Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183522 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Demetrio Reinhart Priono
"Penerapan sanksi pidana denda atas pelanggaran hukum memiliki sejarah panjang, di mana setiap peradaban dan budaya memiliki bentuk hukuman sendiri untuk pelanggaran hukum. Pemidanaan, yang identik dengan pemberian hukuman, mengacu pada penderitaan yang sengaja diberikan kepada individu yang melanggar hukum, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hukum. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana denda dalam tindak pidana persaingan usaha di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pidana denda sebagai instrumen hukum dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat serta implikasi hukum dari perubahan regulasi tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 telah menyebabkan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana persaingan usaha, mengalihkan pendekatan dari penegakan pidana ke penegakan administratif. Dekriminalisasi ini bermasalah karena berpotensi mengurangi efek jera yang dapat diberikan oleh sanksi pidana, termasuk denda. Penegakan pidana yang efektif dapat memiliki efek jera yang signifikan terhadap pelanggar, seperti yang dibuktikan oleh praktik di yurisdiksi lain seperti Amerika Serikat. Potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan dalam kerangka regulasi baru ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, pendekatan penegakan hukum pidana dalam persaingan usaha telah bergeser, lebih memilih penegakan administratif daripada sanksi pidana. Dekriminalisasi ini dianggap kurang menguntungkan karena penegakan pidana yang efektif, termasuk denda, dapat memberikan efek jera yang signifikan, seperti yang dibuktikan oleh praktik di Amerika Serikat. Selain itu, potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan. Rekomendasi penelitian ini termasuk tinjauan lebih mendalam oleh pemerintah mengenai potensi re-kriminalisasi terhadap tindak pidana persaingan usaha yang serius, terutama kartel hardcore seperti penetapan harga, pembatasan produksi, dan pembagian pasar. Selain itu, perlu ada evaluasi mekanisme saat ini untuk menghitung denda dan menghapus batas maksimum denda untuk meningkatkan kepatuhan dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih kompetitif dan adil di Indonesia.

The imposition of criminal fines for legal violations has a long history, with each civilization and culture having its own forms of punishment for such violations. Penalization, synonymous with sentencing, refers to the suffering intentionally imposed on individuals who break the law, as defined by legal experts. This study examines the application of criminal fines in business competition offenses in Indonesia following the enactment of Law No. 6 of 2023, which established the Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 on Job Creation as law. The research aims to analyze the effectiveness of criminal fines as a legal instrument in enforcing fair business competition and the legal implications of the regulatory changes. The method used is normative juridical with a legislative and case study approach. The enactment of Law No. 6 of 2023 has led to the decriminalization of certain business competition offenses, shifting the approach from criminal enforcement to administrative enforcement. This decriminalization is problematic as it potentially reduces the deterrent effect that criminal sanctions, including fines, can provide. Effective criminal enforcement can have a significant deterrent effect on violators, as evidenced by practices in other jurisdictions such as the United States. The potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized under the new regulatory framework. The study concludes that since the enactment of Law No. 6 of 2023, the approach to criminal law enforcement in business competition has shifted, favoring administrative enforcement over criminal penalties. This decriminalization is considered less favorable because effective criminal enforcement, including fines, can provide a significant deterrent effect, as evidenced by practices in the United States. Moreover, the potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized. The study's recommendations include a deeper review by the government regarding the potential re-criminalization of serious business competition offenses, especially hardcore cartels such as price-fixing, production limitations, and market division. Additionally, there should be an evaluation of the current mechanisms for calculating fines and removing maximum fine limits to enhance compliance and create a more competitive and fair business environment in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Natalia
"Penelitian ini ditulis untuk dapat menjawab mengenai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (PMK 91/2020) atas perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), yang ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu 2/2022). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Di samping itu, penelitian ini juga didukung dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara narasumber terkait. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa secara formil Perppu memang dapat menggantikan undang-undang sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK). Sebab, kedua jenis peraturan ini memiliki hierarki, fungsi, dan materi muatan yang sama. Selain itu, Putusan MK sendiri pada dasarnya juga dapat ditindaklanjuti dengan jenis peraturan perundang-undangan apapun atau bahkan hanya dengan tindakan biasa. Hal tersebut dapat terjadi karena memang bergantung pada kasus yang diputus oleh MK. Akan tetapi, dalam konteks PMK 91/2020 yang ditindaklanjuti dengan Perppu 2/2022, maka kapasitas Perppu untuk melakukan hal tersebut tidak bisa serta merta dapat diterima dan oleh karenanya tindak lanjut tersebut menjadi tidak tepat. Sebagaimana PMK 91/2020 sangat menekankan bahwa perbaikan UU 11/2020 harus bersamaan menghadirkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Artinya, dalam melakukan perbaikan UU 11/2020 harus dapat menciptakan partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara sungguh-sungguh, yang mana dalam perbaikannya harus memenuhi 3 (tiga) prasyarat yakni right to be heard, right to be considered, dan right to be explaine. Sedangkan Perppu 2/2022 tidak mungkin dapat mengakomodir partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya, terlebih lagi dalam memenuhi esensi partisipasi yang bermakna. Sebab, Perppu 2/2022 tidak dapat mendetailkan right to be heard, right to be considered, dan right to be explained, melainkan Perppu 2/2022 adalah sebagai bentuk penerjemahan dari partisipasi yang pura-pura dan formalistik.

