruh area, temperature nyata berada dalam kategori `caution' atau hati-hati, dimana pekerja dapat mengalami fatigue bila terpapar pada waktu yang lama dan terus menerus. Sedangkan di area finished good, temperatur nyata berada dalam kondisi `bahaya', dimana pekerja mempunyai kemungkinan mengalami heatstroke, heat cramp atau heat exhaustion bila terpapar pada waktu yang lama.
Daftar bacaan : 25 (1990-2002)

Ergonomic Risk Analysis at Television Department of PT. X on The Possibility of Musculoskeletal Disorders 2003MSD becomes very important recently because MSD is one of the major cause of employee absenteeism due to injury in almost any industry. Other than that, musculoskeletal disorders, especially in the back area is also one of the most costly injury problem.
In order to better understand MSD- from the ergonomic point of view, a study was conducted in the television department of an electronic manufacturing company called, PT. X.
The study was an observational study hick is conducted through a direct observation from the field to look at the ergonomic risk in each task that is being observed.. The field data is supported with symptom survey to capture the input/complain from the operator, and is also backed-up by secondary medical record.
The study revealed that the task in the Final Assembly unit, especially packing task 11 (closing the box) is the work that posses the risk which involved the most body parts, which is hands, shoulder , neck and back. This task also has the highest risk score.
Besides work design, the environmental factor is also play a part in generating fatigue. Almost in all area, the real temperature is in the `caution' category which means that the worker might fell fatigue when exposed to this condition continuously for a very long time. While in finished good area, the real temperature is in `danger' condition, which means that the worker might experience heatstroke, heat cramp or heat exhaustion when exposed to this condition for a long time.
References : 25 (1990-2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mugi Nursatya
"Pekerja pelayanan makanan seperti juru masak dan pelayan, menghadapi bahaya kesehatan dan keselamatan terkait dengan pekerjaannya. Beban kerja fisik yang berat, kondisi stres, jam kerja yang panjang dan tidak teratur serta tuntutan pekerjaan yang tinggi terkait pelayanan jasa yang berhubungan langsung dengan konsumen. Hal ini membutuhkan kerja fisik yang dominan, konsekuensinya para pekerjanya berisiko mengalami berbagai gejala musculoskeletal disorders seperti upper limb, lower limb, leher dan punggung. Faktor risiko pekerjaan terkait MSDs termasuk kegiatan manual handling yang tidak tepat, postur badan dan pergerakan yang janggal, gerakan berulang dalam waktu lama, penggunaan tenaga tangan yang berlebihan, tempat kerja yang tidak layak, berdiri telalu lama, peralatan yang tidak sesuai, dan langkah kerja yang tidak sesuai.
PT. Pusaka Nusantara merupakan perusahaan layanan makanan yang menghadapi risiko postur janggal, gerakan berulang, beriri terlalu lama, peralatan yang tidak sesuai dalam durasi yang rutin setiap harinya. Oleh karena itu dilakukan penilaian risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada pekerja catering PT.
Pusaka Nusantara menggunakan penilaian REBA dan keluhan subjektif pekerja. Objek penelitian yaitu proses produksi yang meliputi tahapan pekerjaan memotong bahan makanan, mencuci bahan makanan, menggiling bahan makanan, memasak dan memindahkan makanan ke wadah. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2008, dengan mengambil data primer melalui observasi dan kuesioner.
Berdasarkan hasil penilaian risiko, hasil akhir tertinggi terdapat pada pekerjaan memotong bahan makanan untuk pekerjaan yang dilakukan pembantu koki dan pekerjaan memindahkan makanan ke wadah untuk pekerjaan yang dilakukan koki inti. Pekerjaan memotong bahan makanan yang masuk dalam kategori risiko tinggi terhadap MSDs. Sementara pekerjaan memindahkan makanan ke dalam wadah masuk dalam kategori risiko sangat ringgi.
Gambaran keluhan yang dirasakan oleh pekerja produksi catering PT. Pusaka Nusantara antara lain 100% pekerja mengalami keluhan MSDs. Untuk koki inti, keluhan tertinggi yaitu keluhan pada punggung bawah, sementara keluhan distribusinya merata tidak ada yang dominan pada bagian tubuh tertentu."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>