Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164359 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Herdiana
"Pendahuluan: Coronary Artery Disease (CAD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab utama kematian di dunia. Tindakan kateterisasi dengan menggunakan teknik transradial arteri (TRA) telah mampu menurunkan angka morbiditas dan angka mortalitas dari CAD, tetapi prosedur ini juga berkontribusi untuk terjadinya komplikasi yang cukup besar. Tujuan: dari penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh handgrip exercise dynamometer terhadap nyeri, edema dan hematoma pada pasien CAD post transradial cardiac catheterization. Metode: Desain penelitian ini menggunakan quasi experiment design dengan bentuk pre test and post test nonequivalent control group. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling yaitu Convinience sampling. Nyeri dan edema merupakan hasil utama dari penelitian ini yang dipantau dan diukur 2 jam setelah intervensi sedangkan hematoma dipantau dan diukur 24 jam setelah intervensi. Hasil: Terdapat penurunan skala nyeri dan edema yang signifikan sesudah dilakukan handgrip exercise pada kelompok intervensi dengan p value = 0,000. Tidak ada penurunan skala nyeri dan edema sesudah pada tindakan yang diberikan sesuai SOP Rumah sakit secara signifikan dengan p value > 0,05. Terdapat perbedaan yang signifikan median penurunan skala nyeri dan edema sesudah dilakukan handgrip exercise pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p value < 0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian hematoma sesudah dilakukan handgrip exercise pada kelompok intervensi yaitu 5,8% dibandingkan dengan kelompok kontrol 80,8% (p value < 0,05). Kesimpulan: handgrip exercise dynamometer dapat menurunkan nyeri, edema dan hematoma pada pasien CAD posttransradial cardiac catetherization.

Introduction: Coronary Artery Disease (CAD) is leading cause of mortality worldwide. Catheterization using the transradial arterial (TRA) technique has been able to reduce morbidity and mortality rates from CAD, but this procedure also contributes to the occurrence of complications. Aim: this study to identify the effect of the handgrip exercise dynamometer on pain, edema and hematoma in CAD patients post transradial cardiac catheterization. Method: This research design uses a quasi experimental design with the form of a pre test and post test nonequivalent control group. The sampling technique used in this research is non-probability sampling, namely convenience sampling. Pain and edema were the main outcomes of this study which were monitored and measured 2 hours after the intervention while hematoma was monitored and measured 24 hours after the intervention. Results: There was a significant reduction in pain and edema before and after handgrip exercise in the intervention group with p value = 0.000. There was no significant reduction in the pain and edema scale before and after the intervention given according to the hospital SOP with a p value < 0.05. There was a significant difference in the median reduction in pain and edema after handgrip exercise in the intervention group compared to the control group (p value < 0.05). There was a significant difference in the incidence of hematoma after handgrip exercise in the intervention group, namely 5.8% compared to the control group, 80.8% (p value < 0.05). Conclusion: handgrip exercise dynamometer can reduce pain, edema and hematoma in CAD posttransradial cardiac catetherization patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Aprizal Putera
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal atau perkiraan laju filtrasi glomerolus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 yang berlangsung selama 3 bulan atau lebih. Tindakan akses vaskular berupa arteriovenous fistula dapat dibuat pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalankan terapi hemodialisis. Latihan isometrik berupa handgrip exercise dilaporkan dapat meningkatkan diameter arteri radialis dan vena cephalica, peak systolic velocity (PSV), intima media thickness (IMT), dan volume flow arteri radialis (RAVF).
Tujuan: Menganalisis pengaruh handgrip exercise sebelum dan setelah tindakan pembuatan Arteriovenous Fistula Radiocephalica terhadap perubahan diameter arteri radialis dan vena cephalica, PSV, IMT, dan RAVF.
Metode: Desain pada penelitian ini adalah controlled trial yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah tindakan pembuatan Arteriovenous Fistula Radiocephalica, pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol, pasien melakukan tatalaksana standar sedangkan pada kelompok intervensi, pasien melakukan tatalaksana standar dan handgrip exercise lalu kedua kelompok di follow up setelah 8 minggu.
