Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114131 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Rahmadhani
"Latar Belakang: Estimasi jenis kelamin merupakan prioritas penting dan langkah awal dalam proses identifikasi. Tulang orokraniofasial memiliki karakteristik dimorfik yang stabil dibandingkan tulang kerangka lainnya dan memiliki ketahanan tinggi terhadap pengaruh lingkungan. Saat ini, telah banyak peneliti diberbagai belahan dunia yang melaporkan penelitian secara metrik menggunakan parameter tulang orokraniofasial untuk estimasi jenis kelamin dan menunjukkan hasil akurasi yang signifikan pada setiap populasi. Populasi Trunyan merupakan bagian dari penduduk asli (indigenous people) dari Provinsi Bali. Tujuan: Untuk mengetahui dari analisis metrik pada parameter tulang orokraniofasial, mana yang dapat menunjukkan dimorfisme seksual pada laki-laki dan perempuan Populasi Trunyan, Bali. Metode Penelitian: Sampel terdiri dari 20 kranium (9 laki-laki dan 11 perempuan). Pengukuran dilakukan pada 34 parameter kranial (gabungan parameter Populasi Thailand dan Populasi Brazil). Analisis dilakukan secara statistik menggunakan SPSS dan dilakukan uji regresi logistik. Hasil: Nilai rata-rata ukuran kranium laki-laki lebih besar daripada perempuan hampir pada beberapa parameter pengukuran, kecuali nasal breadth dan foramen magnum breadth. Hasil analisis didapatkan sepuluh parameter tulang orokraniofasial menunjukkan perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada populasi Trunyan (p<0,05) yaitu parameter maximum cranial length, bizygomatic breadth, lambda – rhinion (La-Rhi), lambda – nasospinale (La-Ns), lambda-right zygomaxillare (La-RZgm), lambda-left zygomaxillare (La-LZgm), biauricular breadth, frontal chord, mastoid length right dan mastoid length left. Hasil analisis regresi logistik didapatkan dua parameter memiliki hubungan yang kuat untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu bizygomatic breadth dan minimum frontal breadth (R2=0,477). Secara keseluruhan, persamaan regresi logistik menunjukkan akurasi sebesar 75% untuk estimasi jenis kelamin pada Trunyan. Kesimpulan: Analisis metrik pada parameter tulang orokraniofasial dapat menunjukkan dimorfisme seksual pada laki-laki dan perempuan Populasi Trunyan, Bali.

Background: Sex estimation is an important priority and the first step in the identification process. Orocraniofacial bone has stable dimorphic characteristics compared to other skeletal bones and has high resistance to environmental influences. Currently, many researchers in various parts of the world have reported research on metrics using orocraniofacial bone parameters to estimate gender and showed significant accuracy results in each population. The Trunyan population is part of the Indigenous population (customary community) of Bali province. Objective: To determine the metric analysis of orocraniofacial bone parameters, which can indicate sexual dimorphism in males and females of the Trunyan population, Bali. Methods: The sample consisted of 20 craniums (9 males and 11 females). Measurements were made on 34 cranial parameters (combined parameters of the Thai population and the Brazilian population). The analysis was carried out statistically using SPSS and a logistic regression test. Results: The average size of male craniums is generally larger than that of females in most measurement parameters, except nasal breadth and foramen magnum breadth. The results of the analysis obtained ten orocraniofacial bone parameters which showed significant differences between male and female sex in the Trunyan population (p<0.05), which is the maximum cranial length, bizygomatic breadth, lambda – rhinion (La-Rhi), lambda – nasospinale (La-Ns), lambda-right zygomaxillare (La-RZgm), lambda-left zygomaxillare (La-LZgm), biauricular breadth, frontal chord, mastoid length right and mastoid length left. The results of the logistic regression analysis showed that two parameters had a strong relationship between males and females, which are bizygomatic breadth and minimum frontal breadth (R2=0,477). Overall, the logistic regression equation showed an accuracy of 75% for sex estimation in Trunyan. Conclusion: Metric analysis of orocraniofacial bone parameters can show sexual dimorphism in males and females of the Trunyan population, Bali."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Eka Asdiana Warti
"Latar Belakang : Indonesia merupakan negara yang sering dilanda bencana alam, kecelakaan dan kejahatan menyebabkan korban jiwa sehingga tidak jarang ditemukan jenazah yang hanya menyisakan tulang belulangnya. Observasi sifat anatomis dan morfologis adalah metode paling popular untuk menghubungkan ras terhadap tulang belulang. Tengkorak adalah bagian tubuh yang dipelajari secara luas dan bagian tengkorak hidung serta mulut adalah bagian terbaik untuk identifikasi ras. Tujuan: Mengetahui parameter morfologi dan morfometri pada orokraniofasial untuk menentukan ras. Metode: Sampel terdiri dari 20 tengkorak yang berasal dari pemakaman Sema Wayah di Desa Trunyan, Bali dan 7 tengkorak yang berasal dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan pengukuran pada setiap tengkorak berdasarkan parameter morfologi dan morfometri. Analisis data untuk membandingkan antara kelompok Trunyan dan Bukan Trunyan menggunakan uji univariat, bivariat dan multivariat. Hasil: Kemampuan parameter morfologi yakni Inferior Nasal Aperture, Nasal Bone Contour, Inter Orbital Breadth dalam menjelaskan ras sebesar 56,8%. Nilai rata-rata morfometri untuk total probability sebesar 2,0778 dan pada kategori sebesar 8,6296 sebagai ambang batas penentuan identifikasi ras. Apabila hasil perhitungan tersebut bernilai <0,5 artinya Trunyan >0,5 artinya Bukan Trunyan. Secara keseluruhan, model ini mampu mengidentifikasi ras Trunyan dan Bukan Trunyan sebesar 81,48%.

