Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194341 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Ridwan Kafara
"Formalisme hukum yang kering terhadap rasa keadilan, demi logika peraturan harus dikaji secara filosofis. Hans Kelsen seorang filsuf penganut formalisme hukum dalam teori hukum murninya menyatakan bahwa hukum seharusnya hanya terdiri dari norma-norma hukum dengan memisahkan materi dan bentuk, setelah menjadi positif, hukum harus dipahami hanya sebagai hukum dan teori hukum fokus pada normatif dan positif. Critical Legal Studies menempatkan hukum dalam konteks sosial, dengan menolak pandangan formalisme yang mengisolasi hukum dari faktor seperti politik, ekonomi, psikologi, dan moral dan menerapkan kritik terhadap ketidaknetralan dan tendensi politis dalam praktik hukum. Metode penelitian dipakai adalah kritik paradigma kritis dari critical legal studies. Teori hukum murni, buku pure theory of law Hans Kelsen dan buku-buku filsafat dan hukum terkait. Tujuannya adalah untuk melihat relevansi teori hukum murni dengan keadaan hukum pidana di Indonesia. Pembahasannya mencakup narasi hukum dan kritikan di Indonesia terkait Hans Kelsen, dengan tujuan membandingkan dan menguraikan keyakinannya. Penelitiannya menggunakan beberapa pemikiran sebagai kerangka analisis dan teoritis. Saya menggunakan kerangka teori untuk membahas relevansi teori hukum murni, terutama dengan pemikiran Hans Kelsen, terhadap hukum pidana Indonesia. yakni teori hukum positif umum. Ini mencakup aspek etika, politik, sosiologi, antropologi, psikologi, dan ekonomi. Kelsen: Mempengaruhi pembuatan hukum, tetapi hanya hukum positif yang dianggap sebagai hukum. Critical Legal Studies menolak pandangan normatif dan formalisme dalam undang-undang karena sebenarnya memiliki nilai kepentingan dari si pembuat. Critical Legal Studies faktor non- hukum yang mempengaruhi hukum untuk legislasi. Hukum tidak netral dan doktrin hukum tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan dalam konteks sosial-politik dan hukum pidana Indonesia harus fokus pada nilai-nilai keadilan,dan demokrasi.

The dry legal formalism against the sense of justice, for the sake of the logic of the regulation, must be studied philosophically. Hans Kelsen, a philosopher who adheres to legal formalism in his pure legal theory, stated that law should consist only of legal norms by separating matter and form, after becoming positive, law should be understood only as law and legal theory focuses on normative and positive. Critical Legal Studies places law in a social context, by rejecting the formalist view that isolates law from factors such as politics, economics, psychology and morals and applying criticism of non- neutrality and political tendencies in legal practice. The research method used is critical paradigm criticism from Critical Legal Studies. Pure theory of law, Hans Kelsen's pure theory of law book and related philosophy and law books. The aim is to see the relevance of pure theory of law to the state of criminal law in Indonesia. The discussion includes legal narratives and criticism in Indonesia regarding Hans Kelsen, with the aim of comparing and explaining his beliefs. His research uses several ideas as an analytical and theoretical framework. I use a theoretical framework to discuss the relevance of pure theory of law, especially Hans Kelsen's thinking, to Indonesian criminal law. namely general positive law theory. It covers aspects of ethics, politics, sociology, anthropology, psychology, and economics. Kelsen: Influences lawmaking, but only positive law is considered law. Critical Legal Studies rejects normative views and formalism in laws because they actually value the interests of the maker. Critical Legal Studies non-legal factors that influence law for legislation. The law is not neutral and legal doctrine is not sufficient to resolve problems in a socio-political context. Criticism of Kelsen's legal theory of Indonesian criminal law must focus on the values of justice and democracy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Konstitusi Press, 2012
340 JIM t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Khudzaifah Dimyati
Yogyakarta: Genta, 2014
341 KHU p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Khudzaifah Dimyati
Yogyakarta: Genta, 2014
341 KHU p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
[Place of publication not identified]: Konstitusi Press, 2006
340 JIM t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Sumakto
"Tulisan ini merupakan suatu refleksi terhadap perkembangan pemikiran [teori] hukum dan filsafat hukum Kelsen. Bertolak dari keinginan memperoleh pemahaman yang lebih lengkap mengenai konstruktivisme [epistemologi] hukum dalam perkembangan Teori Hukum Murni Kelsen itu. Kajian ini bertujuan menguji dan mengkritisi klaim bahwa apakah benar teori hukum yang dikembangkan Kelsen itu merupakan "Teori Murni", atau sebaliknya pasti "tidak murni". Dalam mengkonstruksi Teori Hukum Murni, Kelsen menekankan pada "kemurnian" dengan berusaha membebaskan obyeknya dari segala sesuatu yang bukan hukum. Kemurnian teori ini ialah independensi ("kemandirian") hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah. Karena teori itu terarah pada kognisi yang difokuskan pada hukum itu sendiri, dan kemurnian ini berlaku sebagai "prinsip dasar metodologisnya".
