Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191857 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Washli Zakiah
"Latar belakang: Nasal continuous positive airway pressure (nCPAP) merupakan alat bantu napas noninvasif pilihan pertama pascaekstubasi untuk bayi prematur. Saat ini High flow nasal cannula (HFNC) digunakan sebagai alternatif lain yang sama efektif nya seperti nCPAP.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi, keamanan dan angka kegagalan terapi penggunaan HFNC dibandingkan nCPAP pascaekstubasi pada bayi prematur.
Metode: Uji klinis acak terkontrol tidak tersamar tunggal dilakukan Februari-Juni 2024 di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kriteria inklusi adalah bayi usia gestasi antara 28 minggu sampai 36 minggu 6 hari yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik. Randomisasi dilakukan pada 42 subjek yang dibagi menjadi dua kelompok (nCPAP vs HFNC).
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,747) kegagalan terapi dalam waktu < 1 jam (23,8% vs 33,3%) dan 1-24 jam (42,9% vs 33,3%). Tidak terdapat perbedaan nilai pCO2 pada analisis gas darah (p=0,683), kejadian trauma hidung (p=0,317), dan skor nyeri (p=0,795) yang menggunakan ventilasi noninvasif HFNC dan nCPAP. Meskipun tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian distensi abdomen (p=0,197) pada kedua kelompok, namun HFNC memiliki angka penurunan kejadian distensi abdomen yang lebih besar dibandingkan nCPAP.
Simpulan: Tidak ada perbedaan kegagalan terapi pemakaian HFNC dibanding nCPAP pascaekstubasi pada bayi prematur. Angka kejadian distensi abdomen didapati lebih kecil pada pemakaian HFNC.

Background: Nasal continuous positive airway pressure (nCPAP) is the primary noninvasive respiratory support choice after extubation for neonates. Hence, High Flow Nasal Cannula (HFNC) has use as effective as nCPAP.
Objective: To determine the efficacy, safety, and therapy failure rates of HFNC and nCPAP post-extubation in preterm neonates.
Methods: A single-blind randomized controlled clinical trial was conducted from February-June 2024 in the Neonatology Division of the Department of Pediatrics, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. The inclusion criteria were preterm (28 weeks to 36 weeks 6 days) with mechanical ventilation. Randomization was performed on 42 subjects, divided into two groups (nCPAP vs HFNC)
Results: There was no significant difference (p=0,747) in the proportion of therapy failure, within <1 hour (23,8% vs 33,3%) and 1-24 hours (42,9% vs 33,3%). There was no difference in the proportion of pCO2 values in blood gas analysis (p=0.683), nasal trauma (p=0.317), and pain scores (p = 0.795) between HFNC and nCPAP. Although there was no significant difference in abdominal distension rate (p=0.197) between the two groups, HFNC had a greater reduction in abdominal distension than nCPAP.
Conclusion: There was no difference in the proportion of therapy failure between HFNC and nCPAP use post-extubation in preterm. The incidence of abdominal distension was found lower with HFNC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriana Lukmasari
"Latar belakang: Intubasi endotrakeal merupakan tindakan yang cukup rumit dan memiliki risiko tinggi. Intubasi endotrakeal neonatus memiliki angka keberhasilan yang rendah pada percobaan pertama (first attempt) yaitu 20,3% dikarenakan kondisi desaturasi atau bradikardia. Angka mortalitas dan gangguan neurodevelopmetal meningkat pada neonatus yang gagal pada percobaan pertama intubasi. Penggunaan teknik HFN sebagai oksigenasi tambahan saat percobaan intubasi terbukti meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal neonatus akan tetapi teknik tersebut memerlukan perangkat tambahan yang tidak selalu tersedia di fasilitas kesehatan. Teknik oksigenasi tambahan berupa VTP nasal dengan kanula RAM belum pernah diteliti.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi ventilasi tekanan positif nasal dengan kanula RAM terhadap keberhasilan intubasi endotrakeal bayi prematur.
Metode: Uji klinis terbuka yang dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2024. Sampel penelitian adalah bayi prematur usia gestasi ≥ 25 minggu sampai 34 minggu dengan asfiksia berat atau distres napas berat atau apnea yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol (VTP standar) dan kelompok perlakuan (VTP standar yang ditambahkan VTP nasal dengan kanula RAM).
