Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129602 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Moses Hanky JR. Tandayu
"Latar Belakang : Deteksi infark pada populasi sindroma koroner akut non elevasi segmen ST (SKA-NEST) pada praktik klinis sulit dan menyebabkan kegagalan stratifikasi risiko yang tepat. Pemeriksaan enzim jantung tidak tersedia secara luas, memiliki waktu tunggu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Tujuan : Mengetahui akurasi dasar dan akurasi paska training kecerdasan buatan Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) dalam mendeteksi infark miokard pada populasi SKA-NEST berdasarkan gambaran ekokardiografi
Metode : Penelitian ini merupakan studi diagnostik yang mengevaluasi kemampuan kecerdasan buatan berbasis deep learning LIFES dalam mendeteksi infark miokard pada pasien SKA-NEST di RSJPDHK pada tahun 2019-2023 berdasarkan gambaran ekokardiografi. Dilakukan transfer learning menggunakan dataset penelitian dan cross validation untuk mengetahui tingkat akurasi model baru paska transfer learning.
Hasil : Sebanyak 721 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari tahun 2019-2023. 310 diantaranya adalah pasien infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Sebanyak 67,8 % subjek adalah laki-laki dengan median usia 61 tahun. Median waktu dilakukan ekokardiografi dari admisi adalah tiga hari. Terdapat perbedaan signifikan pada beberapa parameter ekokardiografi pada kelompok infark vs non infark berupa median FEVKi 53% vs 63 % (p < 0,001), median LVEDD 48,8 mm vs 44,6 mm (p < 0,001), median rerata E/E’ 12,0 vs 9,8 (p < 0,001) dan median LAVI 30 ml/m2 vs 26 ml/m2 (p < 0,001). Performa diagnostik LIFES terhadap infark didapatkan paling baik pada tampilan PLAX dengan sensitivitas 88,7 % dan spesifisitas 20,4 % AUC 0,55 pada LIFES fase 2 model 1. Paska transfer learning, model LIFES-MI menghasilkan akurasi terbaik pada tampilan A4C dengan sensitivitas 41,3 % dan spesifisitas 83,7% AUC 0,61.
Kesimpulan Model kecerdasan buatan LIFES fase 2 model 1 memiliki sensitivitas yang baik untuk deteksi infark miokard, sedangkan model LIFES-MI memiliki spesifisitas yang baik dalam mendeteksi infark miokard berdasarkan gambaran ekokardiografi pada populasi SKA-NEST.

Background: Detecting myocardial infarction in the non-ST segment elevation acute coronary syndrome (NSTEACS) population in clinical practice is challenging and leads to failure in appropriate risk stratification. Cardiac enzyme assays are not widely available, have long waiting times, and incur significant costs.
Objective: To determine the baseline accuracy and post-training accuracy of the Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) artificial intelligence in detecting myocardial infarction in the NSTEACS population based on echocardiographic findings.
Method: This study is a diagnostic study that evaluates the ability of deep learning-based artificial intelligence LIFES in detecting myocardial infarction in NSTEACS patients at RSJPDHK from 2019 to 2023 based on echocardiographic videos.. Transfer learning was performed using the research dataset and cross-validation to determine the accuracy level of the new model post-transfer learning.
Results: A total of 721 subjects met the inclusion and exclusion criteria from 2019 to 2023. Among them, 310 were non-ST segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) patients. 67.8% of the subjects were male with a median age of 61 years. The median time from admission to echocardiography was three days. There were significant differences in several echocardiographic parameters between the infarct and non-infarct groups, including median EF% 53% vs 63% (p < 0.001), median LVEDD 48.8 mm vs 44.6 mm (p < 0.001), median mean E/E' 12.0 vs 9.8 (p < 0.001), and median LAVI 30 ml/m2 vs 26 ml/m2 (p < 0.001). LIFES diagnostic performance for infarction was best achieved in the PLAX view with sensitivity of 88.7% and specificity of 20.4%, AUC 0.55 in LIFES phase 2 model 1. Post-transfer learning, the LIFES-MI model produced the best accuracy in the A4C view with sensitivity of 41.3% and specificity of 83.7%, AUC 0.61.