Background: Indonesia is a country that is often hit by natural disasters, accidents and crimes that cause fatalities, so it is not uncommon to find bodies that only leave their bones. Observation of anatomical and morphological properties is the most popular method for relating race to bones. The skull is the most widely studied body part and the nose and mouth parts of the skull are the best parts for racial identification. Objective: To know the morphological and morphometric parameters on orocraniofacial to determine race. Methods: The sample consisted of 20 skulls from the Sema Wayah cemetery in Trunyan Village, Bali and 7 skulls from the Faculty of Dentistry, University of Indonesia. In this study, measurements were made on each skull based on morphological and morphometric parameters. Data analysis to compare between the Trunyan and Non Trunyan groups used univariate, bivariate and multivariate tests. Results: The ability of morphological parameters namely Inferior Nasal Aperture, Nasal Bone Contour, Inter Orbital Breadth in explaining race is 56.8%. The morphometric average value for the total probability is 2.0778 and in the category is 8.6296 as the threshold for determining racial identification. If the result of the calculation is <0.5, it means Trunyan > 0.5, it means Not Trunyan. Overall, this model is able to identify the Trunyan and Non-Trunyan races by 81.48%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novitasari
"Pendahuluan: Estimasi usia dan jenis kelamin yang akurat memiliki peran penting dalam upaya identifikasi individu yang tidak dikenal terutama pada kasus-kasus forensik, baik pada individu yang masih hidup maupun sudah meninggal. Tulang belakang segmen dada dan iga merupakan tulang yang tidak banyak diteliti dalam penentuan usia dan jenis kelamin, namun tulang-tulang tersebut sering ditemukan pada saat pemeriksaan identifikasi dilakukan. Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dan analitik dengan desain potong lintang menggunakan 300 sampel radiografi toraks dari pasien rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdiri dari 150 laki-laki dan 150 perempuan dengan rentang usia antara 18 hingga 65 tahun. Pengukuran dilakukan pada tulang belakang segmen dada ke-1 hingga ke-12 dan tulang iga ke-2 hingga ke-7. Penelitian ini disetujui oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang lemah dan sangat lemah pada tulang belakang segmen dada yang signifikan (p<0,05) dan korelasi yang sangat lemah namun tidak signifikan (p>0,05) pada tulang iga terhadap estimasi usia kronologis. Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran lebar, tinggi, diagonal pada seluruh tulang belakang segmen dada dan semua iga yang diperiksa, dimana 14 parameter yang bermakna pada tulang belakang segmen dada ke-2, ke-3 dan ke-8; tulang iga ke-2, ke-3, dan ke-7; serta Y total secara bersama-sama memberikan nilai akurasi 70,7% terhadap estimasi jenis kelamin.
Kesimpulan: Radiografi toraks untuk menilai tulang belakang segmen dada dan iga-iga merupakan metode yang sangat berguna untuk upaya identifikasi usia dan jenis kelamin. Namun, penelitian lebih lanjut tetap diperlukan untuk mendapatkan estimasi yang lebih akurat.

Introduction: Accurate age and sex determination holds important role in determining the identity of unknown individuals in forensic science for both living and remains. Vertebrae are one of the least studied bones for chronologica age and sex identification; however, eventhough its presence at a death scene is the most common of all.
Methodology: This research was an observational descriptive and analytic study using cross-sectional research design with 300 chest radiograph as its sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, with 150 males and 150 females taken for T1-T12 thoracic vertebras and second-seventh ribs. All the procedures for this study were approved by the ethical committee of Faculty of Medicine, Universitas Indonesia.
