Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148510 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadhifa Luthfiah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis proses terbentuknya sense of place pengunjung dan pengaruhnya terhadap perilaku repeat visitation pada ruang terbuka publik di Kota Bekasi. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi lapangan, serta data sekunder yang diambil melalui studi literatur yang bersumber dari berbagai instansi terkait. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik analisis fenomenologi untuk memahami dan menggali pengalaman individu terhadap kunjungan ruang terbuka publik di Kota Bekasi. Selain itu, teknik analisis konten juga digunakan untuk mencari intisari dari tiap-tiap data sekunder yang digunakan. Hasil penelitian menjukkan bahwa sense of place pengunjung terbentuk berdasarkan pengalaman dan pemaknaan oleh pengunjung terhadap ruang rekreasi. Ketika pengunjung memiliki pengalaman yang mudah diingat meliputi karakteristik tempat serta kunjungan yang mengesankan, pengunjung akan merasakan kepuasan yang dapat membangun hubungan keterikatan dengan ruang rekreasi. Sense of place juga dapat terbentuk ketika suatu ruang rekreasi memiliki keunikan dan ciri khasnya serta mampu memenuhi kebutuhan rekreasi pengunjung. Terpenuhinya motivasi kunjunan rekreasi serta karakteristik tempat yang melahirkan kepuasan bagi pengunjung dapat menuntun pada fenomena kunjungan berulang atau repeat visitation.

This research aims to determine and analyze the process of forming visitors' sense of place and its influence on repeat visitation behavior in public open spaces in Bekasi City. Primary data was obtained through in-depth interviews, field observations and documentation, as well as secondary data taken through literature studies sourced from various related agencies. The research method used in this research is a qualitative method with phenomenological analysis techniques to understand and explore individual experiences of visiting public open spaces in Bekasi City. Apart from that, content analysis techniques are also used to find the essence of each secondary data used. The research results show that visitors' sense of place is formed based on visitors' experiences and meaning of the recreation space. When visitors have a memorable experience including the characteristics of the place and a memorable visit, visitors will feel satisfaction which can build a relationship of attachment to the recreation space. A sense of place can also be formed when a recreation space has unique and distinctive characteristics and is able to meet visitors' recreational needs. The fulfillment of motivation for recreational visits and the characteristics of places that create satisfaction for visitors can lead to the phenomenon of repeat visits."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wembi Syarif Chan
"ABSTRAK
Kebutuhan atas ruang rekreasi di perkotaan sangat sulit, terhimpit segala bentuk pembangunan yang tidak menyisakan ruang untuk aktivitas tersebut. Kawasan Situ Cikaret merupakan ruang yang sering digunakan warga Cibinong dan sekitarnya untuk berekreasi. Dengan pendekatan penelitian realistic phenomenology, didapatkan penggambaran ensensi-ensensi konstruksi ruang rekreasi dan motif, tindakan dalam berkegiatan rekreasi di Situ Cikaret. Ruang rekreasi Situ Cikaret adalah ruang diferensial yang merupakan representasi ruang dari warga perkotaan yang menciptakan ruang alternatif atas ruang perkotaannya. Kegiatan rekreasi berlangsung pada setting besar yang berupa ruang alam situ dan setting yang kecil berupa ruang yang diproduksi sesuai dengan motif kegiatannya. Dalam mereprestasikan ruangnya ke set kecilnya, pelaku membutuhkan sebuah atribut untuk mempertegas apa yang akan dilakukan dalam kegiatan meruangnya dan status sosialnya. Hubungan kepribadian para pelaku dalam merepresentasikan ruangnya, berada pada tingkat yang apathy (sikap acuh tak acuh), hubungan mereka bersifat taken for granted atau sesuatu yang apa adanya. Saat ini cenderungan membawa ruang diferensial kawasan Situ Cikaret mejadi ruang abstrak. Salah satu yang bisa dilakukan adalah penetapan zonasi ruang yang bertujuan untuk menempatkan ruang-ruang agar lebih tertata dan juga guna membatasi kegiatan pada wilayah tertentu di kawasan situ, agar lingkungan situ dapat dipertahankan dan ditingkatkan.

