Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151863 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmi Sesaria
"Latar Belakang: Keterlambatan perkembangan motorik dan keseimbangan menjadi masalah dalam kemandirian sehari-hari anak sindrom Down. Aktivitas fisik merupakan rekomendasi yang dapat meningkatkan keseimbangan, namun terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi kondisi ini. Belum ada penelitian mengenai korelasi aktivitas fisik dengan keseimbangan dan kemandirian anak sindrom Down. Hal ini akan memberikan manfaat kedepannya dalam upaya pencegahan risiko jatuh dan kualitas hidup anak dindrom Down.
Objektif: Penelitian ini betujuan untuk mengetahui korelasi antara aktifitas fisik terhadap keseimbangan dan kemandirian anak sindrom Down serta faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Studi potong lintang pada 31 orang anak sindrom Down usia 5 – 12 tahun. Subjek yang telah memenuhi kriteria penerimaan kemudian dilakukan pemeriksaan keseimbangan dengan Pediatric Balance Scale (PBS). Dilakukan pengambilan data aktivitas fisik anak dengan Physical Activity Questionnaire for (PAQ-C) dan kemandirian dengan Modified WeeFIM. Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara aktifitas fisik terhadap keseimbangan dan kemandirian.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan adanya korelasi lemah (r=0.368) antara aktivitas fisik dan keseimbangan anak sindrom Down (p<0.05). Faktor usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tes IQ, penyakit jantung bawaan tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan keseimbangan. Anak dengan riwayat hipotiroid yang telah ditatalaksana memiliki korelasi sedang (r=0.575) terhadap keseimbangan (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keseimbangan dan kemandirian anak. Terdapat korelasi sangat kuat (r=0.906) antara perawatan diri dan mobilisasi (r=0.922) dengan usia anak sindrom Down (p<0.001).
Kesimpulan: Terdapat korelasi antara aktivitas fisik dan keseimbangan anak sindrom Down. Faktor lainnya yang berpengaruh pada hal ini adalah riwayat hipotiroid yang telah diobati. Kemandirian anak sindrom Down lebih karena hubungannya dengan kematangan usia mereka.

Background: Delays in motor development and balance are a problem in the daily independence of children with Down syndrome. Physical activity is a recommendation that can improve balance, but there are factors that influence this condition. There has been no research regarding the correlation between physical activity and balance and independence in children with Down syndrome. This will provide future benefits in efforts to prevent the risk of falls and the quality of life of children with Down's syndrome.
Objective: This research aims to determine the correlation between physical activity with balance in Down syndrome’s children and related factors in order to determine their functional independence.
Methods: Cross-sectional study of 31 Down syndrome children aged 5 – 12 years. Subjects who met the acceptance criteria were then checked for balance using the Pediatric Balance Scale (PBS). Data on children's physical activity was collected using the Physical Activity Questionnaire for (PAQ-C) and functional independence using Modified Wee-FIM. Correlation tests were carried out to see the relationship between physical activity and balance and independence.
Results: The research results showed that there was a weak correlation (r=0.368) between physical activity and balance in children with Down syndrome (p<0.05). The factors age, gender, body mass index, IQ test, congenital heart disease did not show a significant relationship with balance. Children with a history of hypothyroidism who have been treated have a moderate correlation (r=0.575) to balance (p<0.05). There is no significant relationship between balance and children's independence. There is a very strong correlation (r=0.906) between self-care and mobilization (r=0.922) and the age of children with Down syndrome (p<0.001).
Conclusion: There is a correlation between physical activity and balance in children with Down syndrome. Another factor that influences this is a history of hypothyroidism that has been treated. The independence of Down syndrome children is more related to their age maturity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fina Devy Aryanti
"Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikarakteristikkan dengan keterlambatan perkembangan yang dapat mempengaruhi kemandirian anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemandirian dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari pada anak dengan sindrom Down usia sekolah dan remaja dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif non-eksperimen. Responden penelitian berjumlah 43 orang tua/ pengasuh anak dengan sindrom Down di Kota Depok.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas anak berada dalam kategori mandiri sebagian: 31 anak (72,1%); selebihnya mandiri total: 7 anak (16,3%) dan ketergantungan total: 5 anak (11,6%). Untuk itu, diperlukan pendidikan kesehatan dan dukungan emosional bagi keluarga, untuk mencapai kemandirian yang optimal pada anak dengan sindrom Down.

