Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aliya Dewi Anggiassyifa
"Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana kemungkinan kebingungan (likelihood of confusion) dapat menjadi suatu alasan untuk membatalkan Merek terdaftar. Likelihood of Confusion terkandung di dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement sebagai syarat suatu Merek dapat ditolak atau dibatalkan pendaftarannya. Syarat ini dianut oleh negara Amerika Serikat dan Inggris dalam regulasi perlindungan Mereknya. Akan tetapi, Indonesia tidak mengatur mengenai syarat likelihood of confusion dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Walaupun demikian, terdapat pertimbangan Majelis Hakim di Indonesia yang mencoba mempertimbangkan likelihood of confusion sebagai alasan pembatalan Merek, yakni pada Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif berdasarkan data yang diperoleh dari data kepustakaan. Penelitian ini pertama-tama akan membandingkan pengaturan dan penerapan terkait likelihood of confusion di Negara Amerika Serikat dan Inggris berdasarkan kasus. Kemudian akan dibandingkan dengan pengaturan di Indonesia yang selaras dengan likelihood of confusion dan bagaimana hal tersebut diterapkan dalam Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Pada prinsipnya, likelihood of confusion selaras dengan persamaan pada pokoknya yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, namun hanya bersandar pada ada atau tidaknya kemiripan pada Merek dan jenis barang/jasa. Padahal, likelihood of confusion dapat dilihat dari sudut pandang lain apabila Majelis Hakim bersedia meluaskan cara penilaiannya terhadap persamaan pada pokoknya sebagaimana dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris. Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapat menyertakan klausul kebingungan (confusion) untuk menolak dan membatalkan Merek agar pertimbangan sebagaimana dalam Putusan Nomor 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst dapat menjadi suatu ratio decidendi atau legal reasoning yang memadai.

This research is aimed to discuss how the doctrine of Likelihood of Confusion may be applied as grounds for the cancellation of a registered trademark. Likelihood of Confusion is contained within Article 16 (1) TRIPS Agreement as a prerequisite to refuse or cancel a trademark’s registration. This prerequisite is also mirrored within the United States of America and United Kingdom’s trademark regulation. However, Indonesia has not adopted this likelihood of confusion prerequisite in Law Number 20 of 2016 regarding Trademark and Geographical Indication. Even so, there exist a judge’s consideration which has adapted to include the likelihood of confusion as a ground for cancelling a registered trademark, namely Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. This research will adopt the juridical-normative approach based on literature data. This research will be firstly served by comparing the regulation and application of likelihood of confusion within cases found in the United States of America and the United Kingdom.  Then comparison with regulations in Indonesia relating to likelihood of confusion will be made and how it is adapted into Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst. Essentially, the Trademark Law of Indonesia only depends on whether similarity can be found within the mark and the types of goods/services. In fact, the likelihood of confusion can be seen from another perspective if the judges are willing to expand their assessment of the similarities in essence as is done in United States and the United Kingdom. Apart from that, Indonesia can hopefully include a confusion clause for refusing and cancelling trademarks in order to make the judges consideration found within Decision Number 101/Pdt.Sus-Merek/2022/PN Jkt.Pst as a ratio decidendi or an ample legal reasoning."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.

The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Rudiarto
"Skripsi ini membahas mengenai persamaan pada pokoknya terhadap merek yang tergolong merek tidak terkenal, dan mekanisme yang harus diatur untuk menilai bahwa suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek lain. Kedua permasalahan tersebut diulas menggunakan metode kualitatif dan ditinjau dari hukum merek. Persamaan pada pokoknya tersebut dilarang oleh Undang-undang Merek, namun belum ada mekanisme yang pasti untuk menilai suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya. Penilaian tersebut menjadi penting, karena penilaian persamaan pada pokoknya sangatlah subyektif. Ketidakjelasan mekanisme ini terkadang menimbulkan perbedaan dalam menerapkan persamaan pada pokoknya pada satu merek. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa perlu dibentuk peraturan yang menjelaskan kriteria yang pasti mengenai penilaian persamaan pada pokoknya.