ABSTRACT
The needs for recreation space in urban areas is very difficult, crushed all forms of development that does not leave room for the event. Cikaret Situ area is a room that is often used by people Cibinong and surrounding areas for recreation. With a realistic approach to phenomenology study, obtained seeing and describing of universal essences construction space and motif recreation activism in action in Situ Cikaret. Recreation space Situ Cikaret is a differential space is a representation space of urban residents who creates an alternative space on urban space. Recreational activities that take place on a large set of natural space and setting it in the form of a small manufactured in accordance with the motif activity. In the space to set his representation, actors need an attribute to reinforce what will be done in space activity and social status. Relationship represents the personality of the actors in space, is at levels apathy, their relationships are taken for granted. Current tendency to bring regional differential space Situ Cikaret becoming abstract space. One possible solution is to space zoning aims to put the spaces to be more organized and also to limit the activities of a specific region in the area Situ Cikaret, so that the neighborhood can be maintained and improved."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnin Widya Rosiyanti
"ABSTRAK
Kabupaten Bogor mendapat peringkat sepuluh tertinggi Indeks Pariwisata Indonesia oleh Kementerian Pariwisata Indonesia 2016. Kabupaten Bogor memiliki banyak potensi wisata alam, budaya, dan buatan sehingga jumlah destinasi wisata bertambah.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis perkembangan objek wisata dan faktor yang berhubungan signifikan dengan perkembangan objek wisata di Kabupaten Bogor tahun 1990-2016. Variabel yang digunakan yaitu objek wisata, ketinggian wilayah, kemiringan lereng, faktor aksesibilitas jenis moda transportasi, jenis jaringan jalan, dan jarak objek wisata dari pusat kota . Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial, deskriptif, dan statistik Chi-Square . Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan objek wisata Kabupaten Bogor setiap periodenya meningkat seiring dengan rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk per-periodenya, serta didominasi jenis objek wisata alam. Perkembangan objek wisata terbanyak terjadi di Zona Bogor Tengah dengan ketinggian 100-500 mdpl, kemiringan lereng 0-8 , berada di jalan lokal, dapat dijangkau kendaraan roda empat, dan berjarak dekat dari pusat Kota Bogor. Berdasarkan hasil uji statistik bahwa ada hubungan signifikan antara perkembangan objek wisata tersebut dengan faktor aksesibilitas berupa jenis jaringan jalan dan jenis moda transportasi.

ABSTRACT
Bogor Regency has gained top ten ranked Indonesia Tourism Index by the Ministry of Tourism Indonesia 2016. Bogor Regency has a lot of potential for tourism nature, culture, and man made so that it causing an increase the number of tourist destinations. The purpose of this research is to analyze the development of tourism objects and factors that are significantly related to the development of tourist attraction in Bogor Regency in 1990 2016. Variables that used are tourism object, elevation region, slope, accessibility factors types of modes of transportation, type of road networks and the distance from tourist attraction to the center of city . The analytical method that used are the spatial analysis, descriptive, and statistics Chi Square . The results showed that the development of tourist attraction of Bogor Regency each period increases with the average population growth in every periods, which is dominated by types of natural attraction. The most development of tourist attraction occured in Zona Central Bogor with 100 500 meters above sea level, slope 0 8 , located on the local roads, can be reach by four wheeled vehicles, and close to the center of Bogor. Based on the statistical test, there are significant connection between the development of a tourist attraction with accessibility factors such as the type of road networks and types of transportation modes."
2017
S67373
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Curry, Nigel
London: E & FN Spon, 1994
333.78 CUR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alifah Lintang Prameswari
"Saat ini, tempat istirahat menjadi fasilitas penting dalam perjalanan antarkota, terutama di jalan tol. Semakin jauh jarak yang dapat ditempuh seseorang dengan mobil, maka semakin tinggi pula permintaan akan fasilitas pariwisata. Oleh karena itu, kehadiran rest area dapat membantu mengurangi angka kecelakaan dan menyediakan tempat peristirahatan yang nyaman. Definisi dan kebutuhan akan fasilitas tersebut juga menjadi lebih luas. Hal ini mencakup kebutuhan untuk parkir, beristirahat, atau mengisi bahan bakar dan fasilitas pendukung seperti tempat belanja, kuliner, dan ruang komunal bagi masyarakat untuk bertemu dan berinteraksi. Selain itu, studi terkait penataan ruang menjadi salah satu faktor dalam menentukan pengalaman seseorang dalam ruang. Dimana mereka biasanya juga memastikan terlebih dahulu bahwa mereka akan mendapatkan pengalaman yang membuat mereka merasa nyaman atau aman melalui kesan pertama, yang kemudian berhubungan dengan perilaku pemilihan ruang masyarakat. Dengan melakukan studi komparatif, tulisan ini berhasil membandingkan bagaimana rest area km 166A dan km 456B memberikan jenis pengaturan ruang yang berbeda yang mempengaruhi bagaimana orang mengalami, mempersepsikan ruang dan komunalitas ruang di dalamnya. Dengan menganalisis komponen substansial dari tapak yang ada, aksesibilitas parkir, dan spesifikasi fasilitas utama, serta komponen spasial dari konfigurasi ruang, jenis jalur, dan bentuk ruang. Dengan demikian, penelitian ini menemukan hubungan antara fungsi yang ditawarkan dan bagaimana tata ruang yang berbeda yang digunakan menghasilkan beberapa skenario pengguna. Yang secara umum dapat didefinisikan sebagai pengalaman yang serba cepat untuk km 166 dan pengalaman yang serba lambat untuk km 456.