Hasil: Total subjek penelitian sebanyak 53 orang, dimana terdapat 7 pasien yang masuk kriteria drop out, yang terdiri dari 2 pasien meninggal dan 5 pasien tidak kontrol. Usia median pada kelompok intervensi adalah 53 tahun dan pada kelompok kontrol adalah 56 tahun. Pada kelompok yang melakukan handgrip exercise, terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah latihan yaitu pada parameter diameter arteri radialis (p=0,022), diameter vena cephalica (p<0,001), PSV (p<0,001), dan volume flow arteri radialis (p<0,001). Di sisi lain, tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai IMT sebelum dan sesudah latihan hand grip (p=0,575). Sementara itu, pada kelompok kontrol ditemukan juga terdapat perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah masa follow-up terkait parameter diameter vena cephalica (p<0,001), PSV (p<0,001), dan RAVF (p<0,001). Pada parameter diameter arteri radialis (p=0,103) dan IMT (p=0,083) tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol.
Simpulan: Handgrip exercise dapat meningkatkan perubahan diameter arteri radialis dan vena cephalica, PSV, dan RAVF. Tidak terdapat perubahan pada IMT setelah handgrip exercise.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is defined as the presence of kidney damage or an estimated glomerular filtration rate (eGFR) less than 60ml/min per 1.73 square meters, persisting for 3 monts or more. Creating vascular access such as arteriovenous fistula can be done in hemodialysis therapy patients with chronic kidney disease. Isometric exercises in the form of handgrip exercise has been reported to increase the diameter of radial artery and cephalic vein, peak systolic velocity (PSV), intima media thickness (IMT), and radial artery volume flow (RAVF).
Objective: To analyze the effect of handgrip exercise before and after radiochepalic arteriovenous fistula creation on changes of the diameter of radial artery and cephalic vein, PSV, IMT, and radial artery volume flow.
Methods: The design of this research was controlled trial at Cipto Mangunkusumo Center National Hospital. After the creation of radiocephalic arteriovenous fistula, patients divided into two groups, control group and intervention group. The control group received usual care. Usual care and handgrip exercise was performed in the intervention group, both groups were assessed at 8 weeks post the creation of radiocephalic arteriovenous fistula.
Results: For 53 patients, 7 patients were dropped out, consist of 2 patients passed away and 5 patients lose control. Median age of this research subjects was 56 years old. A significant increase of diameter of radial artery (p=0,022) and cephalic vein (p<0,001), PSV (p<0,001), and radial artery volume flow (p<0,001) was observed in intervention group. Meanwhile there was no change of intima media thickness before and after handgrip exercise (p=0,575). Similarly, there was significant increase of cephalic vein diameter (p<0,001), PSV (p<0,001), and RAVF (p<0,001) and there was no significant change of radial artery diameter (p=0,103) and IMT in control group.
Conclusion: Handgrip exercise improved diameter of radial artery and cephalic vein PSV, and RAVF. There was no change of IMT after handgrip exercise
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Putriheryanti
"Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi terhadap kepatuhan pasien penyakit jantung koroner dalam menjalani rehabilitasi jantung fase II di rumah. Penelitian ini menggunakan desain kuasi-eksperimental. Sebanyak 46 subjek penelitian pasien penyakit jantung koroner (pasca infark miokard atau pasien yang telah menjalani PCI maupun CABG) yang mampu berjalan mandiri dan dinyatakan mampu menjalani latihan di rumah, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan masing-masing berjumlah 23 orang. Pada kelompok perlakuan diberikan edukasi mengenai rehabilitasi jantung fase II melalui penayangan video edukasi di rawat inap, pemberian pesan pengingat selama melakukan latihan di rumah, dan leaflet. Kelompok perlakuan melakukan latihan di rumah dengan frekuensi 3 kali/minggu selama 8 minggu.