Conclusion: The Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) phase 2 model 1 has good sensitivity for detecting myocardial infarction, while the LIFES-MI model has good specificity in detecting myocardial infarction based on echocardiographic findings in the NSTEACS population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Deteksi dini gagal jantung (GJ) penting untuk mengurangi angka kesakitan, kematian dan rawat ulang, terutama pada era pandemi COVID-19. Kecerdasan buatan berdasarkan data ekokardiografi berpotensi mempermudah identifikasi GJ, tetapi tingkat kesahihan belum diketahui. Oleh karena itu, dikembangkan model Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) dengan metode deep learning menggunakan algoritme visual geometry group (VGG)-16 untuk menilai validitas model kecerdasan buatan dalam deteksi GJ dan membedakan jenis GJ dengan atau tanpa penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVKi) di berbagai alat ekokardiografi. Penelitian uji diagnostik ini menggunakan desain potong lintang yang dibagi dua fase yaitu fase pertama populasi pasien normal dan GJ dengan atau tanpa FEVKi menurun di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan fase kedua di 10 RS jejaring pada bulan Januari 2020–Maret 2022. Pada fase pertama dilakukan analisis 141 rekaman video ekokardiografi dan fase kedua dianalisis 685 video meliputi tampilan apical 4 chamber (A4C), apical 2 chamber (A2C), dan parasternal long axis (PLAX). Dataset setiap fase dibagi untuk melatih (tahap training) dan menguji (tahap testing) model LIFES dalam membedakan dua kelas diagnosis (GJ dan individu normal) dan tiga kelas diagnosis (GJ dengan FEVKi menurun, GJ dengan FEVKi terjaga, dan individu normal). Pada fase 1 performa terbaik model LIFES dalam membedakan dua kelas ditunjukkan pada tampilan A2C dengan skor F1 0,94 dan area under the curve (AUC) 0,93. Klasifikasi tiga kelas terbaik ditunjukkan pada tampilan A2C dengan F1 0,78 dan AUC 0,83 sampai 0,92. Pada fase 2 klasifikasi dua kelas terbaik ditunjukkan oleh tampilan PLAX dengan skor F1 mencapai 0,93 dan AUC 0,91. Klasifikasi tiga kelas terbaik ditunjukkan pada tampilan PLAX dengan F1 0,82 dan AUC berkisar dari 0,91 hingga 0,94. Waktu pemrosesan model LIFES sekitar 0,15 sampai 0,19 detik untuk memprediksi satu sampel. Disimpulkan model LIFES berfungsi baik untuk deteksi dini GJ sesuai konsensus ahli, sekaligus dapat membedakan jenis GJ dengan atau tanpa FEVKi menurun pada berbagai mesin ekokardiografi.

Early detection of heart failure (HF) is important to reduce morbidity, mortality, and re-hospitalization, especially in the era of the COVID-19 pandemic. Artificial intelligence based on echocardiographic data has the potential to facilitate the identification of HF, but the level of validity is unknown. Therefore, Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) model was developed with a deep learning method using the visual geometry group (VGG)-16 algorithm to assess the validity of the artificial intelligence model in the detection of HF and distinguish the type of HF with reduced ejection fraction (HFrEF) or preserved in left ventricular ejection fraction (HFpEF) in various echocardiographic devices. This diagnostic test study used a cross-sectional design, which was divided into two phases, namely the population of normal and HFrEF or HFpEF patients at the Harapan Kita National Heart Center Hospital and ten network hospitals from January 2020 to March 2022. In the first phase, 141 echocardiographic video recordings were analyzed and in the second phase, 685 videos were analyzed, including apical-4 chamber (A4C), apical-2 chamber (A2C), and parasternal-longaxis (PLAX) displays. The dataset for each phase was divided between training and testing the LIFES model in distinguishing two-diagnostic classes (HF and normal individuals) and three-diagnostic classes (HFrEF, HFpEF, and normal individuals). In phase 1, the best performance of the LIFES model in distinguishing the two classes is shown on the A2C display with an F1 score of 0.94 and an area under the curve (AUC) 0.93. The best three-class classifications are shown on the A2C display with an F1 of 0.78 and an AUC of 0.83 to 0.92. In phase 2, the best twoclass classifications are shown by the PLAX display with F1 scores reaching 0.93 and AUC 0.91. he best three-class classifications are shown on the PLAX display, with an F1 of 0.82 and an AUC ranging from 0.91 to 0.94. The
