Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208778 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farras Zidane Diego Ali Farhan
"Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang semakin marak ditemukan terjadi dalam tatanan masyarakat Indonesia. Perkembangan pidana dan pemidanaan terhadap terdakwa dan terpidana tindak pidana kekerasan seksual merupakan respons terhadap peristiwa kejahatan tersebut. Pemberatan sanksi pidana serta penetapan sanksi tindakan dalam bentuk kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi merupakan langkah yang dinilai pemerintah Indonesia sebagai solusi untuk mengatasi fenomena tindak pidana kekerasan seksual. Makna keadilan bagi korban yang seringkali diartikan pembalasan semata sedangkan sistem pemidanaan Indonesia berorientasi pada rehabilitasi dan reintegrasi menimbulkan dilema dalam penentuan sanksi bagi terdakwa tindak pidana kekerasan seksual. Penelitian ini akan mengkaji perkembangan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, sanksi pidana dan tindakan, serta penerapan sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dalam tindak pidana kekerasan seksual pada peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode penelitian doktrinal merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan data sekunder dari berbagai bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku, jurnal dan sumber lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sistem hukum Indonesia telah menganut double track system dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Sanksi pidana dan tindakan ditempatkan pada kedudukan yang setara dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan bagi para pelaku kekerasan seksual. Namun, berdasarkan studi pada empat putusan pengadilan tindak pidana kekerasan seksual yang dianalisis dalam skripsi ini menunjukan bahwa double track system belum diterapkan secara optimal oleh sistem peradilan pidana Indonesia. Pengaturan yang terbatas, miskonsepsi hakim, dan kepasifan aparat penegak hukum merupakan hambatan terhadap penerapan sistem pemidanaan dua jalur dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.

Sexual violence is a criminal act that is increasingly common found in Indonesian society. The development of crime and punishment of defendants and convicts of sexual violence crime is a response to this crime event. Aggravating criminal sanctions and treatment sanctions establishment in the form of chemical castration, installing electronic detection devices, and rehabilitation are steps that the Indonesian government considers to be a solution to overcome the phenomenon of sexual violence crime. The meaning of justice for victims, which is often interpreted as mere retribution, whereas the Indonesian criminal system is oriented towards rehabilitation and reintegration, creates a dilemma in determining sanctions for defendants of sexual violence crime. This research will examine the development of types of sexual violence crime, criminal sanctions and treatments, as well as the implementation of double track system in sexual violence crime in Indonesian laws. The doctrinal research method is the method used in this research using secondary data from various legal materials including statutory regulations, court decisions, books, journals and other sources. The secondary data in this research was analyzed qualitatively. The results of this research found that the Indonesian legal system has adopted a double track system in cases of sexual violence crime. Criminal sanctions and treatments are placed on an equal position in order to achieve the goal of punishing perpetrators of sexual violence. However, based on a study of four sexual violence crime court decisions analyzed in this thesis, it shows that the double track system has not been implemented optimally by the Indonesian criminal justice system. Limited regulations, judges' misconceptions, and the passivity of law enforcement are obstacles to the implementation of double track system in cases of sexual violence crime in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lifiana Alanisya Mutaharina
"Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme, yang merupakan salah satu bentuk dari gangguan parafilia atau suatu kelainan seksual merupakan hal yang kerap terjadi berbagai negara, terutama di Indonesia. Hal tersebut menjadi suatu masalah hukum dikarenakan disatu pihak perilaku ini adalah suatu gangguan berupa kelainan seksual sementara di pihak lainnya perilaku ini menjadi suatu gangguan dalam tatanan sosial masyarakat. Sanksi pidana tidak dapat menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan angka tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme. Dalam praktik, penjatuhan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme cenderung tidak sesuai karena hakim kerap tidak mempertimbangkan kondisi psikis dari pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme tersebut. Padahal, faktor tersebut perlu untuk selalu dipertimbangkan oleh hakim mengingat kondisi pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme yang kerap membutuhkan suatu terapi dan pengobatan medis karena munculnya dorongan yang tidak terkontrol akan hasrat seksual untuk memamerkan alat kelamin miliknya dan melakukan aktivitas seksual yang tidak normal di tempat umum. Mengingat saat ini telah ada pengaturan mekanisme penjatuhan sanksi tindakan dan pemidanaan secara bersamaan dengan konsep Double Track System, maka diharapkan konsep tersebut dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam sistem pemidanaan di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menentukan porsi pemidanaan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme dengan memanfaatkan konsep pemidanaan Double Track System. Lebih lanjut, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan wawancara untuk melengkapi data temuan. Dengan mengangkat topik terkait pemidanaan dengan menggunakan konsep Double Track System terhadap pelaku eksibisionisme, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan diskursus dan mampu memberikan solusi terkait cara penjatuhan pemidanaan yang tepat agar dapat mencegah timbulnya residivisme maupun munculnya korban-korban lainnya dari pelaku kejahatan yang mengidap kelainan seksual berupa eksibisionisme.