Hasil: Terdapat 78 sampel yang terdiri dari 39 kelompok perlakuan dan 39 kelompok kontrol. Keberhasilan intubasi pada kelompok perlakuan adalah 84,6% dibandingkan kelompok kontrol 41% dengan nilai Absolute Risk Reduction (ARR) 44% dan Number Need to Treat (NNT) 2. Kejadian desaturasi pada kelompok perlakuan adalah 10,3% dibandingkan kelompok kontrol 59% dengan nilai Absolute Risk Reduction (ARR) 49% dan Number Need to Treat (NNT) 2. Rerata rentang waktu sampai terjadi desaturasi pada kelompok perlakuan sebesar 46 detik dibandingkan kelompok kontrol 29,74 (p=0,142).
Kesimpulan: VTP nasal dengan kanula RAM meningkatkan keberhasilan intubasi endotrakeal neonatus dan mengurangi desaturasi. Rerata rentang waktu sampai terjadi desaturasi secara klinis bermakna antara kedua kelompok penelitian.

Background: Endotracheal intubation in neonates is a complex and risky procedure, with a low initial success rate of 20.3% primarily due to desaturation or bradycardia. Neonates who fail in the first attempt of endotracheal intubation are at increased risk of mortality and neurodevelopmental disorders. High-flow nasal (HFN) techniques have been shown to enhance the success of neonatal endotracheal intubation, but their implementation may be limited by the availability of necessary equipment in healthcare settings. Additional oxygenation techniques such as Nasal Positive Pressure Ventilation (PPV) through a RAM cannula in neonatal endotracheal intubation has not been studied.
Objective: To evaluate the efficacy of nasal positive pressure ventilation with ram cannula compared to the outcomes of endotracheal intubation in preterm neonates.
Methods: Open clinical trials conducted from January to June 2023. The research sample consists of preterm neonates with a gestational age of ≥ 25 weeks to 34 weeks with severe asphyxia or severe respiratory distress or apnea that meet the inclusion criteria. Randomization was performed and divided into 2 groups, namely the control group (standard PPV) and the treatment group (standard PPV with the addition of nasal PPV with RAM cannula).
Results: The study sample included 78 neonates consisting of 39 in the treatment groups and 39 in the control groups. The intubation success rate in the treatment group was 84.6%, significantly higher than the 41% success rate observed in the control group. This discrepancy resulted in an Absolute Risk Reduction (ARR) of 44% and a Number Needed to Treat (NNT) of 2. Furthermore, the occurrence of desaturation in the treatment group was notably lower at 10.3% compared to 59% in the control group, leading to an Absolute Risk Reduction (ARR) of 49% and a Number Needed to Treat (NNT) of 2. The mean time to desaturation in the treatment group was 46 seconds compared to 29.74 seconds in the control group (p=0.142).
Conclusion: Nasal PPV with RAM canula improves the success of neonatal endotracheal intubation and decrease desaturation episodes. There is a clinically significant difference in the mean time interval until desaturation occurs between the two research groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"Pembedahan abdomen atas berkaitan disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma merupakan penyebab PPC (postoperative pulmonary complication). Terapi oksigen konvensional (TOK) merupakan terapi standar pada pasien pasca pembedahan abdomen atas. Terapi HFNC (high-flow nasal cannula) memiliki berbagai mekanisme yang berbeda dengan TOK dan dipikirkan dapat membantu fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan HFNC terhadap TOK dalam mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2018 – September 2019. Tujuh puluh satu pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok TOK dan HFNC. Enam puluh enam pasien mendapat intervensi setelah ekstubasi di ICU (intensive care unit). Seluruh subjek dilakukan pencatatan nilai DTF (diaphragm thickening fraction) menggunakan ultrasonografi, ΔTIV (perubahan tidal impedance variance), ΔEELI-G dan ΔEELI-ROI (perubahan end expiratory lung impedance global dan region of interest) menggunakan EIT (electrical impedance tomography), PaO2 dan PaCO2 (tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida arteri) secara berkala pada dua seri. Efek samping dan keluhan yang muncul dicatat dan ditatalaksana. Total 66 subjek disertakan dalam bivariat menggunakan t-test dan mann whitney, sedangkan analisis tren menggunakan general linear model atau generalized estimating equation. Durasi ventilasi mekanik di ICU, persentase prediksi mortalitas dan skor P-POSSUM antara kedua kelompok berbeda signifikan (p=0,003; 0,001; dan 0,019, secara berurutan). Tidak ada perbedaan tren yang ditemukan antarkelompok pada seri pertama parameter DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI dan PaCO2 (p=0,951; 0,100; 0,935; 0,446; dan 0,705, secara berurutan) maupun pada seri kedua (p=0,556; 0,091; 0,429; 0,423; dan 0,687, secara berurutan). Tren PaO2 pada seri pertama dan kedua berbeda sangat signifikan (p<0,001) karena protokol pengaturan fraksi oksigen yang lebih tinggi pada kelompok TOK. Penggunaan HFNC tidak lebih baik daripada TOK dalam membantu mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas.