Pertanyaan-pertanyaan pokok [inti] yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah Kelsen mengembangkan "konstruktivisme" [epistemologi] hukum dalam menyusun "kemurnian" teori hukum pada keseluruhan pandangan Teori Hukum Murni?; (2) Apakah Teori Hukum Murni Kelsen dipengaruhi oleh epistemologi neo-Kantianisme? Terutama pengaruh dari pengetahuan transendental Kant yang dikembangkan oleh kaum neo-Kantian; (3) Apakah Kelsen mampu mempertahankan konsistensi ide-ide dan pemikirannya yang dikonstruksi sendiri dalam perkembangan keseluruhan [struktur] Teori Hukum Murni?
Untuk itu, penelitian ini hendak membuktikan, yaitu: seandainya "kemurnian" dari teori hukum Kelsen mampu dipertahankan dari pengaruh elemen-elemen bukan hukum, [atau dengan kata lain, bisa dijamin dalam dua arah, yaitu melawan klaim dari sudut pandang sosiologis dan klaim dari teori hukum kodrat] dari sejak face awal sampai pada perkembangan terakhir dari teori hukumnya itu ketika ia meninggal, maka teori hukum Kelsen bisa disebut sebagai Teori Hukum Murni. Namun, sebaliknya jika "kemurnian" dari teori itu tidak berhasil dipertahankan dan Kelsen mulai meninggalkan konstruktivisme [epistemologi] hukum sebagai landasan Teori Hukum Murni, bagaimanakah bentuk terakhir Teori Hukum Murni Kelsen?
Teori Hukum Murni Kelsen kerapkali dinisbatkan kepada tradisi positivistis dan tradisi pemikiran neo-Kantian. Perkembangan Teori Hukum Murni tidak dapat dilepaskan dari [mengabaikan] pengaruh tradisi positivistis dan tradisi neo-Kantian. Kecenderungan tradisi filosofis yang berbeda dalam pemikiran Kelsen ini tidak hanya sulit didamaikan, tetapi juga sangat bertolak belakang [bertentangan] secara radikal satu sama lain. Karena itu, sejumlah ide Kelsen yang berasal dari salah satu tradisi ini hams dihilangkan [diabaikan] dalam rangka menjadikan Teori Hukum Murni yang utuh. Tradisi manakah yang patut dipertahankan, itu hares ditelusuri konstruksi pemikiran Kelsen melalui penelitian ini sehingga ditemukan apakah pandangan positivistis atau pandangan Kantian menjadi pilihan ini.
Penelitian ini telah memeriksa dan menunjukkan bahwa Kelsen melakukan refleksi dengan menggunakan teori pengetahuan Kant [epistemologi Kant] dalam membekikan pendasaran transendental dari teori Murni. Namun, argumen Kelsen mengenai "Grundnorm" ("Norma dasar"), atas nama kategori hukum fundamental, berfungsi sebagai pengandaian ilmu hukum yang perlu bersifat hipotetis dan dipahami sebagai "dasar" terakhir bagi keabsahan seluruh sistem; bagaimanapun tetap saja problematis, ketika dirumuskan dan ditafsirkan dalam memberikan satu landasan neo-Kantian bagi Teori Hukum Murni. Konsepsi norma dasar ini diajukan, sebagai mendasari keabsahan obyektif dari hukum sebagai satu kesatuan sistem norma-norma hukum yang mengikat. Namun, solusi Kelsen mengenai masalah menetapkan keabsahan hukum ini masih tidak memuaskan dan doktrin norma dasar sebagai kategori transendental selalu memperoleh kecaman dan penolakan dari para filsuf hukum. Upaya Kelsen menjelaskan konsep keabsahan sebagai kekuatan mengikat sesuai dengan konsepsi positives dan ilmu hukum berdasarkan doktrin norma dasar dapat disimpulkan telah berakhir dengan kegagalan.
