Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196401 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Khoirnafiya
"Disertasi ini membahas tentang gerakan kebangkitan kembali (revival) Penghayat-Kejawen yang dalam arti luas juga merupakan gerakan kepercayaan, adat, dan tradisi. Keberadaan gerakan ini menunjukkan adanya dinamika gerakan kembali kepada Kepercayaan, adat, dan tradisi di tengah-tengah gencarnya gerakan keagamaan yang berbasis trans-nasional yang cenderung kosmopolitan. Bingkai gerakan kebangkitan mengartikulasikan ajaran, praktik ritual keseharian, aksi resistensi (perlawanan), serta aksi-aksi lain yang dikonstruksi dan digunakan dalam gerakan kebangkitan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memotret kekompleksan kondisi dan akvitas Penghayat-Kejawen dalam penelitian. Kerja lapangan (fieldwork) dalam penelitian ini dilakukan dengan etnografi multisitus, mengikut gerak dari Penghayat. Teknik pengumpulan data pada penelitian adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam, dan analisis konten terhadap media sosial yang dipergunakan Penghayat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada artikulasi faktor pendorong munculnya gerakan kebangkitan Penghayat-Kejawen. Gerakan kebangkitan itu didorong oleh berbagai determinan (penentu), yaitu landskap, sejarah, dan nilai-nilai Kejawen yang saling terkait. Nilai-nilai Kejawen menjadi penting ketika dipandang sebagai ideologi dari aktivis yang mendorong aksi gerakan. Dalam teori gerakan sosial, konstruksi nilai-nilai tersebut adalah bingkai budaya yang menunjukkan bahwa perjuangan Penghayat-Kejawen adalah perjuangan budaya (simbolik/identitas/nilai) melampaui perjuangan kelas yang dilakukan oleh aktor (aktivis) Penghayat dalam merespon kesempatan politik dan mengkonstruksi sumber daya. Hasilnya pada era sekarang, Penghayat-Kejawen melakukan caracara mobilisasi “baru”, yaitu artikulasi cara-cara/strategi dengan memadukan cara-cara tradisional (ritual) dan modern (kelembagaan dan media internet/media sosial) dalam berbagai bentuk bukan serta opoisisi (resistensi), tetapi pemosisian dengan kolaborasi, negosiasi, dan lobi. Jika asumsi bahwa Penghayat-Kejawen bersifat mistis dan ekslusif (tertutup), penelitian ini justru menunjukkan bahwa mereka menjalin interaksi dengan berbagai pihak yang menjadi aliansi (sekutu), yaitu berkolaborasi dengan orang atau kelompok lain yang berada di pemerintahan (negara) dan lembaga swadaya masyarakat. Interaksi tersebut menentukan eleman gerakan Penghayat-Kejawen dan menciptakan bentuk gerakan revivalisme/nativisime “baru” yang dilakukan oleh Penghayat-Kejawen yang berbeda dengan gerakan Penghayat era kolonialisme.

This dissertation discusses Penghayat-Kejawen and their revival movement, generally defined as a movement of belief, custom and tradition. Its presence indicates a dynamics of returning to belief, custom, and tradition, amid the vigorous movement of trans-national and relatively cosmopolitan religiosity. Its framework articulates teachings, daily ritual practice, resistance, and other actions that are constructed and applied in the revival movement.
This research applies qualitative method to portray Penghayat-Kejawen’s condition complexity and activity. Fieldwork during this research was conducted by means of multi-sited ethnography, by following the movement of Penghayat. Data was collected using participatory observation and in-depth interview, as well as content analysis of social media used by Penghayat.
Research result indicates that the revival of Penghayat-Kejawen is encouraged by articulation factor, with its various determinants, i.e., landscape, history, and related values of Kejawen. The values become crucial when viewed as ideologies of activists encouraging the movement. In the theory of social movement, construction of the values is a cultural framework, indicating that the struggle of PenghayatKejawen is a cultural struggle (related to symbol/identity/value), surpassing class struggle performed by actors (activists) of Penghayat in responding to their political opportunity and reconstructing resources. As a result, Penghayat-Kejawen performed “new” mobilization method, i.e., method/strategy articulation by integrating traditional method (rituals) and modern (institutional method and internet/social media) in various forms, i.e., positioning by means of collaboration, negotiation, and lobby, instead of opposition (resistance). In spite of the assumption that Penghayat-Kejawen is mystical and exclusive, this research reveals that they interact with various alliance parties, by collaborating with other person or groups of people under the goverment (state) and non-governmental organization. The interaction determines the element of Penghayat-Kejawen and creates “new” revivalism/nativism movement which differs from Penghayat during colonialism era.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fitri Phuspita
"Skripsi ini membahas mengenai sistem kepercayaan adat kehamilan dan kelahiran didalam masyarakat Jawa dalam teks Platenalbum Yogya 30. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori religi untuk mendeskripsikan sistem kepercayaan yang mendasari adat kehamilan dan kelahiran dalam masyarakat Jawa yang terkandung didalam teks Platenalbum Yogya 30 dan menjelaskan aspek-aspek sistem kepercayaan yang membangun adat kehamilan dan kelahiran dalam masyarakat Jawa melalui tema-tema adat yang muncul apa teks tersebut, seperti ngidam , pantangan, selamatan dan upaya adat yang juga mengandung sistem nilai aktivitas sosial seperti sikap, tindakan, tingkahlaku dan cara.

