Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yohanes Triatmanto
"Obesitas merupakan pandemi yang prevalensinya semakin meningkat termasuk di Indonesia, yang komplikasinya dapat diccegah dengan penatalaksanaan dini. Obesitas sentral ditemukan pada penelitian sebelumnya dengan nilai luas penampang VAT ≥ 100 cm2. Saat ini di Indonesia belum ada yang meneliti mengenai luas penampang lemak viseral pada populasi perempuan usia 18-50 tahun untuk mengetahui komposisi lemak tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara parameter antropometri dengan luas penampang lemak viseral (VAT) pada perempuan berusia 18-50 tahun. Dilakukan  studi cross sectional pada subjek yang CT-scan regio abdomen di departemen radiologi RSCM dan kemudian dilakukan pengukuran parameter antropometri yang mencakup lingkar pinggang (WC), rasio lingkar pinggang-tinggi badan (WtHR), dan indeks massa tubuh (IMT). Analisis korelasi, analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada paremeter antropometri tersebut untuk mendapatkan formula yang dapat memprediksi komposisi lemak viseral tubuh. Ditemukan 51,9% subjek memiliki status gizi overweight dan obesitas, dan ditemukan 28,8% subjek memiliki luas penampang VAT ≥ 100 cm2. WC, WtHR, dan IMT memiliki korelasi positif kuat terhadap nilai luas penampang VAT dengan nilai p <0,0001 dan nilai R masing-masing 0,770, 0,770, dan 0,797. Ditemukan titik potong untuk nilai luas penampang VAT = 100cm2 untuk WC=83,1 cm (sensitivitas,spesifisitas: 93,3%,83,3%), WtHR= 0,5376 (86,7%, 81,1%), dan IMT = 24,1203 (86,7, 81,1%). Sebagai simpulan, terdapat korelasi positif kuat antara WC, WtHR, dan IMT terhadap luas penampang VAT. Ditemukan titik potong untuk nilai VAT = 100cm2 untuk masing-masing parameter antropometri yang dapat memprediksi terjadinya obesitas sentral.

Obesity has become pandemic and it’s prevalence has been increasing each years, including in Indonesia, and the complication can be prevented with early intervention. Central obesity has been measured based on previous studies with VAT surface area ≥ 100 cm2. At the moment in Indonesia there are no studies regarding VAT surface area in 18-50 years old women. This study aims to identify the correlation of antropometric profile to Visceral Adipose Tissue surface area in 18-50 years old women. A cross-sectional study was conducted on subjects who had a CT scan of the abdominal region at the RSCM radiology department and then anthropometric parameters were measured including waist circumference (WC), waist circumference-height ratio (WtHR), and body mass index (BMI). Correlation analysis, bivariate and multivariate analysis were carried out on these anthropometric parameters to obtain a formula that can predict the body's visceral fat composition. It was found that 51.9% of subjects had overweight and obesity nutritional status, and it was found that 28.8% of subjects had a VAT cross-sectional area ≥ 100 cm2. WC, WtHR, and IMT have a strong positive correlation with the VAT cross-sectional area value with a p value <0.0001 and an R value of 0.770, 0.770, and 0.797, respectively. The cut point was found for the cross-sectional area value VAT = 100cm2 for WC = 83.1 cm (sensitivity, specificity: 93.3%, 83.3%), WtHR = 0.5376 (86.7%, 81.1%), and BMI = 24.1203 (86.7, 81.1%). In conclusion, there is a strong positive correlation between WC, WtHR, and BMI on VAT cross-sectional area. A cut point was found for the VAT value = 100cm2 for each anthropometric parameter which can predict the occurrence of central obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bennadi Adiandrian
"Latar Belakang: Obesitas merupakan suatu keadaan terdapatnya jaringan lemak dalam tubuh yang berlebihan. Kondisi ini berhubungan dengan penyakit kardiovaskular, salah satunya adalah aterosklerosis. Aterosklerosis pada sistem pembuluh darah karotis hingga saat ini merupakan penyebab terbesar stroke iskemik di dunia dengan jumlah kasus terbanyak pada rentang usia 45-64 tahun. Dengan menggunakan teknik single slice CT-scan dapat dihitung komposisi lemak viseral (VAT) maupun lemak subkutan (SAT) tubuh dengan baik. Sedangkan USG merupakan modalitas radiologi yang baik untuk skrining aterosklerosis pada arteri karotis komunis dengan mengukur ­Intima-Media Thickness (IMT).
