Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137981 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marcellina Siti Nabila
">Tulisan ini menganalisis mengenai kedudukan covernote dalam perjanjian kredit serta akibat adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh notaris sehingga terjadinya tindak pidana korupsi. Penulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Covenote merupakan surat keterangan yang berisi janji-janji atau kesanggupan notaris dalam menyelesaikan tugasnya, terkait dengan persyaratan yang belum dipenuhi oleh para pihak untuk menerbitkan suatu akta. Dalam Undang-Undang tentang Jabatan notaris tidak ada aturan atau menyebutkan mengenai covernote. Keberadaan covernote muncul karena kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh Bank yang menjadi pegangan sementara untuk melakukan perjanjian kredit. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value Untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value Untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor secara khusus memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat covernote. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya notaris harus berpedoman pada Undang-Undang jabatan Notaris dan juga Kode Etik Notaris. Dalam melakukan perbuatan hukum notaris bertanggung jawab terhadap semua yang dibuatnya. Apabila notaris melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang maka notaris dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan yang dibuatnya baik secara administrasi, kode etik, perdata dan juga pidana. Dalam hal perbuatan notaris dapat merugikan keuangan negara maka notaris bisa dijerat degan tindak pidana korupsi.

This article analyzes the position of the covernote in the credit agreement and the consequences of abuse of authority by the notary resulting in criminal acts of corruption. This writing was prepared using doctrinal research methods. A covenote is a certificate containing the promises or commitment of a notary to complete his duties, related to the requirements that have not been fulfilled by the parties to issue a deed. In the Law on Notary Positions, there are no regulations or mentions regarding covernotes. The existence of the covernote arises because of the urgent need required by the Bank which is the temporary basis for carrying out credit agreements. Bank Indonesia Regulation Number 20/8/PBI/2018 concerning Loan to Value Ratio for Property Credit, Financing to Value Ratio for Property Financing, and Down Payments or Motor Vehicle Financing specifically authorizes notaries to make covernotes. In carrying out their duties and authority, notaries must be guided by the Law on Notary Positions and also the Notary Code of Ethics. In carrying out legal acts, the notary is responsible for everything he makes. If a notary commits an act that violates the law, the notary can be held responsible for the mistakes he or she makes both administratively, ethically, civilly and criminally. In the event that a notary's actions can harm state finances, the notary can be charged with criminal acts of corruption."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Budiutami
"Dewasa ini masyarakat menaruh perhatian yang lebih kepada kebijakan dan tingkah laku pejabat publik terlebih dalam masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Notaris sebagai pejabat publik tentunya tidak lepas dari perhatian masyarakat dalam hal permasalahan KKN. Pada saat ini terdapat beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang dianggap melibatkan Notaris. Hal tersebut menyebabkan proses kriminalisasi terhadap profesi Notaris tersebut. Proses Kriminalisasi terhadap Notaris itu sendiri pastinya dianggap sangat merugikan Notaris bila ia telah menjalankan jabatannya dengan sangat berhati-hati dan sesuai dengan ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah penentuan tarif pengurusan akta oleh notaris dalam kasus ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana perlindungan hukum bagi notaris yang menjalankan jabatannya terhadap suatu kasus tindak pidana korupsi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normative dan penarikan kesimpulannya bersifat deskriptid analitis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penentuan tarif yang dilakukan oleh Notaris dalam kasus ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak terdapat suatu perlindungan hukum yang diatur khusus bagi notaris dalam menjalankan jabatannya.

Today people pay more attention to the policy and behavior of public officials especially on the issue of corruption, collusion and nepotism. Notaries as public officials must not be separated from the public's attention in terms of corruption problems. At the moment there are several cases of Corruption in Indonesia were considered to involve a Notary. This led to the criminalization of the Notary profession. The criminalization of the Notary process itself must be considered very detrimental to the Notary when he has run his position very carefully and in accordance with the provisions of the Code UUJN and Notary.
This study aimed to examine whether the determination of the maintenance rates by a notary deed in this case in accordance with the legislation in force and how the legal protection for a notary who runs the office for a case of corruption.
