Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98884 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Kautsar
"Latar belakang: Duktus arteriosus persisten signifikan hemodinamik (DAPsh) ditandai dengan peningkatan aliran darah paru dan penurunan aliran darah sistemik. Hipoperfusi sitemik yang menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dapat dideteksi menggunakan near-infrared spectroscopy (NIRS) yang dipasang di area serebral, renal, dan abdomen.
Tujuan: Mencari nilai diagnsotik dari NIRS serebral, renal, dan abdominal dalam mendeteksi dini DAPsh pada bayi <32 minggu.
Metode: Sebanyak 43 subjek bayi prematur dilakukan pemantauan dengan memasang NIRS serebral, renal, dan abdomen pada 3 jam pertama selama 72 jam. Semua subjek dilakukan pemeriksaan dengan ekokardiografi dalam 24 jam pertama untuk menilai adanya DAPsh. Kriteria ekokardiografi yang digunakan termasuk parameter oversirkulasi paru dan pola aliran doppler di serebral, renal, dan abdominal. Nilai rerata dari NIRS selama 72 jam dibandingkan antara kelompok DAPhs dan non-DAPhs.
Hasil: Terdapat 10 subjek dengan DAPsh dan 33 subjek tanpa DAPsh. Median dari nilai RrSO2 pada kelompok dengan DAPsh lebih rendah dibanding kelompok tanpa DAPsh, 72 (44-87) vs 78 (48-89) (p=0,044). Dengan menggunakan kurva ROC, nilai titik potong < 74% memiliki sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 70%. Sedangkan nilai CrSO2 dan SrSO2 tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Nilai RrSO2 < 74% dapat memprediksi adanya DAPsh pada bayi <32 minggu.

Background: Hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hsPDA) is characterised by systemic hypoperfusion and pulmonary overcirculation. Systemic hypoperfusion with subsequent decrease of tissue oxygenation can be detected using near-infrared spectroscopy (NIRS) applied at the cerebral, renal, and abdominal areas.
Objective: To seek the diagnostic value of cerebral, renal, and splanchnic NIRS to detect hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
Methods: Forty-three very preterm infants (birth weight <1500 gr and gestational age <32 weeks) were monitored continuously with cerebral, renal, and abdominal NIRS within three hours after birth for 72 hours. All infants were prospectively evaluated using echocardiography to detect hsPDA within 24 hours after birth daily during the NIRS application. Echocardiography criteria to diagnose hsPDA included indices of pulmonary overcirculation and organ Doppler pattern at cerebral, renal, and splanchnic. The mean value of regional NIRS during its application was compared between the hsPDA and no- hsPDA groups.
Results: Of 43 infants, there were 10 infants with hsPDA and 33 with no hsPDA. A lower median of mean RrSO2 was noted in hsPDA groups compared to no-hsPDA groups, 72 (44-87) vs 78 (48-89), respectively (p=0.044), while no significant difference was found in CrSO2 and SrSO2. Using ROC curves, Mean RrSO2 < 74% identified an hsPDA with a sensitivity of 80% and specificity of 70%, while CrSO2 and SrSO2 were not significant
Conclusion : Low RrSO2 <74% was associated with the presence of hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Dharmawan
"Pendahuluan
Keputusan untuk melakukan ligasi Patent Ductus Arteriosus pada saat operasi modifikasi pintas Blalock Taussig pada pasien neonatus dengan duct dependent masih diperdebatkan. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan antara melakukan ligasi patent ductus arteriosus durante operasi modifikasi pintas Blalock Taussig dengan luaran klinis pada pasien neonatus dengan duct dependent.
Metode
Penelitian retrospektif ini mencakup neonatus dengan duct dependent yang menjalani operasi modifikasi pintas Blalock Taussig di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita antara Januari 2009 sampai Desember 2014. Lama rawat, lama penggunaan ventilator, skor inotropik, kejadian low cardiac output syndrome, kejadian resusitasi, reintervensi dan mortalitas pasca operasi menjadi luaran klinis yang diteliti.
