Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115047 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ocsyavina
"

Latar Belakang: Kanker hati, khususnya karsinoma sel hati (KSH), adalah masalah kesehatan utama secara global, dengan rekurensi dan tingkat kematian yang tinggi. Peradangan kronis dan stres oksidatif adalah faktor utama dalam perkembangan KSH. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa parasetamol, obat anti-inflamasi umum, dapat mencegah KSH dengan menghambat jalur siklooksigenase (COX) dan mengurangi peradangan serta stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif asetaminofen terhadap insiasi KSH oleh Diethylnitrosamine (DEN) pada tikus jantan.

Metode : Tikus Jantan jenis Sprague-Dawley (usia 5-6 minggu, Berat badan 240-290gr) dibagi kedalam kelompok kontrol dan perlakuan (masing-masing 6 tikus tiap kelompok) kedua kelompok diinisiasi KSH dengan injeksi DEN (50mg/kgBB) intraperitoneal setiap minggu selama 10 minggu. Kelompok perlakuan diberikan asetaminofen 200 mg/kg/hari peroral 1 minggu sebelum diberikan DEN sampai 24 minggu. Dilakukan pemeriksaan biomarka fungsi hati (AST, ALT,AFP, Bilirubin dan albumin) dan dilakukan pemeriksaan histopatologi sel hati. Data dianalisis menggunakan SPSS. Normalitas data dinilai dengan uji Shapiro-Wilk. Setelah itu, dilakukan uji analisis numerik tidak berpasangan berupa uji T-test tidak berpasangan

Hasil : Kelompok asetaminofen (perlakuan) menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam nilai AST, ALT dan bilirubin dari waktu ke waktu serta nilai AST, ALT dan bilirubin yang lebih baik dari kelompok kontrol (p < 0.05). Tikus dalam kelompok kontrol mengalami kerusakan hati yang substansial dan kematian dini, sedangkan tikus dalam kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dan fungsi hati yang lebih baik. Analisis histopatologis mengungkapkan lebih sedikit perubahan nekrotik dan prakanker pada kelompok perlakuan. Selain itu, tingkat albumin berhubungan signifikan dengan manifestasi sirosis (p = 0.005), dan tingkat ALT serta bilirubin berkorelasi dengan kondisi prakanker (p < 0.05).

Kesimpulan: Asetaminofen dengan dosis 200 mg/kg berat badan memiliki efek protektif pada hepatosit tikus terhadap kerusakan hati dan potensi karsinogenesis yang diinduksi oleh DEN. Studi ini dapat dikembangkan lebih lanjut untuk penelitian lanjutan yang mempertimbangkan penggunaan asetaminofen pada pasien dengan fibrosis hati yang menjalani reseksi hati untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi peradangan pada pasien yang menjalani reseksi hati.


Background: Liver cancer, particularly hepatocellular carcinoma (HCC), is a major global health issue, with high recurrence and mortality rates. Chronic inflammation and oxidative stress are key factors in the development of HCC. Previous studies have shown that paracetamol, a common anti-inflammatory drug, can prevent HCC by inhibiting the cylclooxygenase (COX) pathway and reducing inflammation and oxidative stress. This study aims to investigate the hepatoprotective effects of acetaminophen against diethylnitrosamine (DEN)-induced liver carcinoma in male rats.

Methods: Male Sprague-Dawley rats (5-6 weeks old, 240-290g) were divided into control and treatment groups (6 rats each). Both groups initiated HCC with DEN (50 mg/kg body weight) intraperitoneally once a week for 10 weeks. The treatment group additionally received acetaminophen (200 mg/kg/day) from one week before DEN administration until the 24th week. Liver function biomarkers (AST, ALT, AFP, Bilirubin and albumin) were measured, and liver tissues were histopathologically evaluated. Data were analyzed using SPSS, employing Shapiro-Wilk tests for normality and unpaired T-tests for comparisons.

Results: Acetaminophen group resulted in significant differences in Aspartate Aminotransferase (AST), Alanine Aminotransferase (ALT), and bilirubin values over time and had better AST, ALT, bilirubin levels compared to control group (p < 0.05). Control group rats exhibited substantial liver damage and early death, whereas the treatment group showed improved survival and liver function. Histopathological analysis revealed fewer necrotic and pre-cancerous changes in the treatment group. Albumin levels were significantly associated with cirrhosis manifestation (p = 0.005), and ALT and bilirubin levels correlated with pre-cancerous conditions (p < 0.05).