Nowadays, rest areas are an important facility in intercity travel, especially on toll roads. The longer the distance someone can travel by car, the higher demand for tourism facilities will also be created. Therefore, the presence of a rest area can help reduce the number of accidents and provide a comfortable resting stop. The definition and need for such facilities are also becoming broadly interpreted. This includes the need to park, rest, or refuel and supporting facilities like shopping, culinary, and communal spaces for people to meet and interact. In addition to that, studies related to spatial arrangement become one of the factors in determining a person's experience in space. Where they usually also ensure in advance that they will receive an experience that makes them feel comfortable or safe through their first impression, which then relates to people's space choice behaviour. By conducting a comparative study, this paper successfully compares how km 166A and km 456B rest areas provide different types of spatial arrangements that affect how people experience, perceive space and the communality of space within them. Through analysing the substantial components of their existing site, accessibility of parking, and main facilities specification, as well as the spatial components of space configuration, types of path, and form of spaces. Thus, the study found a relationship between the functions offered and how different spatiality’s used resulted in several users scenarios. Which can generally defined as a fast-paced experience for km 166 and a slow-paced experience for km 456."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cyntia Claudia
"Tulisan ini membahas mengenai ruang transit merupakan bagian yang penting saat ini pada kota kontemporer yang muncul dari ruang-ruang pergerakan oleh mobilitas masyarakat urban. Ruang transit merupakan ruang yang berada di antara asal dan tujuan, dihidupi dan disinggahi dalam waktu sementara. Sayangnya, ruang ini kurang didesain sebagai ruang yang penting, dimana memungkinkan segala aktivitas manusia untuk muncul dan berkembang. Hal ini dikaji lewat keberadaan ruang transit saat ini serta pemaknaannya oleh para pengguna. Keberadaan ruang transit mencakup fungsi ruang dan bagaimana ruang digunakan. Sedangkan pemaknaan dilihat lewat aktivitas yang aktor lakukan, penggunaan rambu maupun tanda, serta motivasi interaksi. Sehingga dengan mengaitkan keseluruhan elemen tersebut dapat dihasilkan analisis yang komprehensif terhadap keberadaan ruang transit dan pemaknaannya.
Berdasarkan studi kasus yang dibahas, fungsi utama ruang transit sebagai ruang sirkulasi dan pergerakan tetap menjadi yang terutama. Tetapi, ruang transit ternyata juga dimaknai lebih dari itu lewat kemunculan aktivitas yang berkembang saat terdapat aksi pause dan stop. Hal ini menunjukkan adanya motivasi lain yang terbentuk. Hanya saja, saat ini ruang-ruang ini kurang memberikan kualitas yang sepadan untuk pemaknaan di luar sirkulasi sehingga munculnya interpretasi berbeda untuk rambu dan tanda pada ruang transit untuk mendukung aktivitas tersebut.

Nowadays, transit space has a very important role in the contemporary city which is appeared from space of movement by urban society's mobility. Transit space is a space located in between the arrival and destination point, lived and stayed for a temporary period. Unfortunately, this space lacks of design intentions as a potential space which allows all human activities to develop. This concern is assessed through the existence of the current transit space and synthesizing its meaning. These are done by examining the function and how it is used, while the meaning seen through the actor's activities, the use of signs or marks, and motivational interactions. So that by linking all the elements, a comprehensive analysis of the existence of transit space and its significance can be produced.