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi lemak yang berhubungan terhadap aterosklerosis karotis komunis dan lingkar pinggang.
Metode: Sebanyak 32 subjek penelitian yang melakukan pemeriksaan CT-scan regio abdomen, dilakukan penghitungan luas penampang VAT, SAT dan rasio VAT/SAT dengan menggunakan software volumetri SyngoTM, pengukuran IMT arteri karotis komunis kanan dan kiri menggunakan USG yang dilengkapi dengan software auto-IMT, dan pengukuran lingkar pinggang. Kemudian dilakukan analisa korelasi antara VAT, SAT, dan rasio VAT/SAT terhadap IMT karotis serta lingkar pinggang (WC).
Hasil: Terdapat korelasi lemah antara luas penampang VAT terhadap IMT karotis komunis (ρ = 0,21 ; p = 0,248), antara luas penampang SAT terhadap IMT karotis komunis (ρ = 0,37 ; p = 0,036) dan korelasi negatif lemah antara rasio VAT/SAT terhadap IMT karotis komunis (ρ = -0,24 ; p = 0,193). Selain itu didapatkan korelasi kuat antara VAT terhadap lingkar pinggang (ρ = 0,73 ; p < 0,05), korelasi positif sangat kuat antara SAT terhadap lingkar pinggang (ρ = 0,87 ; p < 0,05), dan korelasi negatif lemah antara rasio VAT/SAT terhadap lingkar pinggang (ρ = -0,37 ; p = 0,038).
Kesimpulan: Luas penampang VAT dan SAT berkorelasi lemah terhadap IMT karotis komunis. Luas penampang VAT berkorelasi kuat terhadap lingkar pinggang, luas penampang SAT berkorelasi sangat kuat terhadap lingkar pinggang. Rasio VAT/SAT memiliki korelasi negatif lemah terhadap IMT karotis komunis dan lingkar pinggang. Pengukuran lingkar pinggang dapat digunakan unuk memprediksi volume VAT dan SAT.

Backgorund: Obesity is a condition with high level of fat deposition in the body. This condition is related to cardiovacular diseases including atherosclerosis. Carotid athersclerosis until now is known as the main cause of ischemic stroke in the world with the most cases ranged between 45-64 years old. With single slice CT-scan technique, we can estimate the composition of visceral adipose tissue (VAT) and subcutaneous adipose tissue (SAT) very well. USG is the best modality for carotid atherosclerosis screnning by measuring ­Intima-Media Thickness (IMT) of the common carotid artery.
Purpose: of this study is to determine which one of these fat is correlated to carotid atherosclerosis and waist circumference (WC).
Methods: Thirty two subjects that underwent an abdominal CT-scanning were calculated for their area of VAT, SAT, dan VAT/SAT ratio using SyngoTM volumetric software. Measurement of the IMT was done by using auto-IMT software in USG. Their waist circumference were also measured. Correlational analysis were done between VAT, SAT, VAT/SAT ratio with carotid IMT and waist circumference (WC).
Result: There was a low correlation between VAT and common carotid IMT (ρ = 0,21 ; p = 0,248), SAT and common carotid IMT (ρ = 0,37 ; p = 0,036). Low negative correlation was shown between VAT/SAT ratio and carotid IMT (ρ = -0,24 ; p = 0,193). This study also showed a strong correlation between VAT and waist circumference (ρ = 0,73 ; p < 0,05), very strong correlation between SAT and waist circumference (ρ = 0,87 ; p < 0,05), also low negative correlation between VAT/SAT ratio and waist circumference (ρ = -0,37 ; p = 0,038).