Criminal acts committed by a person with exhibitionism, which is a form of paraphilia or a sexual disorder, are common in various countries, especially in Indonesia. This becomes a legal issue because, on the one hand, such behaviour is a form of sexual disorder. Meanwhile, on the other hand, this behaviour also brings a social disorder to society. Criminal sanction cannot be the only way to control the number of crimes that are committed by exhibitionists. In practice, the imposition of criminal sanctions imposed on perpetrators of crimes with exhibitionism tends to be inappropriate because judges often do not consider the psychological condition of the perpetrators of crimes with exhibitionism. In fact, it is necessary for the judges to always consider this factor since the condition of the perpetrators of exhibitionism often requires therapy and medical treatment due to the emergence of an uncontrolled urge for sexual desire to show their genitals and engage in abnormal sexual activity in public places. Subsequently, considering that currently there is a mechanism for imposing sanctions in the form of treatment and criminal sanction simultaneously within the concept of the Double Track System, one might hope that this concept can create flexibility in the Indonesian sentencing system for the perpetrators of exhibitionism. This study aims to determine the appropriate portion of punishment for perpetrators of exhibitionism by utilizing the Double Track System sentencing concept. Furthermore, the methodology of this research is juridical-normative with interviews to complete the research findings. By discussing the topic regarding the imposition of criminal sentencing by utilizing the Double Track System concept for the perpetrators of exhibitionism, it is expected that this research could become the foundation of discourse and be able to provide solutions regarding the appropriate way of imposing punishments towards the perpetrators of exhibitionism in order to prevent recidivism from occurring and the emergence of other victims who suffer from such sexual disorders."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sholehuddin
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
345 SHO s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Eka Zaltina
"Tesis ini membahas mengenai pengaturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan di luar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Penulisan ini dianalisis dengan metode doktrinal. Tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam berbagai undang-undang sebelum UU TPKS disahkan dengan berbagai istilah yang beragam. Terminologi kekerasan seksual kemudian disepakati untuk digunakan dalam UU TPKS untuk unifikasi setiap tindakan yang dijelaskan pada UU ini, dan UU lain di luar UU TPKS. Namun, frasa ‘disebutkan secara tegas sebagai kekerasan seksual’ yang ditujukan bagi tindak pidana kekerasan seksual di luar UU TPKS pada pasal 4 Ayat 2 menimbulkan berbagai disharmonisasi sehingga keberlakuan UU TPKS dan segala kebaruan serta panduan penanganan tindak pidana yang mengaturnya, tidak dapat secara serta merta berlaku pada UU pendahulunya. UU TPKS hadir dengan berbagai kebaruan yang menguntungkan korban, menjamin lebih banyak perlindungan korban dari mulai pencegahan sampai dengan pemulihan. Potensi terjadinya multitafsir dalam mengartikan sebuah tindakan sebagai kategori tindak pidana kekerasan seksual haruslah ditindaklanjuti dengan kehadiran peraturan lanjutan yang kemudian dapat memperbaiki kekosongan dan kerancuan pada UU TPKS demi jaminan kepastian hukum bagi setiap korban.

