Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157476 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ma'mur Syafei
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ,
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Prasetya
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian furosemide per oral dosis tunggal pada penderita pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dapat mempengaruhi lama tunggu penderita di klinik dan basil pemeriksaan uroflowmetri.
Bahan dan Cara: Penelitian merupakan penelitian prospektif, open label, cross over study terhadap 40 (rerata umur 62.42 ± 7.40 tahun) penderita pembesaran prostat jinak yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, 20 penderita menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 1 dan tanpa furosemide pada kunjungan 2 (kelompok 1); 20 penderita lainnya tidak diberikan furosemide pada kunjungan 1 dan menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 2 (kelompok 2). Lama menunggu penderita di klinik (sejak penderita berkemih sampai memenuhi syarat untuk pemeriksaan) dan basil uroflowmetri yang terdiri dari volume buli, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih dicatat dan dianalisa dengan Student Mast atau Mann-Whitney U-test.
Hasil: Karakteristik subyek penelitian pada kedua kelompok yang terdiri dari umur, kadar hemoglobin, serum kreatinine dan nilai PSA tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0.05). Terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0.01) pada lama tunggu penderita di Klinik Urologi; pada kelompok 1 dari 72.55 bertambah menjadi 120.00 menit sedangkan pada kelompok 2 dari 178.05 berkurang menjadi 89.75 menit. Pada pemberian obat, secara keseluruhan terjadi pengurangan lama menunggu yang sangat bermakna (p<0.01), dari 149.02 menit tanpa furosemide menjadi 81.15 menit dengan pemberian furosemide peroral. Pada analisa basil uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih pada kedua kelompok maupun secara keseluruhan dengan dan tanpa pemberian obat, tidak didapatkan perbedaan yang berrnakna secara statistik (p.0.05).
Kesimpulan: Pemberian furosemide peroral dosis tunggal sangat mengurangi lama menunggu untuk pemeriksaan uroflowmetri penderita pembesaran prostat jinak di klinik tanpa mempengaruhi hasil pemeriksaan uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time dan residu urin pasca berkemih.

Objective: To identify whether a single dose of oral furosemide given to benign prostate hyperplasia patients scheduled for uroflowmetry had an impact on clinic waiting time and flow rate parameters.
Materials and Methods: This was a prospective, open label, cross over study conducted among 40 benign prostate hyperplasia patients (mean age 62.42 ± 7.40 years) who fulfilled the inclusion criteria.. They were separate on two groups, where the 1 s1 group receive 20 mg furosemide at the 15` visit but no furosemide at rd visit and the 2"d group without furosemide at the 1S1 visit and receive 20 mg furosemide at god visit. Clinic waiting time and flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine-measuring by ultrasound) were captured in a database. Student t-test or Mann-Whitney U-test analysis were carried out to evaluate the characteristic different between the two groups.
Results: Patients characteristics (age, hemoglobin content, creatinine and PSA serum) between the two groups were not statistically different (p>0.05). There was significant different on clinic waiting time in both groups; 72.55 versus 120.00 minutes, p<0.01 at 15` group and 178.05 versus 89.75 minutes, p<0.0I at 2nd group. An oral 20 mg of furosemide was significant reduction on clinic waiting time in all patients (81.15 versus 149.02 minutes, p<0.01). From evaluation of flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine), there were not statistically different in each group and in all patiens whether with or without receive 20 mg furosemide (p>0.05).
Conclusions: The impact of a single dose 20 mg of oral furosemide was significant reduced clinic waiting time without significant changes in flow rate parameters at benign prostate hyperplasia patients who scheduled for uroflowmetry."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fedry Yance
"Pembesaran Prostat Jinak ( PPJ ) merupakan penyakit yang tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini mengenai laki-laki terutama mulai dari dekade kelima dan prevalensinya meningkat dengan makin bertambahnya umur. Gejala pada PPJ berhubungan dengan meningkatnya jumlah sel-sel epitel dan peningkatan tonus otot polos yang berada pada kelenjar prostat, leher kandung kemih dan kapsul prostat yang diatur oleh saraf otonom. Pada awalnya pembesaran prostat tersebut menekan uretra dan selanjutnya dapat mengalami herniasi ke dalam kandung kemih yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan aliran kencing lebih lanjut.
