Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deborah, Victoria Christine
"Salah satu permasalahan penting yang membahayakan komitmen Indonesia terhadap keadilan dan hak asasi manusia adalah korupsi dalam sistem hukum. Tesis ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana korupsi berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan akses hukum dalam penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan kerangka teori konsepsi keadilan Aristoteles dan John Rawls serta Fraud Triangle Theory karya Donald Cressey, penelitian ini menunjukkan bagaimana perilaku korup aparat penegak hukum seperti pemerasan dan penyuapan berujung pada prasangka dan ketidakadilan dalam sistem peradilan.
Temuan utama penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi menyebabkan pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar masyarakat, khususnya hak untuk diperlakukan secara adil dan setara di pengadilan. Komunitas miskin dan rentan menderita karena ketidakmampuan sistem hukum untuk menegakkan keadilan secara adil, sehingga memperburuk kesenjangan sosial. Lebih lanjut, penelitian ini menekankan perlunya reformasi sistem peradilan secara menyeluruh untuk meningkatkan akuntabilitas, keterbukaan, dan penerapan undang-undang antikorupsi yang lebih kuat.
Kesimpulannya, korupsi dalam sistem hukum menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia meluas dan merugikan integritas penegakan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah pemberantasan korupsi harus diutamakan untuk mencapai keadilan sejati dan menjaga hak asasi manusia di Indonesia.

One critical issue that jeopardizes Indonesia's commitment to justice and human rights is corruption in the legal system. This thesis aims to examine how corruption affects human rights abuses and legal access in Indonesian law enforcement. Based on the theoretical frameworks of Aristotle's and John Rawls' conception of justice and Donald Cressey's Fraud Triangle Theory, this study shows how law enforcement personnel's corrupt behaviors like extortion and bribery lead to prejudice and injustice in the judicial system.
The research's primary conclusions demonstrate that corruption leads to grave abuses of people's fundamental rights, particularly the right to be treated fairly and equally in court. Poor and vulnerable communities suffer from an unjust legal system's incapacity to administer justice fairly, which exacerbates social inequality. Furthermore, this study emphasizes the need for thorough justice system reform to improve accountability, openness, and the application of stronger anti-corruption laws.
In conclusion, corruption in the legal system causes widespread human rights violations and harms the integrity of law enforcement. Therefore, measures to combat corruption must be given high importance in order to achieve true justice and safeguard human rights in Indonesia.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Timotius Benjamin Ebenezer
"Skripsi ini meneliti mengenai keterbatasan hukum dalam penanganan kasus PT ASABRI yang memiliki dimensi tindak pidana korupsi dan tindak pidana pasar modal. Secara khusus, skripsi ini juga meneliti terkait bagaimana instansi kejaksaan selaku penyidik dan penuntut umum dalam menindak kasus PT ASABRI diharuskan melakukan pilihan dalam melakukan penuntutan pidana terhadap kasus PT ASABRI, yaitu memilih antara mekanisme tindak pidana korupsi atau tindak pidana pasar modal. Kejaksaan dihadapkan dengan pilihan tersebut karena kasus PT ASABRI yang menimbulkan kerugian keuangan negara yang begitu fantastis dilakukan dengan melakukan serangkaian perbuatan yang melibatkan adanya manipulasi harga di bursa pasar modal. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi preskriptif. Permasalahan dalam skripsi ini adalah adanya bagaimana kejaksaan sebagai dominus litis menentukan penggunaan tindak pidana korupsi atau tindak pidana pasar modal dalam penindakan perkara PT ASABRI. Selain itu, permasalahan dalam skripsi ini juga bagaimana faktor-faktor hukum acara dan kompetensi dari pengadilan tindak pidana korupsi memengaruhi pengambilan keputusan oleh Kejaksaan tersebut. Penggunaan asas kemanfaatan dalam mencapai pilihan tersebut juga menjadi salah satu pembahasan dalam skripsi ini. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah pemilihan penggunaan mekanisme tindak pidana korupsi oleh kejaksaan dalam penanganan kasus PT ASABRI telah tepat dilakukan karena sesuai dengan asas kemanfaatan dan asas systematiche specialiteit dalam hukum acara.