The method used in this research is a normative juridical approach and withdrawal are descriptive analytical conclusions. The conclusion from this study is the determination of tariffs performed by a Notary in this case is not in accordance with the legislation in force and there is a special set of legal protection for a notary in the running position."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T45222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Tahsya Rachmasari Ham
"Notaris dapat memberikan jasanya kepada bank sebagai pihak terafiliasi didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka (22) huruf c Undang-undang Perbankan. Salah satu jasa yang diberikan kepada perbankan adalah dalam pembuatan perjanjian kredit. Suatu perjanjian kredit mengakibatkan resiko yang besar. Resiko kerugian dapat diatasi dengan memerhatikan asas prekreditan yang sehat. Asas kepercayaan merupakan salah satu asas dalam hal menggunakan jasa Notaris. Diantaranya dengan penerbitan Covernote. Covernote yang dikeluarkan oleh Notaris sebagai jaminan bahwa Notaris akan menjamin seluruh proses pengurusan baik suratsurat maupun dokumen hukum atas jaminan debitur ke kreditur dapat terlaksana. Namun, covernote sebagai dasar permberian kredit kredit memiliki resiko yang cukup tinggi, Undang- Undang Jabatan Notaris sendiri tidak menjelaskan tentang wewenang dan tugas seorang Notaris/PPAT untuk membuat covernote. Sebagaimana yang terjadi pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)Tbk.yang telah“mencairkan kreditnya sebagai dasar covernote yang diterbitkan oleh Notaris/PPAT NTA dimana terjadinya kesalahan bahwa objek jaminan hak tanggungan tidak dapat diikat secara penuh dikarenakan Pihak Notaris/PPAT tidak memenuhi kewajban sesuai covernote yang dikeluarkan oleh Notaris/PPAT tersebut. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif. Yaitu penelitian hukum kepustakaan. Jenis data menggunakan data sekunder berbentuk wawancara dengan narasumber atau Informan mengenai Covernote. Selain itu, data didapat berdasarkan studi kepustakaan. Covernote hanyalah perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian tersebut termasuk kedalam perjanjian garansi sebagaimana pasal 1316 KUHPerdata. Covernote hanyalah layaknya persuratan biasa yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh suatu instansi atau lembaga yang menerangkan suatu hal berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya. bentuk pertanggungjawaban yang dapat dituntut akibat kelalaian Notaris/PPAT dalam penerbitan covernote adalah pertanggungjawaban perdata berdasarkan wanprestasi atau pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Di dalam penerbitan covernote seorang Notaris diharapkan menetapkan standar khusus mengenai hal-hal yang harus dipenuhi. Saat pihak bank meminta Notaris untuk menerbitkan covernote, Notaris dapat memastikan kelengkapan dokumen dan meyesuaikannya dengan standar yang telah ditetapkan Notaris tersebut sehingga dalam penerbitannya dapat dipastikan tidak terjadi masalah di belakang hari.

Notaries may provide services to banks as affiliated parties based on the provisions of Article 1 number (22) letter c of the Banking Law. One of the services provided to banks is in making credit agreements. A credit agreement creates a big risk so that banks in managing credit risk can minimize potential losses by observing sound precredit principles, including the principle of trust. One of the principles of banking trust in using notary services is the issuance of Covernote. Covernote issued by the notary as a guarantee for creditors that the notary will guarantee that the entire process of processing both letters and legal documents for debtor to creditor guarantees can be carried out. However, covernote as the basis for granting credit credit has a high enough risk, Law Number 2 of 2014 concerning amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of Notary (UUJN) itself does not explain the authority and duties of a Notary / PPAT to make covernote. As happened to PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Which has "disbursed its credit as the basis for the covernote issued by the Notary / PPAT NTA where an error occurred that the guarantee object of the mortgage could not be fully tied because the Notary Party / PPAT did not meet the appropriate obligations. covernote issued by the Notary / PPAT. This research takes the form of juridical normative. Namely, literature law research. This type of data uses secondary data in the form of interviews with informants or informants about Covernote. In addition, the data was obtained based on literature study. Covernote is simply an engagement born out of a contract or agreement. The agreement is included in the guarantee agreement as referred to in article 1316 of the Civil Code. Covernote can be said to be an ordinary administrative act carried out by a notary like an ordinary correspondent. Covernote is just like an ordinary correspondence issued or issued by an agency or institution that explains something related to the implementation of its function. As a result of the covernote, general legal provisions apply, both civil and criminal. Therefore, the form of accountability that can be prosecuted due to the negligence of the notary / PPAT in the covernote issuance is civil liability based on default or accountability for illegal acts. In the covernote publication, a notary is expected to set specific standards regarding things that must be met. When the bank asks the notary to issue a covernote, the notary can ensure the completeness of the document and adjust it to the standards set by the notary so that the issuance can be ascertained that there will be no problems later."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Yudhakusuma Putra Munandar