Kelompok kontrol hanya mendapatkan edukasi melalui leaflet saat di rawat inap, dan tetap disarankan untuk melakukan latihan di rumah dengan frekuensi yang sama dengan kelompok perlakuan. Pemantauan latihan dan kepatuhan dilakukan dengan logbook. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian intervensi berupa edukasi memiliki pengaruh pada tingkat kepatuhan pasien penyakit jantung koroner dalam menjalani rehabilitasi jantung fase II di rumah, yang tergambar dari sesi latihan yang lebih tinggi pada kelompok intervensi (p=0.001). Angka kepatuhan (menjalani minimal 20 dari 24 sesi latihan) pada kelompok intervensi adalah sebesar 91%, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 30%, dengan proporsi kepatuhan berbeda bermakna (p=0.001, RR 3,000 (1,597 – 5,636)).

This thesis was aimed to know the impact of educational intervention to compliance of coronary artery disease patients in doing home-based cardiac rehabilitation phase II. The study design was quasi-experimental. A total of 46 coronary artery disease patients who were able to walk independently and suitable in doing home-based exercise were divided into 2 groups, each consisted of 23 subjects. Subjects in intervention group were given educational intervention through video, short-text reminder messaging while doing home exercise, and leaflet. They were stated to do home exercise for 3 times/week for 8 weeks.
Subjects in control group only get educational leaflet, and stated to do the same home exercise regimen. Monitoring of exercise and adherence was done through logbook. This study showed that educational intervention could improve compliance in home-based exercise. The intervention group showed higher number 24(5-24) of exercise sessions (p=0.001). The compliance rate (defined as attending minimum 20 out of 24 sessions) in intervention group was 91%, while in control group 30%, with statistically significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Hamonangan
"Latar Belakang: Angka harapan hidup yang meningkat menyebabkan peningkatan populasi usia lanjut termasuk populasi usia lanjut dengan penyakit jantung koroner. Frailty sering ditemukan pada pasien usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular dan keberadaan frailty sangat mempengaruhi prognosis penyakit jantung koroner pada pasien usia lanjut termasuk luaran terhadap intervensi revaskularisasi. Percutaneous Coronary Intervention (PCI) adalah salah satu metode revaskularisasi dan belum banyak penelitian yang dilakukan terkait pengaruh frailty terhadap luaran pasien usia lanjut yang menjalani PCI elektif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan proporsi frailty, insidensi Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) 30 hari dan mengkaji peran frailty terhadap prognosis pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif.
Metode: Secara prospektif dilakukan penilaian terhadap kondisi frailty pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif di RS Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan kriteria Frailty Phenotipe. Pasien kemudian di follow-up selama 30 hari setelah tindakan PCI elektif untuk melihat apakah MACE terjadi atau tidak.
Hasil: Terdapat 100 pasien usia lanjut dengan penyakit jantung koroner yang menjalani PCI elektif dari bulan September 2014 - Juni 2015. Usia rata-rata pasien adalah 66.95 tahun (SD = 4.875) dengan pasien terbanyak adalah laki-laki (69%). Sebanyak 61% pasien termasuk ke dalam kelompok frail. MACE terjadi pada 8.19% pasien pada kelompok frail dan 5.12% pada kelompok non-frail. Hubungan frailty terhadap MACE dapat dilihat dari hasil crude Hazard Ratio (HR) 1.6 (IK 95% 0.31-8.24). Pada penelitian ini, kesintasan 30 hari 95% pada kelompok frail, sementara pada kelompok non-frail kesintasan 30 hari adalah sebesar 98%.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan risiko 1.6 kali untuk terjadinya MACE 30 hari pada subyek usia lanjut frail yang menjalani PCI elektif namun belum bermakna secara statistik.

Background: The increase in life expectancy caused the increase in elderly population including the population of elderly with Coronary Artery Disease. Frailty is commonly found in elderly patients with cardiovascular disease and frailty had a major influence in determining the prognosis of cardiovascular disease in elderly including the outcome of revascularization intervention. PCI (Percutaneous Coronary Intervention) is one method of revascularization. However, frailty research on the effect on the outcome of elderly patients with coronary artery disease undergoing PCI is still limited.
Aim: To get the proportion of frailty and 30 days Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) incidence, and to review impact of frailty in elderly patients with coronary heart disease who underwent elective PCI.