This research aims to review Government action after the Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 (PMK 91/2020) regarding the enactment review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (UU 11/2020), which was followed up with stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation (Perppu 2/2022). This research is a normative juridical research using library materials or secondary data which includes primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In addition, this research is also supported by primary data collected through interviews with relevant source persons. This study found that formally a Perppu can indeed replace a law as a follow-up to the Constitutional Court's decision, because these two types of regulations have the same hierarchy, function, and substance. Moreover, the Constitutional Court's decision can also be followed up with any type of legislation or even just ordinary actions, depending on the case decided by the Constitutional Court. However in this case, it is inappropriate for the Government to follow up PMK 19/2020 with Perppu 2/2022 since Perppu is not capable and acceptable to replace UU 11/2020 immediately. PMK 91/2020 strongly emphasizes that revisions to Law 11/2020 must simultaneously bring about meaningful public participation. This means that in amending Law 11/2020, the Government must create genuine public participation and involvement, which must at least fulfill 3 (three) prerequisites: the right to be heard, the right to be considered, and the right to be explained. Meanwhile, the forming proccess of Perppu 2/2022 is unlikely to be able to accommodate public participation, especially in fulfilling the essence of meaningful public participation. Perppu 2/2022 is not able to pursue the right to be heard, right to be considered, and right to be explained, and instead is a form of pretend and formalistic participation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Joseph Fajar
"Penelitian ini berfokus untuk mencari makna dan/atau kriteria sifat fungsional pada merek sejak diubahnya Pasal 20 Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di mana larangan sifat fungsional pada merek adalah salah satu bagian dari upaya mencegah persaingan usaha tidak sehat di pasar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan melakukan studi pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, membandingkan dengan peraturan yang berlaku di Amerika Serikat dan Uni Eropa serta didukung dengan studi kasus berdasarkan putusan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Penelitian ini didukung melalui penelusuran bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa merek yang mengandung sifat fungsional apabila memiliki kriteria: a) memiliki fitur yang bertujuan untuk memperoleh kinerja teknis dan kemudahan dalam penggunaan suatu produk; b) telah terdaftar sebelumnya dalam suatu dokumen paten; dan c) menunjukkan kualitas dan/atau daya tahan produk. Adapun tujuan merek bersifat fungsional dilarang untuk didaftar karena larangan pendaftaran merek yang mengandung sifat fungsional bertujuan untuk mencegah dominasi untuk mempersempit pesaing untuk hadir menawarkan substitusi produk yang sama dalam pasar. Disatu sisi merek bersifat fungsional terdaftar sebelum berlakunya Perpu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dapat dilakukan upaya hukum pembatalan Merek.