Ezz, et al melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara gejala gangguan berkemih dengan besarnya volume prostat. Data dari Olmstead County Study of Urinary Symptoms and health Status Among Men mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara besamya volume prostat dengan terjadinya gejala-gejala gangguan berkernih, pancaran urin dan kemungkinan terjadinya retensio urin pada pasien PPJ. Menurut data tersebut, pancaran urin maksimal yang rendah secara bermakna berhubungan dengan beratnya gejala gangguan berkemih dan besamya volume prostat.
Penonjolan prostat ( protrusi ) ke dalam kandung kemih dapat diukur dengan ultrasonografi ( USG ) transabdominal. Menurut Poo terdapat korelasi antara tingkat protrusi prostat intravesika dengan beratnya obstruksi. Melihat adanya perbedaan di atas maka dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kejadian retensi urin pada pasien PPJ dengan besarnya volume prostat dan tingkat protrusi prostat intravesika
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besarnya volume prostat yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan berkemih pada pasien PPJ dan adakah hubungan antara besarnya volume prostat dengan terjadinya retensi urin. Juga dievaluasi hubungan antara terjadinya retensi urin dengan protrusi prostat intravesika.
PPJ adalah kelainan berupa kelenjar prostat yang mengalami hiperplasia terutama kelenjar periuretral. Jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Bila pembesaran tersebut mendesak ke arah luar dari uretra pars prostatika maka tidak menimbulkan gejala. Tetapi jika mendesak ke dalam uretra, akan menekan uretra dan menimbulkan gejala sumbatan saluran kencing bagian bawah. Pembesaran prostat dapat terjadi pada lobos medius sehingga menimbulkan penonjolan ( protrusi ) ke dalam kandung kemih yang dapat dideteksi dengan USG transabdominal. Protrusi prostat ini dapat mengganggu proses pengosongan urin di dalam kandung kemih pada waktu berkemih.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pramaviri
"Gejala saluran kemih bawah LUTS pada laki laki seringkali dikaitkan dengan pembesaran prostat jinak BPH yang menyebabkan obstruksi infravesika yang sering diikuti oleh trabekulasi sehingga terjadi gangguan fungsi kandung kemih Reseksi prostat transuretra TURP adalah tindak baku emas yang bertujuan untuk menghilangkan obstruksi ini Namun gejala LUTS masih banyak dikeluhkan setelah dilakukan TURP Penelitian cross sectional ini dilakukan untuk mencari hubungan antara gejala LUTS pasca TURP dengan derajat trabekulasi dan volume kandung kemih di RSUP H Adam Malik Medan Selama tahun 2013 didapatkan 39 pasien BPH rata rata umur 68 36 7 638 tahun dengan retensi urin berulang yang dilakukan tindakan TURP Dari keseluruhan sampel kelompok yang terbanyak ditemukan adalah derajat trabekulasi sedang 35 9 dan volume kandung kemih 200 cc 46 2 Dua puluh dua sampel 56 4 mengeluhkan LUTS ringan dengan rerata IPSS total 6 28 3 986 Derajat trabekulasi dan volume mempunyai korelasi positif kuat 0 661 dan 0 723 p value.

Lower urinary tract symptoms LUTS in older male is often associated with benign prostate hyperplasia BPH and caused bladder outlet obstruction BOO with the consequential trabeculation that impair bladder contractility and viscoelasticity Transurethral resection of the prostate TURP is the gold standard for relieving BPH caused BOO Nevertheless many still complained of persisting symptoms even after undergoing TURP This cross sectional study was conducted to analyze the correlation between bladder volume and trabeculation in determining LUTS after TURP in BPH patient In 2013 bladder trabeculation and volume was measured during TURP from 39 BPH patients with recurrent urinary retention and were re evaluated 6 months after The most common findings were moderate trabeculation 35 9 bladder volume 200cc 46 2 and mild degree LUTS 56 4 after TURP with mean IPSS 6 28 3 986 Bladder trabeculation and volume are positively and strongly correlated with LUTS after TURP 0 661 and 0 723 respectively p value 0 01 Analytical linear regression found that these two variables are significant factors in determining LUTS after TURP with positive predictive value of 62 In conclusion bladder trabeculation and volume had strong significant correlation with LUTS after TURP although there are other possible determining factors that are not included in the study
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Fajar Lamhot
"ABSTRAK
Latar belakang: Hiperplasia prostat dan adenokarsinoma prostat keduanya
sangat dipengaruhi oleh hormon androgen terutama dihidrotestosteron
(DHT) berasal dari konversi testosteron (T) dikatalisator oleh enzim 5α-
reduktase (5αR). Terapi hormonal merupakan salah satu modalitas terapi
kedua penyakit ini dengan menghambat enzim 5αR tipe1dan tipe 2. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi 5αR1 antara
adenokarsinoma prostat tipe asinar dan hiperplasia prostat, serta melihat
ekspresi 5αR1 berdasarkan skor Gleason.
Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri
atas 20 kasus adenokarsinoma prostat tipe asinar dan 20 kasus hiperplasia
prostat. Dilakukan pulasan 5αR1 dan penilaian pulasan dengan
menggunakan histoscore.
Hasil: Mean area sel tumor sebanyak 11,63% dan sel epitel di hiperplasia
prostat 26,54%. Terdapat perbedaan kadar PSA antara adenokarsinoma
prostat dengan hiperplasia prostat (p=0,00). Ekspresi 5αR1 di sitoplasma
dan inti didapatkan perbedaan antara adenokarsinoma prostat dengan
hiperplasia prostat (p=0,00). Ekspresi 5αR1 lemah terbanyak didapatkan
pada adenokarsinoma prostat.
Kesimpulan: Ekspresi dan total area pulasan intensitas 5αR1 pada
hiperplasia prostat lebih tinggi. Peningkatan skor Gleason cenderung diikuti
penurunan ekspresi 5αR1.

ABSTRACT
Background: Acinar adenocarcinoma and BPH both are strongly
influenced by androgen hormone especially dihydrotestosterone (DHT)
from convertion of testosterone (T) catalize by 5α-reductase (5αR) enzyme.
Hormonal therapy is one of treatment modality for these condition by
inhibiting 5αR type 1 and type 2 enzyme. The aim of this study is to know
differential expression of 5αR1 between acinar adenocarcinoma and BPH
and also expression 5αR1 based on Gleason score.
Method: This was cross-sectional study on 20 cases acinar adenocarcinoma
and 20 cases BPH stained with 5αR1 antibody. The appraisal was done with
estimating histoscore.
Result: Mean area of tumor cells is 11,63% and epithelial cells in BPH
26,54%. There was statistically significant levels of PSA between acinar
adenocarcinoma and BPH (p=0,00). Cytoplasmic and nuclear expression of
5αR1 were statistically significant different between acinar adenocarcinoma
and BPH (p=0,00). Low intensity expression of 5αR1 in acinar
adenocarcinoma was the most commonly found.
Conclusion: Total area of expression 5αR1 in BPH are higher. hiperplasia
prostat lebih tinggi. The higher Gleason score tends followed by declining
expression of 5αR1.;"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Don Bosco Bayu Wiryawan
"Hiperplasia prostat jinak atau BPH adalah kondisi yang ditandai oleh pertumbuhan histopatologi jinak pada prostat. Di Indonesia, kasus BPH meningkat sebesar 74,5% dari tahun 2000 hingga 2019. Meskipun prevalensinya meningkat, layanan urologi di seluruh dunia beralih untuk memprioritaskan kasus darurat selama pandemi COVID-19 dan BPH dikategorikan sebagai prioritas rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kunjungan pasien BPH, volume prostat, kadar prostate specific antigen (PSA), dan terapi yang diberikan sebelum, saat, dan setelah pandemi COVID-19.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis Rumah Sakit Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk mengetahui jumlah kunjungan pasien BPH, terapi, volume prostat, dan kadar PSA dari tahun 2019 hingga 2023. Data kemudian diolah di aplikasi SPSS.
Sebanyak 976 pasien BPH mengunjungi Klinik Urologi di RSCM dari tahun 2019 hingga 2023. Studi ini menemukan bahwa jumlah kunjungan pasien BPH menurun setelah dimulainya pandemi. Namun, dengan membaiknya situasi COVID-19, terjadi peningkatan kunjungan secara bertahap. Mayoritas pasien menjalani terapi medikamentosa dari tahun 2019 hingga 2023. Terapi konservatif menjadi pilihan pengobatan kedua yang paling umum dari tahun 2019 hingga 2021. Terjadi peningkatan proporsi terapi medikamentosa dibandingkan terapi lain selama pandemi COVID-19. Pola kadar PSA tidak konsisten, sedangkan temuan volume prostat tetap konsisten dari tahun 2019 hingga 2023.
Pandemi COVID-19 menyebabkan perubahan dalam pola kunjungan pasien BPH dan pilihan terapi di RSCM.