Kelsen tidak mampu menjelaskan status norma dasar dalam memberi landasan kepada keabsahan hukum. Apakah "norma dasar" hanya merupakan asumsi konseptual atau sebagai norma yang sejati dan mengikat? Ketidakmampuan Kelsen menjelaskan status norma dasar yang dinilai oleh ilmuwan hukum sebagai membingungkan dan mengacaukan bagi suatu sistem hukum. Penolakan terhadap argumen Kelsen ini karena kita menemukan ketidakkonsistenan radikal dalam teori Murni, Ketidakkonsistenan radikal antara doktrin pengandaian dan positivisme hukum dalam Teori Hukum Murni secara prinsip timbul ketika Kelsen mengusulkan pemecahan persoalan keabsahan hukum melalui doktrin pengandaian, di satu pihak, dan cara di mana ia mengusulkan kesesuaiannya dengan positivisme hukum, di pihak lain. Dalam menutup persoalan ini, Kelsen tidak mampu mempertahankan konsistensi dari pemikirannya yang dikonstruksi sendiri dalam perkembangan keseluruhan [struktur] Teori Hukum Murni?
Kelsen tetap memakai peranan norma dasar tampil dalam perkembangan terakhir dari Teori Hukum Murni. Dalam General Theory of Norms, 1991 Kelsen menggambarkan keabsahan dipengaruhi norma dasar dalam silogism teoritis (meliputi pernyataan ilmu hukum, bukan norma-norma itu sendiri). Di sini, Kelsen mengklaim norma dasar qua fiksi [khayalan]. Tetapi ini sepenuhnya tidak konsisten, norma fiksi tidak dapat mensahkan norma positif dan pernyataan-pernyataan ilmu hukum tidak dapat mensahkan atau menciptakan norma-norma. Kelsen telah menggambarkan penggantian keabsahan proposisi-proposisi dengan proposisi juridis-deontik mewakili, inter alia, pembebasan karakter ilmu hukum normatif, dan peranan logika dalam hukum ditampilkan [di mana Kelsen mengklaim bahwa tidak ada logika norma-norma]. Teori Hukum Murni dikuruskan oleh Kelsen dari landasan neo-Kantian yang telah dijadikan teori, dalam bentuk klasiknya, dikenal sebagai hampir khas [spesifrk]. Perkembangan konsepsi Kelsen mengenai peranan logika norma-norma benar-benar menggambarkan konsekuensi-konsekuensi terakhir dari pemikiran Kelsen sebelumnya, dengan mengeluarkan rasio seluruhnya dari dunia normatif Karena itu, dapat disebutkan di sini, "normative irrationalism" merupakan bentuk akhir teori Kelsen. Karya Kelsen sebagai versi final dari Teori Hukum Murni ini telah meninggalkan ciriciri yang paling berbeda dari teori ini. Apakah Kelsen mengalami kesulitan dengan teorinya sehingga irrasionalisme normatif perlu dikonstruksi untuk memecahkan? Dalam karya Kelsen yang terakhir ini kita melihat kekuatan Teori Hukum Murni, yaitu norma dasar qua kategori transendental telah digantikan dengan fiksi. Kajian ini ditutup dengan meminjam kata-kata Michael Hurtney, bahwa karya terakhir ini merupakan benih-benih kontradiksi dan Kelsen di sini dipengaruhi "dekonstruksi"-[nya] sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johnny Ibrahim
Malang : Bayumedia, 2006
340.01 JOH t (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Marthin James
"Mengirim uang, membicarakan hal-hal pribadi, berkomunikasi secara langsung maupun virtual seperti melalui telepon atau video call, dan unsur-unsur emosional lainnya merupakan hal-hal umum yang terjadi dalam sebuah hubungan. Namun, dimungkinkan ada keadaan di mana unsur emosional ini digunakan sebagai sarana manipulasi untuk mendapatkan keuntungan atau dikenal sebagai Love Scam. Bila hal tersebut terjadi sulit memastikan apakah pemberian korban sepenuhnya bersifat sukarela atau merupakan hasil upaya manipulasi yang dipergunakan pelaku. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan unsur tindakan love scam terhadap aturan perbuatan manipulasi, perbuatan curang, dan/atau penipuan di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bentuk dari penelitian ini adalah yuridis normatif, dimana sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilengkapi dengan pandangan Aparat Penegak Hukum dalam menangani dan menyelesaikan setiap kasus berkenaan dengan love scam, yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil yaitu love scam tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tetapi upaya penegakan hukum terhadap tindakan love scam ini tetap dapat dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 378 KUHP dan Pasal 35 UU ITE.