This thesis discusses the regulation of the crime of sexual violence in the Law on Sexual Violence and outside the Law on Sexual Violence. This thesis is analyzed using the doctrinal method. The crime of sexual violence was regulated in various laws before the Law on Sexual Violence was passed with various terms. The terminology of sexual violence was then agreed to be used in the Law on Sexual Violence to unify every act described in this law, and other laws outside the Law on Sexual Violence. However, the phrase 'expressly mentioned as sexual violence' which is intended for criminal acts of sexual violence outside the Law on Sexual Violence in Article 4 Paragraph 2 creates various disharmonizations so that the applicability of the Law on Sexual Violence and all the novelty and guidelines for handling criminal acts that regulate it, cannot immediately apply to the predecessor law. The Law on Sexual Violence comes with various novelties that benefit victims, guaranteeing more victim protection from prevention to recovery. The potential for multiple interpretations in defining an action as a category of sexual violence crime must be followed up with the presence of further regulations that can then correct the ambiguities in the Law on Sexual Violence to guarantee legal certainty for every victim."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Ayu Faraswati
"Dalam penulisan tesis ini, Penulis mengeksplorasi tanggung jawab platform media sosial dalam mengatasi kekerasan seksual berbasis elektronik di Indonesia. Bagi sebagian orang khususnya perempuan, media sosial merupakan tempat yang berbahaya karena memuat gambar, video, dan informasi lain yang tidak boleh diposting. Internet telah melahirkan jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama kekerasan siber (KSBE), yang memiliki bentuk dan implikasi yang lebih kompleks. Konten, termasuk pernyataan korban, foto, dan video, dapat lebih mudah dibagikan dan dilihat oleh lebih banyak orang di dunia digital. Berdasarkan fakta tersebut, jelas bahwa upaya hukum terkait penerapan upaya hukum dan tanggung jawab jaringan sosial terhadap kekerasan elektronik masih menjadi permasalahan di Indonesia. Konsep baru tanggung jawab korporasi didasarkan pada pandangan realis terhadap korporasi, yang menyatakan bahwa korporasi adalah individu yang mempunyai kepentingan, bukan berdasarkan tindakan konsumennya. Mengingat pertumbuhan konsep perusahaan dan kekuatannya yang belum pernah terjadi sebelumnya, fokus pada pertanggungjawaban korporasi merupakan hal untuk menetapkan tanggung jawab atas risiko yang terkait dengan penyelenggara sistem elektronik. Permasalahan kewenangan penyelenggara sistem elektronik berupa user-generated content yang dibagikan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah informasi elektronik yang dibuat oleh orang lain hanya dapat dihapus jika informasi elektronik tersebut memuat laporan. Jika penyelenggara sistem elektronik bertindak sebagai distributor, mereka tidak bertanggung jawab untuk menghapus atau mengubah informasi elektronik yang dibuat oleh pengguna. Apabila penyelenggara sistem elektronik bertindak sebagai penerbit, ia bertanggung jawab untuk menghapus (memusnahkan) dan mengelola informasi elektronik yang dibuat oleh pengguna. Pertama, apabila penyelenggara sistem elektronik tidak dapat mencegah, menghapus (menghancurkan) informasi elektronik yang dibatasi sesuai petunjuk, maka mereka dapat melakukan pengendalian. Kedua, apabila penyelenggara sistem elektronik tidak melaksanakan tugasnya mengirimkan pesan-pesan elektronik yang dilarang sehingga menimbulkan kematian atau gangguan kepada masyarakat, maka penyelenggara sistem elektronik dikenakan tanggung jawab hukum dan tindak pidana, yang mana mungkin melibatkan hukuman pidana. Tanggung jawab pidana korporasi atas penyebaran konten KSBE dan penghasutan terhadap komunitas pengguna media sosial dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik sebagai pelaku komersial. Sedangkan dalam pengaturan UU TPKS dan UU ITE mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan, khususnya yang melakukan tindak kekerasan pencurian elektronik, masih bermasalah dalam penerapannya dan belum memiliki landasan yang kuat dalam penerapannya.