This research focuses on identifying the meaning and/or criteria of the functional nature of trademarks following the amendment to Article 20 of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks through Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation, where the prohibition of functional trademarks is part of efforts to prevent unfair business competition in the market. This is a doctrinal legal research study examining the applicable laws and regulations, comparing them with those in the United States and the European Union, and supported by case studies based on rulings in the United States and the European Union. The research is supported by an investigation of primary, secondary, and tertiary legal materials. The conclusion of this research is that a trademark is considered functional if it meets the following criteria: a) it has features designed to achieve technical performance and ease of use of a product; b) it has been previously registered in a patent document; and c) it indicates the quality and/or durability of the product. The purpose of prohibiting the registration of functional trademarks is to prevent market dominance that could limit competitors from offering the same product substitutes in the market. Additionally, functional trademarks registered before the enactment of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation can be subject to legal actions for cancellation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanandita Sulastri
"Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis permasalahan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2  Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan. Pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan bidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Uji formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Penelitian ini menganalisis terkait putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Perpu Cipta Kerja dan implikasi yang terjadi atas pembentukan Perpu tersebut sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi.

This research was conducted with the aim of analyzing the problem of forming Government Regulations in Lieu of Law Number 2 of 2022 concerning Job Creation as a follow-up to the Constitutional Court decision Number 91/PUU-XVIII/2020. Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 concerning formal review of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation which declared it conditionally unconstitutional as long as it was not interpreted, did not make improvements within 2 years of the decision being pronounced. Review of laws is a mutually continuous process based on the principle of checks and balances. The formal test carried out by the Constitutional Court is controlling the process of law formation which is the authority of legislative power by the judiciary, namely efforts to control the formation of laws in the Indonesian constitutional system. Formal testing of a law is an examination process carried out on the procedures for the validity of the formation of a law. This process is carried out based on requests from the public to the Constitutional Court regarding a law that is deemed to violate the rules for its creation. Tihs research analyzed namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision concerning establishment of the Job Creation Perpu and the implications that occured for the formation of the job Creation Perpu as an action continued the decision of the Constitutional Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sipayung, Iwan Yohannes
"ABSTRAK Adanya kegiatan organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 membuat pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dirasa tidak lagi memadai untuk mencegah kegiatan Organisasi Kemasyarakatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 memiliki banyak kelemahan substansial dalam pembentukannya Pertama, tidak adanya check and balances dalam penerapan sanksi pembubaran organisasi kemasyarakatan yang tanpa prinsip due process of law. Kedua, argumentasi penggunaan asas contrarius actus oleh pemerintah yang menganggap penerapan asas contrarius actus yang ditujukan kepada suatu ormas seharusnya tidak sekedar berhubungan dengan keabsahan administratif, tetapi juga membentuk subyek hukum baru Ketiga, pembatasan terhadap kemerdekaan berserikat kontradiktif dengan jaminan dalam deklarasi universal hak asasi manusia, undang-undang hak asasi manusia, dan konstitusi. Mekanisme Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 yang tanpa melalui due process of law menciderai prinsip negara Indonesia sebagai negara yang berdasaran atas hukum dan pada gilirannya dapat mengganggu bukan saja relasi eksekutif dan legislatif tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan dan kualitas putusan yang merugikan rakyat.

ABSTRACT
The existence of social organization activities that contradict Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia made the Government issue Law Number 16 of 2017 concerning the stipulation of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 Year 2017 concerning Amendments to Law Number 17 of 2013 concerning Community Organizations. Law Number 17 of 2013 is deemed no longer sufficient to prevent the activities of social organizations that are in conflict with Pancasila and the 1945 Constitution. Law Number 16 of 2017 has many substantial weaknesses in its formation. First, the absence of checks and balances in the application of dissolution sanctions. community organizations without the principle of due process of law. Secondly, the argumentation of the use of the contrarius actus principle by the government which considers the application of the contrarius actus principle addressed to a mass organization should not only relate to administrative validity, but also form the subject of a new law. human rights law, and constitution. Mechanism for Dissolution of Community Organizations in Law Number. 16 of 2017 which without due process of law violates the principle of the Indonesian state as a state that is based on law and in turn can disrupt not only the executive and legislative relations but also the abuse of power and quality of decisions that are detrimental to the people.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parwoto Wignjosumarto