Benign prostatic hyperplasia (BPH) is a condition characterized by benign histopathological growth of the prostate. In Indonesia, BPH cases increased by 74.5% from the year 2000 to 2019. Despite the rising prevalence, urology services worldwide shifted to prioritize emergency cases during the COVID-19 pandemic, with BPH being categorized as low priority. This study seeks to determine the pattern of BPH patients visits, prostate volume findings, prostate specific antigen (PSA) level, and treatments provided before, during and after COVID-19 pandemic.
Secondary data from the medical records of Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital (RSCM) was used to analyze the number of BPH patient visits, prostate volume findings, prostate specific antigen (PSA) level, and treatments provided from 2019 to 2023. Data is then analyzed with SPSS.
A total of 976 BPH patients visited the Urology Clinic at RSCM from 2019 to 2023. This study found that the number of BPH patient visits decreased after the pandemic began. However, with the improvement of the COVID-19 situation, there was a steady increase in visits. The majority of patients underwent pharmacological therapy from 2019-2023. Conservative therapy was the second most common treatment choice from 2019 to 2021. There was an increase in the proportion of pharmacological therapy compared to other therapies during COVID-19 pandemic. The pattern of PSA levels was inconsistent, while prostate volume findings remained consistent from 2019 to 2023.
The COVID-19 pandemic led to changes in patterns of BPH patient visits and therapy choices at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patandung, Richman
"Pendahuluan dan tujuan: Hiperplasia prostat jinak merupakan penyakit yang melemahkan yang menyebabkan 90% pria berusia 80 tahun menderita sindrom saluran kemih bagian bawah. Dalam studi ini, kami mencoba untuk mengevaluasi hasil dari reseksi transurethral prostat pada pasien hiperplasia prostat jinak untuk menguraikan manfaatnya.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara retrospektif. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis BPH. Pasien dibagi menjadi dua kelompok (<80gr dan> 80gr). Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan Independent T-Test dan Mann-Whitney.
Hasil: Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada skor IPSS dan QoL pada kedua kelompok. Skor IPSS dan kualitas hidup pasca operasi juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien kelompok 1 dan 2.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa volume prostat tidak berhubungan dengan kualitas hidup pasien, yang diilustrasikan oleh indeks IPSS dan QoL setelah TURP. Selain itu, TURP dapat dilakukan pada semua pasien terlepas dari ukuran prostatnya. Lebih lanjut, TURP memiliki keuntungan komplikasi yang lebih rendah untuk pasien dengan ukuran prostat> 80 gr.

Introduction and objectives: Benign prostatic hyperplasia is a debilitating disease which causes 90% of 80 years old male suffers from lower urinary tract syndrome. In this study, we tried to evaluate the outcome of transurethral resection of the prostate in benign prostatic hyperplasia patients to elaborate its benefit.
Methods: This study is conducted retrospectively. Subject in this study are patients who are diagnosed with BPH. Patients is divided into two groups (<80gr and >80gr). Data obtained in this study is statistically analyzed using Independent T-Test and Mann-Whitney.
Results: We found no significant differences in the IPSS and QoL score in both groups. Postoperative IPSS and QoL score also showed no significant differences between group 1 and 2 patients.
Conclusion: We found that prostate volume is not correlated with patient quality of life, which illustrated by IPSS and QoL index after TURP. In addition, TURP can be conducted in any patients regardless of their prostate size. Furthermore, TURP has the advantage of lower complication for patients with prostate size >80 gr.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pri Utomo
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menilai fungsi paru pre dan post operasi dalam kaitannya klinik dan hemodinamik penderita MS. Pemeriksaan fungsi paru berupa kapasitas vital paksa (KVP) dan volum ekspirasi paksa detik pertama (VEPI) serta dibedakan dalam 2 kelompok, pertama kelompok fungsi paru tidak baik I buruk (KVP,VEPI < 75 % ) terdixi dari dengan TI, dan tanpa TI, sedangkan kelompok kedua, fungsi paru baik (KVP , VEPI } 75 %). Pembagian kelompok ini dihubungkan dengan klinik, hemodinamik dari pemeriksaan kateterisasi jantung.
Penelitian ini dilakukan secara retro-prospektif pada 21 penderita MS murni. 3 kasus diantaranya kombinasi dengan MT, yang berumur 33 tahun + 10.4 (15-54), terdiri dari 6 pria, 15 wanita, dimana telah dilakukan kateterisasi jantung dan spirometri serta ulangan 3-36 bulan (median 20 bulan) setelah operasi. Pada 11 kasus MS post MVR diperiksa secara dopier ekohardiografi untuk mengukur MVA dan mPA untuk dibandingkan dengan hemodinamik.