Based on the case studies discussed, the primary functions of the transit space as circulation and movement space remain still. However, the transit space is also interpreted more than that. It is proven from the variety of activities which emerge when there is any pause and/or stop action. However, current transit space does not provide the quality that meets for other activities outside circulating, thus reinterpretation towards sign or elements that inhabit the transit space is unavoidable.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S54881
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Luthfi
"Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah bahwa secara simultan, pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan aktivitas manusia telah mendorong terciptanya permintaan terhadap produk lingkungan, yakni adanya udara segar, sejuk, pemandangan yang indah dan alamiah serta jauh dari berbagai problema kehidupan. Dalam hal ini pengembangan pariwisata (taman rekreasi) merupakan suatu alternatif untuk dapat memenuhi permintaan tersebut.
Sumberdaya lingkungan, seperti taman rekreasi memberikan manfaat bagi para pemakainya, tetapi karena tidak ada pungutan atau pungutannya relatif kecil atau nilai kepuasannya yang diperoleh pemakai bersifat abstrak, maka pencerminan akan nilainya tidak terlihat. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya lingkungan tanpa nilai atau hilangnya tak akan merupakan kehilangan bagi masyarakat. Analisis ekonomi merupakan suatu alternatif yang dapat membantu menilai manfaat tersebut.
Mengingat bahwa kawasan pantai wisata Watu Ulo tersebut milik Pemerintah, maka lebih bersifat public goods (barang publik) dibandingkan dengan aspek komersialnya (ekonomi). Di lain pihak, taman rekreasi tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi penduduk. Sebagai produk lingkungan, maka keberadaan taman rekreasi tersebut perlu dipertahankan karena mempunyai nilai.
Dari uraian tersebut timbul suatu permasalahan, khususnya berkaitan dengan nilai dari manfaat yang diperoleh masyarakat terhadap konsumsi produk lingkungan taman rekreasi, oleh karena itu perlu suatu penilaian untuk menunjukkan berapa besar manfaat dari produk tersebut (Kawasan pantai wisata Watu Ulo). Salah satu cara adalah dengan mengkuantifikasikan manfaat tersebut ke dalam nilai moneter.
Tujuan penelitian adalah : 1) untuk mengukur besarnya manfaat lingkungan yang diperoleh pengunjung; 2) untuk mengukur besarnya elastisitas kunjungan berdasarkan biaya perjalanan total; 3) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen terhadap produk lingkungan (taman rekreasi); 4) untuk mengidentifikasi perilaku konsumen dalam pemeliharaan kualitas lingkungan dan persepsi konsumen terhadap kualitas lingkungan di kawasan pantai wisata Watu Ulo.
Jenis data yang diperlukan adalah: data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan teknik nonrandom sampling. Data primer diperoleh pada orang/wisatawan yang dijumpai di lapangan, sehingga teknik pengambilan data ini disebut pula sebagai incidental sampling. Besarnya sampel diperkirakan sebesar 200 responden (pengunjung tempat rekreasi).
Untuk menentukan besarnya biaya perjalanan dan tingkat kunjungan, maka responden dikelompokkan menurut zona (asal). Penentuan zona asal responden penelitian adalah berdasarkan batasan administratif, yakni tingkat Kecamatan untuk Daerah Tingkat II Kabupaten Jember (terdapat 28 kecamatan) dan tingkat Kabupaten untuk daerah di luar Kabupaten Jember (terdapat 4 Kabupaten).
Data jumlah penduduk untuk menentukan tingkat kunjungan pada zona asal yang ada di lingkungan Kabupaten Jember (tingkat Kecamatan) diambil dari data registrasi penduduk masing-masing Kecamatan pada periode tahun 1993. Data penduduk untuk menentukan tingkat kunjungan pada zona asal di luar Kabupaten Jember (tingkat Kabupaten) diambil dari penduduk rata-rata, yakni jumlah total penduduk masing-masing Kabupaten dibagi dengan jumlah Kecamatan yang ada.
Dalam pendekatan biaya perjalanan, model dasar yang dipakai adalah menggambarkan kunjungan tiap 1000 penduduk sebagai faktor yang akan dianalisis dalam fungsi permintaan. Fungsi permintaan telah disederhanakan untuk dapat menggambarkan kurva permintaan, di mana faktor-faktor lain selain biaya perjalanan dianggap tetap (citeris paribus), sehingga dapat ditentukan besarnya surplus konsumen sebagai nilai manfaat dari produk lingkungan pantai wisata Watu Ulo. Dari fungsi ini dapat dihitung besarnya elastisitas, koeffisien korelasi dan koeffisien determinasi. Sedangkan untuk mengetahui preferensi, persepsi dan perilaku pengunjung dianalisis dengan metode deskriptif menggunakan pendekatan persentase.