Jakarta: SIP Law Firm, 2023
344.01 PAR k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anisa Farida Amalia
"ABSTRAK
Dalam rangka mencegah penghindaran pajak, G20 setuju untuk memberlakukan Automatic Exchange of Financial Account Information AEOI dimana negara-negara G20 saling membuka data finansial di negaranya dan saling bertukar informasi keuangan. Sebagai pemenuhan syarat AEOI Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 yang mengatur mengenai akses informasi keuangan. Dengan lahirnya undang-undang tersebut bank ada dalam persimpangan antara tugasnya memegang teguh rahasia bank dan di sisi lain bank harus secara suka rela memberikan data nasabah kepada aparat pajak. Tesis ini membahas pengecualian rahasia bank sebelum dan sesudah Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 serta benturan kepentingan rahasia bank sebagai perlindungan hukum nasabah dan untuk kepentingan perpajakan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan tipologi komparatif dan berbentuk deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan persamaan dan perbedaan terkait ketentuan pengecualian rahasia bank untuk kepentingan perpajakan, dimana dengan adanya perubahan yang signifikan tersebut, khusus untuk kepentingan perpajakan, ketentuan rahasia bank telah dihapuskan. Antara rahasia bank sebagai perlindungan hukum nasabah penyimpan dengan pengecualian rahasia bank untuk kepentingan perpajakan tidak terdapat benturan kepentingan dikarenakan sifat relatif rahasia bank di Indonesia. Akan tetapi perlindungan hukum terhadap nasabah tetap ada dalam bentuk pasal yang menjamin bahwa data nasabah tersebut hanya akan digunakan untuk kepentingan perpajakan serta ancaman sanksi yang diberikan bagi pihak-pihak yang menyalahgunakan data nasabah tersebut. Dengan keterbukaan rahasia bank tersebut Notaris harus lebih berhati-hati dan memastikan itikad baik kliennya, serta memberitahukan klien agar nilai transaksi yang tercantum dalam akta harus sesuai dengan nilai transaksi sebenarnya.
ABSTRACT
In order to prevent tax evasion, G20 has commited to Automatic Exchange of Financial Account Information AEOI where G20 countries disclose their financial data and exchange their financial information to each other. As a condition of AEOI, Indonesian Government has issued Law No. 9 Year 2017 which regulates access to financial information. With such law, bank is in the intersection between its duty to keep its bank secrecy and to voluntarily provide customers rsquo data to the tax authority. This thesis aims to compare the exception of conventional bank secrecy, before and after Law No. 9 Year 2017 and also to analyze the clash of interests between bank rsquo s duties to protect their customers and to open bank secrecy for the benefit of taxation. Using juridical normative research method with comparation research typology. The results showed the similarities and differences regarding the provisions of bank secrecy for tax purposes, where wih such significant changes, specifically for the purposes of taxation, bank secrecy has been abolished. Between bank secrecy as a legal protection for bank rsquo s customers and the exeption of bank secrecy for tax purposes do not have conflict of interest due to the relative nature of bank secrecy. However, the legal protection of the bank rsquo s customers remain in the form of clause ensuring that the customer rsquo s data will only be used for tax purposes as well as the threat of sanctions are provided to those who are misusing such customer rsquo s data. With the disclosure of bank secrecy, Notaries have to be more careful and ensure their clients rsquo good faith and they must also notify their clients that the transaction value contained in the deed must be matched with the actual transaction value. "
2018
T49449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robertus Seta Dyaksa Hanindya
"Dalam rangka mendukung pemberantasan pengelakan dan penggelapan pajak yang dilakukan lintas negara dibutuhkan kerja sama internasional yang memungkinkan adanya pemberian sanksi kepada para wajib pajak yang melakukan pengelakan dan penggelapan pajak tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendukung hal tersebut adalah melalui pengimplementasian Automatic Exchange of Information in Tax Matter (AEOI). Untuk mendukung upaya tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan ketentuan terkait AEOI salahs satunya melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.
Diterbitkannya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2017 sebagai payung hukum implementasi AEOI di Indonesia merupakan babak baru bagi dunia perpajakan khusunya berkaitan denan pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan. Penerbitan undangundang sebagaimana dimaksud sebagai payung hukum implementasi AEOI diikuti dengan penerbitan ketentuan teknis di bawahnya yang berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan. Penerbitan beberapa aturan tersebut tentunya memiliki konsekuensi berkaitan dengan harmonisasi dengan peraturan lain khususnya yang berkaitan dengan rahasia bank.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut yaitu, pertama, menganalisis pengaturan mengenai rahasia bank dan AEOI di Indonesia dan kedua, menganalisis harmonisasi peraturan pelaksanaan AEOI yang berkaitan dengan rahasia bank setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder.