processing time of the LIFES model is about 0.15 to 0.19 seconds to predict a single sample. It is concluded that the LIFES model works well for the early detection of HF, according to expert consensus while at the same time being able to distinguish the type of HF (HFrEF or HFpEF) on various echocardiographic machines.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Putri Dewita
"Latar belakang : Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) memiliki angka mortalitas yang tinggi. Penatalaksanaan IMA-EST adalah intervensi koroner perkutan primer (IKPP) yang dapat membatasi ukuran infark dan menjaga fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK). FEVK merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas utama setelah infark miokard akut. Disfungsi ventrikel kiri pasca IMA-EST dipengaruhi oleh remodeling ventrikel kiri dan perbaikannya dipengaruhi oleh kemampuan reverse remodeling miokard. Terdapat perbedaan pada kemampuan remodeling pada populasi dewasa muda dan usia tua. Belum ada data mengenai perbaikan FEVK pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP pada usia dewasa muda. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perbaikan nilai FEVK pasien IMA-EST setelah IKPP antara kelompok usia dewasa muda dengan usia tua. Metode : Sebuah penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian kasus IMA-EST yang menjalani prosedur IKPP selama periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2020 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Hasil : Dari 411 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, terdapat 259 pasien dengan FEVK dasar <50% yang selanjutnya dibandingkan perbaikan FEVK berdasarkan kelompok usia ≤55 tahun dan >55 tahun. Selisih perbaikan FEVK antara kedua kelompok usia tidak berbeda bermakna (p = 0.787). Dari 140 pasien yang mengalami perbaikan nilai FEVK proporsi pasien yang berusia ≤55 tahun adalah 53,6%. Pada analisa multivariat regresi logistik ditemukan variable independen yang berhubungan dengan perbaikan FEVK adalah nilai FEVK dasar yang rendah (OR 0,925:95% IK 0,890-0,962;p<0,0001).

Background : ST-elevation myocardial infarction (STEMI) is known to have high mortality rate with primary percutaneous coronary intervention (PPCI) is the treatment of choice that may limit the area of infarct and preserve left ventricular ejection fraction (LVEF). LVEF is the main predictor for morbidity and mortality in patients with STEMI. Left ventricular (LV) dysfunction in patients with STEMI occur due to LV remodelling and the myocardium reverse remodelling ability may improve LV function. It is believed there is a difference in the myocardium remodelling ability by age, yet there has been limited data regarding improvement of LVEF in young adults. Objective : This study aimed to identify the difference of LVEF recovery in STEMI patients following primary PCI between young adults and adults. Methods : This is a retrospective cohort study. Population of study were STEMI patients who underwent primary PCI during the period of June 2015 to July 2020 in National Cardiovascular Centre Harapan Kita Hospital. Results : 411 patients were included in the study, 259 of them had baseline LVEF <50%, which were divided into two groups of age, ≤55 years old and >55 years old. The difference of LVEF improvement between two groups is not significant (p = 0.787). 75 out of 140 (53.6%) patients with improved LVEF were from the ≤55 years old group. From multivariate logistic regression, the independent predictor of LVEF recovery was lower LVEF baseline (OR 0,925:95% CI 0,890-0,962; p<0,0001). Conclusion : There was no significant difference of LVEF improvement between young adults and adults following STEMI and PPCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Adrina
"Penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan akan terus meningkat. Infark miokardium akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan kejadian iskemia miokardium transmural yang mengakibatkan cedera atau nekrosis miokardium akibat ketidakseimbangan dari asupan dan kebutuhan oksigen. Kondisi ini diakibatkan oleh proses aterogenesis kronik dengan peran inflamasi kompleks menahun yang dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko penyebab disfungsi endotel. Terapi intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan terapi revaskularisasi pasien IMA-EST dengan keberhasilan pengembalian aliran koroner >95% pada praktik klinis yang secara paradoks dapat menyebabkan cedera dan kematian kardiomiosit atau cedera iskemia reperfusi. Kolkisin telah lama dikenal sebagai obat murah dengan efek antiinflamasi yang menginhibisi