Down syndrome is a genetic disorder which characterized by lack of developmental that may affect the child's independence. This study aims to determine the level of independence of child with Down syndrome in school age and adolescents. This study used descriptive quantitative non-experimental approach with 43 parents or caregivers of child with Down syndrome in Depok.
The result showed that the majority of respondents belongs to modified independence: 31 children (72,1%), while respondents who belongs to total independence: 7 children (16,3%) and total dependence: 5 children (16,3%). For the reason, health education and emotional support for families is needed to achieve optimum independence in children with Down syndrome.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S52891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Isabella Hotmidatua
"Sindroma Down adalah kelainan genetik yang disebabkan oleh trisomi kromosom 21. Anak dengan sindroma Down memiliki kondisi rongga mulut yang beragam dan memiliki masalah kesehatan oral seperti karies dan penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian karies pada anak dengan sindroma Down usia 14 tahun ke atas di SLB C Jakarta. Subjek penelitian berasal dari 43 SLB C di Jakarta. Total subjek adalah 174 anak dengan sindroma Down usia 14 sampai 53 tahun. Pemeriksaan karies dilakukan dengan pemeriksaan klinis menggunakan indeks DMF-T. Hasil penelitian ditemukan indeks DMF-T 5,90 pada total subjek dengan prevalensi karies sebesar 84,48 . Kesimpulan studi ini adalah terdapat tingkat kejadian karies yang tinggi pada anak dengan sindroma Down usia 14 tahun ke atas di SLB C Jakarta dengan indeks DMF-T sebesar 5,90."

Down syndrome is a genetic disorder caused by trisomy of chromosome 21. Down syndrome children have variety of oral characteristics and have oral problem such as caries and periodontal disease. The aim of this study is to know frequency distribution of caries in Down syndrome children aged 14 years and over in SLB C Jakarta. Subjects of this study are from 43 SLB C in Jakarta. Total of subjects are 174 Down syndrome children aged 14 to 53. Caries examination was done by clinically using DMF T index. The result of this study is 5,90 DMF T index in total subject population with 84,48 caries prevalence. This study conclude that Down syndrome children aged 14 years and over in SLB C Jakarta have high caries experience with DMF T index scored 5,90."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frascilly Grasia
"Down syndrome merupakan suatu kondisi yang berkaitan dengan keterbatasan perkembangan. Adanya keterbatasan ini membuat anak down syndrome membutuhkan caregiver untuk membantu mereka melaksanakan aktivitas seharihari. Caregiver dapat mengalami dampak negatif akibat merawat anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu dampak negatifnya adalah caregiver strain. Caregiver strain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah dukungan sosial. Caregiver strain dapat berkurang jika caregiver mendapatkan dukungan sosial, khususnya perceived social support.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara caregiver strain dan perceived social support. Metode pengambilan data yang dilakukan adalah pengisian kuesioner dan melakukan probing terhadap item dalam kuesioner caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Kemudian partisipan diminta untuk mengisi kuesioner perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support).
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara caregiver strain dan perceived social support dengan r=-.174, namun tidak signifikan dengan p>0,05. Pada penelitian ini, partisipan ditemukan memiliki caregiver strain yang relatif rendah dan perceived social support yang relatif tinggi.

Down syndrome is condition related with developmental impairment. These impairments make the child with Down syndrome needs caregiver to help them carry out their daily activities. Caregiver may be negatively impacted due to caring for family members with special needs. One of the negative impacts is caregiver strain. Caregiver strain is influenced by several factors. One factor that influence caregiver strain is social support. Caregiver strain can be reduced if the caregiver get social support, especially perceived social support.