"Peran Notaris di bidang perbankan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kepastian hukum baik bagi debitur maupun kreditur melalui akta autentik yang dibuatnya. Salah satu dokumen yang dibutuhkan Bank dalam rangka pencairan kredit kepada debitur yaitu surat keterangan atau covernote. Covernote yang dibuat oleh Notaris GH untuk salah satu Bank BUMN mengakibatkan Notaris GH dikenakan sanksi tipikor. Dalam penelitian ini membahas kedudukan hukum covernote Notaris dalam kredit perbankan dan tanggungjawab Notaris GH atas pembuatan covernote yang mengakibatkan terjadinya tipikor dalam Putusan Pengadilan Negeri Pangkal Pinang No. 21/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Pgp. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian dalam tesis ini adalah covernote dibutuhkan oleh para pihak dalam perkreditan perbankan, hal ini juga menjadi living law dalam praktik kenotariatan. Kedudukan hukum covernote termasuk kewenangan lainnya Notaris, sebagaimana dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN karena dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN terdapat kata-kata “antara lain” artinya kewenangan lain Notaris tidak hanya sebatas yang dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN. Selain itu, hasil penelitian ini menerangkan tanggungjawab Notaris dalam Putusan Pengadilan Negeri Pangkal Pinang No. 21/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Pgp adalah secara pidana karena covernote yang telah dibuat oleh Notaris GH terdapat kelalaian dan tidak sesuai fakta yang terjadi, sehingga perbuatan tersebut memenuhi unsur Pasal 3 UU Tipikor yaitu setiap orang, menguntungkan diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan serta merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah Notaris yang diminta oleh Bank BUMN untuk mengeluarkan covernote, sebaiknya tetap membuat covernote yang sesuai prosedur, yaitu hanya berisi fakta yang terjadi, tidak berisi jaminan mengenai keabsahan atau tidak adanya cacat pada jaminan dan tidak menjamin waktu penyelesaian dokumen yang sedang dilakukan proses administrasi karena hal tersebut bukan kewenangan dari Notaris atau PPAT. Bank juga seharusnya tidak menjadikan covernote sebagai dasar pencairan kredit, namun tetap berdasarkan analisis perbankan dan prinsip-prinsip pemberian kredit.

The role of a notary in the banking sector is urgently needed to create legal certainty for both debtors and creditors through the authentic deed they have made. One of the documents needed by the Bank in order to disburse credit to debtors is a statement letter or cover note. A cover note made by a GH Notary for one of the state-owned banks resulted in a GH Notary being subject to corruption sanctions. This research discusses the legal position of notary covernotes in bank credit and the responsibility of GH notaries for making covernotes which resulted in corruption in the Pangkal Pinang District Court Decision No. 21/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Pgp. The research method used is normative juridical research and explanatory research typology. The results of the research in this thesis are that covernotes are needed by parties in banking credit, this is also a living law in notary practice. The legal position of the covernote includes other powers of a Notary, as in Article 15 paragraph (3) UUJN because in the Elucidation of Article 15 paragraph (3) UUJN there are the words "among other things" meaning that the other powers of a Notary are not only limited to those stated in the Elucidation of Article 15 paragraph ( 3) UUJN. In addition, the results of this study explain the responsibility of a Notary in the Decision of the Pangkal Pinang District Court No. 21/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Pgp is criminally because the covernote that was made by Notary GH contained negligence and did not match the facts that occurred, so that the act fulfills the elements of Article 3 of the Corruption Law, namely that everyone benefits themselves and abuse authority and harm state finances or the country's economy. Suggestions that can be given in this study are that a Notary who is asked by a BUMN Bank to issue a covernote, should still make a covernote according to the procedure, which only contains facts that occurred, does not contain guarantees regarding the validity or absence of defects in the guarantee and does not guarantee the completion time of the document which is being carried out by the administrative process because this is not the authority of the Notary or PPAT. Banks should also not use covernotes as the basis for disbursing credit, but still based on banking analysis and the principles of lending."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Halida Saputri
"Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terkadang ada yang melakukan tindak pidana penggelapan dan menjadi terdakwa sebagaimana kasus yang terjadi di Bandung ketika seorang Notaris menggelapkan uang titipan kliennya. Penelitian ini membahas mengenai penerapan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 374 KUHP yang digunakan majelis hakim dalam putusan Nomor 212/Pid.B/2021/PN Bdg dan tanggung jawab notaris yang melakukan tindak pidana penggelapan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan tipologi penelitian deskriptif analitis yang menggunakan data hasil studi dokumen. Metode yang digunakan dalam menganalisis data berupa metode kualitatif. Simpulan dari penelitian ini adalah hakim tidak mempertimbangkan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, sehingga sanksi yang diberikan sama dengan tuntutan dari jaksa, yaitu berdasarkan Pasal 374 KUHP. Padahal sesungguhnya Pasal 415 KUHP yang sudah ditarik dan dirumuskan ulang oleh Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) lebih tepat untuk digunakan, karena merupakan ketentuan khusus bagi Notaris sebagai pejabat umum. Selain pertanggungjawaban secara pidana, Notaris juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Klien yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi baik secara material maupun imateril kepada Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi pun dapat dibebankan kepada Notaris berupa sanksi pemberhentian secara tidak hormat.