Hasil
Tujuh puluh enam neonatus (usia rata rata 11 ± 5,5 hari) menjalani operasi modifikasi pintas Blalock Taussig. Tindakan ligasi patent ductus arteriosus dilakukan pada 31 pasien. Pada kelompok pasien yang dilakukan ligasi patent ductus arteriosus ditemukan angka kejadian low cardiac output syndrome lebih tinggi (32,2 % versus 13,3%, p = 0,047) dan skor inotropik yang lebih tinggi (median 10,1 versus 7,9; p = 0,049). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara lama rawat, lama penggunaan ventilator, kejadian resusitasi, kejadian reintervensi dan mortalitas antara kedua kelompok.
Kesimpulan
Pada neonatus dengan duct dependent, ligasi PDA durante operasi modifikasi pintas Blalock Taussig berkaitan dengan peningkatan angka kejadian low cardiac output syndrome dan skor inotropik pada periode pasca operasi.

Objective
The question of whether to ligate the patent ductus arteriosus when performing modified Blalock-Taussig shunt surgery in neonates is still a controversy. The aim of this report was to compare the results of ligate versus non ligate of the patent ductus arteriosus during modified Blalock Taussig shunt surgery in neonates with duct dependent.
Patient and methods
This retrospective study included neonates with duct dependent diagnosis who underwent modified Blalock Taussig shunt surgery at Harapan Kita National Cardiovascular Center from January 2009 to December 2014. Hospital stay, intubation time, inotropic score, low cardiac output syndrome event, resuscitation event, reintervention event, and mortality postoperative were studied as clinical outcomes.
Results
Seventy-six neonates (mean age 11 ± 5.5 days) underwent a modified Blalock Taussig procedure. The arterial duct was ligated in 31 patients. Compared with patients in whom the patent ductus arteriosus was left open, patients with a surgically closed arterial duct had a higher incidence of low cardiac output syndrome (32.2 % versus 13.3%, p = 0,047) and higher inotropic score (median 10.1 versus 7.9; p = 0.049). There were no significant difference between length of hospital stay, time to extubation, resuscitation event, reintervention event and mortality between the two groups.
Conclusions
In newborns with duct dependent, ductal ligation during Modified Blalock Taussig shunt procedure is associated with increased incidence of low cardiac output syndrome events and higher inotropic score during the postoperative period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Dasraf
"Latar Belakang: Duktus arteriosus persisten (patent ductus arteiosus, PDA) merupakan penyakit jantung bawaan yang sering ditemukan pada bayi, terutama bayi prematur. Ekokardiografi menjadi baku emas untuk mendiagnosis PDA dengan gangguan hemodinamik signifikan (hs-PDA) pada bayi prematur. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa, pemeriksaan biomarker darah Amino-Terminal pro-Brain Natriuretic Peptide (NT-proBNP) bermanfaat untuk diagnosis dan penatalaksanaan hs-PDA. Namun, di Indonesia penelitian seperti ini belum pernah dilakukan; padahal akurasi diagnostik NT-proBNP untuk hs-PDA sangat dipengaruhi oleh karakteristik assay (assay kit dan nilai ambangnya), serta karakteristik pasien (gestational dan usia kronologis).
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara nilai NT-proBNP dan hs-PDA
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di RSCM dari bulan Desember 2015? Febuari 2016 terhadap 49 neonatus prematur dengan usia gestasi <37 minggu dan berat lahir di bawah 2000 gram. Diagnosis PDA dipastikan dengan menggunakan ekokardiografi. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok tanpa PDA, non hs-PDA dan hs-PDA. Pemeriksaan NT-proBNP dikerjakan pada neonatus dengan PDA, kemudian dibandingkan nilai NT-proBNP pada kelompok non hs-PDA dan hs-PDA.
Hasil: Pada 49 subyek yang diteliti, terdapat 33 neonatus dengan PDA, 16 diantaranya dengan hs-PDA. Terdapat korelasi bermakna antara nilai NT-proBNP dengan hs-PDA (p<0,0001).
Kesimpulan: Peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan PDA hemodinamik signifikan.