This study aimed to examine the correlation between caregiver strain and perceived social support. Method of data collection was questionnaires and do some probing to the items in the questionnaire caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Then participants were asked to complete a questionnaire perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support).
The results showed a negative relationship between caregiver strain and perceived social support with r = - .174, but not significant with p> 0.05. In this study, participants were found to have relatively low caregiver strain and perceived social support were relatively high.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diar Luthfi Khairina
"ABSTRAK
Gangguan berbicara merupakan gangguan yang paling dominan dan terlihat pada
penderita sindrom Down. Beberapa hal yang menyebabkan gangguan berbicara pada
penderita sindrom Down adalah gangguan kognitif, gangguan pendengaran, dan input
linguistik yang mereka terima sehari-hari. Namun, penyebab yang paling utama dan
tampak adalah ciri fisiologis pada alat ucap mereka. Hal tersebut menyebabkan
produksi ujaran pada penyandang sindrom Down mengalami penyimpangan, seperti
penghilangan bunyi, pengubahan bunyi, penambahan bunyi, reposisi bunyi, dan
gabungan antarpenyimpangan tersebut. Dengan mengetahui pola penyimpangan yang
dilakukan mereka, mitra tutur akan dengan mudah memahami ujaran penyandang
sindrom Down. Oleh karena itu, penulis meneliti ketepatan bunyi dalam bunyi ujaran
yang diproduksi oleh anak sindrom Down saat mengulang kata. Hal tersebut dapat
memperoleh gambaran bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia apa saja yang seringkali
salah diucapkan oleh anak-anak dengan sindrom Down hingga membentuk pola ujaran.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Subjek penelitian
ini adalah 3 orang penderita Sindrom Down rata-rata berusia 16 tahun dengan rata-rata
usia mental 4 tahun dan nilai IQ yang berada pada kategori severe mental retardation.
Teori yang dipakai dalam penelitian ini, antara lain teori fonetik yang digagas oleh
Lapoliwa (1988) dan teori bunyi bahasa yang digagas oleh Rahyono (2007). Dari
penelitian ini ditemukan pola yang serupa dari penyimpangan yang dilakukan oleh
ketiga subjek penelitian. Selain itu, diketahui pula bahwa alat ucap bukan merupakan
satu-satunya penyebab penyandang sindrom Down tidak dapat mengujarkan sebuah
bunyi, melainkan mereka tidak memiliki kesadaran fonologis.

ABSTRACT
Speech disorder is the most dominant disorder that can be observed in people with
Down syndrome. The main and visible causes of the speech disorder are physiological
features in their speech organs. It causes deviations in their utterance production, such
as sound omission, sound substitution, sound augmentation, sound reposition, and the
combination of all the deviations. By knowing the patterns of deviations that they do,
the speech of people with Down syndrome will be easily understood. Therefore, this
research wants to examine the accuracy of sounds in the speech produced by people
with Down syndrome when repeating words. Sounds which are often pronounced
wrongly by people with Down syndrome are expected to be found. The method used in
this research is qualitative method. The subjects of this study were 3 people with Down
syndrome on average aged 16 years with an average mental age of 4 years and IQ
scores are in severe mental retardation category. This research uses the phonetic theory
which is stated by Lapoliwa (1988) and the sounds of language theory stated by
Rahyono (2007). A similar pattern of deviations made by the three subjects of the study
are observed. In addition, it is also known that speech organs are not the only cause of
people with Down syndrome produce the utterances correctly, but they do not have
phonological awareness."