Method: The frailty condition of the elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI in Cipto Mangunkusumo Hospital was assessed with the Frailty Phenotype criteria. After the patients underwent the elective PCI, they were followed for 30 days to see whether MACE occurred or not.
Result: There are 100 elderly patients with coronary artery disease that underwent elective PCI from September, 2014 until June, 2015. The mean age of patients is 66.95 ± 4.875 years and 69% of the patients were males. Frail was present in 61% of the patients. MACE were occurred in 8.19% of frail patients and 5.12% were occurred in non-frail patients. The correlation between frailty and MACE could be seen in the result of crude HR 1.6 (CI 95% 0.31-8.24). In this research, the 30 days survival rate is 95% in frail patients and 98% in non-frail patients.
Conclusion: There is a 1.6 fold increased risk of 30 days MACE in elderly frail patients that underwent elective PCI but it is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rondonuwu, Rolly Stevan
"Manajemen diri pasien coronary artery disease (CAD) adalah suatu cara pengelolaan diri seseorang untuk meningkatkan status kesehatan. Pemberian edukasi berbasis pembentukan self efficacy (SE) dapat meningkatkan keyakinan responden untuk melakukan manajemen diri yang baik. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh edukasi kesehatan terhadap self efficacy pasien CAD. Desain penelitian adalah quasi eksperimen, dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Besar sampel 50 responden (25 responden kelompok kontrol dan 25 kelompok intervensi). Hasil analisis statistik didapatkan bahwa terdapat perbedaan SE pada kelompok kontrol dan intervensi sebelum dan sesudah edukasi dengan p= 0.000. Kesimpulan : skor rata-rata SE kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol setelah pemberian edukasi.

Introducing self management on coronary artery disease (CAD) patient is one way to empower patient in order to improve their health status level. Educating patient using self efficacy approach can improve patient's confidence to perform good self management. The purpose of this study is to examine the influence of health education on Self Efficacy of Coronary Artery Disease Patient's. This study used quasi experiment design with consecutive sampling as their sampling method. Total sample was 50 respondents (25 respondents in control and another 25 respondents in intervention groups). The result showed that there was significant different in self efficacy on control and intervention groups, before and after health education intervention p =0.000. The conclusion of this study shows that mean score of self efficacy on intervention group is higher than control group after health education."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T30875
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Imasanti
"Latar belakang: Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca bedah pintas arterikoroner BPAK dapat dilaksanakan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit,dimana hambatan utama pada program rehabilitasi di rumah sakit adalah jarak tempattinggal yang jauh. Mengingat kesulitan ini, untuk meningkatkan jangkauan pelayananprogram rehabilitasi jantung perlu dikembangkan ke arah program latihan mandiri dirumahdengan menggunakan pemantauan jarak jauh / telemonitor elektrokardiografi Tele-EKG .Pemantauan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap programlatihan mandiri dirumah.
Tujuan: Menilai efek pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan kepatuhan pasien pascaBPAK yang menjalani program latihan mandiri.
Metode: Pasien BPAK yang masuk kriteria inklusi dirandomisasi dan dibagi dua kelompok dengan dan tanpa alat pemantauan jarak jauh . Dilakukan dua kali uji latih treadmilldengan metode bruce, yaitu setelah kedua kelompok menyelesaikan program rehabilitasifase II dirumah sakit sebagai baseline, dan setelah latihan dirumah selama 12 minggupasca-intervensi sebagai evaluasi akhir program. Selanjutnya dilakukan analisis statistikantara kedua kelompok untuk melihat pengaruh pemantauan jarak jauh terhadap kepatuhanprogram latihan mandiri.
Hasil penelitian: Sebanyak 44 pasien diikut sertakan pada penelitian ini. Dari hasilevaluasi, tidak didapatkan tingkat kepatuhan yang lebih baik antara kelompok intervensi n= 20 dan kontrol n = 24 95 vs 70,8 ; p = 0,054 , demikian pula peningkatan durasidan kapasitas aerobik uji latih [ 57,90 81,14 detik vs 21,67 61,22 detik; p = 0,099 , dan 0,77 1,19 METs vs 0,33 1,05 METs; p = 0,193 ].