polimerisasi tubulin dan pembentukan mikrotubulus serta memiliki efek terhadap adesi molekul selular, kemokin inflamasi, dan inflamasom. Hingga saat ini, belum ada studi secara spesifik membahas efek pemberian kolkisin terhadap rasio neutrofil-limfosit (RNL) dalam cedera iskemia reperfusi miokardium. Parameter RNL merupakan penanda inflamasi yang didapatkan dari perhitungan hitung jenis leukosit darah perifer. Pemeriksaan ini sederhana, mudah, dan relatif murah serta dinilai mampu mengkonjugasikan sistem imun bawaan dan adaptif dalam kondisi inflamasi. Penelitian ini mengkaji perubahan RNL pada 24 jam dan 48 jam pascatindakan IKPP pada pasien IMA-EST yang mendapatkan intervensi kolkisin. Desain penelitian uji klinik tersamar ganda, dengan total 79 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdiri dari 36 subjek kelompok yang mendapatkan plasebo dan 43 subjek kelompok yang mendapatkan kolkisin. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara subjek IMA-EST dengan intervensi kolkisin dan plasebo pada penurunan RNL 24 jam dan 48 jam pascatindakan IKPP. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan berbagai pertimbangan rentang pemberian obat dan lama pemantauan untuk dapat menilai penurunan RNL.

Cardiovascular disease (CVD) is the leading cause of death in the world and is expected to continue to increase. Acute ST elevation myocardial infarction (STEMI) is a transmural myocardial ischemia event that results in myocardial injury or necrosis due to an imbalance of oxygen intake and demand. This condition results from a chronic atherogenesis process with the role of chronic complex inflammation influenced by various risk factors that cause endothelial dysfunction. Primary percutaneous coronary intervention therapy (PPCI) is a revascularization therapy for STEMI patients with >95% coronary flow restoration success in clinical practice that paradoxically can cause cardiomyocyte injury and death or ischemia reperfusion injury. Colchicine has long been known as an inexpensive drug with anti-inflammatory effects that inhibits tubulin polymerization and microtubule formation and has effects on cellular molecular adhesion, inflammatory chemokines, and inflamasomes. To date, no study has specifically addressed the effect of colchicine administration on the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) in myocardial reperfusion ischemia injury. The parameter of NLR is an inflammatory marker obtained from the calculation of peripheral blood leukocyte differential count. This examination is simple, easy, and relatively inexpensive and is considered to be able to conjugate the innate and adaptive immune systems in inflammatory conditions. This study examined the changes in NLR at 24 hours and 48 hours after PPCI in STEMI patients who received colchicine intervention. The study design was a double-blind clinical trial, with a total of 79 STEMI patients undergoing IKPP, consisting of 36 subjects in the placebo group and 43 subjects in the colchicine group. There was no significant difference between IMA-EST subjects with colchicine and placebo intervention on the decrease of NLR 24 hours and 48 hours after PPCI. Further studies are needed with various considerations of the time span and the length of monitoring to be able to assess the decrease in NLR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Nadia
"Studi mengenai pemberian klopidogrel sebelum angiografi koroner (pretreatment) pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang akan menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) terbatas, namun dapat disimpulkan bahwa aman dan dapat penurunan angka major adverse cardiovascular events (MACE). Pada studi yang dilakukan beberapa tahun terakhir, manfaat pemberian klopidogrel pretreatment dipertanyakan. Studi yang telah ada dilakukan di negara lain berbeda dengan kondisi di Indonesia; terdapat perbedaan karakteristik seperti waktu onset nyeri dada hingga pasien sampai ke fasilitas kesehatan primer, loading antiplatelet, serta dilakukan tindakan IKPP yang lebih panjang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemberian klopidogrel pretreatment  dengan TIMI-flow pasien IMA EST yang menjalani IKPP. Studi potong lintang retrospektif terhadap 220 pasien IMA EST dilakukan di rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak tanggal 1 Januari - 30 Oktober 2018 dengan membagi subjek dalam kelompok klopidogrel pretreatment (600 mg klopidogrel diberikan > 120 menit sebelum angiografi koroner) dan kelompok yang diberikan < 120 menit.