2018
T51264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sienni Sanchia Santoso
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara keterlibatan orang tua dan kompetensi sosial remaja down syndrome. Kompetensi sosial diukur berdasarkan keterampilan sosial dan perilaku adaptif, yang tergambarkan dari ada tidaknya perilaku maladaptif. Pengukuran keterlibatan orang tua menggunakan alat ukur Alabama Parenting Questionnaire (APQ) (Frick, 1990) dan pengukuran kompetensi sosial menggunakan alat ukur Social Skills Rating System (SSRS) (Gresham & Elliott, 1990). Partisipan berjumlah 31 orang tua dan pengasuh utama dari remaja down syndrome berusia antara 11 hingga 24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterlibatan orang tua dan keterampilan sosial remaja down syndrome (r = 0.422; p = 0.018, signifikan pada L.o.S 0.05). Artinya semakin tinggi keterlibatan orang tua, semakin tinggi keterampilan sosial remaja down syndrome. Akan tetapi, terdapat hubungan yang tidak signifikan antara keterlibatan orang tua dan perilaku maladaptif (r = 0.063; p = 0.737, tidak signifikan pada L.o.S 0.05). Berdasarkan hasil tersebut, orang tua disarankan untuk terlibat dalam kehidupan anaknya yang menyandang down syndrome dengan mengajarkan keterampilan sosial dan perilaku adaptif sesuai norma sosial.

This research was conducted to find the correlation between parental involvement and social competence behavior in adolescent with down syndrome. Social competence is measured based on social skills and adaptive behavior, which is illustrated from the absence of maladaptive behaviors. Parental involvement was measured using an instrument called Alabama Parenting Questionnaire (APQ) (Frick, 1990), and social competence was measured using Social Skills Rating System (SSRS) (Gresham & Elliott, 1990). The participants of this research are 31 parents and primary caregiver of adolescent with down syndrome at the age of 11 to 24 years old. The result of this research show that parental involvement positively correlated significantly with social skills (r = 0.422; p = 0.018, significant at L.o.S 0.05). This means that the higher the parental involvement, the higher the social skills of adolescent with down syndrome. However, there is no significant correlation between parental involvement and maladaptive behavior (r = 0.062; p = 0.737, not significant at L.o.S 0.05). Based on these results, it is advisable for parents to become involved in their child?s life to teach appropriate social skills and adaptive behavior according to social norms."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45232
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Pebrina
"WHO memperkirakan terdapat 8 juta penderita Down syndrome di dunia. Spesifiknya, ada 3.000-5.000 anak lahir mengidap kelainan kromosom per tahunnya. Down syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran hidup atau 1 diantara 800-1000 kelahiran bayi. Kejadian down syndrome bertambah sesuai dengan meningkatnya usia ibu hamil. Berdasarkan data Riskesdas, terdapat 0,12% penderita down syndrome pada 2010. Berdasarkan data Riskesdas, terdapat 0,12% penderita down syndrome pada 2010. Angka itu meningkat jadi 0,13% di 2013 dan data terbaru meningkat menjadi 0,21% pada 2018. Penyebab yang spesifik belum diketahui, tapi kehamilan oleh ibu yang berusia diatas 35 tahun beresiko tinggi memiliki anak down syndrom. Pada ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, insidensi meningkat sampai 1 dari 300 kelahiran. Sedangkan pada ibu usia di atas 40 tahun, insidensi meningkat secara drastis mencapai 1 dari 10 kelahiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia ibu saat hamil dengan kejadian down syndrome pada anak usia 0 – 59 bulan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2018. Peneliti menggunakan desain studi cross-sectional menggunakan data sekunder dari survei Riskesdas 2018. Jumlah sampel 73.200 responden. Analisis yang digunakan uji regresi logistik biner. Signifikan secara statistik hubungan antara usia ibu saat hamil dengan kejadian down syndrome pada anak usia 0-59 bulan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas dengan p-value = 0,000 dan POR 0,942 atau 1 (95% CI 0,918 – 0,967). Perlu dilakukan edukasi kepada wanita produktif mengenai risiko kehamilan di usia tua.