This thesis examines the legal limitations in the prosecution the PT ASABRI case which has both a corruption crime and a capital market crime dimension. In particular, this thesis also examines how the AGO as the investigator and public prosecutor in taking action against the PT ASABRI case is required to make choices in conducting criminal prosecution of the PT ASABRI case, namely choosing between the mechanism of corruption crimes or capital market crimes. The AGO is faced with this choice because the PT ASABRI case which caused fantastic state financial losses was carried out by committing a series of actions involving price manipulation on the capital market exchange. In conducting research, the author uses doctrinal research methods with prescriptive typology. The problem in this thesis is how the prosecutor's office as dominus litis determines the use of corruption crimes or capital market crimes in the prosecution of the PT ASABRI case. In addition, the problem in this thesis is also how the factors of procedural law and the competence of the corruption court affect the decision making by the AGO. The use of the principle of expediency in achieving this choice is also one of the discussions in this thesis. The conclusion of the problem is that the selection of the use of the corruption mechanism by the AGO in handling the PT ASABRI case is appropriate because it is in accordance with the principle of expediency and the principle of systematiche specialiteit in procedural law."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadaris Samulia Has
"Tak ada hal yang lebih memilukan barangkali dari kekerasan dan permusuhan antara kelompok yang terjadi di Ambon atau Maluku pada umumnya.Tak ada kata yang menggambarkan secara tepat apa yang sesungguhnya terjadi di kawasan yang penduduknya plural ini.
Tesis yang berjudul Pelanggaran Hak Asasi Manusia ()lab Aparat Keamanan (TNI dan POLRI) Dalam Penanganan Konflik Di Ambon, mencoba untuk melihat faktor-faktor penyebab pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang justru terjadi pada saat proses penanganan konflik yang dilakukan, oleh aparat keamanan, mengakibatkan pelanggaran yang bersifat vertikal dan melihat bagaimana bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh TNI dan POLRI dalam penanganan konflik tersebut.
Masuknya unsur-unsur Negara dan kekuatan militer dalam konflik yang terjadi bukanya tanpa resiko, kemungkinan terbesar dari faktor resiko itu adalah penggunaan alat-alat kekerasan yang paling dikuasai militer, maka muncul penyelesaian konflik kekerasan dengan cara-cara yang tidak beda dengan kekerasan itu sendiri.
Dalam menganalisa persoalan tersebut digunakan beberapa tinjauan pustaka seperti definisi dari konflik, konflik sosial, sifat koflik, jenis-jenis konflik, sifat dari masyarakat majemuk, Tahapan dari penyelesaian konflik (conflict resolution), konsepsi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan instrument pokok perlindungan Hak Asasi Manusia baik yang bersifat nasional dan internasional.
Selain untuk lebih mendekatkan pada permasalahan penulis juga menggunakan beberapa tinjauan pustaka dari konsepsi militer profesioanal dan peran militer dalam sosial politik khususnya Dwifungsi ABRI, sosialisasi Hak Asasi manusia bagi kalangan aparat keamanan merupakan salah satu pokok bahasan pula.
Metode Penelitian tesis ini berssifat library research dimana digunakan data sekunder, inventarisasi peraturan perundang-undangan atau lainya serta dokumentasi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di daerah konflik, disamping itu penulis juga mengunakan data yang bersifat penelitian yang sudah dilakukan oleh beberapa institusi yang dapat dipertanggung jawabkan ke absahanya.

It seems that human rights violation and mass conflict happening in Ambon and Moluccas are more sorrowful than other things ever. One finds no precise word to describe what is going on in such a plural region.
This Thesis entitled "Human Rights Violation by the Military and Police Officers in the Conflict Resolution Process in Ambon", tries to reveal some reasons of the Human Rights violation that simply happened as the conflict resolution process was undertaken by military and police officers resulting in vertical violation, and observes how Human Rights violation by TNI and POLRI emerges in the conflict resolution.
Involved elements of the state and military forces in the ongoing conflict are not without risks; the major risk factor is using mostly military-controlled violation instruments and that mass conflict and human rights violation are settled in the same process as the violation itself.
Analyzing the case, one uses library research such as definitions of conflict, social conflict, types of conflict, characteristics of plural community, phases of conflict resolution, conception of Human Rights violation and principal instruments of securing both national and international Human Rights.
Besides approaching to the problem statement, the author also applies library researches of professional military conception and military roles in social and political situation especially "Dwifungsi ABRI" (Indonesian Armed Forces' Dual Functions)?nd socialization of Human Rights to the security agents as a problem, as well.