This bachelor thesis discusses about likelihood of confusion to two trademarks which are not considered as famous trademarks and the mechanism which is needed to be regulated to assess likelihood of confusion. Both of those issues were examined using qualitative method in the term of trademark law. Likelihood of confusion is prohibited by Trademark Law, but still there is no clear mechanism to assess likelihood of confusion for trademark. This assessment is important, as the assessment for likelihood of confusion is subjective. The unclear mechanism can sometimes cause differency to apply likelihood of confusion theory for trademark. This research result suggest that it is needed to create regulation which explains clear characteristic to assess likelihood of confusion for trademark."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56750
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Nuraeni
"Skripsi ini membahas tentang ketentuan persamaan pada pokoknya dalam sebuah merek berdasarkan pada doktrin-doktrin merek yang dianut dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Doktrin-doktrin merek tersebut menjadi dasar pengujian dalam penolakan pendaftaran merek, oposisi, pembatalan , dan juga salah satu dasar gugatan dalam sebuah pelanggaran merek. Sebagai pembanding tentang ketentuan tersebut digunakan ketentuan yang dianut sistem Amerika Serikat dan Masyarakat Uni Eropa ( European Economic Community). Untuk memahami konsistensi penerapan ketentuan tersebut dalam kasus digunakan dua buah kasus yaitu kasus sengketa merek antara Extra Joss melawan Enerjos dan Kasus IKEA dengan IKEMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan desain preskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat inkonsistensi dalam penerapannya doktrindoktrin merek, sehingga diperlukan beberapa revisi terhadap undang-undang yang berlaku saat ini.

This thesis investigated the use of likelihood of confusion clause from its doctrine point of view as stated in Indonesia’s Mark Law No. 15 Year 2001.The doctrines serve as grounds for refusing registration, opposing application, canceling registration, and for claiming infringment of mark. The U.S System and Europan Economic Community (EEC) sytems are used as comparison to the Indonesian law. To understand the application of the doctrines in cases, two cases were selected, which are Extra Joss versus Enerjos and IKEA versus IKEMA. This thesis used doctrinal method as a research method with prescriptif design. The study found that there are inconsistencies in the application of the mark doctrines therefore some revisions to the law should be made accordingly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firizky Ananda
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pengaturan konsep persamaan pada
pokoknya dalam Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs, dan Undang-Undang No. 15
Tahun 2001 tentang Merek. Selain itu skripsi ini membahas pula mengenai
bagaimana penerapan konsep persamaan pada pokoknya pada kasus-kasus
pembatalan merek di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaturan
konsep persamaan pada pokoknya dalam Konvensi Paris, Persetujuan TRIPs, dan
UU Merek 2001 dan penerapan konsep persamaan pada pokoknya sudah sesuai
dengan Konvensi Paris dan Persetujuan TRIPs.

ABSTRACT
This thesis focuses on how the regulation of likelihood of confusion concept in
Paris Convention, TRIPs Agreement, Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001.
Furthermore, this thesis also focuses on the application of the likelihood of
confusion in the cancellation of trademark registration cases. This research is
qualitative descriptive interpretive. The result of the research shows that
likelihood of confusion concept is regulated in Paris Convention, TRIPs
Agreement, and UU Merek 2001 and the application of likelihood of confusion
concept has been in accordance with Paris Convention and TRIPs agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43789
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Janice Fitri Piekarsa
"Di Indonesia, istilah yang bersifat deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek yang dilindungi oleh hukum merek di Indonesia. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak merek yang bersifat deskriptif berhasil didaftarkan. Hal ini menimbulkan ketidakselarasan antara hukum tertulis dan prakteknya. Larangan untuk mendaftarkan istilah deskriptif sebagai merek ini memiliki alasannya tersendiri. Istilah deskriptif tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena adanya kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat apabila istilah umum yang bersifat deskriptif dimiliki secara eksklusif oleh satu pihak. Sebagai akibat dari banyaknya merek deskriptif yang berhasil didaftarkan di Indonesia, dibutuhkan ketentuan yang dapat mengatur pendaftaran merek deskriptif agar tetap dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisa ketentuan di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang mengatur terkait merek deskriptif yang dapat didaftarkan karena telah memiliki daya pembeda yang kuat. Analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengaturan di Indonesia.