Background: Persistent ductus arteriosus is one of the most frequently congenital heart disease found in infant mainly in preterm infant. Echocardiography is the gold standard for the diagnosis of hemodinamically significant patent ductus arteriosus (hs-PDA) in preterm neonates. There are few studies demonstrate that the examination of simple blood assay such as N Terminal-proBrain Natriuretic Peptide (NT- proBNP) may be useful in determining the diagnosis and management of hs-PDA. However in Indonesia there are no studies have been done before even though the level of NT-proBNP accuracy in determining hs-PDA is influenced by the assay kit, and the characteristic of the patient (gestational age and chronological age).
Objective: To determine the association between NT-proBNP level and the prevalence of hs-PDA.
Methods: Across sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from Desember 2015 to February 2016. Forty-nine preterm neonates with gestational age less than 37 weeks and birthweight of less than 2000 gram were performed echocardiography to determine PDA, subsequently these patients were divided into three groups: non PDA, non hs-PDA, and hs-PDA. Further, in the non hs-PDA and hs-PDA groups, blood NT pro-BNP was examined. We then compared the level of NT pro-BNP between these groups.
Results: Among 49 neonates, there were 33 patients with PDA, of those 16 patients were hs-PDA. There was an association between the level of NT pro-BNP and hs-PDA (p<0,0001).
Conclusion: This study found a significant association between the NT-proBNP level and hs-PDA"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Celina Azhura Harmen
"Duktus arteriosus persisten adalah penyakit jantung bawaan yang terjadi ketika duktus arteriosus gagal menutup tepat waktu. Beberapa faktor termasuk usia prematur, berat badan lahir rendah, sindrom genetik, usia ibu selama kehamilan, diabetes ibu, merokok orang tua dikatakan sebagai faktor risiko duktus arteriosus persisten. Untuk profil klinis, beberapa penelitian telah menunjukkan jenis kelamin, kelompok usia, keluhan utama, komplikasi, dan manajemen duktus arteriosus persisten terisolasi yang umum ditemukan. Namun, informasi faktor risiko dan profil klinis pasien duktus arteriosus persisten terisolasi di RS Cipto Mangunkusumo masih belum jelas, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mencari tahu informasi tersebut.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan dengan melibatkan 39 pasien duktus arteriosus persisten yang diisolasi dan 39 pasien kontrol dari RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020. Setelah dilakukan simple random number sampling, data dikumpulkan dari rekam medis dan/atau melalui wawancara pasien. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 24 untuk Mac. Analisis asosiasi variabel diselidiki menggunakan Pearson Chi-squared Test, Fisher’s Exact Test, and Kruskal-Wallis Test.
Hasil: Profil pasien duktus arteriosus persisten terisolasi memiliki beberapa perbedaan dengan kelompok kontrol. Untuk faktor risiko, kelahiran prematur (p=0,003), berat badan lahir rendah (p=0,01), dan adanya sindrom genetik (p=0,013) dikonfirmasi sebagai faktor risiko duktus arteriosus persisten terisolasi pada populasi ini. Namun, riwayat merokok ibu selama kehamilan (p=0,494), usia ibu saat hamil (p=0,349), ayah yang merokok (p=0,364), dan diabetes ibu (p=1,00) tidak terbukti meningkatkan risiko duktus arteriosus persisten terisolasi dalam populasi ini.
Kesimpulan: Studi ini mengungkapkan hubungan yang signifikan antara kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan sindrom genetik dengan duktus arteriosus persisten terisolasi. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan secara luas profil klinis pasien duktus arteriosus persisten terisolasi pada populasi ini. Namun, penelitian lebih lanjut direkomendasikan untuk membangun bukti yang lebih kuat dan untuk mengeksplorasi faktor risiko yang tidak dapat dianalisis dalam penelitian ini dan penelitian lebih lanjut harus menggunakan populasi yang lebih besar untuk menghasilkan data profil pasien yang lebih baik.

Introduction: Patent ductus arteriosus (PDA) is a congenital heart disease that happens when the ductus arteriosus fail to close in a timely manner. Several factors including premature age, low birth weight, genetic syndrome, maternal age during pregnancy, maternal diabetes, parental smoking are said to be the risk factors of patent ductus arteriosus. For clinical profile, several studies have shown the commonly found gender, age group, main complains, complications, and managements of isolated PDA. However, the information for risk factors and the clinical profile of isolated PDA patients in Cipto Mangunkusumo Hospital is still unclear, thus a study is needed to explore these information.