Research methodology employed in this thesis is Library Research where the author uses secondary data, inventory of legislation and others, and documentation of the ongoing events in the conflict area. Moreover, the author applies data of researches carried out by several institutions for which one is liable for their validity.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T19394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlan Zamzami Sitio
"Hak atas Kesehatan right to health merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar dari setiap individu dan tidak dapat dihilangkan. Setelah diamandemen, Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa; “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Kemudian, pasal 98 Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas sediaan farmasi dan alat kesehatan yang aman, bermanfaat, bermutu dan terjangkau. Meski begitu, hingga saat ini pemerintah masih mengenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap alat kesehatan impor, padahal 91,7 persen kebutuhan alat kesehatan dalam negeri dipasok oleh barang impor. Tentu saja, pengenaan bea masuk dan PDRI alat kesehatan tersebut akan berimbas pada bertambahnya biaya pengadaan alat kesehatan. Penelitian ini ingin menganalisis korelasi antara pengenaan tarif bea masuk dan PDRI alat kesehatan tersebut dengan prinsip pemenuhan hak dasar kesehatan yang diamanatkan peraturan perundang–undangan, sehingga penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian dilakukan dengan batasan penggunaan data sekunder dan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Berdasarkan studi yang dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa pengenaan bea masuk dan pajak impor terhadap alat kesehatan tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, bahwa sediaan alat kesehatan harus bermutu dan terjangkau. Oleh karena itu, penelitian ini menyarakan agar pemerintah berkenan meninjau ulang pengaturan tarif bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap alat kesehatan demi pemenuhan akses kesehatan untuk setiap orang.
The right to health is one of the human rights listed in the Universal Declaration of Human Rights as a basic right of every individual and is non-derogable. Post-amendment, Article 34 paragraph (3) of the 1945 Constitution mandates; "The state is responsible for the provision of adequate health care facilities and public services." Additionally, article 98 of the Health Act confirms that the Government is responsible for the supply of pharmaceutical and medical devices that are safe, beneficial, qualified, and affordable. However, to this day the government still imposes import duties and taxes (PDRI) for imported medical devices, even though 91.7 percent of domestic medical device demands are supplied by imported goods. Naturally, the imposition of import duties and PDRI for medical devices will impact in increasing the costs of procurement of medical devices. This study aims to analyze the correlation between the imposition of import duty tariffs as well as the PDRI of medical devices and the principle of fulfilling the basic health rights mandated by laws and regulations. Therefore, this research was conducted in a juridical-normative approach. This study was conducted within the limitation of secondary data. Tools of data collection were in the form of document studies and interviews. Based on the conducted study, the researcher concluded that the imposition of import duties and taxes on medical devices is not in line with the principles mandated by law, specifically in the aspect of qualified and affordable medical device supply. Therefore, this study suggests that the government should consider reassessing the regulation of import duty and tax rates of imports (PDRI) for medical devices in order to fulfill access to health for everyone."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakky Ikhsan Samad
"ABSTRAK
Tesis ini membahas adanya permasalahan pengetatan dan pembatasan pemberian remisi sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 99 Tahun 2012. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana sejarah dan perkembangan pemberian remisi dalam sistem pemidanaan di Indonesia, apakah pengetatan dan pembatasan pemberian remisi bagi terpidana korupsi dan narkotika telah sesuai dalam perspektif sistem pemasyarakatan dan perlindungan HAM, dan bagaimanakah bentuk yang solutif kedepannya dalam menyusun kebijakan pemberian remisi, khususnya terkait dengan adanya pembahasan untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan historis. Data-data yang diperoleh diolah secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, konsep pemberian remisi sangat terkait erat dengan perkembangan tujuan pemidanaan, dan sistem pemasyarakatan yang berlaku. Remisi tidak lagi sebagai suatu reward/hadiah akan tetapi sudah menjadi suatu hak bagi seluruh narapidana. Namun, sejak berlakunya PP Nomor 99 Tahun 2012 kebijakan pemberian remisi ini seolah menempatkan konsep pemberian remisi kembali mundur kebelakang dengan seolah menempatkan konsep remisi sebagai suatu hadiah dari penegak hukum yang tidak sesuai dengan konsep remisi. Kebijakan pemberian remisi dalam PP tersebut secara filosofi telah menyimpangi dan mengingkari konsep pemasyarakatan yang ada. Selain itu, ketentuan PP ini juga telah bertentangan aspek yuridis, sosiologis, dan manajemen pemasyarakatan. PP tersebut juga telah menimbulkan suatu bentuk diskriminasi pemidanaan baik terhadap individu, maupun jenis tindak pidananya yang merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM.