Kesimpulan: Pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani program latihanmandiri dengan pemantauan jarak jauh tidak mempunyai kepatuhan yang lebih baikterhadap program latihan mandiri.

Background: Cardiac rehabilitation CR program in patient who had coronary artery bypass surgery CABG surgery could be institution based or home based, but there were many barriers for home based CR program that influence the patient's adherence to the program. As an effort to overcome the barrier of distance, confidence, and safe feeling, electrocardiography telemonitoring ECGTM could be used But there wes no data regarding the effect of the electrocardiography telemonitoring to the adherence to the home based CR program in Indonesia.
Aim: To assess the effect of electrocardiography telemonitoring to the adherence to homebased CR program for the patients who have had CABG surgery.
Methods: Patients after having CABG surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta who have finished phase II CR program were recruited consecutively and were radomized to the intervention group which used ECGTM and to the control group which did not use ECGTM for 3 months home based CR program. Home based exercise was based on the result of exercise stress testing using Bruce Protocol. Adherence was defined as compliance to the minimum of 3 sessions per week for 12 weeks CR program.
Results: A total of 44 patients completed the study, The adherence to the CR program of the intervention group n 20 and control group n 24 was not different 95 vs 70,8 p 0.054 , and neither was the exercise testing duration 57.9 81.1 vs 21.7 61.2 seconds, p 0.099 , and the improvement of functional capacity 0.77 1.2 vs 0.33 1.05 METS, p 0.193.
Conclusion: The aplication of electrocardiography telemonitoring did not increase the patients adherence to home based CR program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melodi Aulia
"Coronary Artery Disease (CAD) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena adanya penyempitan dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan pada berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial yang berakibat pada penurunan kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan. Coronary Artery Disease (CAD) atau penyakit jantung koroner merupakan penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab kematian terbesar di seluruh dunia. Salah satu penanganannya adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Pada pasien post CABG dapat menimbulkan efek nyeri, nyeri diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensial menimbulkan kerusakan jaringan.
Pasien pada nyeri akut memperlihatkan respon neurologik yang terukur yang disebabkan oleh stimulasi simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas autonom. Perubahan-perubahan ini mencakup takikardi, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah (baik sistol maupun diastolik), dan dibebaskannya katekolamin-suatu respon stres yang khas (Fields, Martin, 2001). Metode dalam karya ilmiah ini dengan case study pada praktik klinik keperawatan kegawatdaruratan di ruang Intensif Care Unit (ICU) RSUI. Pasien kelolaan adalah Tn. WS berusia 53 tahun dengan diagnosis medis coronary artery disease 3 VD post CABG dan intervensi utama yaitu slow deep breathing relaxation exercise dan pemantauan hemodinamik pasien menggunakan tekanan arteri rata-rata (MAP) untuk menjaga stabilitas hemodinamik pasien.

Coronary Artery Disease (CAD) is a disorder of heart function caused by narrowing and blockage of the heart's blood vessels. This condition can result in changes in various aspects, both physical, psychological and social, which result in a decrease in the heart's functional capacity and comfort. Coronary Artery Disease (CAD) or coronary heart disease is a cardiovascular disease that is the biggest cause of death throughout the world. One treatment is Coronary Artery Bypass Graft (CABG). In post-CABG patients, pain usually results. Pain is defined as an unpleasant sensory and emotional experience, which is related to actual tissue damage or has the potential to cause tissue damage.