Analisis multivariat menunjukkan bahwa klopidogrel pretreatment merupakan prediktor utama yang mempengaruhi TIMI flow sebelum tindakan IKPP (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Pemberian klopidogrel pretreatment berhubungan dengan TIMI flow sebelum tindakan IKPP, namun tidak berpengaruh terhadap TIMI setelah dilakukan tindakan IKPP. 

Immediate antiplatelet administration is the standard therapy used in acute ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) undergoing primary percutaneous coronary intervention. Studi on clopidogrel pretreatment are limited, but it can be concluded that was safe, also reduced the number of major adverse cardiovascular events (MACE). Recently, pretreatment with P2Y12 are questioned. There are differences in the background and the conditions between the studies that have been conducted and the condition in Indonesia; such as duration of angina onset until arrive at primary health care, time of loading antiplatelet and longer ischemic time.
This study sought to evaluate the association between clopidogrel pretreatment and TIMI flow of patients with acute STEMI undergoing primary PCI. Single-center retrospective cross sectional study of 220 patients with acute STEMI were conducted in National Centre of Cardiovascular Harapan Kita, Indonesia from 1 January-30 October 2018. Subjects are devided into two groups: clopidogrel pretreatment (≥ 120 minute from coronary angiography conducted) and non pretreatment group (<120 minute). Multivariate analysis revealed that clopidogrel pretreatment is the main predictor of preprocedural TIMI grade flow (OR 0.273, 95% CI 0.104-0.716; p=0.008). Clopidogrel pretreatement was associated with TIMI flow grade pre intervention, but not with TIMI flow grade post intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Iryuza
"ABSTRAK
Latar Belakang. IMA-EST merupakan salah satu manifestasi SKA yang fatal.Terapi reperfusi diindikasikan terhadap pasien dengan IMA-EST dengan awitankurang dari 12 jam. Perdarahan merupakan faktor resiko independen mortalitaspasca IKPP. Perdarahan mayor memperburuk prognosis, meningkatkan lamanyawaktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Saat ini, penggunaan aksestrans-radial saat IKPP lebih diutamakan dan penghambat Gp2b3a tidak rutindigunakan. Walaupun demikian, kejadian perdarahan pada IMA-EST tetap sajameningkatkan tiga kali lipat resiko kematian. Sampai saat ini belum ada sistempenilaian khusus yang menilai resiko perdarahan pasca IKPP trans-radial.Metode. Penelitian kohort retrospektif dilaksanakan di Rumah Sakit PusatJantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita. Data yang diambilmerupakan kasus IKPP trans-radial pada IMA-EST periode Januari 2011 ndash;Agustus 2016. Definisi perdarahan menggunakan definisi Bleeding AcademicResearch Consortium BARC . Pengolahan data dilakukan dengan analisisbivariat untuk menguji hubungan variabel-variabel independen dengan kejadianperdarahan, lalu dilakukan analisis multivariat. Pemilihan model akhir dilakukandengan metode backward selection dan dilakukan pembobotan untuk membentuksuatu sistem penilaian. Dilakukan validasi internal terhadap sistem penilaian inimenggunakan metode bootsrapping.Hasil. Sejumlah 1035 sampel dikumpulkan, 49 4.7 kasus di antaranyamengalami perdarahan. Didapatkan 6 faktor yang dapat dijadikan prediktorindependen terhadap kejadian perdarahan pasca IKPP trans-radial, yaitu : IMT 2, usia ge; 62 tahun, hitung leukosit ge; 12.000 10/ L,nilai hemoglobin Hb < 13 g/dL, dan nilai kreatinin ge; 1.5 mg/dL. Uji kalibrasidan validasi internal terhadap studi menunjukkan hasil yang baik.Kesimpulan. Sistem penilaian resiko perdarahan pasca IKPP trans-radial inimemiliki hasil uji kalibrasi, uji diskriminasi, dan validasi internal yang cukupbaik. Sistem penilaian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu strategipencegahan perdarahan pasca IKPP trans-radial pada kasus IMA-EST.