Conclusions: Acetaminophen at 200 mg/kg body weight has protective effect on rat hepatocytes against DEN-induced liver damage and potential carcinogenesis. This study can be further developed for future research to be considered for use in patients with liver fibrosis undergoing liver resection to prevent recurrence and reduce inflammation in patients undergoing liver resection."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Cindy Lauren
"Latar belakang: Karsinoma hepatoseluler (HCC) merupakan salah satu penyebab kematian akibat kanker terbanyak di dunia. Berbagai metode terapeutik telah tersedia untuk mengobati HCC, namun penyakit ini tetap menjadi masalah dengan tingkat insidensi dan mortalitas yang terus meningkat. Sorafenib merupakan salah satu obat yang digunakan dalam mengobati HCC. Resistensi terhadap sorafenib menjadi kendala dalam terapi HCC dan diketahui berperan penting dalam progresi tumor. Alfa mangostin, suatu komponen aktif pada buah Garcinia mangostana mulai dikenal karena potensinya sebagai terapi anti-kanker dan dibuktikan dapat menginduksi apoptosis pada beberapa sel kanker. Pemberian alfa mangostin diharapkan dapat menekan proliferasi sel HepG2 tahan sorafenib. Tujuan: Mengetahui efek alfa mangostin terhadap penanda proliferasi sel, Ki-67 dan c-Jun sebagai terapi tambahan pada sel hepatoselular karsinoma yang tahan sorafenib
Metode: Sel HCC HepG2 dibagi menjadi 6 kelompok yang diberi perlakuan berbeda, yakni (A) DMSO-DMSO (kelompok kontrol), (B) DMSO-alfa mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (sel tahan sorafenib), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM, (E) sorafenib 10 μM-alfa mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM-sorafenib 10 μM+alfa mangostin 20 μM. Kelompok sel dikultur selama 48 jam. Sel kemudian diambil dan dilakukan pemeriksaan berupa analisis marker proliferasi sel, yaitu c-Jun dan Ki-67 dengan menggunakan metode qRT-PCR.
Hasil: Pemberian sorafenib meningkatkan ekspresi mRNA Ki-67 dan c-Jun pada sel tahan sorafenib. Pemberian alfa mangostin juga meningkatkan ekspresi mRNA Ki-67 dan ekspresi c-Jun secara signifikan dibandingkan kontrol dan sel HepG2 tahan sorafenib (SOR+AM). Kombinasi pemberian sorafenib dan alfa mangostin menghasilkan efek yang serupa (SOR+SORAM)
Kesimpulan: Alfa mangostin meningkatkan ekspresi penanda proliferasi sel Ki-67 dan c-Jun pada sel HepG2 tahan sorafenib.