Notary, in carrying out their duties, sometimes commit embezzlement crimes and become defendants, as was the case in Bandung when a notary embezzled money entrusted by his client. This research discusses the application of Article 372 of the Criminal Code (KUHP) and Article 374 of the Criminal Code which was used by the panel of judges in decision Number 212/Pid.B/2021/PN Bdg and the responsibility of a notary who committed the crime of embezzlement. The form of research used is doctrinal with an analytical descriptive research typology that uses data from document studies. The method used in analyzing the data is a qualitative method. The conclusion of this study is that the judge does not consider the notary's position as a public official, so the sanctions given are the same as the demands of the prosecutor, which is based on Article 374 of the Criminal Code. In fact, Article 415 of the Criminal Code which has been withdrawn and reformulated by Article 8 of Law Number 31 of 1999 jo. Law Number 20 of 2001 concerning Corruption Eradication (Tipikor Law) is more appropriate to use, because it is a special provision for Notaries as public officials. In addition to criminal liability, a Notary can also be held civilly liable based on unlawful acts he has committed. Clients who are harmed can file a claim for compensation both materially and immaterially to the Notary. Administrative accountability can also be imposed on a notary in the form of dishonorable dismissal."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Riani
"Tulisan ini menganalisis kedudukan covernote yang dibuat oleh notaris. Notaris merupakan pejabat umum berwenang membuat alat bukti berupa akta autentik dalam melaksanakan tugasnya untuk melayani masyarakat. Dalam melakukan pelayanan masyarakat notaris mempunyai kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUJN. Pada prakteknya, sebagai rekanan bank notaris mempunyai kewenangan lainnya yaitu menerbitkan covernote sebagai pencairan kredit. Penelitian ini mengunakan metode penelitian doktrinal. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dilakukan dengan mamakai studi kepustakaan dan wawancara. Hasil dari penelitian ini menentukan bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 105/Pdt.G/2020/PN Cbi, Notaris TRW menerbitkan covernote karena adanya permintaan dari EAP selaku pemilik modal sebagai pegangan karena obyek perjanjian tersebut sedang dalam proses balik lama ke SM selaku penyedia tempat. Covernote telah dijadikan suatu kebiasaan yang dilakukan kalangan notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Sedangkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 5710 K/Pid.sus/2023 covernote yang dibuat oleh Notaris E merupakan kewenangan notaris khususnya dalam bidang perbankan yang berkaitan dengan akad kredit dan KPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2019. Akan tetapi, covernote tidak dapat disamakan dengan akta autentik yang mempunyai pembuktian sempurna. Covernote merupakan surat keterangan yang didalamnya berisikan fakta yang terjadi atau dilakukan dihadapan notaris. Apabila covernote notaris menyebabkan kerugian bagi pihak lain, notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata, pidana dan dapat dikenakan sanksi administratif. Notaris E berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 5710 K/Pid.sus/2023 Notaris E telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang menyebabkan kerugian keuangaan negara sehingga dijatuhkan pidana penjara selama delapan tahun dan denda sejumlah Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah) dan putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 105/Pdt.G/2020/PN Cbi yang bertanggungjawab atas kerugian EAP adalah SM yang merupakan pemilik tanah telah melakukan perbuatan wanprestasi sehingga harus membayar ganti kerugian berupa kerugian dana investasi dan kerugian dari hilangnya potensi keuntungan secara tunai dan sekaligus.