Hasilnya menunjukkan pada kasus MS pre operasi, terdapat perbedaan yang bermakna ( P < 0,05 ), kesatu antara umur 29.4 tahun + 8,1, kedua lama sakit 5.3 tahun ± 3.4 dalam kelompok fungsi paru tidak balk, dibandingkan dengan umur 42 tahun + 10.3, lama sakit 2.5 tahun ± 1.3 dalam kelompok fungsi paru baik.
Terdapat perbedaan yang bermakna ( p < 0,05 ), kesatu antara PA sistolik 70.8 mmHg + 22.9 mean 53.2 mmHg + 18.6, diastolik 39.3 mmHg + 13.5, kedua RV sistolik 68.8 mmHg ± 20.9, diastolik 9.3 mmHg (+ 4.6) dalam kelompok fungsi paru tidak balk, dibandingkan dengan PA sistolik 42.6 mmHg + 16.9 mean 31 mmHg ±12 diastolik 22 mmHg + 9, RV sistolik 46 + 11.3 diastolik 3.7 mmHg + 2, dalam kelompok fungsi paru baik.
Pada kasus MS yang disertai TI terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05), kesatu antara RV diastolik 11.5 mmHg ± 3.7, kedua PA diastolik 45 mmHg + 10, ketiga PVR setinggi 10.8 HRU + 9.3 dalam kelompok fungsi paru tidak baik dengan TI dibandingkan dengan RV diastolik 3.7 mmHg } 2,PA diastolik 22 mmHg + 9, PVR sebesar 2.6 HRU +2.3 dalam kelompok fungsi paru baik ( tanpa TI ).
Fungsi paru post operasi KVP 83.7 % + 14.4 VEPI 83.6 % + 17.3 dibandingkan pre operasi KVP 68.8 % + 14.6, VEPI 67.7 % + 19.3 mempunyai perbedaan yang bermakna (p C 0.05).
Pada MS post operasi mPA 35.7 mmHg + 7.4 dan MVA 2.4 cm2 + 0.3 dibandingkan dengan pre operasi mPA 48.3 mmHg + 21, MVA 1cm2 + 0.5 masing masing mempunyai perbedaan yang bermakna ( p < 0.05 ).
Kesimpulan faktor lama sakit lebih memegang peranan dari pada umur. Lama sakit yang panjang mempunyai hubungan dengan hemodinamik dan fungsi paru yang buruk. Pada penderita MS dengan TI mempunyai tekanan diastolik RV,PA,PVR yang tinggi dan mempunyai fungsi paru yang lebih buruk. Penggantian katup mitral dapat menurunkan tekanan PA secara bermakna. Fungsi paru post operasi terdapat perbaikan yang bermakna secara umum.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusna Sudhari Riyanta
"ABSTRAK
Penyakit kanker merupakan Salah satu penyakit yang termasuk paling banyak meminta korban, di negara-negara telah maju satu dari lima kematian disebabkan oleh kanker. Penyakit kanker limfoma malignum merupakan Salah satu penyakit keganasan hematologik dan dibedakan dalam 2 golongan besar yaitu; penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin (LNH).
Protokol pengobatan pada penyakit LNH, disesuaikan dengan jenis limfoma, tingkat penyakit dan tingkat keganasannya. Pemberian kemoterapi agresif dosis tinggi memerlukan perhatian dan keterampilan pemantauan efek samping, maupun efek toksik hematologik. Untuk melihat efektivitas pengobatan sebaiknya dilakukan pemantauan kondisi imun tubuh penderita, sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Hasil pengamatan tersebut menimbulkan pemikiran, untuk melakukan penelitian mengenai status imunitas selular penderita LNH sebelum, pada pertengahan dan sesudah kemoterapi terakhir.
Rancangan penelitian dilakukan secara clinical Trial dengan menggunakan disain Cohort Prospective dengan kelompok kontrol relawan normal sebagai pembanding. Setiap penderita LNH diambil darah tepi dalam 3 tahap; perlakuan P1 sebelum kemoterapi, P2 pada pertengahan kemoterapi dan P3, 3 minggu setelah kemoterapi terakhir. Setiap sampel dari kelompok kontrol maupun perlakuan dilakukan pemeriksaan; darah tepi lengkap, petanda imunologik dan kultur transformasi limfosit.