Conclusion: There are low correlation between VAT and SAT and common carotid IMT. There is strong correlation between VAT and waist circufmerence, very strong correlation between SAT and waist circumference. There is low inverse correlation between VAT/SAT ratio and waist circumference. Therefore the measurement of waist circumference can be used to predict VAT and SAT volume.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Ada berbagai cara pemrosesan jaringan lemak sebelum dikultur, tergantung jenis sampelnya yang dapat mempengaruhi hasil kultur. Penelitian ini bertujuan membandingkan berbagai modifi kasi prosedur kultur dan subkultur jaringan lemak yang disesuaikan dengan kondisi lab yang ada.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan di Makmal Terpadu Imunologi dan Endokrinologi, Universitas Indonesia, mulai Oktober 2009 sampai April 2010. Kami membandingan tiga cara pemrosesan, berbagai jumlah sel yang ditanam yang tergatung jumlah perolehan sel, dan dua cara subkultur, lalu membandingkan hasilnya dalam hal jumlah sel yang dihasilkan dan waktu yang diperlukan. Pada cara pemrosesan pertama, pencernaan dengan collagenase-1 dilakukan selama 30 menit dan jumlah sel yang ditanam adalah 24.000 dan 36.000 sel per wadah kultur; pada cara kedua, pencernaan dengan collagenase-1 dilakukan selama 60 menit dan jumlah sel yang ditanam adalah 24.000, 48.000, dan 72.000 per wadah kultur; dan pada cara ketiga, sisa jaringan lemak dari pemrosesan pertama dicerna kembali selama 45 menit dan jumlah sel yang ditanam adalah 74.000 dan 148.000 per wadah kultur. Perbedaan cara subkultur adalah pada ada atau tidaknya tahap pencucian.
Hasil: Prosedur -1 menghasilkan jumlah sel yang paling sedikit, dan sesudah dikultur, selnya tumbuh sangat lambat, dan terkontaminasi sebelum panenan kultur primer. Prosedur-2 dan -3 berhasil menumbuhkan kultur primer. Beberapa kultur terkontaminasi, sehingga tidak dapat dilanjutkan dengan subkultur, dan hanya satu cara pemrosesan (prosedur-2: pencernaan collagenase-1 selama 60 menit tanpa penggunaan dapar pelisis, dan jumlah sel yang ditanam 48.000 dan 72.000) yang berhasil menyelesaikan semua proses yang direncanakan sampai subkultur ketiga. Walaupun beberapa prosedur tidak mencapai subkultur ketiga, hasilnya tetap dapat disimpulkan. Kesimpulan: Penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa pencernaan collagenase-1 selama 60 menit dipadu dengan goyangan berkala setiap 5 menit dan jumlah sel yang ditanam sekitar 50.000 atau lebih, diikuti dengan cara subkultur tanpa tahap pencucian memberi hasil yang terbaik.

Abstract
Background: There are various methods of processing adipose tissue before culture, depending on the adipose tissue samples. The aim of this study is to compare several modifi cations of culturing and sub-culturing procedures of adipose tissue to fi t the condition in our laboratory.
Method: This is a descriptive study that was done in the Immunology and Endocrinology Integrated Laboratory, University of Indonesia, from October 2009 to April 2010. Three adipose tissue processing procedures, various amount of seeding and two subculture methods were compared in term of cell yield and time needed. In the fi rst procedure, collagenase-1 digestion was done in 30minutes, cell seeding were 24,000 and 36,000 per fl ask; in the second procedure, collagenase-1 digestion was done in 60minutes, cell seeding were 24,000, 48,000, and 72,000 per fl ask; and in the third procedure, the adipose tissue remnants from the fi rst procedure were again digested for another 45 minutes, cell seeding were 74,000, and 148,000 per fl ask. Difference in subculture methods were the presence or absence of washing step.
Result: Procedure 1 yielded the lowest amount of cell, and after culture, the cells grew very slow, and was contaminated before harvest of primary culture. Procedure-2 and -3 succeeded to yield primary cultures. Some of the cultures were contaminated, so that further subculture was not applicable, and only one tissue processing procedure (procedure 2: 60 minute collagenase-1 digestion, without lysis buffer, cell seeding 48,000 and 72,000) could complete the three subcultures. Though some of the procedures could not be completed, fi nal result could be concluded.