Introduction : Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the leading causes of cancer- related death in the world. Various therapeutic methods have been available to treat HCC, however, this disease remains unresolved with a continuous increase of incidence and mortality rate. Sorafenib is one of the drugs used in the treatment of HCC. Sorafenib resistance becomes a problem in HCC therapy and is also known for its role in tumor progression. Alpha mangostin, an active substance found in Garcinia mangostana is starting to be recognized for its potential as anti-cancer therapy and is also proven to be able to induce apoptosis in several cancer cells. Administration of alpha mangostin is expected to suppress the proliferation of sorafenib-surviving HepG2 cells.
Purpose: To observe the effect of alpha mangostin on the expression of proliferation markers Ki-67 and c-Jun as an adjuvant therapy in sorafenib-surviving hepatocellular carcinoma cells.
Method: HepG2 HCC cells were divided into 6 groups which were treated differently, (A) DMSO-DMSO (control group), (B) DMSO-alpha mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (sorafenib-surviving group), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM, (E) sorafenib 10 μM-alpha mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM-sorafenib 10 μM+alpha mangostin 20 μM. Cells were cultured for 48 hours. The cells were then harvested and analyzed for their cell proliferation markers, c-Jun and Ki-67, using qRT-PCR method. Result: Administration of sorafenib increased expression of Ki-67 and c-Jun in sorafenib-surviving cells. Alpha mangostin also increased expression of Ki67 and c-Jun mRNA significantly compared to control group and sorafenib-surviving cells group (SOR+AM). Combination of sorafenib and alpha mangostin generates similar effects. (SOR+SORAM).
Conclusion: Alpha mangostin increased the expression of proliferation markers Ki-67 and c-Jun in sorafenib-surviving HepG2 cells.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Giselvania
"Latar Belakang: Spatially Fractionated Grid Radiotherapy (SFGRT) dilaporkan berperan dalam tatalaksana tumor berukuran besar, termasuk karsinoma sel hati (KSH). Namun, pengetahuan mekanisme kerja SFGRT masih terbatas. Studi hewan coba besar dapat bermanfaat untuk menambah bukti ilmiah, dimana studi ini merupakan studi pertama induksi KSH dengan N-Diethylnitrosamine (DENA) pada babi domestik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pola kematian sel, efek bystander, efek abscopal, serta respons imun dari SFGRT pada hewan coba besar dengan KSH.
Metode: Uji eksperimental dilakukan pada 10 babi domestik (Sus scrofa domesticus) yang diinduksi dengan injeksi DENA 15 mg/kgBB dan fenobarbital (PB) 4 mg/kgBB. Subjek dievaluasi secara periodik menggunakan USG, CT scan, analisa darah. Diagnosis KSH ditegakkan dengan pemeriksaan imaging dan histopatologi. Subjek dirandomisasi sebagai kontrol negatif, kontrol positif, penerima intervensi SFGRT1x20 Gy dosis tunggal, atau penerima intervensi radiasi lengkap SFGRT 1x20 Gy + Stereotactic Body Radiotherapy (SBRT) 3x8 Gy. Pemeriksaan flowcytometryAnnexin dilakukan untuk melihat pola kematian sel, dan biomarker TNF-a, IFN-ɣ, FOXP3 untuk melihat respons jaringan tumor dan jaringan hati di dalam dan di luararea radiasi.
Hasil: Karsinogenesis berhasil pada seluruh subjek setelah 15-22 bulan induksi, berupa KSH dan angiosarkoma hepatik. Peningkatan FOXP3 diamati pada subjek yang mengalami keganasan dibandingkan kontrol negatif, sementara TNF-a dan IFN-ɣ mengalami penurunan. Pemeriksaan Annexin menunjukkan rendahnya jumlah sel viabel signifikan pada perlakuan radiasi lengkap SFGRT+SBRT (18.65%) dibandingkan grup SFGRT saja (63,13%-89,09%). Sel viabel tumor di luar area radiasi juga terdapat penurunan, menunjukkan kemungkinan efek bystander. EkspresiFOXP3 mengalami penurunan dan terjadi peningkatan %CD8+ pasca perlakuanradiasi.
Kesimpulan: Induksi KSH pada babi domestik dapat dilakukan dengan pemberian DENA+PB dengan periode latensi 15-22 bulan. Penurunan jumlah sel viabel secara signifikan tampak pada kelompok perlakuan radiasi lengkap (SFGRT 1x20Gy + SBRT 3x8Gy) dengan jalur apoptosis pada area di dalam dan di luar area radiasi yang menunjukkan peran efek bystander/abscopal. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramitha Adriyati
"Latar belakang: Karsinoma sel hati (KSH) merupakan salah satu kanker dan penyebab kematian akibat kanker tersering. Magnetic resonance imaging (MRI) abdomen multifase adalah modalitas pilihan untuk diagnosis KSH, karena dapat menggambarkan perubahan patofisiologi selama hepatokarsinogenesis melalui sekuens dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) dengan chemical shift imaging, T2- weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), peta apparent diffusion coefficient (ADC), serta fase hepatobilier. Alpha fetoprotein (AFP) sebagai penanda serologis KSH terkait surveilans, diagnostik, dan prognostik, juga berperan dalam hepatokarsinogenesis dengan menunjukkan perbedaan agresivitas tumor. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara temuan morfologi dan karakteristik KSH pada MRI dengan kadar serum AFP.
Metode: Studi retrospektif ini dilakukan pada pasien KSH yang menjalani MRI abdomen multifase kontras spesifik hepatobilier dan kadar serum AFP di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, serta belum menjalani prosedur pengobatan apapun. Dilakukan analisis menggunakan uji Chi Square atau uji Mutlak Fisher antara temuan morfologis dan karakteristik KSH pada MRI, serta menggunakan uji Mann-Whitney antara nilai rerata apparent diffusion coefficient (ADC) dengan kadar serum AFP.
Hasil: Diperoleh 82 subyek dengan usia rerata subyek 58 tahun, diameter tumor >5cm (58,5%) dan tumor multipel (59,8%) paling banyak ditemukan, serta memiliki perbedaan proporsi yang bermakna dengan kadar serum AFP (nilai p = 0,030 dan p = 0,000). Vaskularisasi tumor, kapsul tumor, lemak intratumoral, tumor hiperintens T2, restriksi difusi, dan tumor hipointens fase hepatobilier lebih banyak ditemukan pada kadar serum AFP ≥ 100ng/mL, namun tidak ditemukan perbedaan proporsi bermakna. Terdapat perbedaan bermakna nilai rerata ADC antara 39 subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL dan 43 subyek dengan AFP ³ 100ng/mL. Median nilai rerata ADC 1,19 (0,71 – 2,20) pada subyek dengan kadar serum AFP < 100ng/mL, median 0,97 (0,72 – 1,77) pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL, dan nilai p = 0,003.
Simpulan: Proporsi tumor berdiameter > 5cm dan tumor multipel pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih tinggi dibandingkan pada subyek dengan AFP < 100ng/mL. Nilai rerata ADC pada subyek dengan AFP ≥ 100ng/mL secara bermakna lebih rendah dibandingkan AFP < 100ng/mL. Sehingga nilai rerata ADC dapat membantu memprediksi kadar serum AFP pada pasien KSH.