.WHO estimates that there are 8 million people with Down syndrome in the world. Specifically, there are 3,000-5,000 children born with chromosomal abnormalities per year. Down syndrome affects one in 700 live births or 1 in 800-1000 babies. The incidence of Down syndrome increases with the increasing age of pregnant women. Based on Riskesdas data, there were 0.12% of people with Down syndrome in 2010. Based on Riskesdas data, there were 0.12% of people with Down syndrome in 2010. The rate increased to 0.13% in 2013 and the latest data increased to 0.21% in 2018. The specific cause is not yet known, but pregnancy by mothers over the age 35 years of high risk of having Down syndrome children. In mothers over 35 years of age, the incidence increases to 1 in 300 births. Meanwhile, for mothers over 40 years of age, the incidence increases drastically, reaching 1 in 10 births. This study aims to determine the relationship between maternal age at pregnancy and the incidence of Down syndrome in children aged 0-59 months in Indonesia based on 2018 Riskesdas data. Researcher used a cross-sectional study design using secondary data from the 2018 Riskesdas survey. The total sample was 73,200 respondents. The analysis used binary logistic regression test. Statistically significant relationship between maternal age at pregnancy and the incidence of Down syndrome in children aged 0-59 months in Indonesia based on Riskesdas data with p-value = 0,000 and POR 0.942 or 1 (95% CI 0.918 - 0.967). It is necessary to educate productive women about the risks of pregnancy at old age"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iletta Nathania Tjioe
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure terhadap domain kemandirian pada remaja penyandang sindroma down. Penelitian ini juga melihat variabel yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap domain remaja penyandang sindroma down. Pengukuran parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure menggunakan alat ukur Parents as Social Context Questionnaire (PSCQ) (Skinner, dkk., 2005) dan pengukuran kemandirian remaja penyandang Sindroma Down menggunakan alat ukur AAMD Adaptive Behavior Scale (Bagian Psikologi Anak dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983). Partisipan berjumlah 32 orang dengan karakteristik sebagai orang tua dari remaja penyandang sindroma down. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh parental autonomy support, parental involvement, dan parental structure terhadap kemandirian pada fungsi berdikari, aktivitas ekonomi, perkembangan bahasa, perkembangan angka dan waktu, kegiatan rumah tangga, dan sosialisasi remaja penyandang sindroma down. Parental structure secara signifikan mempengaruhi domain perkembangan bahasa (Beta = 0.517; p = 0.014; signifikan pada L.o.S 0.05) dan perkembangan angka dan waktu (Beta = 0.560; p = 0.011; signifikan pada L.o.S 0.05), sedangkan parental involvement secara signifikan mempengaruhi sosialisasi (Beta = 0.482; p = 0.013; signifikan pada L.o.S 0.05) pada remaja penyandang Sindroma Down. Berdasarkan hasil tersebut, orang tua perlu meningkatkan parental autonomy support, parental involvement, dan terutama parental structure untuk membantu meningkatkan kemandirian anak.

This research was conducted to find the effects of parental autonomy support, parental involvement, and parental structure on domains of independence on adolescents with Down Syndrome and to find out which variable contributes significantly. Parental autonomy support, parental involvement, and parental structure was measured using an adapted instrument called Parents as Social Context Questionnaire (PSCQ) (Skinner, et al., 2005) and independence of of adolescents with Down Syndrome was measured using an adapted instrument called AAMD Adaptive Behavior Scale (Bagian Psikologi Anak dan Perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1983). The participants of this study are 32 parents of adolescents with Down Syndrome. The main results of this study show that parental autonomy support, parental involvement, and parental structure significantly affect domains of independence namely independent functioning, economic activity, language development, numbers and time, domestic activity, and socialization of adolescents with Down Syndrome. Parental structure significantly affects two domains which are language development (Beta = 0.517; p = 0.014; significant on L.o.S 0.05) and numbers and time (Beta = 0.560; p = 0.011; significant on L.o.S 0.05), while parental involvement significantly affects socialization domain (Beta = 0.482; p = 0.013; significant on L.o.S 0.05). Based on those results, it is necessary for parents to increase their parental autonomy support, parental involvement, and especially parental structure to help increase their children’s independence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maisya Putri Nibenia
"Anak down syndrome dengan keterbatasanya mendapatkan perhatian yang lebih banyak dari orang tua dibandingkan sibling. Perbedaan perlakuan antar anak oleh orang tua dapat mempengaruhi hubungan antar saudara dan pola asuh yang dilakukan orang tua juga dapat mempengaruhi dimensi hubungan yang berkaitan dengan kualitas sibling relationships. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara pola asuh orang tua dengan sibling relationship pada anak down syndrome. Penelitian menggunakan pendekatan cross-sectional pada 60 responden orang tua yang dipilih melalui teknik cluster sampling menggunakan instrumen Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) dan Sibling Relationship Questionnaire (SRQ). Hasil penelitian menunjukan 73.9% responden menerapkan pola asuh autoritatif dan 61.67% terbentuk sibling relationship positif antara anak down syndrome dan sibling. Hasil analisis bivariat uji fisher exact memperoleh hasil p value <0.001 (<0.05). Hasil ini menunjukan adanya hubungan pola asuh orang tua dengan sibling relationship pada anak down syndrome. Peneliti merekomendasikan mengikutsertakan sibling dalam penelitian selanjutnya untuk melengkapi data dari sisi sibling.