Conclusion: In this preliminary study, 60 minute colagenase-1 digestion with intermittent shaking every 5 minutes and cell seeding around 50,000 or more, followed by subculture method without washing step gave the best result."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadine Gracia Duindrahajeng
"Latar Belakang: Prevalensi obesitas sentral di Indonesia sedang meningkat dan populasi yang cukup terpengaruh oleh ini adalah wanita umur reproduktif, terutama pada masa beranak karena banyaknya paparan faktor risiko. Salah satu faktor risiko yang dapat dieksplor lebih jauh adalah kualitas diet, dimana teori menunjukkan bahwa nilai buruk pada indeks kualitas diet menjadi prediktif terhadap status gizi yang buruk, salah satunya ukuran lingkar perut. Studi ini memiliki tujuan untuk menganalisis hubungan antara kualitas diet dan lingkar perut pada wanita 6-bulan postpartum. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitikal numerik dengan bentuk potongan melintang menggunakan data sekunder dari projek besar ‘BRAVE’ oleh Grand Challenges Canada di Human Nutrition Research Center (HNRC) IMERI yang diambil dari wanita 6-bulan postpartum. Wanita pada studi diambil dari beberapa daerah di Jakarta dalam rentang umur 20-40 tahun, lalu dilakukan randomisasi untuk mengambil 130 data demi analisis study. Nilai kualitas diet diukur dengan Alternate Healthy Eating Index for Pregnancy (AHEI-P) dan lingkar perut diukur oleh tim riset dari BRAVE menggunakan pemeriksaan fisik langsung pada subjek. Hasil: Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata nilai AHEI-P subjek adalah 39.42± 8.12 , dengan 77.7% termasuk dalam kategori buruk dan 22.3% termasuk dalam kategori butuh peningkatan. Prevalensi obesitas sentral di populasi adalah 76.9%. Tidak ada hubungan ditemukan antara nilai AHEI-P dan lingkar perut. Melalui multiple linear regression, ditermukan bahwa 1-unit peningkatan AHEI-P score meningkatkan lingkar perut 0.055 cm (p = 0.50, Adjusted β = 0.055, 95% CI = -0.11 - 0.22) namun asosiasi tidak dapat ditegakkan antara AHEI-P dan lingkar perut meskipun sudah disesuaikan dengan perancu. Kesimpulan: Studi menunjukkan kualitas diet pada populasi subjek termasuk buruk dan prevalensi obesitas sentral termasuk tinggi, dengan tidak ditemukan adanya hubungan antara nilai AHEI-P yang mengukur kualitas diet dengan lingkar perut, bahkan setelah disesuaikan dengan perancu. Studi lebih lanjut dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah subjek untuk melakukan konfirmasi pada penemuan.

Background: The prevalence of central obesity in Indonesia has been increasing, with the majority affecting women of reproductive age, especially during childbearing ages due to the many risk factors they are exposed to. One risk factor that has not been extensively analyzed is diet quality in postpartum women and its association with nutritional status such as waist circumference. This study aims to find the association between diet quality and waist circumference in 6-month postpartum women. Methods: This research is cross-sectional design study using secondary data from the end line measurement from the ‘BRAVE’ study from Grand Challenges Canada of the Human Nutrition Research Center (HNRC) IMERI on 6-month postpartum women. The women are recruited from xx areas in Jakarta within the age range of 20-40 years old. Randomly selected 130 women’s WC and diet data were analyzed in the study. The diet quality score is measured by the Alternate Healthy Eating Index for Pregnancy (AHEI-P) and WC are measured by primary BRAVE researchers through home visits physical examination. The association were analyzed by a numerical correlation analysis. Results: This study found that the subjects has a mean AHEI-P score of 39.42± 8.12, with 77.7% considered in the poor category and 22.3% in the needing improvement (22.3%) category. Prevalence of central obesity in the population is 76.9%. Between AHEI-P score and waist circumference measurement, no association can be concluded between the two. Through multiple linear regression with the adjusted model, 1 (one) unit increase of AHEI-P score, the WC measurement would increase by 0.055 cm (p = 0.50, Adjusted β = 0.055, 95% CI = -0.11 - 0.22), but no association could be established between the two even after adjustments with the confounders. Conclusion: The study shows that the diet quality is poor and prevalence of central obesity is high in the study population, with no association found between AHEI-P score and waist circumference measurements even after adjustment with significant confounding. However, further study with bigger sample sizes is needed to confirm the finding."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"This book is designed to provide a comprehensive insight into current perspectives and challenges in adipose tissue biology. In Adipose tissue biology, scientists and clinicians discuss adipocyte precursors, differentiation and growth, brown and white adipose tissue, gender, inflammation, dietary and genetic determinants of fat mass, together with evolutionary and developmental aspects of adiposity."