Kesimpulan umum hasil penelitian ini adalah bahwa kawasan pantai wisata Watu Ulo merupakan sumberdaya lingkungan yang potensial dan berharga serta memberikan manfaat yang cukup besar bagi masyarakat. Manfaat ini akan semakin besar jika diikuti oleh menurunnya biaya perjalanan dan meningkatnya kepedulian pengunjung terhadap lingkungan serta cukup tersedianya fasilitas peinbuangan limbah (sampah).
Secara parsial dapat disimpulkan pertama, bahwa manfaat lingkungan taman rekreasi kawasan pantai wisata Watu Ulo sebesar Rp.767.688,38 per seribu penduduk dan Rp.1.637.399.489,82 untuk total penduduk; kedua, pengaruh perubahan variabel babas (biaya perjalanan) terhadap variabel terikat (tingkat kunjungan) bersifat elastis (e=-1,39), apabila terdapat kenaikan biaya perjalanan sebesar 1,00% akan berakibat menurunnya tingkat kunjungan sebesar 1,39%; ketiga, faktor utama yang menentukan preferensi pengunjung terhadap kawasan pantai wisata Watu Ulo adalah faktor pemandangan indah (59,50%), menunjukkan bahwa unsur kualitas lingkungan berperan dalam menarik pengunjung, dan memberikan kepuasan pada pengunjung; keempat, sebagian besar pengunjung menilai bahwa kawasan pantai wisata Watu Ulo cukup bersih, yakni sebesar 44,50%, sedangkan yang berpendapat kotor adalah sebesar 30,00%, sisanya menilai dengan bersih 11,00% dan kurang bersih 12,00%. Sedangkan untuk pemeliharaan fasilitas yang ada, sebagian besar pengunjung menilai cukup bersih, sebesar 43,50%, kurang bersih 21,00%, kotor 21,00% serta bersih senilai 14,50%; dan kelima, sebagian besar perilaku pengunjung pada kawasan wisata tersebut mempunyai kepedulian terhadap lingkungan yang "relatif rendah", hal ini terbukti bahwa terdapat sebanyak 75,50% pengunjung yang membuang sampah di sembarang tempat, hanya terdapat 15,00 % yang membuang sampah pada tempat sampah yang disediakan, sisanya dengan cara lain.
Saran yang dapat disampaikan, yakni : Mengingat bahwa manfaat yang dinikmati masyarakat (pengunjung) cukup besar, maka seyogyanyalah : 1) Pemerintah sebagai pemilik dan pengelola lebih memberikan perhatian untuk menjaga kualitas lingkungan dan bila perlu meningkatkannya, serta berusaha mengembangkan seoptimal mungkin potensi yang ada, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi pengunjung, penduduk dan Pemerintah itu sendiri; 2) Pemerintah hendaknya lebih banyak menempatkan tong-tong sampah, dimaksudkan agar kualitas lingkungan dapat terpelihara, dengan limbah yang sedikit dan tidak menggangu keindahan pemandangan alam. Perilaku pengunjung yang sebagian besar membuang sampah sembarangan tidak terlepas dari fasilitas pembuangan sampah yang kurang.

The problems which provided the basis for this research is that the growth in population, income and human activities have simultaneously increase the demand towards the environmental product, that is, the existence of fresh, cool air and beautiful natural scenery, which is far away from all kinds of life problems. In this case the developments of tourism (recreation park) becomes an alternative to be able to meet such demand.
Environmental resource such as recreation park gives the benefit to the visitors, but since there is no. fee or the fee is relatively low, or the value of satisfaction which the visitors get is abstract, so they could not see the real value. It doesn't mean that environmental resource has no value or the absence of it means nothing for the society. The economical analysis will be an alternative that could help evaluating the benefit.
Considering that the tourism coast Watu Ulo is the Government's property so it has the quality more indicates as public goods compared with its commercial aspect. On the other hand, the recreation park gives the specific satisfaction for the residents. As a product of the environment, then the existence of recreation park ought to be maintained because of its value.
This analysis caused some problems, mainly concerning the value and benefit obtained by the society towards the consumption of environmental product of the recreation park, therefore it needs evaluation to indicate how many benefit of the product (coastal tourism area Watu Ulo). One of those ways is to quantify the benefit in the monetary value.