Background: Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the most common cancers and cancer-related death. Multiphase contrast-enhanced abdominal magnetic resonance imaging (MRI) is the modality of choice for the diagnosis of KSH, as it can depict pathophysiologic changes during hepatocarcinogenesis through sequences: dynamic contrast enhanced (DCE), T1-weighted imaging (T1WI) with chemical shift imaging, T2-weighted imaging (T2WI), diffusion-weighted imaging (DWI), apparent diffusion coefficient (ADC) maps, and hepatobiliary phase. Alpha fetoprotein (AFP) as a serological marker of HCC related to surveillance, diagnostics, and prognostics, also plays a role in hepatocarcinogenesis by showing differences in tumor aggressiveness. This study aims to analyze the relationship between morphological findings and characteristics of HCC on MRI with serum AFP levels.
Methods: This retrospective study was conducted on HCC patients who underwent hepatobiliary-specific contrast-enhanced multiphase abdominal MRI and serum AFP levels at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, had not undergone any treatment procedures. Chi Square or Fisher's exact test between morphological findings and characteristics of HCC on MRI, and Mann-Whitney test between mean apparent diffusion coefficient (ADC) values and serum AFP levels were analyzed.
Results: There were 82 subjects with a mean age of 58 years, tumor size >5cm (58.5%) and multiple tumors (59.8%) were more common, had a significant difference in proportion with AFP serum levels (p value = 0.030 and p = 0.000). Tumor vascularization, tumor capsule, intratumoral fat, T2 hyperintense tumor, diffusion restriction, and hepatobiliary phase hypointense tumor were more common in serum AFP level ≥ 100ng/mL, but there was no significant difference in proportion. There was a significant difference in mean ADC between 39 subjects with serum AFP level < 100ng/mL and 43 subjects with AFP 100ng/mL. The median ADC score was 1.19 (0.71 – 2.20) in subjects with serum AFP level < 100ng/mL, median 0.97 (0.72 – 1.77) in subjects with AFP ≥ 100ng/mL, and p value is 0.003.
Conclusion: The proportion of tumors > 5cm in diameter and multiple tumors in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly higher than that in subjects with AFP < 100ng/mL. The mean value of ADC in subjects with AFP ≥ 100ng/mL was significantly lower than AFP < 100ng/mL. So that the mean value of ADC can help predict serum AFP levels in patients with HCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Koncoro
"Latar Belakang: Sarkopenia mempengaruhi prognosis karsinoma sel hati (KSH). Dalam penilaian klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) terkandung penilaian status performa Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG). Status performa ECOG merupakan penilaian aktivitas fisik terkait sarkopenia. Pemeriksaan baku emas sarkopenia pada KSH mahal dan membutuhkan banyak waktu. Pemeriksaan tebal otot paha dapat digunakan sebagai modalitas yang baru. Studi ini bertujuan untuk menilai hubungan antara status performa ECOG dengan sarkopenia pada KSH, mengetahui perbedaan rerata antara tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah dengan status performa ECOG tinggi pada KSH, dan mengetahui perbedaan rerata antara tebal otot paha pasien sarkopenia dengan non sarkopenia pada KSH.
Metode: Studi ini dilakukan di RS tersier selama Januari – Oktober 2021. Analisis statistik dilakukan untuk memperoleh hubungan antara status performa ECOG, tebal otot paha, dan status sarkopenik pasien KSH.
Hasil: Delapan puluh lima subjek pasien KSH (usia median, 52 tahun) dilakukan analisis. Sarkopenia diamati pada 30,6% pasien KSH. Setelah melalui analisis multivariat, status performa ECOG buruk berhubungan dengan sarkopenia pada KSH (adjusted OR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Terdapat perbedaan signifikan rerata tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah dengan status performa ECOG tinggi pada KSH (p < 0,001). Terdapat juga perbedaan signifikan rerata tebal otot paha pasien sarkopenia dan non sarkopenia (p < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status performa ECOG tinggi dengan sarkopenia pada KSH (aOR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Rerata tebal otot paha pasien status performa ECOG rendah lebih besar dibanding dengan status performa ECOG tinggi pada karsinoma sel hati. Rerata tebal otot paha pasien non sarkopenia lebih besar dibanding dengan sarkopenia pada karsinoma sel hati.