New York: Springer, 2012
e20401384
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Listyandini
"ABSTRAK
Akhir-akhir ini, berbagai studi berfokus pada indeks antropometri untuk obesitas seperti lingkar pinggang (LP), rasio lingkar pinggang-lingkar pinggul (RLPP), dan rasio lingkar pinggang-tinggi badan (LP-TB) sebagai faktor prediksi sindrom
metabolik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi cut-off points dengan sensitivitas
dan spesifistas optimal dari indeks antropometri untuk obesitas dalam mendefinisikan
sindrom metabolik menurut kriteria NCEP-ATP III pada pegawai di area Tanjung
Priok di Jakarta. Desain penelitian adalah cross sectional. Analisis data menggunakan
kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) untuk mengindentifikasi cut-off
points optimal dari LP, RLPP, dan LP-TB dalam memprediksi sindrom metabolik.
Total sampel diperoleh sebanyak 256 responden (174 pria dan 82 wanita) berusia 20-
58 tahun, yang bekerja di instansi pemerintah di area pelabuhan Tanjung Priok.
Berdasarkan area under curve (AUC), didapatkan indeks antropomteri dengan angka
terbesar hingga terkcecil secara berurutan yaitu LP-TB, LP, dan RLPP. Didapati cutoff
point LP ≥88 cm pada pria dan ≥85 cm pada wanita. Cut-off points RLPP pada
pria ≥0,9 dengan sensitifitas 63% dan spesifisitas 60%, sedangkan RLPP pada wanita
≥0,83 dengan sensitifitas 73% dan spesifitas 62%. Didapatkan LP-TB dengan cut-off
points 0,5, dengan sensitivitas 66% (pria) dan 67% (wanita) serta spesifisitas 65%
(pria) dan 62% (wanita). Sebagai faktor prediksi sindrom metabolik, indeks
antropometri dapat dipilih dengan pertimbangan kemudahan pengukuran. LP dinilai
lebih mudah dipraktikkan karena pengukuran tidak berbentuk rasio dan hanya
melibatkan satu pengukuran antropometri saja, sehingga bias pengukuran dapat
diminimalisir. Dibutuhkan studi longitudinal untuk memperkuat hasil penelitian ini.

ABSTRACT
Recently, many studies have focused on anthropometric indices for abdominal obesity
as waist circumference (WC), waist to hip ratio (WHR), and waist to height ratio
(WHtR) to define metabolic syndrome (MetS). This study aimed to compare WC,
WHR, and WHtR and define an optimal cut-off values, which is most closely
predictive of the components of the NCEP-ATP III MetS definition among employees
in Port of Tanjung Priok, Jakarta. This study was cross-sectional study. Receiver
Operating Characteristic (ROC) analysis was used to examine discrimination and
find optimal cut-off values of WC, WHR, and WHtR to predict components of MetS. It
included 256 subjects (174 men and 82 women) aged 20-58 years, who worked in
Port of Tanjung Priok. According to area under curve, we found WHtR with the
highest score, followed by WC, and followed by WHR with the lowest score. WC cutoff
points were ≥88 cm in men dan ≥85 cm in women. WHR cut-off points were ≥0,9
in men (sensitivity 63%; specificity 60%), ≥0,83 in women (sensitivity 73%;
specificity 62%). WHtR cut-off points was 0,5, in men and women (sensitivity 66%
and specificity 65% in men; sensitivity 67% and specificity 62% in women).
Anthropometric indices for metabolic syndrome prediction could be determined by
considering measurement complexity. WC was considered as an easy measurement
because it`s not in ratio and involved one measurement. Bias of measurement could
be minimized. Longitudinal studies is needed to evaluate the consistency of the
findings."