The aims of the research are : 1) to measure the size of the environmental benefit is obtained by the visitors; 2) to measure the size of the visit elasticity based on the total traveling cost; 3) to know the factors influenced by the consumer's demand toward the environment product (recreation park); 4) to identify the attitude of the consumers in the care of environmental quality and the consumer's perception toward the quality of environment in the coastal tourism area Watu Ulo.
The data type needed among others are primary and secondary datas. The primary data is obtained through nonrandom sampling technique. The primary data is obtained from the tourists met in the location so that the sampling technique is called the incidental sampling. The number of samples are estimated 200 respondents (the visitors of recreation park).
To determine the amount of traveling cost and visiting degree, the respondents are grouped according to the original zone. The determination of the research .respondent's zone is based on the administrative area, namely : Kecamatan level for the second level region of Jember regency (there are 28 Kecamatan) and regency-level for districts outside Jember regency (there are 4 regencies).
The total population to determine the visiting degree on the original zone in Jember regency (Kecamatan level) is taken from the data of population registration in each kecamatanin the period of 1993. The population's data to determine the visiting degree in the original zone outside Jember regency (regency level) taken from the the population average, is that the total amount of population of each regency divided with the amount of the kecamatan.
Within the travelling cost approach, the basic model which is used describes the visit of every 1000 population as the factor that will be analyzed in the function of demand. This demand's function has been simplified to describe the demand curve where the other factors besides the traveling cost are assumed constantly (citeris paribus), so that we can determine the amount of the consumer's surplus as the value of environmental benefit of the tourism cost Watu Ulo. From this function, elasticity's coefficient , correlation's coefficient and determination's coefficient can be calculated. Where as to know the preferency, the perception and the attitude of the visitors they're analyzed by the descriptive method by means of the percentage approach.
-The general conclusion of this research is that the area of coastal tourism Watu Ulo is potential and valuable environmental resources and gives a great sufficient benefit for the society. This benefit becomes bigger if it will be followed up by the decrease of traveling
cost and the increase of visitor's care toward the environment, and with available sufficient facilities for wasted disposal.
Partially the conclusion are firstly, that the environment benefit of the recreation park of coastal tourism area Watu Ulo is Rp.767.688,38 per 1000 inhabitants and Rp.l.627.399.489,82 for total population; secondly, the effect of change of independent variable (visiting degree) toward's the traveling cost are elastic (e=-1,39) when there is an increase of traveling cost is 1,00%, it will caused a decrease of the visiting degree of 1,39%; third, the main factor that determines the visitor's preference toward the coastal tourism area Watu Ulo is the beautiful scenery (59,50%), this indicates that the factor of environment quality play an important role to attract the visitors and gives satisfaction to the visitors.; fourth, the great part of visitors evaluates that the tourism coastal area Watu Ulo is 'fairly clean, viz around 44,50%, meanwhile those who evaluate it dirty is 30,00% the rest evaluates less clean, and clean 11,00% and less clean 12,00%. While for the care of facilities, most of visitors evaluate clean enough, 43,50%, less clean.21,00%, dirty on is 21,00% and clean 14,50%; and fifth, the most of visitors attitude in tourism area have a relatively low attention in the environment. This proves that there are 75,50% of the visitors who throw the waste in every place, only 15,00% of those who throw the garbage in the prepared places, the rest use an other way.
Recommendation : considering that the benefit of tourism area which is enjoyed by the great part of visitors, it is suggested that : 1) the government as the owner and the manager ought to pay more attention to take care of the environment quality and if necessary to increase the appearance and develop as much as possible the existing potency, in order to give a bigger benefit to the visitors, population and government itself; 2) It"s better if the government places more waste disposals, so that the environment quality could be taken care of and cared from less waste disposal would not polute the beautiful scenery. The attitude of careless visitors is caused of less facility.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivon Lestari
"Ruang terbuka sebagai salah satu elemen penting untuk membentuk kota, sehingga direncanakan setiap kawasan perkotaan memiliki ruang terbuka publik untuk masyarakatnya. Pada tahun 2010, Kota Baubau melakukan reklamasi pantai untuk dibangun kawasan Kotamara. Berkembangnya kawasan Kotamara berpengaruh pada ramainya aktivitas masyarakat di kawasan ini. Seiring dengan itu, juga menimbulkan banyaknya pedagang kaki lima yang berdagang di kawasan ini. Akibatnya, keberadaan pedagang kaki lima semakin banyak menempati ruang kawasan Kotamara dan menggunakan ruang-ruang yang ada secara tidak terencana untuk kepentingan usaha para pedagang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik ruang pemanfaatan dan pola spasial ruang pemanfaatan oleh pedagang kaki lima (PKL) di ruang terbuka publik kawasan Kotamara, Kota Baubau. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis overlay, tabulasi dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik ruang pemanfaatan di ruang terbuka publik kawasan Kotamara secara umum diperuntukkan untuk aktivitas masyarakat (rekreasi, olahraga, perkantoran, dan sebagainya) dan secara khusus diperuntukkan untuk pedagang kaki lima sebagai lokasi berdagang. Karakteristik ruang pemanfaatan dibagi berdasarkan tiga segmen, masing-masing segmen memiliki ketersediaan fasilitas yang berbeda. Pola spasial ruang pemanfaatan oleh pedagang kaki lima yang terbentuk dari pola aktivitas pedagang kaki lima berdasarkan ketersediaan fasilitas dan lokasi kegiatan pengunjung menghasilkan pola spasial ruang pemanfaatan oleh PKL umumnya berbeda pada setiap segmen.