Upper abdominal surgery is related to diaphragmatic dysfunction. Diaphragmatic dysfunction is the main factors causing postoperative pulmonary complication (PPC). Conventional oxygen therapy (TOK) in the form of nasal cannula, is a standard therapy in post upper abdominal surgery patients. High-flow nasal cannula (HFNC) therapy has a variety of mechanisms that differ from TOK and is thought to be able to maintain diaphragm function in post upper abdominal surgery patients. This study aims to compare the ability of HFNC vs TOK in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients. This study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from November 2018 - September 2019. Seventy-one patients were randomly divided into two groups: TOK and HFNC groups. Sixty-six patients received intervention after extubation in the intensive care unit (ICU). This given data were all collected periodically in 2 series; diaphragm thickening fraction (DTF) values using ultrasonography, changes in tidal impedance variance (ΔTIV), changes in global end expiratory lung impedance and region of interest (ΔEELI-G and ΔEELI-ROI) using electrical impedance tomography, arterial oxygen and carbon dioxide partial pressure (PaO2 and PaCO2). Side effects and complaints that arise were collected and managed. A total of 66 subjects were included in the bivariate using t-test and mann whitney test, while trends were analyzed by general linear models or generalized estimating equations. The baseline characteristics of mechanical ventilation duration in the ICU, the predicted mortality rate and P-POSSUM score between the two groups were significantly different (p = 0.003; 0.001; and 0.019, respectively). No trend differences were found between groups in the first series of DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI and PaCO2 parameters (p = 0.951; 0.100; 0.935; 0.446; and 0.705, respectively) and in the second series (p = 0.556, 0.091, 0.429, 0.423 and 0.687, respectively). The PaO2 trends in the first and second series differed very significantly (p<0.001) due to the higher oxygen fraction regulation protocol in the COT group. The use of HFNC is no better than COT in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Harry Adoe
"Latar belakang. Continuous positive airway pressure (CPAP) dan nasal intermittent positive ventilation (NIPPV) mengurangi intubasi dan ventilasi mekanik pada neonatus dengan gawat napas. Masih sedikit penelitian yang membandingkannya pada neonatus cukup bulan maupun kurang bulan.
Tujuan. Mengetahui kejadian intubasi, lama dukungan ventilasi non invasif dan pemakaian oksigen, bronchopulmonary dysplasia (BPD), dan kematian antara CPAP dan NIPPV pada neonatus dengan gawat napas.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap neonatus dengan gawat napas, usia gestasi 28-40 minggu, lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi pada periode Januari 2013 - Juni 2015. Pengambilan subyek penelitian secara konsekutif, memenuhi kriteria inklusi, dan menggunakan bantuan napas dengan CPAP atau NIPPV, masing-masing 50 subjek.
Hasil. Neonatus dengan gawat napas menggunakan CPAP maupun NIPPV disebabkan karena respiratory distress syndrome , transient tachypnea of the newborn, pneumonia neonatal. Rerata usia gestasi dan berat lahir pada kelompok CPAP (34±3,11 minggu, 2018±659 gr) dan NIPPV [34 (28-40) minggu, 2050 (900-3900) gr]. Kejadian intubasi dan kematian berkurang, rerata hari dukungan ventilasi non infasif maupun pemakaian oksigen lebih lama pada NIPPV dibandingkan CPAP.