In writing this thesis, the author explores the responsibility of social media platforms in overcoming electronic-based sexual violence in Indonesia. For some people, especially women, social media is a dangerous place because it contains images, videos and other information that should not be posted. The internet has given birth to a new type of crime known as cyber violence (KSBE), which has more complex forms and implications. Content, including victim statements, photos and videos, can be more easily shared and seen by more people in the digital world. Based on these facts, it is clear that legal remedies related to the implementation of legal remedies and social network responsibility for electronic violence are still a problem in Indonesia. The new concept of corporate responsibility is based on a realist view of corporations, which states that corporations are individuals who have interests, not based on the actions of their consumers. Given the unprecedented growth of the corporate concept and its power, a focus on corporate responsibility is essential for assigning responsibility for the risks associated with electronic systems providers. Problems with the authority of electronic system administrators include:user-generated content What is shared by electronic system operators is that electronic information created by other people can only be deleted if the electronic information contains a report. If electronic system operators act as distributors, they are not responsible for deleting or changing electronic information created by users. If the electronic system operator acts as a publisher, he is responsible for deleting (destroying) and managing electronic information created by the user. First, if electronic system administrators cannot prevent or delete (destroy) restricted electronic information according to instructions, then they can exercise control. Second, if the electronic system operator does not carry out its duties in sending prohibited electronic messages, thereby causing death or disturbance to the public, then the electronic system operator is subject to legal responsibility and criminal action, which may involve criminal penalties. Corporate criminal responsibility for the dissemination of KSBE content and incitement against the social media user community can be carried out by electronic system operators as commercial actors. Meanwhile, the provisions of the TPKS Law and ITE Law regarding criminal liability of companies, especially those that commit violent acts of electronic theft, are still problematic in their implementation and do not yet have a strong foundation in their implementation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Budi Cahyono
"Kekerasan seksual di Indonesia merupakan salah satu permasalahan hukum yang dianggap serius, Dalam menanggapi hal tersebut Indonesia mengatur hukuman pidana tambahan yakni kebiri kimia dan tercantum pada Undang-undang No.17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang. Ditengah polemic pro dan kontra Presiden Joko Widodo secara Resmi Menanda tangani Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak. Dengan timbul banyaknya polemik terkait keberadaan hukuman ini, maka penulis akan melakukan penelitian terkait penerapan hukuman kebiri kimia dengan menggunakan metode penelitian bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan analisis perbandingan hukum, pendekatan analisis peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini penulis mendapatkan bahwa hukuman kebiri kimia di beberapa negara sangat memerlukan peran dari ahli medis untuk dapat melakukan penjatuhan hukuman kebiri kimia, dan hukuman kebiri kimia merupakan suatu bentuk hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena dianggap memiliki gangguan kelainan mental yakni pedofilia. Pada saat ini para dokter masih menolak akan keberadaan hukuman kebiri kimia dikarenakan bertentangan akan kode etik profesinya, akan tetapi penulis menemukan bahwa seharusnya dokter dapat mengambil peran penuh dalam penerapan hukuman ini sebagai bentuk menjaga kondisi Kesehatan baik secara mental maupun fisik sehingga hukuman ini dapat menjadi bentuk rehabilitasi atau pengobatan atas perbuatan menyimpang dari pelaku.

In Indonesia sexual violence is one of the legal issues that considered as serious crime. For the response of this issue, Indonesia regulates additional criminal penalties called chemical castration and Written in UU No. 17/2016 about the Second Amendment to UU No. 23/2002 Child Protection Becomes Law. In between of the pro and cons of this sentence, President of Indonesia Joko Widodo Officially Signed Government Regulation No. 70 of 2020 concerning Procedures for Carrying Out Chemical Castration, Installation of Electronic Detection Devices, Rehabilitation, and Announcement of the Identity of Perpetrators of Sexual Violence Against Children. With the emergence of many polemics related to the existence of this punishment, the authors will conduct research related to the application of chemical castration using normative juridical research methods with qualitative analysis methods. This research is using