Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173499 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Rendra Hadi
"Latar belakang: DM masih menjadi masalah besar bidang kesehatan global, dengan beban yang sangat besar akibat dari penyakitnya secara langsung dan komplikasinya, terutama komplikasi kardiovaskular. Komplikasi tersebut dipengaruhi gangguan neuropati autonom, yang dapat dinilai dengan HRV. Gangguan autonom dipikirkan akan menurunkan fungsi jantung, yang secara dini mungkin dapat diprediksi dengan melihat global longitudinal strain. Hubungan antara HRV dan GLS belum banyak diteliti Tujuan: Mengetahui korelasi antara fungsi autonom kardiak dengan fungsi ventrikel kiri pada pasien DM Tipe 2 Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau Pasien DM tipe 2 berusia dewasa yang tinggal di DKI Jakarta pada bulan Desember 2020. Parameter HRV terdiri dari interval RR, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF) dan rasio LF/HF dan Global longitudinal strain dianalisis menggunakan ekokardiografi Hasil: Dilakukan analisis pada 167 sampel. rerata GLS didapatkan -20,30 (±1,57). Tidak terdapat korelasi antara interval RR dengan GLS (r = -0,07, p = 0,377), tidak terdapat korelasi antara SDNN dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189), tidak terdapat korelasi antara RMSSD dengan GLS (r = -0,12, p = 0,098), tidak terdapat korelasi antara LF dengan GLS (r = -0,003, p = 0,968), tidak terdapat korelasi antara HF dengan GLS (r = -0,09, p = 0,21), tidak terdapat korelasi antara LF/HF dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189). Tidak terdapat faktor perancu yang berhubungan pada penelitian ini Kesimpulan: Tidak Terdapat korelasi antara heart rate variability dengan global longitudinal strain pada pasien DM Tipe 2.

Background: Diabetes Mellitus (DM) remains a major global health issue due to its direct consequences and complications, particularly cardiovascular complications. These complications are influenced by autonomic neuropathy, which can be assessed by Heart Rate Variability (HRV). Autonomic dysfunction is thought to impair heart function, which can potentially be predicted early by observing global longitudinal strain (GLS). The relationship between HRV and GLS has not been extensively studied. Objective: To determine the correlation between cardiac autonomic function and left ventricular function in Type 2 DM patients. Methods: A cross-sectional study with a population of adult Type 2 DM patients residing in Jakarta in December 2020. HRV parameters included RR interval, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF), and LF/HF ratio. Global longitudinal strain was analyzed using echocardiography. Results: Analysis was conducted on 167 samples. The average GLS was -20.30 (±1.57). There was no correlation between RR interval and GLS (r = -0.07, p = 0.377), no correlation between SDNN and GLS (r = -0.10, p = 0.189), no correlation between RMSSD and GLS (r = -0.12, p = 0.098), no correlation between LF and GLS (r = -0.003, p = 0.968), no correlation between HF and GLS (r = -0.09, p = 0.21), and no correlation between LF/HF ratio and GLS (r = -0.10, p = 0.189). There were no confounding factors associated with this study. Conclusion: There is no correlation between heart rate variability and global longitudinal strain in Type 2 DM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maha Fitra Nd
"Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan gagal jantung memiliki keterkaitan yang kuat dan luaran klinis yang satu mempengaruhi lainnya. Studi terakhir berhasil membuktikan manfaat empagliflozin, obat lini kedua pada DMT2, terhadap kardiovaskular. Mekanisme seluler yang diketahui berperan pada hewan adalah efek antifibrosis miokard, namunbelum ada studi pada manusia.Tujuan: Mengetahui efek pemberian empagliflozin terhadap fibrosis miokard pada pasien DMT2 dengan gagal jantung. Metode: Uji klinis acak tidak tersamar yang dilakukan di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari Februari 2019 sampai Mei 2019. Pasien DMT2 dan gagal jantung diberikan empagliflozin 10 mg selama tiga bulan. Perbedaan kadar suppression of tumorigenicity-2 (ST2) serum pada kelompok kontrol dan intervensi di awal dan akhir penelitian akan dianalisis. Hasil: Terdapat 58 pasien yang menjadi subjek penelitian dan 40 (69%) pasien menyelesaikan penelitian. Terdapat perbedaan kadar ST2 yang bermakna setelah pemberian empagliflozin selama tiga bulan (median ST2 kelompok empagliflozin sebelum dan sesudah empagliflozin masing-masing 23,5(12,5 - 130,7)ng/mL dan 18,9(12,5 - 29,4) ng/mL, p=0,02). Penurunan ST2 dan persentase penurunan ST2 kelompok empagliflozin kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (masing-masing p=0,16 dan p=0,21). Kesimpulan: Pemberian empagliflozin selama tiga bulan dapat menurunkan fibrosis miokard yang tidak terlihat pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan besaran penurunan fibrosis pada pemberian empagliflozin dibandingkan terapi standar.

Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) and heart failure have a strong relationship; one affects each other. Recent studies have proven some cardiovascular benefits of empagliflozin. Myocardial antifibrosis is proposed to be the mechanism in many animal studies, but in humans the data is lack. Objectives: To investigate the effect of empagliflozin on myocardial fibrosis in T2DM patients and heart failure. Methods: This was an open-labeled clinical trial in National Cardiovascular Center Harapan Kita, from February 2019 to May 2019. Patients with T2DM and heart failure received empagliflozin 10 mg for three months. Differences of serum suppression of tumorigenicity-2 (ST2) levels in both control and intervention groups at the beginning and end of the study were analyzed. Results: There were 58 patients enrolled in the study and total of 40 (69%) patients completed it. There were significant differences in ST2 levels after administration of empagliflozin (median for ST2 empagliflozin group before and after empagliflozin was 23.5 (12.5 - 130.7) ng / mL and 18.9 (12, 5 - 29.4) ng / mL respectively, p = 0.02). The ST2 value difference and percent different were not different (p=0,16 and p=0,21, respectively). Conclusion: Three months Empagliflozin might reduce myocard fibrosis which was not seen in control group. The total fibrosis reduction was not significantly different compared to standard therapy"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indana Ayu Soraya
"Sejumlah penelitian telah mengaitkan penurunan fungsi kognitif dengan kepatuhan minum obat. Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan salah satu faktor resiko dari penurunan fungsi kognitif yang jarang disadari pasien. Oleh karena itu, penulis mencoba menilai pengaruh penurunan fungsi kognitif terhadap kepatuhan minum obat pada pasien DMT2. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu Jakarta. Fungsi kognitif dinilai dengan kuesioner Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MoCA-Ina) yang telah divalidasi. Penilaian kepatuhan dilakukan menggunakan kuesioner Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) versi bahasa Indonesia yang tervalidasi dan Pharmacy refill adherence yaitu dengan menghitung Proportion of Days Covered (PDC). Pasien dikatakan patuh jika skor ARMS <12 dan hasil perhitungan PDC ≥80%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif berhubungan dengan kepatuhan minum obat yang buruk (p=0,005). Berdasarkan analisis multivariat, pasien dengan fungsi kognitif menurun 3,7 kali menyebabkan ketidakpatuhan minum obat dibanding pasien dengan fungsi kognitif normal setelah dikontrol variabel usia, tingkat pendidikan, kadar HbA1c, dan komorbid dislipidemia.