ABSTRACT
Background STEMI is a fatal manifestation of acute coronary syndrome.Reperfusion therapy is indicated for acute STEMI patient within less than 12hours rsquo onset of chest pain. Bleeding is an independent mortality risk as acomplication of primary PCI. Major bleeding worsens the prognosis, prolonglength of hospital stay, and increase the cost of care. Nowadays, trans radialaccess during primary PCI is a priority and the use of Gp2b3a inhibitor is nolonger used routinely. However, post primary PCI bleeding event nonethelesstripled the risk of death. Until now, there has been no system of assessments thatmeasure the risk of post primary PCI bleeding in specific trans radial accesspopulation.Method Data from 1035 post trans radial primary PCI STEMI patients enrolledfrom a cohort retrospective study performed in National Cardiovascular CenterHarapan Kita between January 2011 and August 2016. BARC bleeding definitionwas utilized to standardized the identification of bleeding events. Statisticalanalysis done by performing bivariate analysis to identify the relationship of eachvariables to the bleeding event, then multivariate analysis was done using logisticregression before the scoring system developed. Internal validation was performedby bootstrapping tecnique.Results 4.7 from 1035 sample experienced bleeding event. 6 factors related tobleeding event post trans radial primary PCI were identified BMI 18.5 kg m2,KILLIP class 2, age ge 62, WBC ge 12.000 10 3 L, hemoglobin 13 g dL, andcreatinine ge 1.5 mg dL. Calibration test and internal validation of this studyshowing good result.Conclusion This trans radial Primary PCI bleeding risk score has a good resultof calibration test, discrimination test, and internal validation. This scoring systemis expected to be applied as one of bleeding avoidance strategies in trans radialprimary PCI in STEMI patients."
2016
T55655
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wahyu Tanjungsari
"Sindrom koroner akut (SKA) merupakan salah satu kegawatan kardiovaskular di
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tatalaksana SKA yang ada saat ini membutuhkan waktu
minimal 3 jam untuk menentukan apakah pasien dirawat atau dipulangkan, hal ini akan
berdampak pada kepadatan IGD dan pemborosan biaya perawatan. European Society of
Cardiology merekomendasikan algoritma 0/1 jam pada pasien dengan gambaran EKG
non elevasi segmen ST (NEST) dengan menggunakan high sensitive troponin T (hscTnT)
dalam menegakkan atau penapisan infark miokard akut non elevasi segmen ST
(IMA-NEST). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai diagnostik hs-cTnT
jam ke-1 dan jam ke-3 pada terduga SKA non elevasi segmen ST dengan awitan nyeri
dada kurang dari 6 jam. Desain penelitian potong lintang. Sebanyak 100 subjek
penelitian yang diambil secara konsekutif sampling. Sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif, dan nilai prediksi negatif kadar hs-cTnT 0/1 jam secara berurutan
adalah 93,75%, 98,81%, 93,75%, 98,81%, sementara sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif, dan nilai prediksi negatif kadar hs-cTnT 0/3 jam secara berurutan
adalah 87,50%, 96,81%, 93,33% 97,65%. Pemeriksaan hs-cTnT 0/1 jam dapat
dipergunakan dalam rule in dan rule out terduga IMA-NEST dengan awitan nyeri dada
kurang dari 6 jam.

Acute coronary syndrome (ACS) is one of the cardiovascular events in an Emergency
Installation (ED). The patients management of ACS required at least 3 hours to
determined whether the patient hospitalized or outpatient, these would increased EDs
crowded and high cost treatment. The European Society of Cardiology recommended a
0/1 hour algorithm in patients with ECG showed non ST segment elevationusing high
sensitive troponin T (hs-cTnT) parameter to rule in or rule out non ST segment
elevation myocard infarct (NSTEMI).We aimed to compare diagnostic values of hscTnT
at the 1st and 3rd hour in NSTEMI with chest pain onset less than 6 hours. Study
design was cross sectional. A total of 100 subjects enrolled by consecutive sampling
method. Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value
of hs-cTnT 0/1 hours were 93.75%, 98.81%, 93.75%, 98.81%, while sensitivity,
specificity, positive predictive value, and the negative predictive value of hs-cTnT 0/3
hours were 87.50%, 96.81%, 93.33%, 97.65%. Hs-cTnT 0/1 hour test can be used in
rule in and rule out suspect NSTEMI with the chest pain onset less than 6 hours."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>