This paper analyzes the position of covernotes made by notaries. A notary is a public official authorized to produce evidence in the form of authentic deeds in carrying out his duties to serve the community. In carrying out public services, notaries have other authorities as intended in Article 15 UUJN. In practice, as a bank partner, notaries have other powers, namely issuing covernotes as credit disbursement. This research uses doctrinal research methods. The type of data used is secondary data which was conducted using literature studies and interviews. The results of this research determine that in the decision of the Cibinong District Court Number 105/Pdt.G/2020/PN Cbi, Notary TRW issued a covernote because of a request from EAP as the capital owner as a guide because the object of the agreement was in the process of being returned for a long time to SM as the provider. place. Covernotes have become a habit among notaries in carrying out their official duties. Meanwhile, in the Supreme Court decision Number 5710 K/Pid.sus/2023 the covernote made by Notary E is the authority of the notary, especially in the banking sector relating to credit and mortgage contracts as regulated in Financial Services Authority Regulation Number 11/POJK.03/2019. However, a covernote cannot be equated with an authentic deed that has perfect proof. A covernote is a statement which contains facts that occurred or were carried out before a notary. If a notary's covernote causes harm to another party, the notary can be held liable civilly, criminally and may be subject to administrative sanctions. Notary E based on the Supreme Court Cassation Decision Number 5710 K/Pid.sus/2023 Notary E has committed an unlawful act in Article 2 paragraph (1) of the Corruption Law which caused state financial losses, resulting in a prison sentence of eight years and a fine of Rp. 400,000,000 (four hundred million rupiah) and the decision of the Cibinong District Court Number 105/Pdt.G/2020/PN Cbi who is responsible for EAP losses is SM, who is the land owner, who has committed an act of default and must pay compensation in the form of loss of investment funds and losses from the loss of potential profits in cash and at once."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gaspersz, Patrick Louis H.
"Tesis ini membahas pelanggaran Jabatan yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis Normatif. Hasil dari Penelitian ini adalah Notaris selaku pejabat umum yang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari Negara dalam pembuatan akta otentik, Notaris hendaknya memegang amanah tersebut sehingga segala tindakan yang dilakukan tidak merugikan orang atau pihak yang berkepentingan, terkait adanya pelanggaran jabatan yang dilakukan oleh Notaris, sehingga dalam menjalankan tugas dan jabatannya haruslah sesuai dengan koridor kewenangan dan kewajibannya seperti apa yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Sebagai seorang Notaris Pelanggaran terjadi disebabkan karena Notaris tidak bertindak seksama dan cermat dalam pembuatan akta otentik. Dimana otensitas suatu Akta harus terpenuhi agar akta yang dibuat oleh Notaris tidak terdegradasi atau menjadi batal Demi Hukum, sehingga Notaris telah melanggar ketentuan Undang- Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik, hal seperti ini akan merugikan pihak yang berkepentingan dalam pembuatan Akta tersebut dan lembaga Notaris sehingga dapat menurunkan kualitas serta pelayanan seorang Notaris sehingga tidak dapat mempertahankan harkat dan martabat sebagai profesi notaris sendiri.

This thesis discusses about the abuse of Notary incumbency as public official in making of authentic Deed. This thesis uses a juridical normative analysis method. The results of this research are the Notary as a public official is given the authority and the trust of the Nation in making the authentic deed, The notary should hold the mandate so that all acts committed not to harm people or interested parties, related to offenders the Office undertaken by the notary, so that in the exercise of his duties and must comply with its obligations as a corridor authority and what has been stated in the Act of Notary and ethical code. As a notary public Violations occurred because the Notary does not act carefully and meticulously authentic certificate creation. Where otensitas a Deed must be fulfilled in order for the deed by the notary is not degraded or be annulled by law, making it Notarized had violated provisions of the Act of notary and ethical code, things like this will be detrimental to the parties concerned in making the Deed and Notarial institutions so that it can lower the quality and services of a notary public and therefore cannot defend the dignity and the dignity of the profession of notary public."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Julio
"Notaris memperoleh kewenangan dari Negara secara atribusi yang diwujudkan dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan perubahannya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang tersebut mengatur bahwa Notaris berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain oleh undang-undang. Salah satu fungsi dari Akta Autentik adalah untuk digunakan sebagai alat bukti dalam sebuah sengketa hukum agar membantu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian bagi pihak yang berkepentingan dalam akta. Oleh sebab itu apabila Notaris dalam jabatannya melakukan tindakan penyalahgunaan kewenangan, atau bertindak sewenang-wenang yang mengakibatkan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku dalam hal pembuatan Akta Autentik dapat dikenakan sanksi. Terlebih lagi apabila pelanggaran tersebut berkaitan dengan tindak pidana seperti pemalsuan, maka Notaris yang bersangkutan bisa saja dijerat dengan sanksi pidana. Dalam hukum pidana pemalsuan terhadap Akta Autentik lebih berat hukumannya daripada surat-surat biasa, hal ini dikarenakan Akta Autentik dinilai mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya atau karena Akta  Autentik  mempunyai  tingkat  kebenaran  lebih  tinggi  daripada surat-surat biasa atau surat-surat lainnya, sehingga dirasa perlu untuk meningkatkan maksimum ancaman pidananya.