Several studies have linked cognitive decline with lack of adherence to medication. Type 2 Diabetes mellitus (T2DM) is one of the risk factors for cognitive decline that patients are rarely aware of. Therefore, the aim of this study is to assess the effect of decreased cognitive function on medication adherence in T2DM patients. The study uses a cross-sectional design and was conducted at the Pasar Minggu Primary Health Center, Jakarta, Indonesia. Cognitive function was assessed using a validated Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina) questionnaire. Adherence assessment was made using a validated Indonesian version of the Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) questionnaire and the proportion of days covered (PDC). A patient was considered to be adhere if the ARMS score was <12 and the PDC calculation result was ≥80%. The results of this study showed that cognitive decline was associated with poor medication adherence (p=0.005). Based on multivariate analysis, patients with cognitive decline had 3.7 times greater nonadherence to medication than patients with normal cognitive function after controlling for variables of age, education level, HbA1c levels, and comorbid dyslipidemia."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Adhiatma
"Latar Belakang. Populasi penderita DM tipe 2 semakin meningkat, seringkali disertai dengan komorbid, salah satunya depresi dengan prevalensi bervariasi. Depresi dapat mempengaruhi keluaran penyakit DM tipe 2. Beberapa obat antidepresan diketahui dapat mengganggu kontrol gula darah. Vitamin D, telah lama diketahui berkaitan dengan berbagai penyakit kronik, berpotensi memperbaiki gejala depresi, walaupun belum diketahui hubungannya.
Tujuan. Mengetahui adanya hubungan antara kadar vitamin D pada pasien DM tipe dengan kejadian depresi pada pasien dengan DM tipe 2.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi pada, dilakukan penapisan depresi menggunakan kuesioner BDI-II, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, depresi (BDI-II ≥14) dan tanpa depresi (BDI-II <14). Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, dan dilakukan analisis perbedaan rerata pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik terhadap variabel perancu.
Hasil. Dari 60 subjek dengan DM tipe 2 yang yang memenuhi kriteria, didapatkan 23 subjek (38,3%) yang depresi, dan 37 subjek (61,7%) yang tidak depresi. Didapatkan median kadar vitamin D 21,8 ng/mL (RIK 14,9-26,6) pada kelompok depresi, sementara median kadar vitamin D 26,5 ng/mL (RIK 23,96-34,08) pada kelompok tanpa depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p = 0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel perancu jenis kelamin, paparan sinar matahari, dan IMT, didapatkan adjusted odds ratio(adjusted OR) 1,123 (IK 95%: 1,003-1,259) dengan nilai p=0,045.
Kesimpulan. Kadar vitamin D yang lebih rendah meningkatkan kejadian depresi pada pasien DM tipe 2.

Background. The population of people with type 2 diabetes is increasing, which is often accompanied by comorbid, one of them is depression. The presence of depression can affect the outcome of type 2 diabetes mellitus. Some of antidepressants are known to interfere with blood sugar control. Vitamin D levels have long been known to be associated with a variety of chronic diseases, have the potential to improve symptoms of depression, although the relationship is not yet known.
Methods. This research is a cross sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with type 2 DM who met the inclusion criteria on an outpatient basis were screened for depression using BDI-II questionnaire, then divided into two groups, depressed (BDI-II ≥ 14), and without depression (BDI-II <14). Then both groups were examined for vitamin D levels using the ELISA method, and an analysis of the mean difference between the two groups was performed.
Results. From the 60 subjects with type 2 DM who met the criteria, 23 subjects (38.3%) were depressed, and 37 subjects (61.7%) were not depressed. The median of vitamin D level was 21.8 ng/mL (IQR 14.9-26.6) in the depressed group, while the median vitamin D level was 26.5 ng/mL (IQR 23.96-34.08) in the non-depressed group (p = 0.001). After doing multivariate analysis with confounding variables the adjusted odds ratio was 1.123 (95% CI: 1.003-1.259) with p value=0.045.