ABSTRACT
This thesis discusses the issue of remissions rsquo restriction and constriction as stipulated in Government Regulation PP Number 99 of 2012. The scope of the study is the history and development of remissions in Indonesian sentencing system, the correspondence between remissions rsquo restriction and constriction for corruption convicts and narcotics to the perspective of correctional system and human rights protection,and thoughtful policy making, particularly on plans to revice Government Regulation No.99 Year 2012.In this study, the method used is normative juridical literature, by using statute approach, analytical approach, and the historical approach. The data that has been acquired and processed qualitatively are then presented systematically. The result of the study concluded that the concept of remission are closely related to the development of sentencing objective and the correctional system implemented.Remission is no longer as a ldquo reward rdquo but has become a right for all prisoners. However, since the regulation No.99 Year 2012 applied, policy of remissions seemed to put the concept into decline as the concept of remission applied by law enforcement is not in accordance with the ideals of remissions itself. Philosophycally, the policy of remissions in that regulation has deviated and denied the concept of correction. In addition, the provisions of this Regulation also has opposed the judicial aspect, sociological, and correctional management. The regulation also has led to various forms of discrimination against both the individual criminalization and the types of criminal acts, which are the form of human rights violation. "
Lengkap +
2017
T47112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Nurseptiana Barzah
"Penggeledahan merupakan bagian pengusutan atau penyidikan. Penggeledahan merupakan suatu tindakan penguasa untuk membatasi kebebasan orang, yaitu melanggar ketenteraman rumah kediaman ataupun melanggar kebebasan privasi pada tubuh seseorang. Tindakan penggeledahan ini bisa saja diambil atas dasar dugaan. Oleh karena itu, seseorang bisa saja sewaktu-waktu digeledah untuk kepentingan penyelidikan dan penegakan hukum. Bahkan penggeledahan ini bisa saja berujung pada penahanan. Meskipun tindakan penggeledahan biasanya dilakukan pada orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi jika seseorang suatu saat digeledah belum berarti seseorang tersebut telah menjadi tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Tindakan penggeledahan ini bisa dilakukan terhadap siapapun. Karena langsung menyangkut hak asasi seseorang, maka penggeledahan harus dilakukan sesuai Undang-Undang. Pengaturan mengenai penggeledahan diatur dalam Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Permasalahan yang dibahas adalah mengenai Kewenangan dalam Penggeledahan dilihat dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis- normatif yaitu dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang terhadap bagaimana Kewenangan dalam Penggeledahan apabila dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia.

A search is part of an investigation. A search is an act of the authorities to restrict people's freedoms, including violating the peace of a residence or violating the privacy of a person's body. These searches can be taken on the basis of suspicion. Therefore, a person can be searched at any time for the purpose of investigation and law enforcement. It may even lead to detention. Although searches are usually carried out on people who have been named as suspects or defendants, if a person is searched at any time, it does not mean that the person has become a suspect, defendant or convict. These searches can be carried out on anyone. Because it directly concerns a person's human rights, the search must be conducted in accordance with the law. The regulation on searches is stipulated in Article 32 of the Criminal Code (KUHAP). The problem discussed is about the Authority in Searches seen from a Human Rights Perspective. This research is a juridical-normative legal research that uses the Law approach to how the Authority in Searches when viewed from a Human Rights perspective."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meirina Fajarwati
"ABSTRAK
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini membuat pemerintah mengambil langkah untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU No 17 tahun 2016 yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur hukuman pidana kebiri kimia yang diberikan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Kebiri kimia ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan jaminan bagi setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Berdasarkan uraian diatas penulis akan menganalisis mengenai politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan bagaimanakah pengaturan mengenai sanksi kebiri kimia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 ditinjau dari perspektif HAM. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa; Pertama, dalam kasus ini dikeluarkannya UU No 17 Tahun 2016 dikarenakan pemerintah beranggapan kasus kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak. Diharapkan dengan sanksi kebiri kimia ini dapat menurunkan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak. Kedua, sanksi kebiri kimia telah mengabaikan dan bertentangan dengan substansi HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu jika dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan maka dapat dikatakan jika UU No 17 Tahun 2016 telah melanggar asas kemanusiaan dan asas dapat dilaksanakan dalam UU No 12 Tahun 2011. Sanksi kebiri kimia juga akan sulit untuk diimplementasikan karena adanya penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjadi eksekutor dalam pelaksanaan kebiri kimia ini. Hal ini dapat menyebabkan sanksi ini menjadi tidak dapat dilaksanakan dan tidak efektif.