The Notaries obtain an authority from the law, that is based on Law Number 30 of 2004 about Notary Position and also it's amendments to Law No. 2 of 2014. The Notary is an official to make an authentic deed about all deeds, agreements and stipulations required by the Regulations or by interested parties are required to be made into authentic deed, make sure an approval date, keep the deed and provided Grosse, copies and quotations, all as long as in the regulations are not also assigned or excluded to another officers or other person. One of the functions of the Authentic Deed is to help recall some events if there is a legal dispute to be used as an evidence, so that it can be used by the interested parties in the deed. Therefore, if the notary did an act of abuse the authority or did an arbitrary action, so that notary can be sentenced. And if the action violates the criminal act such as a forgery, then that notary may be included as a subject of a criminal sanction. In the criminal law, a falsification of authentic deed have more severe punishment than the ordinary letters, this is because the content of an authentic deed have a higher level of truth and validated more than an ordinary letter or other letters, so it is a necessary to increase the criminal maximum punishment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaila Oktariana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang permasalahan hukum dengan penggunaan diskresi
yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah. Dalam menggunakan diskresi, Pejabat
Pemerintah memiliki potensi didakwa dengan Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi. Sehingga diperlukan perlindungan hukum bagi Pejabat Pemerintah, agar
dapat menggunakan diskresi tanpa khawatir akan didakwa dengan tindak pidana
korupsi. Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
seorang Pejabat dapat didakwa dengan tindak pidana korupsi, bagaimana
perlindungan hukum bagi Pejabat Pemerintah dalam melakukan wewenang
diskresi dan apakah Pejabat Pemerintah dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana ketika melakukan diskresi. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dipakai menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Datadata
yang diperoleh akan dideskripsikan untuk kemudian dianalisa secara
kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
Pejabat Pemerintah dapat didakwa tindak pidana korupsi karena melanggar
prosedur yang seharusnya ditempuh ketika menggunakan diskresi. Perlindungan
Hukum diwujudkan dengan melakukan pengujian kebijakan pemerintah melalui
mekanisme administrasi. Prosedur pengujian melalui mekanisme administrasi
diatur dalam Undang-undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Pejabat Pemerintah dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana
apabila tindakan Pejabat tersebut memenuhi unsur kecurangan (fraud), adanya
benturan kepentingan (conflict of interest), ada perbuatan melawan hukum
(ilegality), maupun mengandung kesalahan yang disengaja (gross negligence)
sehingga konsekuensi yang timbul merupakan tanggung jawab pribadi.

ABSTRACT
This thesis discusses the legal issues with the use of discretion by Government
Officials. In using discretion, Government Officials have the potential to be
charged with the Corruption Act. So legal protection is required for Government
Officials, in order to use discretion without fear of being charged with corruption.
The scope of the problem in this study is how an Officer can be charged with a
criminal act of corruption, how the legal protection for Government Officials in
exercising discretionary powers and whether Government Officials may be
subject to criminal liability when conducting discretion. The research method
used is normative juridical research. The approach used using two approaches is
the approach of legislation and case approach. The data obtained will be described
to be analyzed qualitatively and systematically described. The results concluded
that Government Officials can be charged with corruption for violating the
procedure that should be taken when using discretion. Legal Protection is realized
by conducting government policy testing through administrative mechanisms. The
testing procedure through the administrative mechanism is regulated in Law no.