Background: Sarcopenia affects hepatocellular carcinoma (HCC) prognosis. HCC staging consists of Eastern Cooperative Oncology Group performance status (ECOG-PS). ECOG-PS is an assessment of physical activity related to sarcopenia. Gold standard examinations for sarcopenia in HCC are expensive and time-consuming. Thigh muscle thickness can be used as a new modality. This study was aimed to explore the association between ECOG-PS with sarcopenia, to seek thigh muscle thickness difference between poor and good performance status, and to know thigh muscle thickness difference between sarcopenic and non-sarcopenic patients with HCC.
Methods: The study was conducted in a tertiary hospital during January – October 2021. Statistical analysis was performed to obtain an association between ECOG-PS, thigh muscle thickness, and sarcopenic status of HCC patients.
Results: Eighty-five HCC patients (median age, 52 years) were analyzed. Sarcopenia was observed in 30,6% of HCC patients. On multivariate binary regression analysis, a poor ECOG-PS remained independently associated with sarcopenia in HCC (adjusted OR = 6,35, 95% CI 2,06-19,6, p < 0,001). There was a significant difference in thigh muscle thickness between good and poor performance status (p < 0,001). There was also a significant difference in thigh muscle thickness between sarcopenic and non-sarcopenic patients (p < 0,001).
Conclusion: There were association between ECOG-PS and sarcopenia in HCC (aOR = 6,35, IK 95% 2,06-19,60). Mean thigh muscle thickness was larger in HCC patients with good ECOG-PS than poor ECOG-PS. Mean thigh muscle thickness was larger in non-sarcopenic HCC patients than sarcopenic ones.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Perbowo Putra
"ABSTRAK
Nama : Ario Perbowo PutraProgram Studi : Ilmu Penyakit DalamJudul : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Surveilans untuk Deteksi Dini Karsinoma Hepatoselular pada Pasien Sirosis Hati Latar Belakang: Sedikitnya pasien KHS yang didiagnosis melalui surveilans diduga merupakan penyebab terus rendahnya angka kesintasan, sehingga penting untuk diketahui proporsi pelaksanaan surveilans untuk deteksi dini KHS pada pasien sirosis hati dan faktor-faktor yang berhubungan. Tujuan: Mengetahui proporsi pelaksanaan surveilans untuk deteksi dini KHS pada pasien sirosis hati dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode: Studi kohort retrospektif pasien sirosis hati di RSCM periode Januari - Desember 2013. Data didapatkan dari rekam medis dan dikonfirmasi ulang dengan telepon. Surveilans disyaratkan USG abdomen dengan atau tanpa AFP minimal satu kali setahun dalam 3 tahun setelah periode tersebut. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, ketersediaan jaminan pengobatan, lokasi tempat tinggal, keberhasilan edukasi surveilans, etiologi sirosis, serta derajat beratnya sirosis. Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan surveilans. Hasil: Dari 200 pasien sirosis hati, 50 pasien 25,0 menjalani surveilans, 150 pasien 75,0 tidak menjalani surveilans. Analisis bivariat menghasilkan 4 variabel dengan nilai p < 0,25 yaitu jenis kelamin p = 0,056 , suku bangsa p = 0,231 , keberhasilan edukasi surveilans p = 0,005 , dan derajat beratnya sirosis p = 0,005 . Analisis multivariat menghasilkan faktor risiko terlaksananya surveilans adalah keberhasilan edukasi surveilans OR 2,615, IK 95 1,332 - 5,134 , p = 0,005 dan derajat beratnya sirosis OR 2,766, IK 95 1,413 - 5,415 , p = 0,003 . Simpulan: Keberhasilan edukasi surveilans dan derajat beratnya sirosis merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan surveilans untuk deteksi dini KHS pada pasien sirosis hati. Kata Kunci: Sirosis hati, surveilans, faktor yang berhubungan.