In Indonesia, descriptive terms cannot be registered as a trademark protected by Indonesian trademark law. However, in reality, many descriptive terms have been successfully registered as a trademark. This creates a discrepancy between written law and its practice. This prohibition to register descriptive terms as trademarks has its own reasons. Descriptive terms cannot be registered as trademarks because of the possibility of unfair business competition if general descriptive terms are owned exclusively by one party. As a result of the large number of descriptive marks that have been successfully registered in Indonesia, provisions are needed to regulate the registration of descriptive marks to minimize the potential of unfair business competition occuring. In this thesis, the author will analyze the provisions in the United States and the European Union that regulate the registration of descriptive trademarks based on their distinguishing power. This analysis is expected to provide input for regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maria Jayanti
"ABSTRAK
Merek merupakan "tanda" berupa kata, angka, gambar, simbol ataupun
warna untuk memberikan identifikasi pembuatnya sehingga dapat membedakan
satu barang dengan barang lainnya. Hak atas merek merupakan salah satu
kelompok benda bergerak tak berwujud, yang diberikan kepada orang yang
memang berhak dan di dalamnya mengandung suatu penguasaan mutlak, sehingga
sering disebut sebagai hak milik yang sifatnya tidak berwujud. Sebagai hak milik,
maka hak atas merek pun dapat beralih salah satunya melalui perjanjian. Skripsi
ini membahas tentang pengalihan hak atas merek terdaftar melalui perjanjian jual
beli, diambil contoh kasus merek "BUGARIN". Adapun yang menjadi pokok
permasalahan adalah bagaimana pengaturan pengalihan hak milik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata , bagaimana pengaturan pengalihan hak atas
merek terdaftar yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek, serta bagaimana analisis yuridis atas Akta Perjanjian Pengalihan
Hak atas Merek Terdaftar "BUGARIN" dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Metode penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif
yang memiliki makna pencarian sebuah jawaban tentang suatu masalah. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kegiatan penelitian
kepustakaan dan mempelajari data sekunder. Dapat disimpulkan bahwa hak atas
merek merupakan salah satu hak milik yang diatur dalam Pasal 570 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Sebagai hak milik, berdasarkan Pasal 40 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 hak atas merek dapat beralih karena
pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak atas merek ?BUGARIN?,
merupakan salah satu contoh pengalihan hak atas merek terdaftar dikarenakan
oleh perjanjian. Walapun dalam Akta Perjanjian Pengalihan Merek "BUGARIN"
tidak disebutkan kata jual beli, namun akta tersebut memenuhi unsur jual beli
yang diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

ABSTRACT
Trademark is a "sign" the form of words, numbers, pictures, symbols or
colors to provide identification of the manufacturer so it can distinguish between
goods. Trademark rights is one of intangible movable assets, which is given to
people who are eligible and in it contains an absolute mastery, so often referred to
as the property of an intangible nature. As property rights, trademark rights was
able to switch one of them through treaties. This thesis discusses the transfer of
trademark rights with the sale and purchase agreement, drawn brand case
"BUGARIN". The fundamental problem is how the transfer of property rights
arrangements in the Book of the Civil Code Act, how the arrangements for
transfer of trademark are set out in Act No. 15 Year 2001 about Trademark, and
how the legal analysis on the Deed of Assignment Agreement Registered brand
"BUGARIN" associated with Act No. 15 of 2001 about Trademark and the Book
of the Civil Code. The method of writing this thesis using research methods that
have a normative juridical that have purpose to seek an answers about a problem.
Collecting data methods conduct with using the research literature and study of
secondary data. We can concluded that trademark rights is one of property rights
provided for in Article 570 of Act Book of the Civil Code. As property, pursuant
to Article 40 paragraph (1) of Act No. 15 year 2001 about Trademark, transfers
of trademark be able due to inheritance, wills, grants, agreements, or other causes
which are justified by the legislation. The transfer of rights to the brand
"BUGARIN", is one example of transfer of trademark because of the agreement.
Although the Deed of Trademark Transfer Agreement "BUGARIN" is not
mentioned the word ?sale and purchase?, but the deed meets the elements of sale
and purcase agreement set forth in Section 1457 of Act Book of the Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43885
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aktoven Leharme Rumapea
"Skripsi ini membahas mengenai perbuatan penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheden yang dapat mengakibatkan pembatalan perjanjian. Perjanjian kredit yang terjadi antara PT PDRH dengan Bank BNI mengandung perbuatan penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh Bank BNI.Permasalahan ekonomi pada tahun 1998 menjadi penyebab utama terjadinya penyalahgunaan tersebut, dimana berdasarkan kebijakan pemerintah pelunasan kredit macet harus diserahkan kepada BPPN. Kebijakan tersebut memberikan kewenangan kepada BPPN untuk memberikan pengurangan hutang pokok, pengurangan bunga maupun penghapusan denda, penghapusan kelebihan nilai kurs dan lain-lain sebagaimana yang diperoleh oleh nasabah lain. Majelis Hakim dan Mahkamah Agung menetapkan Bank BNI telah terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan misbruik van ostandigheden. Hal ini mengakibatkan perjanjian kredit yang dibuat oleh Bank BNI menjadi batal demi hukum. PT PDRH hanya perlu membayar sisa hutang dari pinjaman kredit tersebut tanpa dibebani bunga pembayaran.