Open space is one of the important elements to shape a city, so it is planned that every urban area has public open space for its people. In 2010, the City of Baubau carried out a beach reclamation to build the Kotamara area. The development of the Kotamara area affects the bustling community activities in this area. Along with that, it also raises the number of street vendors who trade in this area. As a result, the presence of street vendors is increasingly occupying the space of the Kotamara area and using the existing spaces unplanned for the business interests of the traders. This study aims to determine the characteristics of utilizational place and the spatial patterns of utilizational place by street vendors (PKL) in public open spaces in the Kotamara area, Baubau City. The approach used in this research is qualitative with overlay analysis, tabulation, and descriptive analysis. The results showed that the characteristics of the utilizational place in public open spaces in the Kotamara area were generally intended for community activities (recreation, sports, offices, etc) and specifically for street vendors as trading locations. The characteristics of the utilizational place are divided into three segments, each segment has a different availability of facilities. Spatial patterns of utilizational place by street vendors which is formed from the activity pattern of street vendors based on the availability of facilities and the location of visitor activities results in the pattern of utilizational place by street vendors generally differing in each segment."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Candra Junior
"Alun-alun Kota Serang merupakan ruang publik yang dibangun pada tahun 1828 oleh Belanda. Sebagai warisan benda budaya, pemanfaatan ruang publik ini diatur agar sesuai dengan kondisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran Pemerintah Daerah Kota Serang dalam mengatur pemanfaatan ruang Alun-alun Kota Serang dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini diidentifikasi melalui interaksi tiga elemen spasial yaitu representasi ruang (conceived space), praktik spasial (perceived space), dan ruang representasi (lived space) yang diwujudkan dalam bentuk perencanaan, penyelenggaraan, dan pemanfaatan ruang. Data penelitian ini dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sedangkan analisis dilakukan dengan metode komparatif spatial antara rencana tata ruang pemanfaatan alun-alun, dengan persebaran aktivitas dan kepadatan pengguna di alun-alun. Selain itu juga dilakukan identifikasi interaksi antara tiga elemen spasial pembentuk aktivitas di alun-alun. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai conceived space, terdapat dua ruang perencanaan. Pada area timur, perencanaan dilakukan dengan konsep modern dan berorientasi pada peningkatan ekonomi sehingga fasilitas dan atraksi yang tersedia lebih banyak dan bervariasi. Sedangkan pada area barat, perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah dilakukan dengan konsep kuno dan berorientasi untuk melestarikan bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di sekitar Alun-alun Kota Serang. Untuk mempertahankan fungsi warisan budaya di area barat, fasilitas dan atraksi disediakan secara terbatas. Dengan perbedaan pola ruang pemanfaatan tersebut, perceived space cenderung memusat di area timur. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan alun-alun sebagai warisan benda budaya yang dilakukan pemerintah berhasil mengatur pemanfaatan ruang. Alun-alun sebagai lived space tidak berdiri sendiri, namun menunjukkan keterkaitan dengan ruang di sekitarnya.