ABSTRACT
The number of sexual violence cases that occurs against children over the last few years has prompted the government to take steps an issue Government Regulation in law number 17 year 2016 on the enactment of Government Regulation in lieu of Law on the Republic of Indonesia Number 1 year 2016 on the Second Amendment to Law Number 23 year 2002 on Child Protection. That regulation has imposed the chemical penalty punishment for perpetrators of child sexual abuse. However, this regulation is inconsistent with the provision of Article 28G Paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 which guarantees everyone to be free from torture or degrading treatment of human dignity. Based on the above description, the authors will analyze the legal politics of the establishment of the Law Number 17 year 2016 and how the regulation of chemical in Law Number 17 Year 2016 from the perspective of human rights. From the research result, it can be concluded that; First, in this case the issuance in Law Number 17 year 2016 because the government considers that cases of sexual violence against children is an extraordinary crime and will be threatened and endanger the soul of the child. It is hoped that the sanction of chemical castraction can reduce the number of cases of sexual violence against children. Second, this sanction has ignored and contradicted to the human rights protection which guaranteed in the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 and the other of several laws and regulations. In addition, if be observed from the formulation of legislation it can be said that Law No. 17 of 2016 has violated the principle of humanity which regulated in Law No. 12 year 2011. The sanction of chemical castraction will also be difficult to implement because of the refusal of organization of Indonesian doctor to become executor of this sanction. This causes the sanction of chemical castraction can be unworkable and ineffective."
Lengkap +
2017
T47748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ryanindityo
"Penelitian ini memfokuskan kepada kebijakan Australia yang dikenal dengan istilah Operation Sovereign Borders, terutama mengenai faktor-faktor yang menyebabkan Australia memberlakukan Operation Sovereign Borders dan hak-hak yang dilanggar di dalam melaksanakan Operation Sovereign Borders tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebagai negara yang telah meratifikasi dan menjadi negara pihak dalam Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokolnya Tahun 1967, serta ICCPR, maka seharusnya pelaksanaan Operation Sovereign Borders yang dijalankan oleh Pemerintah Australia tetap tunduk pada kewajiban-kewajiban internasional terkait pencari suaka dan pengungsi yang datang ke negaranya dan tidak melanggar hak-hak mereka.

This research focuses on Australia's policy known as The Operation Sovereign Borders. In particular, it emphasizes on the sources of changes (factors) that causes Australia to establish The Operation Sovereign Borders and the human rights that are breached from the implementation of The Operation Sovereign Borders. This is a qualitative-descriptive research design. The results of this thesis suggest that as a country that has ratified and become a state party of The United Nations Convention and Protocol Relating to The Status of Refugees in The Year 1951 and 1967, and The ICCPR, The Operation Sovereign Borders that is carried out by the Australian Government should be align with its international obligation regarding asylum seekers and refugees entering its territory and does not breach its human rights obligation.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurachman Ramadhan
"ABSTRAK
Saat ini dengan majunya ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang medis memungkinkan pasien berada dalam keadaan terminal dan mengalami sakit yang sangat parah atau dalam keadaan tidak sadar yang berkepanjangan, sehingga mati dengan bantuan dokter adalah salah satu jalan yang terbaik euthanasia untuk mengakhirinya. Jika euthanasia ditinjau dari Hak Hidup sebagai Hak Asasi Manusia seharusnya terdapat konsekwensi logis dari adanya sebuah hak yaitu kebolehan untuk tidak memakai hak itu sendiri yang berarti tidak memakai hak untuk hidup adalah memilih untuk mati saja, dan dalam sebuah tindakan euthanasia terdapat pihak yang turut terlibat seperti dokter dan rumah sakit. Perdebatan mengenai pro dan kontra tindakan euthanasia apakah tindakan tersebut bisa dibenarkan berdasarkan hak hidup sebagai hak asasi manusia menjadi sesuatu yang masih menggantung saat ini. Meskipun tindakan euthanasia illegal dibanyak negara tetapi terdapat negara seperti Belanda, Negara Bagian Amerika Serikat Oregon, dan Australia Negara Bagian Nothern Territory yang melegalkan tindakan euthanasia.