Patients with acute pain exhibit a measurable neurological response caused by sympathetic stimulation referred to as autonomic hyperactivity. These changes include tachycardia, tachypnea, increased peripheral blood flow, increased blood pressure (both systolic and diastolic), and release of catecholamines-a typical stress response (Fields, Martin, 2001). The method in this scientific work is a case study on emergency nursing clinical practice in the RSUI Intensive Care Unit (ICU). The patient managed is Mr. WS is 53 years old with a medical diagnosis of coronary artery disease 3 VD post CABG and the main intervention is slow deep breathing relaxation exercise and monitoring the patient's hemodynamics using mean arterial pressure (MAP) to maintain the patient's hemodynamic stability.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Apriyani
"Penyakit Jantung Koroner (PIK) merupakan penyebab kematian utama di dunia dan di Indonesia. Tindakan definitif untuk mendeteksi gangguan pada pembuluh darah jantung ini adalah tindakan diagnostik kateterisasi jantung. Prosedur ini membutuhkan kesiapan pasien dan menimbulkan rasa kecemasan. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kesiapan pasien PJK dengan kualitas nyeri insersi setelah tindakan kateterisasi jantung. Peneiitian ini dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
Desain penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional digunakan dalam penelitian ini. Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode non probability sampling yaitu consecutive sampling, pada laki-laki dan perempuan yang berusia antara 31 - 67 tahun (n = 30). Untuk menguji hubungan antara tingkat kesiapan pasien dengan kualitas nyeri insersi digunakan uji Fisher Exact.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kesiapan pasien dengan kualitas nyeri insersi yang dirasakan pasien (p = 0,001, <1 = 0,05). Hasil penelitian menuniukkan bahwa kualitas nyeri yang dirasakan pasien berkisar antara nyeri ringan dan nyeri sedang. Sedangkan analisis hubungan antara variabel confounding jenis kelamin dan kualitas nyeri insersi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kualitas nyeri insersi (p = 0,008 , <1 = 0,05).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan pasien dengan kualitas nyeri insersi. Hal ini menunjukkan pasien PIK perlu dipersiapkan secara fisik, mental, dan pengetahuan dalam menghadapi kateterisasi jantung. Karena prosedur ini menimbulkan kecemasan dan rasa takut pasien, maka saran bagi penelitian selanjutnya adalah menggali bagaimana pengalaman pasien PJK dalam menghadapi kateterisasi jantung."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
T22874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azzahra Hiththah Bama Bihurinin
"Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui (Dinkes RI, 2009). Pasien yang ada di Gedung Cempaka Atas RSUP Persahabatan di diagnosa KAD, DM Tipe II Dan Coronary Artery Disease on Hypertensive Heart Disease. Pasien tersebut memiliki kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual dapat meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien dimulai dengan mengambil data dari rekam medis seperti catatan pemberian obat, catatan perkembangan pasien terintegrasi, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil kegiatan Pemantauan Terapi Obat pada pasien Ny. P dengan diagnosisi Ketoasidosis Diabetikum, DM Tipe II, dan Coronary Artery Disease on Hypertensive Heart Disease dapat disimpulkan bahwa pengobatan yang didapatkan Pasien telah tepat indikasi dan dosis. Namun terdapat pengobatan yang masih belum tepat indikasi yaitu pemberian antibiotik sefoperazon. Hal ini dapat terjadi karena adanya pertimbangan terkait perkembangan klinis pasien sehingga terdapat perbedaan antara teori yang ada dengan kejadian aktualnya.

Drug Therapy Monitoring is a process that includes activities to ensure safe, effective, and rational drug therapy for patients. Drug therapy monitoring must be conducted continuously and regularly evaluated at certain intervals to determine the success or failure of therapy (Ministry of Health RI, 2009). Patients in Cempaka Atas Building, RSUP Persahabatan, diagnosed with DKA, Type II DM, and Coronary Artery Disease on Hypertensive Heart Disease, present a complexity of disease and medication use, and patient responses are highly individual, increasing the likelihood of drug-related problems. This necessitates Drug Therapy Monitoring in professional practice to optimize therapeutic effects and minimize undesired effects. The assessment of patients began by collecting data from medical records, such as medication administration notes, integrated patient progress notes, and laboratory test results. Based on the Drug Therapy Monitoring activities for Mrs. P, diagnosed with Diabetic Ketoacidosis, Type II DM, and Coronary Artery Disease on Hypertensive Heart Disease, it can be concluded that the patient's treatment was appropriate in terms of indication and dosage. However, there was a medication that was not indicated correctly, namely the administration of the antibiotic cefoperazone. This discrepancy may arise from considerations related to the patient's clinical development, resulting in differences between theoretical knowledge and actual events.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>