ABSTRACT
Name Ario Perbowo PutraStudy Program Internal MedicineTitle Factors Related to The Implementation of Surveillance for Early Detection of Hepatocellular Carcinoma in Patients with Liver Cirrhosis Background Minimal number of KHS patients diagnosed through surveillance is thought to be the cause of continued low survival. It is important knowing the proportion of surveillance for early detection of KHS in patients with liver cirrhosis and related factors. Objective Determine the proportion of surveillance for early detection of KHS in patients with liver cirrhosis and related factors. Methods Retrospective Cohort study of patients with liver cirrhosis at RSCM from January to December 2013. Data obtained from medical records and reconfirmed by telephone. Surveillance is required for abdominal ultrasound with or without AFP at least once a year within 3 years after that period. Factors studied were gender, ethnicity, education level, income level, availability of medical assurance, location of residence, surveillance education successfulness, cirrhosis etiology, and severity of cirrhosis. Then logistic regression test is used in the multivariate analysis. Results From 200 patients, 50 patients 25,0 underwent surveillance, 150 patients 75,0 did not. Bivariate analysis resulted in 4 variables with p "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelvin Theandro Gotama
"Pendahuluan: Doxorubicin (DOX), agen kemoterapi yang banyak digunakan, diketahui menyebabkan toksisitas pada organ hati. Metabolisme DOX menghasilkan stress oksidatif yang memicu kerusakan DNA, peroksidasi lipid,, dan deplesi ATP, sehingga berujung pada kematian hepatosit. L-citrulline (CIT), yang terkandung pada semangka dan mentimun, banyak menarik perhatian karena sifat antioksidatifnya. Di tubuh, CIT diubah menjadi NO, yang ditunjukkan mengurangi kerusakan hati dengan melawan radikal bebas, memperbaiki mikrosirkulasi sinusoid hati, dan menghambat infiltrasi neutrophil. Studi ini bertujuan untuk menginvestigasi kemampuan CIT dalam mencegah hepatotoksisitas yang diinduksi oleh DOX.
Metode: 20 tikus wistar dirandomisasi untuk mendapatkan DOX (10 mg/kgBB) atau NaCl 0.9%. Kelompok yang diintoksikasi oleh DOX juga dirandomisasi untuk diberikan CIT dosis rendah (300 mg/kgBB), CIT dosis tinggi (600 mg/ kgBB), atau akuadest. CIT diberikan secara oral selama 6 hari, sedangkan DOX diberikan melalui injeksi intraperitoneal hanya pada hari ke 4 & 5. Serum diambil sebagai sampel dan hepatotoksisitas ditentukan melalui level serum dari AST, ALT, dan GGT. Analisa statistik dengan one-way ANOVA dan Tukey’s test dilakukan untuk membandingkan data.
Hasil: Pemberian DOX menyebabkan peningkatan semua biomarker serum. Kedua dosis CIT mengurangi elevasi ALT secara signifikan (p-value <0.05 vs DOX group). Hanya CIT dosis tinggi mampu mengurangi elevasi AST secara signifikan (p-value <0.05 vs DOX group). Kedua dosis CIT hanya mengurangi elevasi GGT secara insignifikan (p-value >0.05 vs DOX group)
Background: The antineoplastic agent Doxorubicin (DOX) is known for causing liver toxicity. Its metabolism in hepatocytes causes oxidative stress, inducing DNA damage, lipid peroxidation, ATP depletion, and apoptosis. L-citrulline (CIT), commonly found in fruits like watermelon, has piqued interest due to its antixodative properties. In the body, CIT is converted to NO, which has been shown to mitigate hepatic injury by scavenging free radicals, improving hepatic sinusoidal microcirculation, and inhibiting neutrophilic infiltration. This study aims to investigate CIT’s ability to prevent DOX-induced hepatotoxicity.
Method: 20 wistar rats were randomized to receive either DOX (10 mg/kgBW) or NaCl 0.9%. DOX-intoxicated group was further randomized to either receives low-dose CIT (300 mg/kgBW), high-dose CIT (600 mg/kgBW), or aquadest. CIT was given orally for 6 days and DOX via intraperitoneal injection on day 4 and 5. Serum was obtained as sample and hepatotoxicity was assessed via the serum levels of AST, ALT, and GGT. Statistical analysis was done with one-way ANOVA and Tukey’s test.
Results: DOX treatment resulted in elevations of all serum biomarkers. Both dosages of CIT significantly attenuated ALT elevation (p <0.05 vs DOX group). Only high-dose CIT significantly attenuated AST elevation (p <0.05 vs DOX group). Both dosages produced insignificant decrease of GGT elevation (p >0.05 vs DOX group).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Jamtani
"Pendahuluan: Efikasi neoadjuvan kemoembolisasi transarterial (N-TACE) pada karsinoma hepatoseluler (KSH) yang dapat direseksi masih diperdebatkan. Meskipun N-TACE dapat mengurangi ukuran tumor, dampaknya terhadap luaran jangka panjang masih belum dapat disimpulkan.
Metode: Meta-analisis ini meninjau studi terkait N-TACE vs. Reseksi Hati (RH) pada karsinoma sel hati soliter besar (KSHSB) hingga Maret 2023 dari empat database online.
Hasil: 5 penelitian dengan total sampel 1556 pasien (N-TACE = 474; LR = 1082) dilakukan analisis. Dari hasil analisis, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok N-TACE dan RH yang diamati pada KS dan KBT 1, 3, atau 5 tahun. Odds Ratio yang didapatkan adalah 0,91 (95% CI 0,54 – 1,54), 0,80 (95% CI 0,56 – 1,15), dan 0,88 (95%CI 0,47 – 1,65) untuk KS 1, 3, dan 5 tahun dan 0,66 ( 95% CI 0,32 – 1,34), 0,70 (95% CI 0,37 – 1,33), dan 0,75 (95% CI 0,28 – 1,98) masing- masing untuk KBT 1, 3, dan 5 tahun. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada kehilangan darah intraoperatif antar kelompok. Analisis subgroup menunjukkan KS 1, 3, dan 5 tahun yang mengarah ke N-TACE pada kombinasi kemoterapi dan KS 1 tahun yang lebih baik pada kelompok RH di kemoterapi agen tunggal. Selain itu, KBT 5 tahun lebih mengarah pada RH di kelompok agen kemoterapi tunggal (OR 2,82 95% CI 1,18 – 6,72) dan N-TACE pada kelompok kombinasi (OR 0,75 95%CI 0,28 – 1,98).
Kesimpulan: Pengelolaan KSHSB memerlukan pertimbangan yang rumit dan diperlukan peningkatan strategi pengobatan untuk subkelompok HCC yang ini. Pengaruh N-TACE terhadap kelangsungan hidup jangka panjang dan kehilangan darah intraoperatif pada KSHSB memiliki hasil tidak signifikan. Namun, kombinasi kemoterapi pada N-TACE memberikan hasil yang lebih baik terhadap kesintasan pasien KSHSB.