Simpulan. NIPPV mengurangi kejadian intubasi dan kematian pada neonatus dengan gawat napas dibandingkan CPAP.

Background. Continuous positive airway pressure (CPAP) and nasal intermittent positive ventilation (NIPPV) reduce intubation and mechanical ventilation. Still limited studies compare to CPAP and NIPPV in term and preterm infant with respiratory distress.
Purpose. To determine CPAP and NIPPV to the event of intubation, duration non-invasive ventilation and oxygen support, bronchopulmonary dysplasia, and death in neonate.
Methods. Retrospective cohort study was conducted to newborn with gestational age 28-40 weeks were born at General Hospital of Bekasi City, January 2013 - June 2015. Consecutive subjects and met inclusion criteria for CPAP and NIPPV group, each one 50 subjects.
Results. CPAP and NIPPV were support to neonate with respiratory distress due to respiratory distress syndrome, transient tachypnea of the newborn, and pneumonia. Mean gestational age and birth weight in CPAP group (34 ± 3.11 weeks, 2018 ± 659 gr) and NIPPV [34 (28-40) weeks, 2050 (900-3900) g]. Raduce rate of intubation and death, duration of non-invasive ventilation and oxygen support longer to NIPPV than CPAP in neonate.
Conclusion. NIPPV reduce intubation and mortality rate comparison to CPAP in neonate
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Latar Belakang. Selama ini pemberian oksigen dengan nasal kanul, sungkup hidung dan wajah merupakan tatalaksana pertama untuk gagal nafas hipoksemia. Alat high flow nasal cannula (HFNC) merupakan alternatif terapi oksigen yang lebih baik dari nasal kanul, karena dapat mengalirkan oksigen hingga 60 L/menit, FiO2 21% hingga 100% yang dilengkapi penghangat serta pelembab udara. Alat tersebut dapat menurunkan kerja otot- otot pernafasan dengan mekanisme menurunkan tekanan jalan nafas positif dan tahanan jalan nafas, meningkatkan oksigenasi, serta menghilangkan ruang rugi nasofaring. Penelitian ini bertujuan membandingkan HFNC dengan terapi oksigen konvensional (TOK) terhadap profil hemodinamik dan mikrosirkulasi pada pasien pascabedah.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji acak terkendali yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo bulan Februari hingga Juli 2019. Sebanyak 40 subjek terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok HFNC (n=20) dan kelompok terapi oksigen konvensional (TOK) (n=20). Pengambilan data dilakukan pada menit ke-0, 30, 60, jam ke-3 dan ke-24 setelah prosedur ekstubasi. Pengambilan data dilakukan menggunakan kateter vena sentral yang tertera di monitor, pengambilan darah dari kateter vena sentral, serta pengukuran hemodinamik dengan ICON® dari Ospyka. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji-t tidak berpasangan dan generalize estimating equation (GEE) dengan SPSS versi 23.
Hasil. Hasil uji kemaknaan menunjukkan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok HFNC dengan kelompok TOK untuk seluruh luaran hemodinamik (p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna untuk luaran kadar laktat pada uji GEE dengan perbedaan rerata sekitar 0,78 mmol/L (nilai p=0,049), namun secara klinis tidak berbeda bermakna. Hal ini disebabkan tidak ada subyek kami yang mengalami hipoksemia maupun gangguan hemodinamik perioperatif.
Kesimpulan. Penggunaan alat HFNC tidak lebih baik dibandingkan nasal kanul pada pasien pascabedah laparotomi abdomen atas di ICU.

Background. Conventional oxygen therapy (COT) with nasal cannula, simple mask or face mask remains as the first line therapy for hypoxemic respiratory failure. High flow nasal cannula (HFNC) serves as an alternative oxygen therapy which can deliver oxygen at the flow up to 60 L/min and FiO2 ranging from 21% to 100% via warm and humid air based on human's physiology. This device can decrease the workload of respiratory muscles by reducing positive airway pressure and airway resistances, improving oxygenation and washing out airways' dead space. This research was conducted to study the comparison between HFNC and COT on hemodynamic profile and microcirculation in post-upper abdominal patients.