comparative legal analysis approach, an analysis approach to statutory regulations. The results of this study the authors found that chemical castration in several countries fully depends on the role of medical experts to give chemical castration sentences, and chemical castration punishment is for perpetrators of sexual crimes against that are considered to have a mental disorder, namely pedophilia. At this time doctors still reject the existence of chemical castration punishment because it conflicts with the professional code of ethics, but the authors found that doctors should be able to take a full role in implementing this punishment as a form of maintaining health conditions both mentally and physically so that this punishment can be a form of punishment. rehabilitation or treatment of the perpetrator's deviant acts."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldila Puspa Kemala
"Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelecehan seksual membuka peluang dipidananya pelaku-pelaku pelecehan seksual, sehingga timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, apa saja perbedaan pengaturannya bagaimana pengertian pelecehan seksual sebagai suatu tindak pidana, bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pelecehan seksual dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapan hukum kasus pelecehan seksual berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatf menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan analisa putusan (decision analysis). Diketahui bahwa pengertian pelecehan seksual menurut instrumen Hukum Internasional dan di Berbagai Negara di Asia Tenggara secara garis besar memiliki persamaan, kemudian Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum terdapat peraturan Perundang-Undangan yang spesifik mengatur tentang pelecehan seksual dan setelah Undang-Undang tersebut disahkan merupakan solusi dari permasalahan tersebut untuk mengakomodir kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

The passing of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence in which there are arrangements regarding sexual harassment opens opportunities for perpetrators of sexual harassment to be prosecuted, so the question arises what is meant by sexual harassment, what are the differences in regulations, what is the meaning of sexual harassment as a criminal acts, how to regulate criminal acts of sexual harassment in Indonesian laws and regulations and how to enforce the law on sexual harassment cases based on court decisions in Indonesia that have permanent legal force before and after Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence was passed . In this study using normative research methods using a statute approach and decision analysis. It is known that the definition of sexual harassment according to international legal instruments and in various countries in Southeast Asia is broadly similar, then before the enactment of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence there were no statutory regulations that specifically regulate sexual harassment and after the Law was passed, it was a solution to this problem to accommodate cases of sexual harassment that occurred in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriel Maranatha
"Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur bahwa Pengadilan harus merahasiakan informasi yang memuat identitas dari Saksi dan/atau Korban dalam putusan atau penetapan pengadilan. Merahasiakan informasi mengenai identitas korban tindak pidana kekerasan seksual merupakan hal yang penting sebagai wujud pengejawantahan dari hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitas. Tulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pengadilan dalam merahasiakan informasi dari identitas korban tindak pidana kekerasan seksual dalam putusan pengadilan. Dengan menggunakan metode penilitian doktrinal, Tulisan ini juga bertujuan untuk melihat perbandingan pengaturan mekanisme publikasi putusan antara Indonesia dengan Hongaria dan Italia, terkhusus dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Untuk memperdalam analisis, penulis mewawancari dua narasumber, yaitu Marc van Opijnen selaku Peneliti Publikasi Putusan dalam Uni-Eropa dan Marsha Maharani selaku Peneliti Isu Kekerasan Seksual dari Indonesia Judicial Research Society. Temuan dari tulisan ini adalah putusan-putusan yang tidak melakukan pengaburan informasi identitas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia. Sayangnya, putusan tersebut dipublikasi dalam situs web Direktori Putusan Mahkamah Agung yang dapat diakses oleh umum yang makin mencederai hak pelindungan korban atas kerahasiaan identitasnya. Selain itu, temuan dari tulisan ini adalah ketiadaan pengaturan mekanisme yang mendetail yang dapat ditempuh oleh korban terhadap putusan pengadilan yang tidak merahasiakan identitas dirinya. Adapun ketiadaan pengaturan mekanisme ini dapat berkaca dari pengaturan yang ada di Hongaria dan Italia untuk menciptakan penanganan tindak pidana kekerasan seksual, dalam hal pengaburan informasi identitas korban dalam putusan pengadilan, yang berasas kepentingan terbaik bagi korban.