Results: In this study, weak and very weak significant correlation was calculated from thoracic vertebras calculation and very weak correlation but no significant of ribs related to chronological age. There were significant correlation between width, height, and diagonal size in all thoracic vertebras and all ribs, which have 14 significant parameters of 2nd, 3rd and 8th thoracic vertebras; 2nd, 3rd and 7th ribs; and total height of thoracic vertebras with an accuracy value of 70.7% for sex determination.
Conclusion: Chest radiograph of thoracic vertebrae and ribs is a useful method for sex and chronological age identification of unknown bodies; however, further studies are still needed to develop examinations with higher accuracy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Primadani Kaurow
"Sinus maksilaris merupakan struktur kraniofasial yang dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin berdasarkan pengukuran morfometriknya dari gambaran CT-scan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya didapakan ukuran morfometrik berbeda-beda pada setiap populasi, karena dipengaruhi oleh faktor ras. Tujuan penelitian ini adalah mencari nilai diagnostik dari ukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi dan volume sinus maksilaris terhadap perkiraan jenis kelamin berdasarkan gambaran CT-Scan Maksilofasial pada suatu populasi dewasa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap 420 sinus maksilaris yang didapatkan dari hasil randomisasi data CT-Scan Maksilofasial pada populasi usia 20-50 tahun di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Analisis bivariat menggunakan uji t tidak berpasangan dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian ini didapatkan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 3,90 ± 0,3 cm dan 3.74 ± 0,3 cm pada panjang; 3.42 ± 0,6 cm dan 3.32 ± 0.5 cm pada lebar; 4.29 ± 0,6 cm dan 3.78 ± 0,4 pada tinggi; dan 7.02 ± 1.8 cc dan 6.52 ± 1.3 cc pada volume. Berdasarkan ukuran panjang, lebar, dan tinggi, didapatkan rumus y = -10,760 + 1,319*(P) – 1,647*(L) + 2,796*(T); dengan nilai cut-off sebesar 0,0606 poin, yang memberikan nilai akurasi 79,2%. Berdasarkan ukuran volume didapatkan rumus y = -1,444 + 0,213*(Volume); dengan nilai cut-off sebesar 0,2845 poin, yang memberikan nilai akurasi 58,3%. Dari penelitian ini didapatkan pengukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan volume sinus maksilaris dari gambaran CT-Scan maksilofasial dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin.

Maxillary sinus is one of maxillofacial structure which can be used in sex estimation based on its morphometric measurement from CT image. Based on the previous studies, the morphometric of maxillary sinus were different in each population, because it was influenced by race. The aim of this study is to find diagnostic value from the morphometric of length, width, height and volume of maxillary sinus from maxillofacial CT image in Indonesian adult population to estimate sex. This study uses a cross-sectional design of 420 maxillary sinus obtained from randomized CT images data in population aged 20-50 years at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Bivariate analysis using independent T-test and multivariate analysis using logistic regression test. In this study, mean score for men and women is (3.90 ± 0.3) cm and (3.74 ± 0.3) cm on length; (3.42 ± 0.6) cm and (3.32 ± 0.5) cm on width; (4.29 ± 0.6) cm and (3.78 ± 0.4) on height; and (7.02 ± 1.8) cc and (6.52 ± 1.3) cc on volume, respectively. Based on length, width and height, estimation formula is y = -10.760 + 1.319*(L) – 1.647*(W) + 2.796*(H); with cut-off 0,0606 point, given accuracy score of 79,2%. Based on volume, estimation formula is y = -1.444 + 0.213*(volume); with cut-off point 0,2845 point, given accuracy score of 58,3%. The study showed that the morphometric measurement of maxillary sinus from CT image can be used to estimate sex."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
James Danandjaja
"Berbeda dengan sangkaan para turis, yang mengunjungi desa Trunyan, penduduk desa tersebut bukan termasuk penduduk "primitif", tetapi termasuk penduduk petani desa yang konservatif. i pulau Bali mereka ini terkenal dengan sebutan Bali Aga, atau Bali Mula. Bali Aga berarti orang Bali dari pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali Asli (Crucq, 1928 : 108). Penduduk Trunyan sendiri tidak suka disebut dengan nama Bali Aga. Mereka lebih senang jika disebut sebagai orang Bali Mula, dan akan berterima kasih jika disebut sebagai orang Bali Turunan. Nama Bali Aga diperolehnya dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri mereka sebagai orang Bali Hindu, dan mereka ini merupakan penduduk mayoritas di pulau Bali. Nama Bali Aga tidak disenangi oleh penduduk Trunyan karena mempunyai arti tambahan yang merendahkan martabat mereka, yaitu sebagai "orang gunung yang bodoh". Disamping itu juga orang Bali Aga dianggap oleh orang Bali Hindu sebagai penduduk asli Bali yang memang beragama Hindu, tetapi yang tidak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa. Bagi orang Bali Hindu, yang menganggap diri mereka sebagai orang beradab yang mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Majapahit, maka hal-hal yang bukan terpengaruh oleh kebudayaan Jawa Majapahit dianggap kasar dan tidak beradab (Goris, 1960 : 294).