Sending money, talking about personal things, communicating in person or virtual such as via telephone or video calls, and other emotional elements are common things that happen in a relationship. However, there may be circumstances in which this emotional element is used as a means of manipulation for profit otherwise known as the Love Scam. When this happens, it is difficult to ascertain whether the victim's gift is completely voluntary or is the result of manipulation by the perpetrator. Based on this, this study aims to find out how to fulfill the elements of love scam action against the rules of manipulation, fraud, and/or fraud in Indonesia according to the Criminal Code and the Information and Electronic Transaction Law. The form of this research is normative juridical, where the data source is obtained from secondary data which is equipped with the views of Law Enforcement Officials in handling and resolving each case regarding a love scam, which is then analyzed descriptively qualitatively. Based on the research, the results obtained are that love scams are not specifically regulated in Indonesian laws and regulations. However, law enforcement efforts against love scams can still be carried out based on the provisions of Article 378 of the Criminal Code and Article 35 of the ITE Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arif Ramiza
"Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar.

Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rompas, Kevin Bryan Simon
"Penelitian ini membedah tentang sewa pacar, dengan memulai dari sejarah dan perkembangan konsep dari pacaran sebagai objek yang disewakan dalam sewa pacar, lalu melanjutkan pada praktik sewa pacar itu sendiri dengan menggunakan ilmu kriminologi sebagai pisau bedahnya, kemudian melihat hasil dari pembedahan tersebut dengan menggunakan lensa politik hukum pidana dan lensa hukum pidana, juga menyarankan metode yang tepat untuk menanggulangi sewa pacar. Penelitian ini menggunakan gabungan dari metode penelitian non-doktrinal dan metode penelitian doktrinal. Sewa pacar dalam pembedahan secara kriminologis menghasilkan bahwa sewa pacar adalah kriminogen atau sesuatu yang menciptakan adanya tindak-tindak pidana dan menempatkan pemberi jasa sewa pacar sebagai pihak yang rentan terhadap kejahatan. Dalam pandangan lensa politik hukum pidana, sewa pacar telah bertentangan dengan tujuan dari politik hukum pidana yang selaras dengan tujuan dari keseluruhan politik kriminal Indonesia. Keseluruhan politik kriminal Indonesia atau disebut juga social defence planning merupakan bagian yang terintegrasi dengan politik sosial negara Indonesia. Politik sosial negara Indonesia diatur dalam Rencana Pembangunan Nasional (UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), sehingga tujuan dari politik kriminal ini juga selaras dengan tujuan pembangunan nasional yang memperhatikan semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sewa pacar menjadi bertentangan dengan politik hukum pidana karena keberadaan dari sewa pacar mengancam bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangan lensa hukum pidana, sewa pacar secara kualifikasi bukan merupakan tindak pidana, oleh sebab tidak adanya delik yang secara khusus mengatur tentang sewa pacar. Akan tetapi secara konseptual, unsur-unsur yang terkandung dalam sewa pacar seperti: menawarkan, menyepakati dan memberikan jasa seksual, itu ada diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama dan baru maupun peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP, khususnya delik yang berhubungan dengan bidang kesusilaan masyarakat. Proses untuk menghubungkan antara sewa pacar dan tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum, yaitu penafsiran hukum.

This research dissects the phenomenon of renting a boyfriend/girlfriend starting from the history and development of the concept of dating as an object that is being rented out in said phenomenon, then continuing to the practice of renting a boyfriend/girlfriend itself using criminology as a scalpel to further looking at the results through the lenses of criminal law and political criminal law while also suggest appropriate methods for dealing with boyfriend/girlfriend rent. This research uses a combination of doctrinal and non-doctrinal research methods. Renting a boyfriend/girlfriend  analysed through criminological perspective resulting in it being a criminogen, something that concoct criminal acts and subjecting the perpetrator of renting a boyfriend/girlfriend  as a party vulnerable to crime. From the perspective of political criminal law, renting a boyfriend/girlfriend is contrary to the objectives of criminal legal politics which are in line with the objectives of the entire Indonesian criminal politics. The entire Indonesian criminal politics or also known as “social defence planning” is an integrated part of the social politics of the Indonesian state. The social politics of the Indonesian state are regulated in the National Development Plan (Law Number 25 of 2004 concerning the National Development Planning System), so that the goals of criminal politics are also in line with national development goals which pay attention to all areas of the life of the Indonesian nation. Renting a girlfriend is in conflict with criminal law politics because the existence of renting a boyfriend/girlfriend threatens the areas of life of the Indonesian. From a criminal law perspective, renting a boyfriend/girlfriend is not a criminal offence because there are no offences specifically regulating renting a boyfriend/girlfriend. However, conceptually, the elements contained in renting a boyfriend/girlfriend, such as: offering, agreeing to and providing sexual services, are regulated by the old and new Criminal Code (KUHP) as well as other laws and regulations outside the Criminal Code, in particular offences related to the field of public morality. The process of connecting between renting a girlfriend and criminal acts in criminal law is carried out using the legal discovery method, namely legal interpretation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>