Method: This cross-sectional study was conducted involving 39 isolated PDA patients and 39 control patients from Cipto Mangunkusumo Hospital in 2020. After a simple random number sampling, data were gathered from the medical records and/or through patient interview. Next, the data were analyzed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 24 for Mac. Analysis of association of the variables were investigated using the Pearson Chi-squared Test, Fisher’s Exact Test, and Kruskal-Wallis Test.
Results: The profile of isolated PDA patients have several differences with the control group. For the risk factors, preterm birth (p=0.003), low birth weight(p=0.01), and presence of genetic syndrome(p=0.013) are confirmed as the risk factors of isolated PDA in this population. However, maternal smoking history during pregnancy (p=0.494), maternal age during pregnancy (p=0.349), paternal smoking (p=0.364), and maternal diabetes (p=1.00) weren’t proven to increase the risk for isolated PDA in this population.
Conclusion: This study revealed significant association between preterm birth, low birth weight, and genetic syndrome with isolated PDA. In addition, this study also explained extensively the clinical profiles of isolated PDA patients in this population. However, further studies are recommended to establish stronger evidence and to explore risk factors that couldn’t be analyzed in this study and more studies should use bigger population to yield a better patient profile data.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimple Gobind Nagrani
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) yang tersering adalah defek septum ventrikel (DSV), defek septrum atrium (DSA) dan duktus arteriousus paten (DAP). Keterlambatan koreksi defek dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan kualitas hidup.
Tujuan: Mengetahui perbedaan status gizi dan kualitas hidup pada anak PJB asianotik sebelum dan 6 bulan-2tahun setelah koreksi dan apakah terdapat hubungan dengan jenis PJB, status gizi awal, metode dan usia koreksi.
Metode: Penelitian kohort retrospektif pada 79 anak berusia 0?18 tahun dengan DSV, DSA, DAP, dan kombinasi ketiganya. Usia, jenis kelamin, jenis PJB, usia koreksi, metode koreksi, BB dan TB dinilai sebelum dan setelah koreksi.
Hasil: Subyek penelitian berusia 0?15 tahun dengan mayoritas 1?5 tahun, diagnosis terbanyak adalah DSV (58,2%), dan status nutrisi awal adalah gizi kurang (50,6%). Secara keseluruhan terdapat kenaikan persentil BB/U (p<0,001), TB/U (p=0,004), dan BB/TB (p<0,001) yang bermakna sebelum dan sesudah koreksi. Tidak ada perubahan status gizi yang bermakna sebelum dan sesudah koreksi (p=0,851). Tidak ada hubungan perubahan status gizi dengan status gizi awal (p=0,451), metode koreksi (p=0,454), dan usia tindakan (p=0,861). Terdapat hubungan antara perubahan status gizi dengan ukuran defek (p=0,035). Sebanyak 29,1% memiliki gangguan kualitas hidup, 45,4% memiliki gangguan aspek emosi. Tidak ada hubungan antara gangguan kualitas hidup dengan diagnosis, metode koreksi, dan ukuran defek.
Simpulan: Status gizi awal terbanyak anak dengan PJB asianotik adalah gizi kurang. Terdapat peningkatan persentil BB/U, TB/U, dan BB/TB yang bermakna 6 bulan-2 tahun setelah koreksi. Terdapat hubungan antara perubahan status gizi dengan ukuran defek. Sepertiga subyek memiliki gangguan kualitas hidup setelah koreksi. Hampir separuhnya memiliki gangguan aspek emosi.

ABSTRACT
Background: The most common congenital heart disease (CHD) is ventricular septal defect (DSV), atrial septal defect (ASD), and patent ductus arteriosus (DAP). Delayed correction is correlated with disturbance of growth, development and quality of life (QOL).
Aim: To determine the difference in nutritional status and QOL for acyanotic CHD before and after 6 months-2 years correction and its association with diagnosis, initial nutritional status, method and age of correction.