2016
T47064
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rabia
"ABSTRAK
Akumulasi lipid berlebihan dapat menyebabkan disfungsi jaringan adiposa putih yang selanjutnya mengakibatkan timbulnya kondisi inflamasi derajat ringan. Latihan fisik merupakan pendekatan untuk menginduksi proses beiging pada adiposa putih, yang dapat dimediasi melalui irisin, sehingga dapat mencegah disfungsi jaringan adiposa putih. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh akut dan kronik antara latihan fisik intensitas tinggi intermiten dan latihan fisik intensitas sedang kontinyu terhadap perubahan kadar irisin serum, adiposa, dan otot rangka pada tikus yang diinduksi diet tinggi lemak. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental in vivo pada 24 ekor tikus Sprague-Dawley Jantan, yang diacak ke dalam 6 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol normal KN , 2 kelompok normal yang diberi latihan fisik formula 1 NF1 , 3 kelompok normal yang diberi latihan fisik formula 2 NF2 , 4 kelompok kontrol diet tinggi lemak KD , 5 kelompok diet tinggi lemak yang diberi latihan fisik formula 1 DF1 , dan 6 kelompok diet tinggi lemak yang diberi latihan fisik formula 2 DF2 . Latihan fisik intensitas tinggi intermiten akut lebih efektif dalam meningkatkan kadar irisin serum. Ditinjau dari pengaruh kronik, kedua formula latihan fisik tidak meningkatkan kadar irisin darah dan kadar irisin otot rangka, akan tetapi latihan fisik intensitas tinggi intermiten efektif dalam meningkatkan kadar irisin adiposa pada tikus diet tinggi lemak.

ABSTRACT
Excessive lipid accumulation may cause dysfunction of white adipose tissue, which resulted in low grade inflammation. Physical exercise is an approach to induce beiging process in white adipose tissue, mediated by irisin, thus may prevent adipose tissue dysfunction. This study was aimed to compare the acute and chronic effects of high intensity intermittent and moderate intensity continuous exercise to serum, adipose, and skeletal muscle irisin levels in high fat diet fed rats. This study design was in vivo experimental using 24 male Sprague Dawley rats, randomly assigned to 6 groups 1 normal control group NC , 2 group fed with normal diet and exercise formula 1 NF1 , 3 group fed with normal diet and exercise formula 2 NF2 , 4 high fat diet control group HC , 5 group fed with high fat diet and exercise formula 1 HF1 , and 6 group fed with high fat diet and exercise formula 2 HF2 . High intensity intermittent exercise may acutely elevate serum irisin level. Both physical exercise formula could not increase serum irisin and skeletal muscle irisin levels chronically, however high intensity intermittent exercise effectively induced an increase of adipose irisin level in high fat diet fed rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tsaniya Meidini Tahsya Hermawan
"Latar Belakang Sindrom Polikistik Ovarium (SAPK) adalah salah satu penyakit metabolic-endokrin yang paling sering ditemui pada Wanita dalam usia reproduktif. Sindrom Polikistik Ovarium merupakan kondisi yang banyak dikaitkan dengan obesitas dan meningkatnya jaringan adiposa, yang bisa diukur dengan lingkar pinggang dan tingkat lemak viseral. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menganalisis korelasi dari obesitas dengan jaringan lemak viseral pada pasien sindrom polikistik ovarium dan kontrol pada klinik Yasmin, RSCM Kencana Metode Penelitian ini merupakan studi retrospektif analitik yang menggunakan metode cross-sectional dengan menggunakan data yang diperoleh dari rekam medis di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. Variabel independent merupakan index massa tubuh, sedangkan variable dependen adalah lingkar pinggang dan tingkat lemak viseral pada pasien SOPK dan kontrol. Hasil Penelitian ini menemukan perbedaan yang signifikan pada Lingkar pinggang (LP) dan Tingkat lemak viseral antar parameter IMT yang berbeda. Ketika membandingkan SOPK dan kelompok tidak SOPK pada kelompok yang disesuaikan dengan IMT, hanya kelompok obesitas yang memiliki perbedaan signifikan pada LP dan tingkat lemak viseral. Selain itu, ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara indeks massa tubuh dan lingkar pinggang (p<0,000), serta lemak viseral (p<0,000) pada pasien PCOS. Hasilnya memiliki nilai Korelasi Pearson masing-masing sebesar 0,892 dan 0,871 yang berarti variabel lainnya akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya salah satu variabel. Kesimpulan Hasil dari penelitian ini menemukan adanya korelasi signifikan positif antara jaringan lemak viseral dan IMT pada pasien SOPK.