Berdasarkan folk etimologi mereka, penduduk Trunyan lebih senang jika disebut dengan nama Bali Mula, atau lebih balk lagi Bali Turunan, karena nama Mula menunjukkan bahwa mereka adalah penduduk asli pulau Bali, sedangkan orang Bali Hindu bukan. Orang Trunyan sangat suka jika disebat Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka "turun" dari langit ke bumi Trunyan. Jadi nama Bali Turunan berarti orang Bali yang turun langsung dari langit ke Bali. Mereka menganggap diri mereka berbeda dengan orang Bali Hindu, yang mereka panggil dengan sebutan Bali Suku, karena orang Bali Suku bukan penduduk asli pulau Bali, melainkan pendatang dari pulau Jawa yang masuk ke pulau Bali dengan suku(:kaki) atau berjalan kaki.
Untuk membenarkan pendapat di atas, orang Trunyan mempunyai satu mite (dongeng suci) mengenai asal usul penduduk Trunyan, yang menceritakan bahwa leluhur wanita mereka adalah seorang Dewi dari Langit yang diusir dari kahyangan (entah karena dosa apa), untuk turun ke suatu tempat di bumi yang kemudian terkenal dengan nama desa Trunyan. Rahim Dewi ini kemudian dibuahi secara ajaib oleh matahari (Sang Surya) sehingga mengandung, dan setelah tiba waktunya Sang Dewi melahirkan sepasang anak kembar, seorang diantaranya adalah anak banci dan seorang lagi anak perempuan. Setelah kejadian ini Sang Dewi kemudian kembali ke Kahyangan. Putri dewi tersebut kemudian kawin dengan seorang putra Raja Jawa (Dalem Solo), yang datang ke Trunyan karena tertarik oleh bau-bauan harum yang dipancarkan oleh sebatang taru (pohon) menyan yang tumbuh di Trunyan. Dari kedua insan dan dewi ini, kemadian diturunkan penduduk Trunyan yang sekarang ini.
Kejadian mengenai adanya seorang Dewi turun ke bumi ini, yaitu turun hyang, dan adanya pohon taro menyan yang memancarkan bau-bauan wangi sehingga dapat menarik kedatangan putra Dalem Solo, menimbulkan dua macam keterangan mengenai asal usul nama Trunyan. Keterangan yang per-tama mengatakan Trunyan berasal dari kata-kata turun dan hyang yang barasimilasi menjadi sata kata; dan yang kedua mengatakan berasal dari kata-kata taro dan menyan. Putra Dalem Solo dengan istrinya (putri Dewi) yang merupakan cakal bakal desa Trunyan, kemudian setelah meninggal diangkat menjadi Dewa Tertinggi orang Trunyan dengan gelar Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1977
D93
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
James Danandjaja
Jakarta : Balai Pustaka, 1985
959.86 JAM u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
James Danandjaja
Jakarta: Balai Pustaka, 1985
306.059 JAM p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Godjali
"Latar Belakang: Dalam identifikasi odontologi forensik, diperlukan penentuan jenis kelamin dan ras.
Tujuan: Menenentukan jenis kelamin dan ras berdasarkan ukuran mesiodistal (MD) dan bukolingual (BL) gigi kaninus rahang bawah, beserta nilai referensinya.
Metode: Dilakukan pengukuran MD dan BL gigi C RB pada populasi suku Batak dan Tionghoa, selanjutnya ditetapkan nilai referensinya.
Hasil: Ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD dan BL pada pengujian antar jenis kelamin (p<0,05). Pada pengujian antar ras ditemukan perbedaan signifikan ukuran MD, namun tidak pada ukuran BL. Pada penentuan jenis kelamin nilai referensi ukuran MD 6,942 mm dan BL 7,527 mm. Pada penentuan ras, nilai referensi pada laki-laki ukuran MD 7,529 mm dan BL 7,845 mm, sedangkan perempuan MD 6,643 mm dan BL 7,210 mm.
Kesimpulan: Ukuran MD dan BL gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin dan ras.