Introduction: The efficacy of neoadjuvant transarterial chemoembolization (N- TACE) in resectable hepatocellular carcinoma (HCC) remains debated. While N- TACE may reduce tumor size, its impact on long-term outcomes is inconclusive. Methods: This meta-analysis reviewed studies on N-TACE before surgical resection vs. LR SLHCC up to March 2023 from four online databases.
Results: 5 studies with 1556 patients (N-TACE = 474; LR = 1082) were analyzed. No significant differences between N-TACE and LR groups were observed in 1-, 3-, or 5-year OS and DFS. The pooled HRs were 0.91 (95% CI 0.54 – 1.54), 0.80 (95% CI 0.56 – 1.15), and 0.88 (95%CI 0.47 – 1.65) for the 1-, 3-, and 5-year OS and 0.66 (95% CI 0.32 – 1.34), 0.70 (95% CI 0.37 – 1.33), and 0.75 (95% CI 0.28 – 1.98) for 1-, 3-, and 5-year DFS respectively. No significant differences were observed in intraoperative blood loss between groups as well. Subgroup analysis showed favorable 1-, 3-, and 5-year OS with combination chemotherapy N-TACE (combination group) and better 1-year OS in the LR group with single-agent chemotherapy N-TACE (single-agent group). In addition, 5-year DFS favored LR in the single-agent group (OR 2.82 95% CI 1.18 – 6.72) and N-TACE in the combination group (OR 0.75 95%CI 0.28 – 1.98).
Conclusion: Managing SLHCC requires intricate considerations and enhancement of treatment strategies for this challenging subgroup of HCC is needed. The influence of N-TACE on long-term survival and intraoperative blood loss in SLHCC appears limited. However, combination chemotherapy in N-TACE results in better outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Kharisma Wangsaputra
"Karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama keempatkematian akibat kanker di dunia pada tahun 2018. Namun, kebanyakan pasien baru didiagnosis pada stadium lanjut. Satu-satunya kemoterapi oral untuk karsinoma hepatoseluler stadium lanjut adalah sorafenib, suatu inhibitor multikinase. Salah satu mekanisme yang berkontribusi terhadap resistensi sorafenib adalah modulasi transporter obat. Studi melaporkan efek kemosensitisasi dari alfa-mangostin, suatu xanton yang diekstrak dari Garcinia mangostana Linn., yang memungkinkan penggunaannya sebagai terapi adjuvan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh alfamangostin terhadap ekspresi mRNA transporter obat pada galur sel HepG2 yang tahan terhadap sorafenib. Sel HepG2 pada awalnya dilakukan pemberian sorafenib 10 μM. Sel yang tahan sorafenib tersebut kemudian dibagi menjadi empat kelompok perlakuan, yaitu dengan DMSO, sorafenib (SOR) 10 μM, alfa-mangostin (AM) 20 μM, dan kombinasi SOR 10 μM-AM 20 μM. Ekspresi mRNA dari transporter obat ABCB1 (P-gp), ABCG2, MRP2, MRP3, OCT1, dan OATP1B3 diperiksa dengan qRT-PCR setelah isolasi RNA dan sintesis cDNA yang dilakukan sebelumnya. Penurunan ekspresi mRNA transporter P-gp diamati pada kelompok SOR+SOR dibandingkan dengan kelompok SOR+DMSO. Sebaliknya, transporter efluks lainnya menunjukkan ekspresi yang lebih tinggi pada kelompok SOR+SOR. Menariknya, dua kelompok yang ditambahkan perlakuan alfa-mangostin (SOR+AM dan SOR+SORAM) menunjukkan ekspresi mRNA MRP2, MRP3, OCT1, dan OATP1B3 yang secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan dengan kelompok SOR+DMSO. Secara umum, pemberian alfa-mangostin menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA dari semua transporter obat pada penelitian ini. Penafsiran secara cermat tetap diperlukan meskipun terdapat efek akhir pada transporter influks yang cukup besar pada studi ini.