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah yaitu pertama, pengaturan mengenai rahasia bank dan implementasi AEOI terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda waktu penerbitannya dan latar belakang penerbitannya sehingga terdapat potensi permasalahan terkait harmonisasinya. Kedua, permasalahan harmonisasi terhadap ketentuan sebagaimana tersebut dapat diatasi melalui penegasan pengesampingan pasal yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017. Sementara isu harmonisasi terhadap peraturan di bawah perundang-undangan yang berfungsi sebagai petunjuk teknis dapat dilakukan melalui penyesuaian ketentuan yang lama dengan yang baru yang dapat dilakukan dengan penerbitan peraturan perubahan ataupun pencabutan peraturan yang lama.

The effort of tackle down the tax evasion and tax evading in the global scope requires international cooperation and instrument that allows the impose of sanctions to the taxpayers who are shifting their profit and revenue outside their home country. One of the actions that made by the global scope to support this, is through the implementation of Automatic Exchange of Information in Tax Matter (AEOI). Government of Indonesia issued regulations of AEOI in order to support to fight tax evasion and tax evading by the enactment of Act Number 9 of 2017.
The enactment of Act Number 9 of 2017 as the legal basis of AEOI implementation triggered the new phase for the world of taxation in Indonesia, especially concerning the bank secrecy in tax matters. The enactment of Act Number 9 of 2017 as a legal basis of the implementation of AEOI followed by the enactment of the technical regulations under the act as the technical guideline. The enactment of these regulations have consequences related to harmonization with other regulations, especially those related to bank secrecy.
This study aims to analyze the problems related to these matters, first, to analyze the regulation of bank secrecy and AEOI in Indonesia and second, to analyze the harmonization of AEOI regulations related to bank secrecy after the enactment of Act Number 9 of 2017. Research methods that used in this study is juridical normative based on literature study.
This study concluded that first, the regulations of bank secrecy and implementation of AEOI are found in several different laws and regulations that has the different time and background so there are potential problems related to harmonization. Second, the solutions of the harmonization of these issues of regulations can be overcome by the waiver of the old regulations by using the Act Number 9 of 2017. The harmonization issues of regulations under the Act Number 9 of 2017 can be done through the adjustment of the old regulations referring to the Act Number 9 of 2017."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49234
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldila Puspa Kemala
"Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelecehan seksual membuka peluang dipidananya pelaku-pelaku pelecehan seksual, sehingga timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, apa saja perbedaan pengaturannya bagaimana pengertian pelecehan seksual sebagai suatu tindak pidana, bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pelecehan seksual dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapan hukum kasus pelecehan seksual berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatf menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan analisa putusan (decision analysis). Diketahui bahwa pengertian pelecehan seksual menurut instrumen Hukum Internasional dan di Berbagai Negara di Asia Tenggara secara garis besar memiliki persamaan, kemudian Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum terdapat peraturan Perundang-Undangan yang spesifik mengatur tentang pelecehan seksual dan setelah Undang-Undang tersebut disahkan merupakan solusi dari permasalahan tersebut untuk mengakomodir kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

The passing of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence in which there are arrangements regarding sexual harassment opens opportunities for perpetrators of sexual harassment to be prosecuted, so the question arises what is meant by sexual harassment, what are the differences in regulations, what is the meaning of sexual harassment as a criminal acts, how to regulate criminal acts of sexual harassment in Indonesian laws and regulations and how to enforce the law on sexual harassment cases based on court decisions in Indonesia that have permanent legal force before and after Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence was passed . In this study using normative research methods using a statute approach and decision analysis. It is known that the definition of sexual harassment according to international legal instruments and in various countries in Southeast Asia is broadly similar, then before the enactment of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence there were no statutory regulations that specifically regulate sexual harassment and after the Law was passed, it was a solution to this problem to accommodate cases of sexual harassment that occurred in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>