Serang Alun-alun is a public space built in 1828 by the Dutch. As a cultural heritage, the utilization of this public space is regulated according to its conditions. This study aims to identify the role of the Local Government of Serang City in regulating the spatial use of Serang Alun-alun and its influence on space utilization. This is identified through the interaction of three spatial elements, namely spatial representation (conceived space), spatial practices (perceived space), and representational space (lived space) which are embodied in the form of planning, organizing, and spatial utilization. The research data was collected through observation, interviews, and documentation studies. While the analysis was carried out using a spatial comparative method between the spatial plan for the use of the Alun-alun, with the distribution of activities and the density of users in the Alun-alun. In addition, the study was also carried out to identify interactions between the three spatial elements forming activities in the Alun-Alun. The results of the analysis show that as a conceived space, there are two planning spaces. In the eastern area, planning is carried out with a modern concept and is oriented towards improving the economy so that more and more varied facilities and attractions are available. Whereas in the western area, the planning carried out by the government with an ancient concept is oriented towards preserving historical buildings scattered around Serang Alun-alun. To maintain the function of cultural heritage in the West area, the government provided limited facilities and attractions. With the difference in the spatial utilization pattern, the perceived space tends to concentrate in the east. The conclusion of this study shows that the planning of the Alun-alun as a cultural heritage by the government has succeeded in regulating the use of space. Alun-alun as a lived space does not stand alone but shows a connection with the space around it."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Isnaini
"Disertasi ini merupakan sebuah studi mengenai representasi relasi kekuasaan yang bertitik tolak dari telaah tata ruang publik kota dalam membentuk identitas sebuah kota. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksplanatif dengan menggunakan metode penelitian semiotika sosial. Dengan mengacu pada konsep Representasi dari Stuart Hall dan Episteme dari Foucault, secara umum dapat disimpulkan dua hal penting dalam penelitian ini. Pertama, Alun-alun Kota Tuban adalah sebuah representasi identitas Kota Tuban sebagai kota yang religius dan multikultural. Kedua, perubahan bentuk arsitektur serta lokasi bangunan menandakan bergesernya rezim kepenguasaan yang terjadi dalam konteks wilayah Alun-alun Kota Tuban Kontemporer. Transformasi episteme berupa relasi kuasa tergambar jelas pada kompleks Alun-alun Kota Tuban kontemporer yang menunjukkan dominasi kontrol yang dimiliki oleh diskursus-diskursus tertentu yang dalam konteks penelitian ini berwujud diskursus Islam, Globalisasi, Kapitalisme dan Postkolonialisme, dengan ideologi dominan yang muncul adalah kapitalisme dan postkolonialisme.
Implikasi teoritis penelitian ini menunjukkan, khususnya dalam kaitannya dengan pilihan identitas Kota Tuban, Hall tidak menjelaskan bahwa sebetulnya faktor ekonomi pun berperan terhadap konstruksi akan identitas sekaligus pilihan identitas pada suatu kota baik langsung atau tidak langsung, sama seperti Theodore Adorno yang tidak menyinggung faktor komodifikasi dapat berperan terhadap konstruksi akan identitas. Selain itu, ketika budaya menjadi basis dalam perekonomian kota, maka dalam perekonomian simbolis terjadi reduksi dalam pemaknaan budaya. Budaya yang didefinisikan sebagai shared of meaning dibatasi maknanya sebagai semua image dan simbol yang marketable yang mampu untuk mendorong konsumsi.

This dissertation explores how power relations represented in urban planning of public spaces form the identity of a city. This is a qualitative research study using an explanatory social semiotics method. With reference to the concept of representation by Stuart Hall and Foucault's perspectives on episteme, there are two important things can be concluded from this study. First, Alun-alun Kota Tuban (Tuban's City Square) is a representation of the city's religious and multicultural identities. Second, the changes on architectural landscapes and building sites signify the shift of the regime that has take a place within the context of Contemporary Tuban's City Square. The transformation of power relations episteme is clearly illustrated in the Tuban's Contemporary City Square complex which shows the dominance of control possessed by certain discourses such as Islamic Globalization, Capitalism and Post colonialism discourses, whereas the dominant ideologies that emerge in those discourses are capitalism and post colonialism.
The theoretical implication of this study suggests that, particularly in relation to the selected Tuban's identity, Stuart Hall and Theodore Adorno did not explain that in fact, economic factors also contribute to the construction of identity. In other words, in order to understand the way in which the city's identity is formed we should consider commoditization as a contributing factor to the construction of identity. Furthermore, when culture becomes merely a part of the city's economy or a form of symbolic economy, it reduces the profound meaning of culture making. Culture, which is defined as shared of meaning, has limited meaning as all images and marketable symbols that support people's mode of consumption.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>