Conclusion. Lower levels of vitamin D increase the incidence of depression in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sahlan Baniu
"Penelitian ilmiah terkait perilaku berobat pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) terhadap penyakit jantung koroner (PJK) masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan membandingkan insiden PJK pada pasien DMT2 yang memiliki perilaku berobat dan tidak berobat menggunakan data Studi Kohor Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular (Studi Kohor FRPTM) di Kota Bogor selama 4 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan desain kohor retrospektif terhadap pasien DMT2 yang tidak terdiagnosa PJK awal penelitian, kelompok pasien terdiri dari pasien prilaku berobat dan yang tidak berobat, kemudian diamati insiden PJK. Berdasarkan data sekunder Studi Kohor FRPTM Bogor, didapatkan sampel baseline dan data tahun ke-4, dengan jumlah responden 276 yang terbagi menjadi 84 responden berobat dan 192 responden tidak berobat. Hasil utama penelitan ini menunjukkan bahwa proporsi insiden PJK pada kelompok tidak berobat lebih tinggi 2,3% daripada kelompok berobat. Setelah dilakukan pengontrolan variabel perancu, menunjukkan bahwa secara statistika tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok perilaku berobat dan tidak berobat terhadap insiden PJK (p = 0,501). Secara klinis, kelompok tidak berobat memiliki risiko terjadinya PJK 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok berobat (Adjusted HR = 1,739, CI 95% 0,673-4,490). Kesimpulan dari studi ini adalah perilaku berobat menyebabkan lebih rendahnya kejadian PJK, walaupun tidak bermakna secara statistik.

Scientific research related to the treatment behavior of type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients against coronary heart disease (CHD) is still very limited. This study aims to compare the incidence of CHD in T2DM patients who have treatment and non-treatment behavior using data from the Cohort Study of Non-Communicable Diseases Risk Factors (FRPTM Cohor Study) in Bogor City for 4 years. This study was conducted with a retrospective cohort design for T2DM patients who were not diagnosed with CHD at the beginning of the study, the patient group consisted of patients with treatment behavior and those who did not seek treatment, then observed the incidence of CHD. Based on secondary data from the Bogor FRPTM Cohort Study, the baseline sample and year 4 data were obtained, with a total of 276 respondents divided into 84 respondents for treatment and 192 respondents without treatment. The main result of this study showed that the proportion of CHD incidence in the non-medicated group was 2.3% higher than the treatment group. After controlling for confounding variables, it showed that there was no statistically significant difference between the treatment behavior group and the non-medicating behavior group on the incidence of CHD (p = 0.501). Clinically, the group without treatment had a risk of developing CHD 1.7 times greater than the treatment group (Adjusted HR = 1.739, 95% CI 0.673-4.490). The conclusion of this study is that treatment behavior causes a lower incidence of CHD, although it is not statistically significant.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rahmat Masdin
"Prevalensi penderitas diabetes melitus (DM) di Indonesia mengalami peningkatan terutama di Jakarta mencapai 3,4% di tahun 2018, dan menjadi provinsi dengan prevalensi DM tertinggi di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah pasien tidak rutin meminum obat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan diperlukan program intervensi oleh farmasis yaitu melalui program Phardiacare berupa konseling, buklet, logbook self-monitoring dan SMS reminder. Tujuan penelitian ini adalah menilai pemberian konseling dan buklet dari program Phardiacare terhadap kepatuhan pengobatan dan luaran klinis pasien DM tipe 2. Penelitian ini merupakan quasi eksperimental selama periode Agustus hingga Desember 2019 yang melibatkan 65 pasien DM tipe 2 di puskesmas Jakarta Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi (KI, n=33) yang menerima konseling dan buklet, dan kelompok kontrol (KK, n=32) yang menerima buklet saja. Pada awal dan akhir penelitian pasien menerima kuesioner sosiodemografi dan MAQ serta dilakukan pengukuran luaran klinis. Hasil penelitian menunjukkan KI dan KK memiliki karakteristik yang tidak berbeda signifikan kecuali pada lama penggunaan obat dan konsumsi makanan berisiko DM (p<0,05). Konseling pada program Phardiacare mempengaruhi kepatuhan pengobatan dimana HbA1c pada KI mengalami penurunan hingga kadar terkontrol (p<0,05) dibandingkan KK yang tidak mengalami perubahan. Kepatuhan berdasarkan skor MAQ menunjukkan peningkatan kepatuhan (p<0,05) setelah intervensi. Konseling dari program Phardiacare memberikan pengaruh 7,5 kali lebih besar dalam menurunkan HbA1c (p=0,008). Terhadap luaran klinis sekunder, konseling memperbaiki gula darah puasa, kolesterol total dan LDL (p<0,05). Dengan demikian, konseling pada program Phardiacare dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan dan menurunkan kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2.