ABSTRACT
Nowadays with advanced science especially in the medical field may leave the patient to be in terminal state and experience very severe illness or in a long time unconscious state, because of that die with the help of a doctor is one of the best ways to end it euthanasia . If euthanasia is viewed from the right to life as a human right perspective, there should be a logical consequence of the existence of a right, that is, the permissibility of not using the right itself which means not to use the right to life it self and choose to die , and in an act of euthanasia there are parties involved such as doctors and hospitals. The debate over the pros and cons of euthanasia actions whether the acts can be justified based on the right to life as a human right becomes something that still obscure today. Despite the act of illegal euthanasia in many countries but there are countries such as the Netherlands, Oregon United States and Nothern Territory Australia that legalize the act of euthanasia. "
Lengkap +
2017
S70040
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Bagus Trisardono Risandyo
"Tindakan upaya paksa yang dilakukan ketika tahap pemeriksaan perkara seringkali disertai dengan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Saat ini upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah melalui lembaga Praperadilan yang dinilai tidak berjalan secara optimal. RKUHAP mengatur ketentuan terkait lembaga yang berwenang mengawasi jalannya acara pemeriksaan yang diserahkan kepada Hakim Komisaris. Luasnya wewenang yang dimiliki Hakim Komisaris dirasa akan lebih menjamin perlindungan HAM pada tersangka/terdakwa. Namun penggantian lembaga Praperadilan dengan Hakim Komisaris tidak semata akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bermaksud menelaah tiga hal; pertama, pengaturan Hakim Komisaris pada RKUHAP; kedua, peran Hakim Komisaris pada RKUHAP khususnya terkait HAM tersangka/terdakwa; dan ketiga, kendala-kendala yang dapat terjadi dari penerapan Hakim Komisaris. Jenis penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder yang didukung dengan data primer berupa wawancara yang diolah serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, Pengaturan Hakim Komisaris sudah ada dan diatur sejak sebelum Indonesia Merdeka dan kemudian dimasukan kembali pada RKUHAP 1974 hingga 2012; kedua, peran lembaga Hakim Komisaris khususnya terkait perlidungan HAM tersangka/terdakwa dianggap lebih ideal ketimbang Praperadilan karena Hakim Komisaris bersifat aktif dan memiliki wewenang yang lebih luas dan lengkap dalam tahap pra-ajudikasi sehingga berbeda dengan Praperadilan yang hanya bersifat pasif dan represif; dan ketiga, penerapan Hakim Komisaris akan mengalami beberapa kendala berupa kendala normatif (aturan-aturan), kendala kepentingan antar lembaga sistem peradilan pidana, serta kendala geografis yang dimiliki Indonesia.

Coercive measures taken during the case examination stage are often accompanied by arbitrariness which results in human rights violations. Currently, legal remedies that can be submitted by the aggrieved party are through pretrial institutions which are considered not running optimally. RKUHAP stipulates provisions related to the institution authorized to oversee the proceedings of the examination which is submitted to the Judge Commissioner. It is felt that the breadth of authority possessed by the Commissioner Judge will ensure the protection of human rights for the suspect/defendant. However, the replacement of the Pretrial Institution with the Commissioner Judge will not only run as expected. This research intends to examine three things; first, the setting of the Commissioner Judge in the RKUHAP; second, the role of the Commissioner Judge in the RKUHAP, especially regarding the human rights of the suspect/defendant; and third, the obstacles that can occur from the application of the Commissioner Judge. This type of research is a normative juridical research with a conceptual approach and legislation. The type of data used is secondary data which is supported by primary data in the form of interviews which are processed and analyzed descriptively-qualitatively. The results showed that; first, the arrangement of the Judge Commissioner has existed and was regulated since before Indonesia's independence and was then re-introduced in the 1974 to 2012 RKUHAP; secondly, the role of the Judicial Commissioner, especially regarding the protection of the human rights of suspects/defendants, is considered more ideal than pretrial because the commissioner judge is active and has broader and complete authority in the pre-adjudication stage so that it is different from pretrial which is only passive and repressive; and third, the application of the Judge Commissioner will experience several obstacles in the form of normative constraints (rules), inter-institutional interests of the criminal justice system, as well as geographical constraints that Indonesia has."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>