The Statute Law Number 12 of 2022 concerning Sexual Violence Criminal Acts stipulates that the Court must maintain confidentiality of information containing the identities of Witnesses and/or Victims in court decisions or determinations. Maintaining the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes is crucial as a manifestation of the right to protect the victim's identity. This paper will analyze how the courts implement the confidentiality of information regarding the identity of victims of sexual violence crimes in court decisions. Using the doctrinal research method, this paper also aims to compare the regulations on the publication mechanisms of judgments between Indonesia, Hungary, and Italy, specifically in cases of sexual violence crimes. To deepen the analysis, the author interviewed two informants, namely Marc van Opijnen as a Researcher on Court Decisions Publication in the European Union and Marsha Maharani as a Researcher on Sexual Violence Issues from the Indonesia Judicial Research Society. The findings of this paper reveal that some court decisions in Indonesia do not obscure the identities of victims of sexual violence crimes. Unfortunately, these decisions are published in website Direktori Putusan Mahkamah Agung, which is accessible to the public, thereby compromising the right to protect the victim's identity. Additionally, the paper found a lack of detailed mechanisms that victims can pursue against court decisions that do not maintain the confidentiality of their identities. The absence of these mechanisms can be reflected in the regulations in Hungary and Italy concerning the handling of sexual violence crimes, specifically in obscuring the identities of victims in court decisions, based on the best interests of the victim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fatimah Tuma’ninah
"Kasus kekerasan seksual seringkali terjadi di lingkungan perguruan tinggi, tak terkecuali di Universitas Indonesia (UI). Satgas PPKS UI, lembaga resmi yang menangani kasus kekerasan seksual di UI, belum memiliki sistem yang terintegrasi dalam menangani dan mengelola kasus pelaporan kekerasan seksual secara terorganisir. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan sistem third party Google Forms untuk menerima laporan, Google Drive untuk menyimpan dokumentasi selama proses pelaporan dan penanganan, serta Linktree dan media sosial untuk mempublikasikan dokumen dan dasar hukum. Selain itu, belum adanya sistem pelaporan dan pencatatan yang baik untuk memantau progres kasus membuat pelapor kesulitan dalam mengetahui status kasus secara real-time dan transparan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang solusi desain antarmuka sistem informasi pelaporan dan penanganan kekerasan seksual dalam lingkup Universitas Indonesia dengan menggunakan pendekatan user-centered design (UCD). Pengumpulan data melibatkan 16 responden yang terdiri dari 2 anggota Satgas PPKS UI, 5 orang yang pernah melaporkan kekerasan seksual, 5 orang ahli atau aktivis di bidang kekerasan seksual, dan 4 orang umum. Hasil pengumpulan data diolah menggunakan metode thematic analysis. Berdasarkan hasil penelitian, rancangan desain antarmuka sistem ini memiliki beberapa fitur utama, yaitu fitur pelaporan dan penanganan kekerasan seksual, hotline Satgas PPKS UI dan daftar kontak alternatif, fitur informasi dan edukasi terkait kekerasan seksual, serta fitur konseling untuk korban dan saksi. Penelitian ini menghasilkan rancangan desain antarmuka berbentuk low-fidelity design dan high-fidelity prototype. Rancangan tersebut dievaluasi kembali dengan Shneiderman’s eight golden rules, remote moderated usability testing, dan post-study system usability questionnaire (PSSUQ). Berdasarkan hasil survei PSSUQ terhadap 107 responden, rancangan desain antarmuka mendapatkan nilai 1,657 untuk system usefulness, 1,726 untuk information quality, 1,766 untuk interface quality, dan 1,698 untuk overall. Nilai tersebut menunjukkan hasil yang baik. Penelitian ini diharapkan dapat membantu Universitas Indonesia (UI) selaku perguruan tinggi yang berwenang dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Cases of sexual violence often occur in higher education, including at Universitas Indonesia (UI). Satgas PPKS UI, the official institution that handles cases of sexual violence at UI, does not yet have an integrated system for handling and managing reported cases of sexual violence in an organized manner. This is demonstrated by the use of the third-party system Google Forms to receive reports, Google Drive to store documentation during the reporting and handling process, as well as Linktree and social media to publish documents and legal bases. Apart from that, the absence of a good reporting and recording system to monitor the progress of cases makes it difficult for reporters to know the status of cases in real time and transparently. Therefore, this research aims to design the user interface of the Sexual Violence Reporting and Handling Information System using the user-centered design (UCD) approach. The requirement gathering involved 16 respondents consisting of 2 members of Satgas PPKS UI, 5 people who have reported sexual violence, 5 experts or activists in the field of sexual violence, and 4 general members of the public. The results of requirement gathering were processed using the thematic analysis method. Based on the research results, the system interface design has several main features, namely