Introduction Polycystic ovary syndrome (PCOS) is one of the most common metabolic-endocrine disease that can be found in women in reproductive age. Polycystic ovary syndrome is a condition that is closely correlated to obesity and increase of adipose tissue, which can be measured by waist circumference and visceral fat level. Thus, this study aims to analyse the correlation of obesity with waist circumference and visceral fat in polycystic ovary syndrome and control patients. . Method This research is a retrospective analytical study that uses cross-sectional method and utilize medical records from patients in Klinik Yasmin, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana. The independent variable is the body mass index, meanwhile the dependent variable is the waist circumference and visceral fat level. Results This research has found a significant difference in WC and VF among different BMI parameters. When comparing PCOS and the control group in their BMI-matched group, only the Obese group had a significant difference in WC and VF. Additionally, it is found that there is a significant correlation between body mass index and waist circumference (p<.000), as well as visceral fat (p<.000) in PCOS patients. The result has Pearson Correlation values of 0.892 and 0.871, respectively, which means the other will be higher as one variable increases. . Conclusion This research has found that there is a significant positive correlation between visceral adipose tissue and body mass index in PCOS patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Diah Noviati
"Obesitas menyebabkan resistensi FGF21 yang berperan dalam proses pencokelatan dan termogenesis. Resistensi FGF21 disebabkan karena penurunan ekspresi reseptor, sehingga berkurangnya ikatan antara FGF21 dan reseptornya di jaringan adiposa. Penurunan ekspresi reseptor tersebut dipengaruhi oleh miR-34a yang meningkat pada kondisi obesitas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa miR-34a dapat menghambat persinyalan FGF21 yang berperan pada proses pencokelatan. Pendekatan terapetik berbasis FGF21 telah banyak diteliti namun potensi ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn (H. sabdariffa)terhadap miR-34a belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak H. sabdariffa terhadap ekspresi miR-34a dan FGF21 di jaringan adiposa putih. Penelitian eksperimen ini menggunakan dua puluh empat tikus jantan (Rattus norvegicus L) jantan galur Sprague-Dawley usia 6-10 minggu yang diinduksi diet tinggi lemak (19,09% lemak, 24,00% protein). Tikus dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu kelompok kontrol normal (N), kelompok kontrol obese (Ob), kelompok perlakuan dosis 200 mg/kgBB/hari (Ob-hib200), dan kelompok perlakuan dosis 400 mg/kgBB/hari (Ob-hib4000). H. sabdariffa diberikan setiap hari selama 5 minggu. Pemeriksaan ekspresi miR-34a menggunakan qRT-real time PCR dan protein FGF21 dari jaringan adiposa putih menggunakan uji ELISA. Hasil uji statistik ANOVA menunjukkan ekspresi miR-34a lebih rendah pada kelompok tikus obese yang diberikan ekstrak dosis 400 mg/kgBB/hari (p < 0,001) sehingga kadarnya tidak berbeda bermakna dengan keadaan normal (p>0,05). Di samping itu,  kadar FGF21 pada tikus obese yang diberikan ekstrak H. sabdariffa dosis 400 mg/kgBB/hari (p < 0,001) lebih tinggi bahkan berbeda bermakna dibandingkan keadaan normal (p < 0,001). Dengan demikian, ekstrak H. sabdariffa berpengaruh terhadap penurunan ekspresi miR-34a diikuti dengan peningkatan kadar FGF21 jaringan adiposa putih yang berpotensi memperbaiki resistensi FGF21.