Hasil dan Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan imunitas selular secara kuantitatif dan kualitatif pada penderita LNH; sebelum kemoterapi terjadi penurunan imunitas selular yang sangat bermakna (P<0,01), dan adanya defisiensi imunitas selular. Pada pertengahan kemoterapi (9 minggu setelah mendapat pengobatan), terjadi penurunan lagi sistem imunitas selular yang sangat bermakna (P<0,01), namun ratio sel T penolong/ T penekan dalam batas normal. Selanjutnya 3 minggu setelah kemoterapi terakhir terjadi peningkatan sistem imunitas selular, tidak adanya perbedaan bermakna (P>0,05), dalam hal ini imunitas selular secara kuantitatif maupun kualitatif menunjukkan peningkatan.

ABSTRACT
Cancer is disease with a very high mortality rate, in develoved countries causing one out of every five deaths. Malignant lymphoma is a hematologic malignancy and can be divided into two categories, i.e., Hodgkin?s and non Hodgkin?s (NHL) type.
The treatment regimen for NHL depends on the type of histology, stage of disease and degree of malignancy. High-dose aggressive chemotherapy needs special attention with regard to monitoring of side-effects and hematologic toxicity, and requires a high degree of clinical skill. To assess the efficacy of treatment it is best to know the immunological status of the patients, before, during, and after chemotherapy. These observations prompted this investigation in assessing cellular immunity status among non Hodgkin's lymphoma patients, before, during, and after last chemotheray with cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine and prednison.
This investigation was conducted as a clinical trial using the cohort prospective design with a control group consisting of healthy volunteers. Peripheral blood was drawn from each NHL patient in three phases: Pl before chemotherapy, P2 during chemotherapy, and P3 for the period of three weeks after the last chemotherapy. Each blood sample from the study and control groups also underwent complete hemogram, immunophenotyping, and lymphocyte transformation studies.
Results and Conclusions
This study shows qualititative and quantitative cellular immunity status of the NHL patient studied, which revealed that before chemotherapy there was statistically very significant decrease in cellular imunity (P<0,01), and a cellular immune deficiency. During chemotherapy (9 weeks after treatment), there was another very significant decrease in cellular immunity (P<0,01), although the T helper/T suppressor ratio was within normal limits. Three weeks after the last chemotherapy there was a statistically insignificant increase (P>0,05), in cellular immunity, both quantitatively and qualititatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Sukmawati Kapota
"Pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan pelayanan yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien, untuk memenuhi kebutuhan pasien harus ditetapkan jenis obat yang harus tersedia pada peresepan dan pemesanan, sehingga perlu disusun suatu formularium. Saat ini, beberapa obat memiliki ketersediaan yang tidak sesuai dengan peresepan obat yang ada pada formularium nasional maupun puskesmas dikarenakan adanya ketidaksesuaian kebutuhan obat di puskesmas dengan daftar obat yang ada pada formularium puskesmas contohnya pada kelas terapi diuretik dan hormon yang memiliki penggunaan yang besar di puskesmas dan beberapa obat mengalami penurunan penggunaan sehingga perlu penambahan atau penghilangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pembaharuan formularium puskesmas tahun 2021 pada kelas terapi diuretik dan hormon. Metode pelaksanaan yang digunakan dalam tugas khusus ini yaitu deskriptif retrospektif. Data formularium menggunakan formularium tahun 2020 dan daftar perubahan obat Puskesmas. Dari data penelitian dihasilkan ada 6 item obat dari 2 kelas terapi tersebut yang perlu dikurangkan dan ditambahkan pada formularium puskesmas terbaru.

Pharmaceutical services at the District Public Health Center are direct services and responsible to the patient, to meet the needs of the patient must determined the type of drug that must be available on prescribing and ordering, so it is necessary to prepare a formulary. At present, some drugs have availability that is not in accordance with existing drug prescriptions in the national formulary and puskesmas due to a mismatch between drug needs in puskesmas and the list of drugs in the puskesmas formulary, for example in diuretic and hormone class therapy which has a large use in health centers and some drugs have decreased in use so that it needs to be added or removed. The purpose of this research is to obtain an update on the Palmerah District Public Health Center Formularium Medicines formulary 2022 in diuretic and hormone class therapy. The implementation method used in this special task is descriptive retrospective. Formulary data uses the 2020 formulary and lists change in health center medication. From the research data, there were 6 drug items from the 2 therapy classes that needed to be subtracted and added to the latest puskesmas formulary."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>