Children with Down syndrome with their limitations get more attention from their parents than their siblings. Differences in treatment between children by parents can affect the relationship between siblings and parenting style by parents can also affect the dimensions of the relationship related to the quality of sibling relationships. This study aims to identify the relationship between parenting style and sibling relationship in children with Down syndrome. The study used a cross-sectional approach to 60 parent respondents who were selected through a cluster sampling technique using the Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) and Sibling Relationship Questionnaire (SRQ) instruments. The results showed that 73.9% of respondents adopted authoritative parenting and 61.67% formed a positive sibling relationship between children with Down syndrome and siblings. The results of the bivariate analysis of the Fisher's exact test obtained a p value <0.001 (<0.05). These results indicate that there is a relationship between parenting style and sibling relationship in children with Down syndrome. Researchers recommend including sibling in future research to complete data from sibling side."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Eydietha Puspa Arsanty
"Anak-anak dan remaja dengan down syndrome berisiko mengalami overweight dan obesitas dibandingkan populasi umum. Studi ini bertujuan untuk menggambarkan pola asupan energi dan zat gizi, praktik pemberian makan serta perilaku makan mereka. Sebanyak 25 anak dan remaja dilibatkan dalam pengukuran antropometri dan pencatatan riwayat asupan dengan metode 24-hour food recall untuk menilai status gizi dan asupan zat gizi mereka. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memahami praktik pemberian makan orang tua dan perilaku makan anak. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap sekelompok orang tua anak down syndrome berstatus gizi normal berdasarkan indeks IMT/U. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan ahli gizi dan dokter spesialis anak. Ditemukan bahwa walaupun sebagian besar (80%) anak dan remaja berstatus gizi normal, rerata asupan energi, protein, karbohidrat, dan lemak lebih rendah dari rekomendasi AKG yang berpotensi disebabkan oleh upaya orang tua untuk mengontrol asupan kalori anak mereka secara dominan. Hal ini diperkuat dengan temuan kekhawatiran serius terhadap pertumbuhan anak, laporan rendahnya kontrol anak terhadap sinyal kenyang, serta sensitivitas tekstur. Penilaian pemberian makanan pada setiap kunjungan harus dilakukan, dengan mempertimbangkan aspek karakteristik down syndrome yang dapat mempengaruhi penerimaan makanan mereka.

Children and adolescents with down syndrome are at risk of being overweight and obese than the general population. This study aims to assess their energy and nutrient intake, feeding practices and eating behaviour. A total of 25 children and adolescents were included in anthropometric measurements and 24-hour food recall to assess their nutritional status and dietary intake. To understand parents' feeding practices and their child's eating behaviour, a qualitative approach was taken. A focus group discussion (FGD) was conducted with a group of parents of a child with down syndrome and had normal growth status based on BMI-for-age. In-depth interviews were also conducted with a registered dietician and paediatrician. Although the majority (80%) of children and adolescents had normal nutritional status, their average intake of energy, protein, carbohydrates, and fat were lower than the AKG recommendation, which were potentially caused by parents' predominant control of child's calorie intake. This is later confirmed by parents’ great concerns about child’s growth, reports of child’s low satiety responsiveness, and texture sensitivity. Feeding assessment at any visit should be addressed, taking into account down syndrome's characteristics that may influence their food acceptance."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>