Methods. This was an open label randomized controlled trial (RCT) at National Cipto Mangunkusumo between February to July 2019. Forty patients were recruited and divided into HFNC group (n=20) and COT group (n=20). Hemodynamic parameters were recorded using the bedside monitor (heart rate, respiratory rate, and mean arterial pressure) as well as the electrical cardiometry using ICON® measurements (stroke volume index, cardiac index and systemic vascular resistance index); laboratory parameters were ScvO2 and lactate serum collected via central venous catheter. Data were collected at 0, 30 minutes, 60 minutes, 3 hours and 24 hours after extubation. Statistic analysis were conducted using independent sample T-test and generating estimating equations (GEE) with SPSS 23.
Results. All analysis showed no statistically significant difference between HFNC and COT group for all hemodynamic parameters (p>0.05). There was a significant mean difference for 0.78 mmol/L of serum lactate level according to GEE analysis in HFNC group (p=0.049), whereas this difference is not clinically significant. This results are caused by relatively stable subjects condition without the occurrence of perioperative hypoxemia or hemodynamic disturbances.
Conclusion. In post-upper abdominal surgery patients, HFNC is not superior compared to COT on improving hemodynamic and microcirculation outcomes.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Wahyu Puspaningtyas
"Non-invasive respiratory support adalah suatu metode pemberian bantuan napas mekanik tanpa intubasi. High flow nasal cannula (HFNC) dan continuous positive airway pressure (CPAP) termasuk dalam golongan ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas HFNC dibandingkan dengan CPAP pada anak dengan gagal napas hipoksemia akut. Uji klinis acak terkontrol dilakukan pada anak gagal napas hipoksemia akut (saturasi oksigen <90%) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek dilakukan randomisasi dan terbagi ke dalam kelompok HFNC atau intubasi dengan modus CPAP. Pemeriksaan gas darah dan pengambilan parameter klinis (saturasi oksigen, laju napas, laju nadi), skor nyaman dan lingkar perut sebagai data dasar dan dalam 1 jam pasca-pemasangan alat. Sebanyak 22 subyek penelitian, kelompok HFNC dan CPAP, menunjukkan perbaikan parameter klinis dan skor nyaman yang bermakna 1 jam pasca pemasangan alat (p<0,05). Terdapat peningkatan rasio PF (PO2/FiO2) pada kedua kelompok dengan hasil yang bermakna pada kelompok HFNC (p = 0,023). Tidak ada perbedaan efektivitas antara HFNC dan CPAP. Penelitian ini tidak menemukan adanya efek samping aerofagi, iritasi mukosa hidung dan intoleransi minum pasca-pemasangan HFNC. Dengan demikian HFNC sama efektif dengan CPAP dalam memperbaiki parameter klinis dan rasio PF (PO2/FiO2) pada anak dengan gagal napas hipoksemia akut. HFNC dan CPAP dapat memberikan kenyamanan dalam pemakaiannya.