Hepatocellular carcinoma (HCC) is the fourth leading cause of cancer mortality worldwide in 2018. Most patients unfortunately are diagnosed at advanced stage. Hence, the only oral chemotherapy for advanced unresectable HCC is sorafenib, a multikinase inhibitor. One of the mechanisms contributing to sorafenib resistance is drug transporters modulation. Studies reported chemosensitizing effect of alphamangostin, a xanthone extracted from Garcinia mangostana Linn., leading to its use as adjunctive treatment. This study aimed to analyse the impact of alpha-mangostin towards drug transporters’ mRNA expression in sorafenibsurviving HCC HepG2 cell line. HepG2 cells were initially treated with sorafenib 10 μM. The sorafenib surviving cells later were divided into four groups of treatment, namely with vehicle (DMSO), sorafenib (SOR) 10 μM, alpha-mangostin (AM) 20 μM, and combination of SOR 10 μM-AM 20 μM. The mRNA expressions of P-gp, ABCG2, MRP2, MRP3, OCT1, and OATP1B3 drug transporters were examined with quantitative reverse transcriptase-polymerase chain reaction following the RNA isolation and cDNA synthesis. Decreased mRNA expression of P-gp was observed in SOR+SOR group as compared to SOR+DMSO group. In contrast, other efflux transporters showed higher expression in SOR+SOR group. Interestingly, two groups treated with alpha-mangostin (SOR+AM and SOR+SOR-AM groups) showed statistically significant (p<0.05) higher mRNA expression of MRP2, MRP3, OCT1, and OATP1B3 compared to SOR+DMSO group. Generally, alpha-mangostin treatment increased the mRNA expression of all the drug transporters in the present study. Cautious interpretation was nonetheless required despite the considerable net effect on uptake transporters.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Amaris
"Buah manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu tanaman obat
tradisional yang banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit. Penelitian
terdahulu melaporkan bahwa G. mangostana mempunyai aktivitas antioksidan yang
poten yang berperan melindungi sel dari stres oksidatif. Tujuan penelitian adalah
menguji efek hepatoprotektif dari ekstrak etanol kulit buah manggis (EEKBM) pada
tikus yang diinduksi dengan karbon tetraklorida (CCl4). Tikus jantan galur Sprague-
Dawley dengan berat 150-200 g, 11-12 minggu, dibagi menjadi 5 kelompok secara
acak, tiap kelompok terdiri atas 5 ekor tikus. Kelompok I: kontrol. Kelompok II:
diberikan CCl4. Kelompok perlakuan III, IV, V diberikan EEKBM dengan dosis 900,
1080 dan 1296 mg/kgBB/hari secara oral selama 8 hari. Aktivitas alanin
aminotransferase (ALT), malondialdehid (MDA) dan glutation (GSH) diukur pada
plasma dan jaringan hati tikus. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas ALT plasma
dan kadar MDA hati kelompok EEKBM (900, 1080 dan 1296 mg/kg BB) lebih
rendah dibanding kelompok CCl4 secara bermakna (p<0,05). Kadar MDA plasma
tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol, tetapi lebih tinggi dibanding
kelompok CCl4 secara bermakna (p<0,05). Kadar GSH hati dan plasma dari
kelompok EEKBM (900 dan 1080 mg/kg BB) lebih tinggi dibanding kelompok CCl4
secara bermakna (p<0,05). Pada kelompok EEKBM (1296 mg/kg BB) kadar GSH
plasma lebih tinggi dibanding kelompok CCl4 secara bermakna (p<0,05).
Kesimpulannya, EEKBM mempunyai kemampuan untuk melindungi hati dari
kerusakan oksidatif akibat CCl4, kemampuan ini diduga berhubungan dengan
aktivitas antioksidan dari kandungan senyawa Garcinia mangostana L.

Mangosteen fruit (Garcinia mangostana L.) is traditionally used as medicinal plant.
Previous studies mentioned that G. mangostana has a potent antioxidant activity to
protect the cells from oxidative stress. This study aimed to investigate the
hepatoprotective effect of the ethanol extract of mangosteen pericarp (EEMP) in rats
induced by carbon tetrachloride (CCl4). Male Sprague-Dawley rats weighing 150-200
g, 11-12 weeks were randomly devided into 5 groups of 5 animals each. Group I:
controls. Group II: treatment CCl4, and 3 treatment Groups (III, IV, V). Group III:
EEMP 900 mg/kgBW, Group IV: EEMP 1080 mg/kgBW and Group V: EEMP 1296
mg/kgBW. All treatment with plant extracts administered orally, once per day for 8
days. The activity of alanine aminotransferase (ALT), malondialdehyde (MDA) and
glutathione (GSH) was measured in rats plasma and liver tissue. Results showed that
the plasma ALT activity and liver MDA levels of EEMP groups (900, 1080 and 1296
mg/kgBW) were significantly lower compared to CCl4 group (p<0,05), while the
plasma MDA levels were not significantly different compare to control group
(p<0,05) but higher compared to CCl4 groups (p<0,05). GSH levels of liver and
plasma of treatment groups (900 and 1080 mg/kgBW) were significantly higher
compared to CCl4 group (p<0,05), while at treatment group of 1296 mg/kgBW, only
the GSH levels of plasma were significantly higher compared to CCl4 group
(p<0,05). Hence, in conclusion ethanol extract of mangosteen pericarp (EEMP)
demonstrated the ability to protect the liver from oxidative damage caused by CCl4,
which was assumed due to the antioxidant activity of the active compound of
Garcinia mangostana L.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T35740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>