Obesity increase  FGF21 in circulation and caused the FGF21 resistance. This resistant lead to decrease expressions of FGF21 receptor in white adipose tissue of obese rats. The downregulation its receptor and co-receptor is altered by miR-34a which elevate in obesity. Several studies show miR-34a can inhibit signal cascade of beiging process. The therapeutic approach using FGF21 has been approved to improve obesity but the potential natural extracts of  Hibiscus sabdariffa Linn (H. sabdariffa) has an effect to miR-34a and FGF21 remains unclear. This study aimed to determine alteration of miR-34a expressions of white adipose tissue and FGF21 of obese rats given to H. sabdariffa extracts. In vivo experimental study using twenty-four males of Sprague-Dawley rats (Rattus norvegicus L), age 6-10 weeks. Rats is administered high fat diet (19,09% lemak, 24,00% protein) to induce obesity. Rats divided by four groups as follows : normal control group (N), obese control group (Ob), obese group is given 200 mg/kgWB/day extracts (Ob-hib200), and obese group is given 400 mg/kgWB/day extracts (Ob-hib4000). H. sabdariffa extracts is given daily for five weeks. Quantification of miR-34a expressions using qRT-real time PCR and  FGF21 levels of white adipose using ELISA assay. Statistical analysis using ANOVA showed  miR-34a expressions of white adipose tissue decrease in obese group is given 400 mg/kgWB/day extracts (p < 0,001) but not significantly differ from normal control group (p>0,05). In addition, FGF21 levels in white adipose tissue of obese rats given H. sabdariffa 400 mg/kgWB/day extracts (p < 0,001) increase differ from normal control group (p < 0,001). In brief,  H. sabdariffa extracts can alter the decrease of miR-34a expressions and increasing FGF21  levels in white adipose tissue of obese rats that has potential improve FGF21 resistance."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Geofani
"Sel Punca Mesenkim (SPM) dianggap sebagai sel yang sangat menjanjikan untuk terapi penyakit berdasar inflamasi karena potensi proliferasi multilineagenya, imunogenisitas rendah, migrasi spesifik ke jaringan yang cedera, dan efek imunomodulator potensialnya. Diperlukan data pendukung mengenai potensi imunomodulasi SPM dalam menghadapi kondisi proinflamasi sebelum digunakan dalam uji klinis. Dilakukan desain penelitian eksperimental in vitro kultur sel untuk menilai potensi imunomodulasi SPM yang berasal dari tali pusat (SPM-TP) dan asal jaringan adiposa (SPM-AD). Untuk menciptakan kondisi inflamasi, menggunakan kultur PBMC yang distimulasi dengan mitogen PHA, diikuti oleh kokultur dengan dua jenis SPM. Pengujian proliferasi dengan Ki67 dilakukan dengan qRT-PCR, pengujian sitokin proinflamasi IFN-γ, IL-1β, dan antiinflamasi IL-10 dilakukan dengan metode Luminex dan pengujian sitokin TGF-β dan IDO dilakukan mnggunakan metode ELISA. Hasil studi menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok dengan perlakuan dan tanpa perlakuan, tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan diantara dua kelompok perlakuan (SPM- TP dan SPM-AD). Namun, berdasarkan kemampuan untuk menekan proliferasi PBMC terlihat bahwa SPM-TP menunjukkan kemampuan yang lebih baik dibandingkan SPM-AD.

The Mesenchymal Stem Cells (MSCs) are considered highly promising for inflammatory disease therapy due to their multilineage proliferation potential, low immunogenicity, specific migration to injured tissues, and potential immunomodulatory effects. Supporting data on the immunomodulatory potential of MSCs in facing proinflammatory conditions are required before their use in clinical trials. An experimental in vitro cell culture research design was conducted to assess the immunomodulatory potential of MSCs derived from umbilical cord (UC-MSCs) and adipose tissue (AD-MSCs). To induce inflammatory conditions, peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) were stimulated with PHA mitogen, followed by co-culture with the two types of MSCs. Proliferation testing using Ki67 was performed with qRT-PCR, proinflammatory cytokine testing (IFN-γ, IL-1β) and anti-inflammatory cytokine (IL-10) were conducted using the Luminex method, and TGF-β and IDO cytokine testing were performed using the ELISA method. The study results indicated significant differences between the treated and untreated groups, although no significant differences were observed between the two treatment groups (UC-MSCs and AD-MSCs). However, based on the ability to suppress PBMC proliferation, it was evident that UC-MSCs exhibited superior capabilities compared to AD-MSCs."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>