Metode: A retrospective cohort study on 79 children aged 0?18 years old with DSV, ASD, DAP, and a combination of the 3. Age, gender, type of CHD, age and method of correction, weight and height before and after correction were evaluated.
Result: The subjects are aged 0-15 years with majority of 1?5 years, most common diagnosis is DSV (58.2%) and initial nutritional status is moderate malnutrition (50.6%). There is significant increase in weight/age (p<0.001), height/age (p=0,004) and weight/height (p<0.001) percentiles. There is no increment of nutritional status (p=0.851). There is no association between nutritional status and initial nutritional status before correction (p=0.451), method (p=0.454) and age (p=0.861) of correction. There is a statistically significant association between growth status and defect size (p=0.035). Twenty nine percent have decreased QOL, 45.4% on emotional aspect. Decreased QOL was not associated with diagnosis, method of correction and defect size.
Conclusion: The most common nutritional status in acyanotic CHD children is moderate malnutrition. There is a statistically significant increase in the percentiles 6 months-2years post correction. There is an association between changes in growth status and defect size. One third of patients have decreased QOL after correction and almost half on emotional aspect."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Vivi Medina
"ABSTRAK
Latar Belakang. Optimalisasi hemodinamik perioperatif berkorelasi dengan peningkatan hasil terapi pascaoperasi. Alat pantau pulse contour analysis telah digunakan rutin pada operasi transplantasi ginjal di RSCM. Teknologi ini mahal dan harus dilakukan pemasangan akses kateter arteri. Terdapat alat ukur lain dengan kelebihan tidak invasif.Tujuan. Mengetahui kesesuaian hasil pengukuran hemodinamik antara teknik bio-impedance analysis dan pulse contour analysis pada pasien resipien transplantasi ginjal.Metode. Penelitian observasional statistik potong lintang terhadap 35 pasien resipien transplantasi ginjal di RSCM dan RSCM Kencana Jakarta periode Oktober 2017-Febuari 2018. Parameter hemodinamik pasien diukur menggunakan kedua alat uji yaitu ICONTM dan EV1000TM, pencatatan dilakukan pascainduksi, pascainsisi dan pascapelepasan klem arteri renalis. Analisis data menggunakan uji kesesuaian Bland-Altman dan korelasi.Hasil. Rerata perbedaan nilai indeks curah jantung dan indeks isi sekuncup antara kedua alat adalah 1,3 l/mnt/m2 dan 22,1 ml/denyut/m2 lebih tinggi pada EV1000TM. Rerata perbedaan hasil indeks tahanan vaskular sistemik dan stroke volume variation antara kedua alat adalah 973,3 dynes-detik-m2/cm5 dan 4,8 lebih rendah pada EV1000TM.Simpulan. Tidak terdapat kesesuaian hasil pengukuran curah jantung, tahanan vaskular sistemik dan stroke volume variation antara teknik bio-impedance analysis dengan teknik pulse contour analysis pada pasien resipien transplantasi ginjal.
Background. Hemodynamic optimization perioperative has strong correlation with improvement of post-operative outcome. Pulse contour analysis uses regularly for monitoring in renal transplantation surgery at RSCM hospital. This technology is expensive and need access to artery vascular. There is other monitoring device with excess non-invasive use. Purpose. Comparing hemodynamic measurement results between bio-impedance analysis and pulse contour analysis in renal transplant recipients.Method. Cross sectional observasional study to 35 renal transplantation recipient patients at RSCM and RSCM Kirana hospitals Jakarta during October 2017-February 2018. Each patient was measured with both devices ICONTM and EV1000TM. Data collected after induction, after incision and after renal artery release. All the data analyzed with Bland-Altmant agreement and corellation.Result. Mean difference of cardiac output index and stroke volume index are 1,3 l/mnt/m2 and 22,1 ml/denyut/m2 higher in EV1000TM. Mean difference of systemic vascular resistance index and stroke volume variation are 973,3 dynes-detik-m2/cm5 and 4,8 lower in EV1000TM. Conclusion. There is no agreement in measurement of cardiac output, systemic vascular resistance and stroke volume variation between bio-impedance analysis and pulse contour analysis in renal transplantation recipient patients. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Esther Iriani
"Latar Belakang: Morbiditas dan mortalitas akibat renjatan pada anak di seluruh dunia dilaporkan masih tinggi. Pengenalan dini dan tatalaksana yang tepat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat renjatan. Indikator penting untuk mendeteksi hipoksia jaringan global adalah pengukuran saturasi oksigen mixed vein (SmvO2) dari kateter arteri pulmonal atau vena sentral namun kedua pemeriksaan ini sulit dan invasif sehingga tidak rutin dilakukan. Near infrared spectroscopy (NIRS) merupakan alternatif pemeriksaan non invasif, real time, kontinu dan praktis untuk mengukur saturasi oksigen regional sekaligus menggambarkan saturasi oksigen vena global.