According to the results of the 2018 Basic Health Research (Riskesdas), 50.4% of diabetes mellitus (DM) patients do not regularly take medication. This can worsen the patient’s condition, so interventions related to DM treatment by pharmacists are needed through counseling and booklets which are expected to increase medication adherence and improve clinical outcomes of the patient. The study was conducted in August-December 2019 involving 65 patients who met the inclusion and exclusion criteria. Patients were divided into 2 groups, namely the Pulogadung Health Center as the intervention group (KI, n=33) which received counseling and booklets, and the Duren Sawit Health Center as the control group (KK, n=32) which received only booklets. The results showed that counseling affected medication adherence with a significant decrease in HbA1c levels (p<0.05) to controlled levels in KI compared to KK. The MAQ score showed an increase in adherence with significant outcomes after counseling. Counseling has a 7.5 times greater effect in reducing HbA1c with a significant value (p=0.008). In addition, counseling gave significant results (p<0.05) in the improvement of fasting blood glucose, total cholesterol, and low-density lipoprotein cholesterol. Thus, counseling can improve medication adherence and reduce HbA1c levels in type 2 diabetes mellitus patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnasari Widayanti
"Pengetahuan dan sikap merupakan faktor kunci yang berdampak secara langsung ataupun tidak langsung pada pelaksanaan manajemen diri diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan praktik manajemen diri pada masyarakat dengan diabetes melitus tipe 2. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional dengan responden sebanyak 107 penderita DM tipe 2 di wilayah Kota Depok yang dipilih dengan menggunakan teknik cluster sampling. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari Diabetes Knowledge Test (DKT), modifikasi Diabetes Attitude Scale (DAS), dan Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ). Hasil analisis statistik menunjukan adanya korelasi positif yang signifikan antara pengetahuan (r = 0,549; p < 0,01) dan sikap (r = 0,465; p < 0,01) dengan manajemen diri DM. Temuan ini menekankan pentingnya pengembangan program edukasi kesehatan dan konseling mengenai manajemen diri diabetes dengan melakukan evaluasi awal terhadap karakterisitk diabetesi agar program yang akan dirancang dapat lebih efektif dan sesuai dengan tingkat pemahaman dan kebutuhan diabetesi.

Knowledge and attitudes are key factors that have a direct or indirect impact on the implementation of diabetes self-management. This study aims to identify the relationship between knowledge and attitudes toward self-management practices in communities with type 2 diabetes mellitus. The research design used in this study was cross-sectional with 107 respondents with type 2 diabetes in Depok who were selected using a cluster sampling technique. The research instruments used included the Diabetes Knowledge Test (DKT), modified Diabetes Attitude Scale (DAS), and Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ). The results of statistical analysis show that there is a significant positive correlation between knowledge (r = 0.549; p < 0.01) and attitude (r = 0.465; p < 0.01) toward diabetes mellitus self-management. These findings emphasize the importance of developing health education and counseling programs regarding diabetes self-management by conducting an initial evaluation of the characteristics of diabetics so that the program that will be designed can be more effective and appropriate to the level of understanding and needs of diabetics."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fazlines
"Latar belakang : Peningkatan prevalensi penyakit arteri perifer (PAP) sejalan dengan peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Strategi pencegahan komplikasi salah satunya berfokus pada pengendalian faktor risiko dan deteksi dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan PAP pada pasien DMT2 di tingkat layanan kesehatan primer.
Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DMT2 berusia 20-65 tahun yang berobat di sepuluh Puskesmas DKI Jakarta pada bulan Agustus 2020 – Juni 2021. Pasien yang dapat dilakukan pemeriksaan ABI dengan menggunakan USG doppler handheld pada salah satu atau kedua tungkai, dengan atau tanpa riwayat PAP sebelumnya, akan dimasukkan sebagai subjek penelitian dan dilakukan pencatatan data dasar usia, jenis kelamin, durasi penyakit diabetes, tekanan darah, kadar kolesterol total, K-HDL, K-LDL dan trigliserida serta riwayat merokok, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan lingkar pinggang. Dianggap PAP bila nilai ABI £0,9 atau >1,3 pada masing-masing tungkai.
Hasil : Dari 188 pasien DMT2 yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 27 (14,4%) pasien mengalami komplikasi PAP dan 24 pasien diantaranya adalah perempuan. Proporsi masing-masing untuk PAP ringan, sedang dan berat adalah 56%, 18% dan 26%. Analisis bivariat menunjukkan perempuan 3-4 kali lebih berisiko mendapatkan PAP (IK 95% 1,099-13,253, p=0,024), sementara usia, durasi diabetes, dislipidemia, hipertensi, obesitas, obesitas sentral dan merokok tidak dijumpai adanya perbedaan signifikan. Namun, setelah disesuaikan dengan durasi diabetes dan merokok pada analisis regresi logistik, jenis kelamin perempuan menunjukkan hasil tidak signifikan.
Simpulan : Tidak dijumpai adanya hubungan bermakna antara usia ≥50 tahun, jenis kelamin perempuan, durasi diabetes ≥10 tahun, hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok, obesitas dan obesitas sentral terhadap PAP pada pasien DMT2.

Background: The increasing prevalence of peripheral arterial disease (PAD) is in line with that of type 2 diabetes mellitus (T2DM). To prevent diabetes complications needs focuses on controlling risk factors and early detection. The aims of the study were to determine the prevalence and predictors of PAD in diabetic patients at the primary care setting.
Method: A cross sectional study of 188 diabetic patients aged 20-65 years old who attended ten community health centers in Jakarta from August 2020 until June 2021. Patients were performed for ABI using handheld doppler ultrasound on one or both limbs, with or without a previous history of PAD, were included. Baseline data such as age, gender, duration of diabetes, blood pressure, total cholesterol levels, c-HDL levels, c-LDL levels, triglyceride levels, smoking history, weight, height, body mass index and waist circumference were recorded. PAD was defined as the ABI value £0.9 or >1.3 in each limb.
Result: Of the 188 T2DM patients who met the inclusion criteria, 27 (14.4%) patients experienced PAD and 24 of them were female. The proportions for mild, moderate and severe PAD were 56%, 18% and 26%, respectively. Bivariate analysis showed that female were 3-4 times at risk of PAP (95% CI 1.099-13.253, p=0.024), while there were no significant differences in age, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity and smoking. However, after adjusting for duration of diabetes and smoking in logistic regression analysis, female had no statistically significant.
Conclusion: No significant relationship was found among age, gender, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity, smoking and PAP in T2DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Risczka Rosdianty
"Skripsi ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan manajemen diri penyakit diabetes melitus pada peserta JKN di wilayah Jakarta Selatan tahun 2019. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan studi observasional dengan tipe cross sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dan lama menderita dengan manajemen diri penyakit diabetes melitus.

This study focuses on the factors that related to self management of type 2 diabetes mellitus on JKN patients in South Jakarta in 2019. This research is quantitative research with observational study and cross sectional type. The result of this study is the positive correlation between family supports and duration of patients in suffering from type 2 diabetes mellitus with self management diabetes mellitus."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>