Non-invasive respiratory support provides mechanical positive presure breathing assistance without intubation. High flow nasal cannula (HFNC) and continuous positive airway pressure (CPAP) belong to this group. This research is conducted to see the efficacy of HFNC in acute hypoxemic respiratory failure pediatric patient compared to CPAP mode through intubation. A randomized controlled trial study of children with acute hypoxemic respiratory failure (oxygen saturation less than 90%) was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients who met the inclusion criteria were randomized and divided into HFNC or intubated with CPAP mode group. Clinical parameters (oxygen saturation, respiratory rate, and pulse rate), comfort behaviour score, abdominal circumference, and blood gas analysis were evaluated as initial data dan within one hour after device installation. Out of 22 subjects, HFNC and CPAP group showed significant improvement in clinical parameters and comfort score within one hour after device installation (p<0,05). There was an increase of PF ratio (PO2/FiO2) in both groups with significant result for HFNC group (p=0,023). No difference in efficacy between HFNC and CPAP group. There were no adverse events of aerophagia, nasal mucosal irritation and feeding intolerance in HFNC group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Adhi Teguh Perma Iskandar
"ABSTRAK
Sesak napas bayi baru lahir merupakan morbiditas tersering pada bayi prematur < 35 minggu. Sesak napas harus ditangani secepatnya dengan pemberian tekanan jalan napas positif. Sampai saat ini, nCPAP merupakan pilihan pertama terapi ventilasi non-invasive untuk bayi prematur. Walaupun efektif, nCPAP sering memberikan efek samping berupa trauma hidung. Heated humidified high flow nasal cannulae merupakan metode terapi oksigen beraliran tinggi yang tanpa sengaja mampu memberikan tekanan jalan napas positif, namun keamanan dan efektifitasanya masih belum banyak diteliti. Mengetahui efektifitas dan keamanaan HHHFN dibanding nCPAP pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu yang mengalami sesak napas derajat sedang. Penelitian ini merupakan uji klinis non-inferioritas, acak, tidak tersamar yang membandingkan HHHFN dan nCPAP pada bayi prematur usia yang mengalami sesak napas sejak dari kamar bersalin Tidak ada perbedaan insiden intubasi endotrakeal pada pemakaian < 72 jam HHHFN 20 dibanding nCPAP 18 p = 0,799 . Terdapat perbedaan proporsi trauma hidung derajat 2 pada penggunaan nCPAP 14 dibanding HHHFN 0 . Tidak terdapat perbedaan pH, pCO2, pO2 darah arteri, lama capaian minum enteral penuh, lama penggunaan alat, lama perawatan metode kanguru, dan insiden komplikasi BPD, IVH, PDA, NEC dan SNAL antara pengguna nCPAP dan HHHFN. HHHFN tidak lebih inferior ditinjau dari efektivitas dan keamanan dibanding nCPAP sebagai terapi non-invasif pada bayi pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu dengan berat lahir > 1000 gram yang mengalami sesak napas derajat sedang jika diberikan sedini mungkinABSTRACT
Respiratory distress in new borns are the most common morbidity in premature babies 35 weeks. It should be treated immediately with positive airway pressure. Nasal CPAP is still the first choice of treatment for these cases. Despite its effectivity, nCPAP is proved causing nasal trauma as side effect. Meanwhile Heated Humidified high flow nasal cannula is an alternative oxygen therapy which also could generate inadvertent positive pressure airway, but the effectivity and safety has not been widely studied. The goal of this study is s identifying the effectivity and safety of HHHFN and nCPAP in premature babies ages 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress. This research is a random, non inferiority, clinical trial which compares safety and effectivity between HHHFN and nCPAP in treating babies with moderate respiratory distress since in the delivery room. There is no difference in incidence of endotracheal intubation in 72 hours of HHHFN 20 compared to nCPAP 18 p 0,799 . There is a significant difference of moderate nasal trauma in nCPAP 14 compared to HHHFN 0 . There are no statistically differences of pH, pCO2, pO2 time to full enteral feeding, length of Kangaroo Mother care, length of using the devices, and rate of in complication BPD, IVH, PDA, NEC and SNAL between nCPAP dan HHHFN user. HHHFN is not inferior than nCPAP in terms of safety and effectivity as primary noninvasive therapy in premature babies age 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress if given as early as possible."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juliani