This thesis is focuses its discussion on abuse of circumtances misbruik van omstandigheden that can cause cancellation of agreement. Credit agrrement beetwen PT PDRH with Bank BNI contains abuse of cirumtances which is conducte by Bank BNI it self. The economic problem at 1998 became the main cause of such abuse, where under the governments policy, the repayment of bad debts must be submited to BPPN. The policy garants the authority to BPPN to provide reduction of principal debts, interest the deductions adnd write offs, the elemination of exchange rates, obtained by the others customers. Panel of Judges and The Supreme Court have determined Bank BNI had been proven to commit the abuse of circumtances misbruik van omstandigheden. This resulte in the credit agreement made by the bank to be null and void. PT PDRH only need to pay the remaining debt of the loan without the burden of fines.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Ramadina
"Hingga tahun 2020, upaya untuk memperoleh ganti rugi para Investor atas kerugian yang dialami karena terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dapat ditempuh melalui gugatan perdata. Namun diakhir 2020, OJK mengeluarkan aturan mengenai disgorgement dan disgorgement fund yaitu Peraturan OJK Nomor 65/POJK.04/2020 guna memberikan aksi remedial dan langkah perlindungan bagi investor melalui pemberian dana kompensasi atas kerugian yang dideritanya. Penelitian ini akan meninjau mekanisme dan aturan mengenai disgorgement dan disgorgement yang diterbitkan oleh OJK, guna memastikan potensi keberhasilan dari upaya tersebut. Dalam skripsi ini, Penulis telah menganalisis peraturan terkait dengan peraturan di Amerika Serikat. Penulis juga telah menganalisis kasus di pasar modal Amerika Serikat yang diberikan penetapan disgorgement dan melakukan disgorgement fund. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dari kepustakaan melalui studi dokumen dan wawancara dengan terkait yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan disgorgement dan disgorgement fund di Indonesia dapat mempermudah investor yang mengalami kerugian di pasar modal untuk memperoleh dana kompensasi, namun penetapan disgorgement tanpa adanya bunga dapat berpotensi tidak terpenuhinya efek jera bagi pelaku. Disamping itu, pengaturan di Indonesia yang mengadopsi dari Amerika Serikat belum memasukkan secara jelas mekanisme dan unsur-unsur besaran penetapan disgorgement sehingga hal ini perlu menjadi perhatian khusus agar dapat diterbitkan peraturan tambahan lainnya.

Until 2020, actions to obtain compensation of investors for losses suffered due to violations of laws and regulations can be taken through civil lawsuits. At the end of 2020, OJK issued regulations of disgorgement and disgorgement funds, namely POJK Number 65/POJK.04/2020 to provide the remedial actions and as protect action for investors through the provision of compensation funds for the losses suffered. This research will review the methods and rules regarding disgorgement and disgorgement fund issued by OJK to ensure the potential success of these rules. In this thesis, the Author has compared the regulations related to the regulations in the United States. The Author has also analyzed the case in the United States capital market which was given a disgorgement and disgorgement fund. This research was conducted with a juridical-normative research method with data obtained from the literature through document studies and interviews with OJK. The results of the study show that the regulation of disgorgement and disgorgement funds in Indonesia can protect the investor and help the investor to get the compensation funds or disgorgement funds. However, the provision of disgorgement without interest has potential not fulfill a deterrent effect for the respondent. In addition, the regulation in Indonesia that adopted from the United States has not clearly included the mechanism and elements of the amount of disgorgement, so this need special attention for additional regulations that will be issued. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>