Tujuan: Mengetahui kenaikan nilai NIRS serebral pascarenjatan teratasi serta korelasinya dengan perubahan parameter hemodinamik non invasif.

Metoda: Penelitian potong lintang pada anak usia 1 bulan-18 tahun yang mengalami renjatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan pada bulan Maret-Juni 2019. Terhadap subjek yang mengalami renjatan dilakukan pengukuran NIRS serebral, MAP, serta pengukuran non invasif Cardiac Index (CI), Systemic Vascular Resistance Index (SVRI), Delivery Oxygen (DO2), Inotrophy Index (INO), Stroke Volume Index (SVI) menggunakan Ultrasonic Cardiac Output Monitoring (USCOM) pada saat renjatan dan diulang ketika renjatan teratasi. Uji korelasi dilakukan untuk menilai hubungan antara perubahan nilai NIRS serebral dan parameter hemodinamik non invasif.

Hasil: Dari 32 subjek yang diteliti ditemukan peningkatan nilai NIRS serebral sebesar 27,7% pascarenjatan teratasi. Parameter hemodinamik, kecuali untuk SVRI, juga mengalami peningkatan pasca renjatan namun tidak berkorelasi dengan peningkatan nilai NIRS.

Simpulan: Hasil pengukuran NIRS serebral menggambarkan perfusi dan oksigenasi ke jaringan perifer namun tidak berkorelasi dengan parameter hemodinamik non invasif pada penelitian ini.

Kata kunci: Near infrared spectroscopy; parameter hemodinamik non invasif; renjatan; USCOM

Background: Pediatric shock accounts for significant morbidity and mortality worldwide. Early recognition and timely intervention are critical for successful treatment of pediatric shock. A strong indicator of global tissue hypoxia by measuring mixed venous oxygen saturation from pulmonary artery catheter (PAC) or central vein catheter (CVC) is rarely used due to its highly invasive character. Near infrared spectroscopy (NIRS) is a noninvasive, real time, continuous and practical modality is a safe alternative for regional and global oxygen saturation measurement.
Objective: To evaluate the increment of cerebral NIRS post-resuscitation in pediatric shock and its correlation with noninvasive hemodynamic measurements.
Methods: This cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Pasar Rebo Hospital and Tarakan Hospital between March and June 2019. Children whose age ranged from1 month to 18 years admitted to Emergency Department (ED) or Pediatric Intensive Care Unit (PICU) due to shock were included. Measurement of cerebral NIRS, MAP, as well as Cardiac Index (CI), Systemic Vascular Resistance Index (SVRI), Delivery Oxygen (DO2), Inotrophy Index (INO), Stroke Volume Index (SVI) using Ultrasonic Cardiac Output Monitoring (USCOM) were performed on admission and after resuscitation when the shock has resolved and the patients were stable. Correlation between cerebral NIRS and other noninvasive hemodynamic parameters were then analysed.
Results: There were 32 subjects participated in this research. Following resuscitation, cerebral NIRS measurements showed an increment of 27,7% compared to cerebral NIRS in shock state. All non invasive hemodynamic parameters, except for SVRI, were also increased after resuscitation but no correlation observed between these parameters to cerebral NIRS (p>0,005).