"Latar belakang: Nasal CPAP dini sebagai standar bantuan napas untuk mengatasi sindrom gawat napas telah diketahui, namun masih ada 30-80 % kegagalan terapi NCPAP untuk mencegah penggunaan ventilator mekanik. NIPPV dilaporkan lebih mampu menurunkan kegagalan bantuan napas non invasif dibandingkan NCPAP, tetapi beberapa penelitian lain menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam kegagalan terapi antara NCPAP dan NIPPV. Sampai saat ini belum ada penelitian uji klinik terkendali yang membandingkan NIPPV dengan NCPAP sejak di ruang bersalin. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui apakah pengunaan NIPPV dini sejak di ruang bersalin sebagai terapi awal sindrom gawat napas pada bayi prematur, mampu menurunkan kegagalan terapi non invasif dibanding dengan NCPAP. Metode: Uji acak terkendali tidak tersamar ganda, pada bayi dengan usia gestasi 28 sampai <35 minggu dengan sindrom gawat napas yang tidak membutuhkan intubasi subyek saat resusitasi, di randomisasi untuk mendapatkan NCPAP atau NIPPV sejak dari ruang bersalin. Terdapat 52 subyek bayi yang terandomisasi 27 pada kelompok NCPAP dan 25 pada kelompok NIPPV, dengan berat badan lahir 1.513+374 gram vs 1522+411 gram, usia gestasi 32+1,5 minggu vs 32+1,7 minggu. Hasil : Proporsi subyek dalam kelompok NCPAP yang gagal terapi terdapat 16 bayi (59,2%) sedangkan di kelompok NIPPV terdapat 2 bayi (8,0%) dengan RR 0,135 (IK 95% 0,040- 0,619) dengan p =0,025. Dari kelompok NCPAP subyek yang memerlukan intubasi sebanyak 7 bayi (26%) sedangkan di NIPPV sebanyak 2 bayi (12%). Terdapat 9 bayi dalam kelompok NCPAP yang membutuhkan bantuan NIPPV dalam 72 jam pertama, dan semuanya terhindar dari pemakaian ventilasi mekanik. Simpulan : penggunaan NIPPV dini sejak dari ruang bersalin dapat menurunkan kegagalan terapi non invasif pada bayi prematur dibandingkan NCPAP.

Background: Early nasal CPAP has been proven to be an effective therapy for respiratory distress syndrome in neonates. However, 30-80% of this intervention fails to avoid the use of mechanical ventilator. Some studies report that NIPPV is a more preferable approach compared to NCPAP, but the results remain conflicting. There are no randomized clinical trials of using NIPPV compare to NCAP in the delivery room. Objective: The aim of this study was to determine the efficacy of early NIPPV as an initial therapy for respiratory distress compared to early NCPAP in premature neonates. Methods: This is a randomized, controlled, single blind study. Subjects included neonates with a gestational age between 28 until less than 35 weeks with respiratory distress syndrome that did not require intubation at resuscitation. Patients were randomized into NCPAP and NIPPV since in the delivery room, immediately after birth. Twenty-seven infants randomized to NCPAP and 25 comparable infants to NIPPV, with birth weight  1.513+374 gram vs 1.522+411 gram, and gestational age 32+1,5 week vs 32+1,7 week. Results: A higher number of premature neonates eventually failed NCPAP in the  control group compared to the NIPPV group (59.2% vs. 8.0%, RR 0,135 (IK 95% 0,040 - 0,619), p = 0.025. There were 26% subjects in the NCPAP group that required intubation, as opposed to only 12% in the NIPPV group. Additionally, there were 9 subjects in the NCPAP group that required NIPPV in the first 72 hours, all of whom did not require mechanical ventilation. Conclusion: The use of early NIPPV after birth was found to reduce the intervention failure of non-invasive methods compare with NCPAP."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suni Hariati
"Bayi prematur sering mengalami masalah akibat hipotermi dan berat badan rendah. Disinilah perawat anak berperan dalam memberikan stimulasi untuk mencegah terjadinya komplikasi, kecacatan, dan kematian bayi. Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan berat badan dan suhu tubuh melalui terapi musik sebagai salah satu stimulasi dalam keperawatan anak. Desain penelitian menggunakan quasi-experimental pada 30 bayi prematur stabil. Musik diputar selama 30 menit/hari dalam 3 hari. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan peningkatan berat badan yang signifikan pada hari ke-2, ke-4 dan total (P value 0,031; 0,030; dan 0,002). Terdapat perbedaan peningkatan suhu tubuh yang signifikan pada hari I, II, dan III (P value 0,006; 0,002; dan 0,002). Terdapat pula pengaruh APGAR menit 1 pada peningkatan berat badan. Penelitian ini merekomendasikan penggunaan terapi musik dalam penanganan bayi prematur di ruang perinatologi.