30 of 2014 on Government Administration. Government Officials may be liable to
criminal liability if the Official's action meets the element of fraud, the existence
of a conflict of interest, any illegal act, or contains gross negligence so that the
consequences are the responsibility personal."
2017
T47787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pendi Wibison
"Pembentukan KUHP Nasional menjadi sorotan publik. Salah satunya lantaran sejumlah pasal pada KUHP yang baru itu justru memangkas hukuman bagi para koruptor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penanganan tindak pidana korupsi pada Dittipidkor Bareskrim Polri atas perubahan tindak pidana korupsi dalam KUHP. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksplanatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Perspektif Dittipidkor Bareskrim Polri dalam melihat kekhusussan yang dimiliki oleh tindak pidana korupsi bahwa rumusan delik-delik korupsi dalam KUHP yang sifatnya telah menjadi delik umum akan melemahkan bahkan mampu menghapuskan kekuatan dan kepastian hukum yang ada dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 karena dalam prinsipnya jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka dapat diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya; 2) Pandangan penyidik terhadap perbedaan ketentuan yang menyimpang dari aturan hukum pidana dalam perspektif hukum pidana materil dan pidana formil dalam Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 dengan Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) dalam penganganan tindak pidana korupsi bahwa lemahnya sanksi terhadap tindak pidana korupsi yang terdapat didalam KUHP Baru dapat melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Penyidik berpandangan bahwa sudah sepantasnya KUHP mengatur hukuman maksimal untuk pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana mati; dan 3) Pandangan penyidik terhadap beberapa pasal dari Undang-Undang No. 31/1999 Jo Undang-Undang No. 20/2001 yang dimasukkan dan menjadi delik di Undang-Undang No. 1/ 2023 (KUHP Baru) bahwa KUHP baru berpotensi menghambat proses penyidikan perkara korupsi. KUHP baru juga akan terjadi tumpang tindih kewenangan penanganan dari para penegak hukum dan juga pasal pada undang undang yang diterapkan akan menjadi debateable. Penyidik juga berpandangan bahwa ketika tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) melainkan telah dijadikan tindak pidana umum yang setara dengan delik konvensional seperti pencurian dengan kekerasan atau penggelapan, maka implikasi hukum dari kondisi ini adalah hilangnya spesialisasi kewenangan di antara lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, dalam melaksanakan tugas mereka.

The regulation of the National Criminal Code is in the public spotlight. One of them was because a number of articles in the new Criminal Code actually reduce the punishment for corruptors. The aim of this research was to analyze the handling of criminal acts of corruption at the Dittipidkor Bareskrim Polri regarding changes to criminal acts of corruption in the Criminal Code. This research was a qualitative approach with an explanatory descriptive method to collect data in the field related. The results of the research show that 1) The perspective of the Dittipidkor Bareskrim Polri in looking at the specificity of criminal acts of corruption is that the formulation of corruption offenses in the Criminal Code which have become general offenses will weaken or even be able to eliminate the strength and legal certainty contained in Law no. 31 of 1999 in conjunction with Law no. 20 of 2001 because in principle if there is a change in the legislation after the act has been committed, then the provisions that are most beneficial to him can be applied; 2) The investigator's view of the differences in provisions that deviate from the rules of criminal law in the perspective of material criminal law and formal criminal law in Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 with Law no. 1/2023 (New Criminal Code) in dealing with criminal acts of corruption that weak sanctions for criminal acts of corruption contained in the New Criminal Code can weaken the eradication of corruption itself. Investigators are of the view that it is appropriate for the Criminal Code to regulate the maximum penalty for perpetrators of criminal acts of corruption which is punishable by death; and 3) The investigator's views on several articles of Law no. 31/1999 Jo Law no. 20/2001 which was included and became an offense in Law no. 1/2023 (New Criminal Code) that the new Criminal Code has the potential to hamper the process of investigating corruption cases. The new Criminal Code will also result in overlapping authority to handle law enforcers and also the articles in the law that are implemented will become debatable. Investigators are also of the view that when criminal acts of corruption are no longer considered extraordinary crimes but have become general crimes equivalent to conventional offenses such as violent theft or embezzlement, the legal implication of this condition is the loss of specialization of authority between institutions. law enforcers, including the Police, Prosecutor's Office and Corruption Eradication Commission, in carrying out their duties."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>