the sexual violence reporting and handling feature, the Satgas PPKS UI’s hotline and alternative contact list, information and education features related to sexual violence, and counseling features for victims and witnesses. This research produced a low-fidelity design and a high-fidelity prototype. The design was evaluated with Shneiderman’s eight golden rules, remote moderated usability testing, and a post-study system usability questionnaire (PSSUQ). Based on the PSSUQ survey conducted on 107 respondents, the interface design scored 1.657 for system usefulness, 1.726 for information quality, and 2.293 for interface quality. Overall, the interface design scored 1.698 indicating good results. Hopefully, this research can help Universitas Indonesia (UI) as the authorized university in efforts to prevent and handle sexual violence on campus."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isyah Auliarahmani Rafifa
"Kasus kekerasan seksual seringkali terjadi di lingkungan perguruan tinggi, tak terkecuali di Universitas Indonesia (UI). Satgas PPKS UI, lembaga resmi yang menangani kasus kekerasan seksual di UI, belum memiliki sistem yang terintegrasi dalam menangani dan mengelola kasus pelaporan kekerasan seksual secara terorganisir. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan sistem third party Google Forms untuk menerima laporan, Google Drive untuk menyimpan dokumentasi selama proses pelaporan dan penanganan, serta Linktree dan media sosial untuk mempublikasikan dokumen dan dasar hukum. Selain itu, belum adanya sistem pelaporan dan pencatatan yang baik untuk memantau progres kasus membuat pelapor kesulitan dalam mengetahui status kasus secara real-time dan transparan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merancang solusi desain antarmuka sistem informasi pelaporan dan penanganan kekerasan seksual dalam lingkup Universitas Indonesia dengan menggunakan pendekatan user-centered design (UCD). Pengumpulan data melibatkan 16 responden yang terdiri dari 2 anggota Satgas PPKS UI, 5 orang yang pernah melaporkan kekerasan seksual, 5 orang ahli atau aktivis di bidang kekerasan seksual, dan 4 orang umum. Hasil pengumpulan data diolah menggunakan metode thematic analysis. Berdasarkan hasil penelitian, rancangan desain antarmuka sistem ini memiliki beberapa fitur utama, yaitu fitur pelaporan dan penanganan kekerasan seksual, hotline Satgas PPKS UI dan daftar kontak alternatif, fitur informasi dan edukasi terkait kekerasan seksual, serta fitur konseling untuk korban dan saksi. Penelitian ini menghasilkan rancangan desain antarmuka berbentuk low-fidelity design dan high-fidelity prototype. Rancangan tersebut dievaluasi kembali dengan Shneiderman’s eight golden rules, remote moderated usability testing, dan post-study system usability questionnaire (PSSUQ). Berdasarkan hasil survei PSSUQ terhadap 107 responden, rancangan desain antarmuka mendapatkan nilai 1,657 untuk system usefulness, 1,726 untuk information quality, 1,766 untuk interface quality, dan 1,698 untuk overall. Nilai tersebut menunjukkan hasil yang baik. Penelitian ini diharapkan dapat membantu Universitas Indonesia (UI) selaku perguruan tinggi yang berwenang dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Cases of sexual violence often occur in higher education, including at Universitas Indonesia (UI). Satgas PPKS UI, the official institution that handles cases of sexual violence at UI, does not yet have an integrated system for handling and managing reported cases of sexual violence in an organized manner. This is demonstrated by the use of the third-party system Google Forms to receive reports, Google Drive to store documentation during the reporting and handling process, as well as Linktree and social media to publish documents and legal bases. Apart from that, the absence of a good reporting and recording system to monitor the progress of cases makes it difficult for reporters to know the status of cases in real time and transparently. Therefore, this research aims to design the user interface of the Sexual Violence Reporting and Handling Information System using the user-centered design (UCD) approach. The requirement gathering involved 16 respondents consisting of 2 members of Satgas PPKS UI, 5 people who have reported sexual violence, 5 experts or activists in the field of sexual violence, and 4 general members of the public. The results of requirement gathering were processed using the thematic analysis method. Based on the research results, the system interface design has several main features, namely the sexual violence reporting and handling feature, the Satgas PPKS UI’s hotline and alternative contact list, information and education features related to sexual violence, and counseling features for victims and witnesses. This research produced a low-fidelity design and a high-fidelity prototype. The design was evaluated with Shneiderman’s eight golden rules, remote moderated usability testing, and a post-study system usability questionnaire (PSSUQ). Based on the PSSUQ survey conducted on 107 respondents, the interface design scored 1.657 for system usefulness, 1.726 for information quality, and 2.293 for interface quality. Overall, the interface design scored 1.698 indicating good results. Hopefully, this research can help Universitas Indonesia (UI) as the authorized university in efforts to prevent and handle sexual violence on campus."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>