Premature babies often experience of low body weight and hypothermic problem. This is where nurses play a role in stimulating the child to prevent complications, disability, and infant mortality.This research purposed to know increases weight body and temperature by music therapy as a babies stimulation in pediatric nursing. Research Design use quasi-experimental on 30 stabilize premature babies. Music turned around during 30 minute / day in 3 day. Result of research show there is difference of body weight increase which is significant on second, fourth and total day (P Value 0,031; 0,030; and 0,002). There are difference of body temperature increase which is significant on I, II, and III ( P Value 0,006; 0,002; and 0,002). There are also first minute APGAR influence at body weight increase. This research recommend to use music therapy in premature baby in perinatology room."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T41461
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adriansyah
"ABSTRAK
Latar Belakang. Indometasin dan ibuprofen merupakan standar obat yang digunakan untuk menutup duktus arteriosus persisten dengan gangguan hemodinamik signifikan (hemodinamically significant patent ductus arteriosus, hs-PDA). Sediaan injeksi intravena dari kedua obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Beberapa laporan kasus serial sebelumnya menunjukkan parasetamol intravena dapat menjadi alternatif pengobatan hs-PDA pada bayi prematur.
Tujuan. Untuk mengevaluasi efek parasetamol intravena dalam penutupan PDA pada bayi prematur.
Metode. Desain kuasi-eksperimental dilakukan mulai 15 Mei sampai 31 Agustus 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kriteria diagnosis hs-PDA berdasarkan ekokardiografi dan diameter duktus diukur dari pandangan parasternal sumbu pendek atau pandangan suprasternal sumbu panjang. Bayi prematur usia 2-7 hari diberikan parasetamol intravena dosis 15 mg/kg tiap 6 jam diberikan selama 3-6 hari dan dipantau sampai usia kronologis 14 hari. Uji Fischer exact digunakan untuk menilai hubungan antara kelompok bayi dengan penutupan PDA. Uji t berpasangan digunakan untuk menilai perubahan diameter duktus antara sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian dinyatakan bermakna jika P<0,05.
Hasil. Sebanyak 29 bayi diikutsertakan dalam penelitian. Rerata usia gestasi 30,8 minggu dan berat lahir 1347 gram. Sembilan belas berhasil menutup, 1 reopening, 9 gagal menutup, dan tidak ditemukan intoksikasi hati. Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok bayi berdasarkan usia gestasi dan berat lahir dalam penutupan PDA. Rerata diameter duktus sebelum intervensi 3,0 mm dan saat pemantauan usia empatbelas hari 0,6 mm. Diameter duktus berkurang sebelum dan sesudah intervensi (P<0,0001).
Kesimpulan. Parasetamol intravena efektif dalam penutupan PDA pada bayi prematur.

ABSTRACT
Introduction. Indomethacin and ibuprofen are standard drugs for closing hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in premature babies. Intravenous injection for both drugs is not yet available in Indonesia. Some previous case series shown intravenous paracetamol can be used as an alternative treatment of hs-PDA in premature babies.
Objective. To evaluate intravenous paracetamol effect on closure of PDA in premature babies.
Methods. Quasi-experimental design was conducted from May 15th to August 31th 2014 in the Dr. Ciptomangunkusumo General Hospital. Echocardiographic diagnosis of PDA was measured from parasternal-short-axis-view or suprasternal-long-axis-view. The premature babies aged 2 to 7 days were administered intravenous paracetamol of 15 mg/kg every six hours for a-3 day cycle and followed up to chronological age of 14 days. Fischer exact test was used to assess the association between babies group and closure of PDA. Pair t test was used to evaluate duct diameter between before, after intervention, and a-14 day follow up. P<0.05 was considered as statistically significant.
Results. Twenty-nine babies were included. Mean of gestational age was 30.8 weeks and birth weight was 1347 gram. Nineteen (65.5%) cases were successfully closed, 1 case reopening, 8 cases failed, and no hepatic intoxication seen. No significant differences between babies group on closure of PDA. The mean of duct diameter before, after intervention, and a-14 day follow up were 3.0 mm, 0.9 mm, and 0.6 mm, respectively (P<0.0001).
Conclusion. Intravenous paracetamol is quite effective on closure of PDA in premature babies."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>