Conclusion: Cerebral NIRS is a sensitive parameter of peripheral perfusion but showed not correlation with hemodynamic parameters in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Anggi Sinantara
"Latar Belakang. Pemantauan respon keadaan nosiseptif dengan objektif melalui metode non-klinis masih dalam keadaan pengujian dan pengembangan, tanpa metode yang terdokumentasi dan terbukti baik untuk penggunaan sehari-hari secara klinis. Pemantauan terhadap nosiseptif hingga saat ini lebih banyak berdasarkan status hemodinamik pasien yang dinilai dari laju nadi dan tekanan darah. qNOX telah membuktikan korelasi dengan tanda-tanda klinis dari nosiseptif dan/atau antinosiseptif yang tidak memadai, seperti gerakan selama insersi LMA, laringoskopi dan intubasi trakea Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea.
Metode. Penelitian merupakan penelitian reliabilitas dan diagnostik yang menilai kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea, dan menilai validitas qNOX sebagai prediktor respon nyeri. 54 subjek dilakukan pendataan nilai qNOX sebelum dilakukan intubasi, dan dua kali pendataan hemodinamik yaitu sebelum anestesia dan dalam satu menit pasca-intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dan dikategorikan menjadi reaktif dan nonreaktif. Data qNOX yang didapatkan dikategorikan menjadi responsif dan nonresponsif. Hasil. Uji Kappa menunjukkan kesesuaian qNOX dengan perubahan hemodinamik adalah bermakna dengan nilai Kappa 0,715. qNOX menunjukkan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 86%.
Simpulan. Terdapat kesesuaian yang kuat antara nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX dan perubahan hemodinamik merupakan prediktor respon nyeri yang reliabel dalam prediksi respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi
trakea.

Background. Objectively monitoring the response of nociceptive states through non-clinical methods is still in testing and development, without well-documented and proven methods for clinical daily use. Nociceptive monitoring to date has largely been based on the patient's hemodynamic status as measured by heart rate and blood pressure. qNOX has been shown to correlate with nociceptive and / or inadequate antinociceptive clinical signs, such as movements during LMA insertion, laryngoscopy and tracheal intubation. Therefore, researchers want to find out the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of
pain response in tracheal intubation procedures.
Method. The study is a reliability and diagnostic study that assesses the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of pain response intracheal intubation procedures, and assesses the validity of qNOX as a predictor of pain response. 54 subjects were collected qNOX values before intubation, and hemodynamic data collection twice before anesthesia and within one minute postintubation. Hemodynamic data is then determined by the difference and categorized as reactive and nonreactive. The qNOX data obtained is categorized as responsive and non-responsive. Results. Kappa test shows that the suitability of qNOX with hemodynamic changes is significant with a Kappa value of 0.715. qNOX shows a sensitivity of 100% and a specificity of 86%. Conclusion. There is a strong compatibility between qNOX values and
hemodynamic changes as predictors of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX and hemodynamic changes are reliable predictors of pain response in the prediction of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX has a high sensitivity and specificity as a predictor of pain response in tracheal intubation procedures.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saptadi Yuliarto
"Tingginya angka mortalitas syok anak dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi adekuat. Parameter hemodinamik digunakan sebagai dasar tatalaksana syok. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan parameter hemodinamik pada pasien syok anak pasca resusitasi cairan dan obat-obatan vasoaktif. Penelitian deskriptif ini dilakukan di instalasi gawat darurat dan rawat intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Januari 2013-September 2014, pada seluruh anak yang mengalami syok. Pengukuran hemodinamik dengan USCOM dilakukan pada jam I dan VI. Sebagian besar pasien mengalami syok hipodinamik dan refrakter cairan pasca resusitasi. Pasca pemberian obat-obatan vasoaktif, terjadi peningkatan inotropy pada sebagian besar kasus, namun diikuti oleh peningkatan afterload.

The high mortality rate in pediatric shock can be prevented by early detection and adequate management. Hemodynamic parameters is useful for guiding shock management. The aim of study was describing hemodynamic parameters in pediatric shock after fluid resuscitation and vasoactive drugs therapy. This descriptive study was conducted at emergency room and intensive care unit, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, in January 2013 ? September 2014, including all shock children. The hemodynamic was measured by USCOM in 1st and 6th hour. Most patients suffered from hypodynamic and fluid-refractory shock after fluid resuscitation. Post-administration of vasoactive drugs, inotropy and afterload increased in most cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>