Background: In odontologic forensic identification, determining sex and race are important.
Objectives: To determine race and sex by using mesiodistal (MD) and buccolingual (BL) measurements of mandibular canines and to obtain their reference points.
Methods: Measured MD and BL mandibular canines measurements of Batak and Chinese in Indonesia, then calculated the reference points.
Results: There is significant difference of MD and BL measurements between sex (p<0,05). There is significant difference of MD measurement between races but there isn’t on BL measurement. To determine sex, reference point for MD measurement is 6,942 mm and BL is 7,527 mm. To determine race, reference point for men is 7,529 mm for MD and 7,845 mm for BL, for women is 6,643 mm for MD and 7,210 mm for BL.
Conclusions: Mesiodistal and buccolingual measurements can be used to determine sex and race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Denys Putra Alim
"Latar Belakang: Pembuktian identitas jenazah harus secara ilmiah guna memenuhi tanggung jawab profesi dan keadilan hak asasi manusia karena diatur oleh UU Indonesia. Ada potensi tinggi dari tulang sternum untuk menjadi acuan baru identifikasi forensik.
Tujuan: Mengetahui peranan tulang dada dari gambaran CT-scan populasi dewasa untuk proses identifikasi forensik di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 95 laki-laki dan 110 perempuan populasi Indonesia yang berusia antara 20-70 tahun dan menjalani pemeriksaan CT scan dada di Departemen Radiologi RSCM secara konsekutif. Data klinis mencakup usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan suku sedangkan data radiologis mencakup skor osifikasi sternum dan iga, morfometrik sternum, dan variasi anatomis xiphoid. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear maupun logistik serta kurva AUROC untuk memprediksi luaran penelitian. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil: Skor total osifikasi tulang dada berkorelasi kuat dengan usia (rs = 0,541) dengan persamaan prediksi usia secara umum = 20,417 + 4,927*LOS (osifikasi iga ujung sternal kiri) + 2,667*LOF (osifikasi iga pertama kiri) + 2,098*FX (fusi xiphisternal) (aR2 = 41,9%, SEE 9,95 tahun). Seluruh parameter morfometrik sternum berhubungan dengan jenis kelamin (p<0,05). Gabungan parameter panjang korpus, lebar sternebra 1, dan indeks sternum memiliki nilai prediksi jenis kelamin sebesar 87,3%. Terdapat korelasi panjang tulang dada dengan tinggi badan (r = 0,712) dengan persamaan tinggi badan = 97,422 + 0,466*CL (panjang sternum) (aR2 = 50,5%, SEE 5,84 cm). Tidak terdapat hubungan antara morfometrik sternum dengan daerah asal suku. Variasi anatomis sternum yang paling langka adalah ujung xiphoid trifid, terdapat suprasternal bones dan iga bifid.
Kesimpulan: Sternum dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik untuk penentuan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.

Background: The process of personal identification must be conducted scientifically in order to fulfill the professional responsibility and human rights justice as regulated by the Indonesian Law. There is a high potential for the sternal bone to become a new reference in forensic identification.
Aim: To know the role of sternal bone from CT-scan images of adult population for the forensic identification process in Indonesia.
Method: This cross-sectional study was carried out on 95 males and 110 females of Indonesian population aged between 20-70 years who undergo a chest CT-scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta consecutively. Clinical data include age, sex, stature, and tribes while radiological data include sternal and rib ossification scores, sternal mrophometrics, and xiphoid anatomical variations. Data were analysed using IBM SPSS version 20.0 with unpaired t-test, Pearson or Spearman correlation test, linear or logistic regression and AUROC to estimate age and height and also determine sex. All p values < 0.05 were considerd statistically significant.
Result: Total ossification score was positively correlated with age (rs = 0.541) with the regression formula for age estimation is 20.417 + 4.927*LOS (ribs ossification at left sternal end) + 2.667*LOF (left first rib ossification) + 2.098*FX (fusion of xiphisternal) which yielded aR2 of 41.9% and SEE 9.95 years. All sternal morphometrics parameters were related to sex determination (p < 0.05). The combination of parameters sternal body length, sternebrae 1 width, and sternal index has a correct gender prediction rate of 87.3%. There is a positive correlation between sternal length and height (r = 0.712) with the regression formula for stature estimation is 97.422 + 0.466*CL (combined sternal length) which yielded aR2 of 50.5% and SEE 5.84 cm. There is no relationship between sternal morphometrics and the origin of tribes. The rarest sternal anatomical variations are trifid xiphoid ends, suprasternal bones, dan bifid ribs.
Conclusion: The sternal bone can be used as a reference for forensic identification in estimating the age and height and also determining sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>