The focus of this study is the belief system of pregnancy and birth in Javanese society in the text of Platenalbum Yogya 30. This research that writers do by using religion theory to describe the belief system provided the basis for the pregnancy and birth Javanese society tradition which contained in the text Platenalbum Yogya 30 and to explain the aspects of belief system which build the pregnancy and birth tradition in Javanese society by means of the culture themes that emerge in that text, such as Ngidam, Pantangan, Selamatan, and Upaya Adat which also contain the social activity value system such as , attitude, measure, behavior and manner."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S11648
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LP3ES, 1988
297.65 TRA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gunadi
"Watu Kandang adalah nama yang diberikan oleh masyarakat setempat untuk satu susunan batu berbentuk empat persegi panjang atau rectangular encloser of stones. Watu Kandang tersebut ditemukan secara berkelompok di beberapa lokasi atau situs yang tersebar di wilayah Kecamatan Tawangmangu dan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Oleh Soejono monumen tersebut diklasifikasikan dalam peninggalan dari tradisi megalitik, tetapi hingga saat ini secara tegas belum dapat dijelaskan apa fungsi Watu Kandang.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelian ini mencakup daerah yang lebih luas dari situs-situs Watu Kandang, selain data berupa beberapa situs Watu Kandang, akan ditemukan variabel lain seperti lingkungan dan artefak lainnya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa situs Watu Kandang adalah sebuah situs kubur, sedang pemukiman masyarakat yang mendirikannya terletak relatif tidak jauh dari situs Watu Kandang, yaitu ditandai dengan faktor-faktor lingkungan yang mendukungnya serta kepadatan temuan gerabah, dan punden. Salah satu keunikan dari Watu Kandang ini adalah arah hadap monumen tersebut yang tidak berkiblat pada puncak gunung, tetapi pada arah munculnya matahari. Lebih jauh dapat diketahui bahwa Watu Kandang tersebut dibangun pada satu musim tertentu. Selanjutnya Watu Kandang merupakan kubur primer atau sekunder perlu penelitian yang lebih mendalam.

Watu Kandang is addressed to rectangular encloser of stones which is given by the local people. They are found in clusters and the sites are spread out all over Tawang-mangu and Matesih district in the Karanganyar regency of central Java. R.P. Soejono said that these monuments are classified from the megalithic tradition but explanation about the function of Watu Kandang are as of yet exactly unknown.
The research by this writer ,in the Watu Kandang sites is different from any other research that has been done before. This research was conducted not only at the Watu Kandang location, but also in the surrounding area. The writer will include information on variables such as the environment and additional artifacts.
The research concluded that Watu Kandang is a tomb and a settlement is not too far from this burial site. This is indicated by environmental factors, potsherd density and punden (sacrificial place). The spatial orientation of Watu Kandang is of interest because it is not directed towards the top of the mountain (mount Lawu) but rather towards the place where the sun rises. The data gives information about when Watu Kandang was built. Finally research on whether Watu Kandang is a primary or secondary burial sites is very important and will be disscussed in further study."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Laksmi Gondokusumo
"ABSTRAK
The study is trying to understand how Tongkonan, the Toraja traditional architecture, in facing the influence of modern culture towards the traditional culture such as believes, values, regulation and habits of the Toraja community. Culture is a perception or knowledge of community such as believe, norms, as a reference in facing the environment, such as social environment and physical environment.
Now the social environment is gradually changing by the rush of tourism in Toraja. In the one hand Tourists exist to fulfill their social needs such as beautiful scenery, religious ceremony, Toraja traditional architecture (Tongkonan), etc, whilst tourism itself by their modern culture could influence the traditional culture of the Toraja community.
The changes caused by modernization process will be gradually changing the daily living pattern of the Toraja community; the questions will be derived such as :
(1) how far these changes eliminate Tongkonan function ?, and
(2) does Tongkonan as a physical traditional still needed by Toraja community
This study is trying to answer the above-mentioned questions by using survey method in the Tikuna Malenong village, Sanggalangi district at Toraja Regency as a sample. Questionnaire and interview are mainly emphasized on the community's daily habits and living pattern towards old ethnic tradition of Toraja, namely A7uk Todo7o, especially in conjunction with the traditional house of Toraja.
The result of the study are as follows :
1. The physical room lay-out is limited, so the movement of the inhabitant is also limited.
2. However, the present living pattern needs more flexibility then the room layout now adjusted as shown in the new Tongkonan namely Tongkonan Dilanggara.
3. Eventhough the modern culture influences the community living pattern, the old tradition is still reluctant to be changed as shown in the unchanged basic design of Tongkonan.
The benefits of the study is to provide an understanding of the attitude of ethnic community in facing the modern culture, how to maintain their living pattern through the cultural form such as the architecture of traditional house, and also as a suggestion to the decision maker in managing the Indonesian ethnic culture.

Kajian ini berusaha memahami pengaruh budaya masyarakat Toraja masa kini terhadap arsitektur tradisionalnya yang bernama Tongkonan. Yang dimaksud budaya disini adalah pandangan atau pengetahuan suatu masyarakat berupa kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan yang menjadi acuan dalam bertindak guna menghadapi lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik atau lingkungan buatan.
Kini lingkungan sosialnya telah berubah oleh adanya pariwisata yang makin meningkat. Para wisatawan disatu pihak hadir untuk suatu kebutuhan tertentu, dan melahirkan tuntutan yang akan dinikmatinya, misalnya keindahan alam Tana Toraja, upacara keagamaan, dan keberadaan arsitektur tradisional seperti Tongkonan tadi. Sementara itu wisatawan juga membawa pengaruh yang bersifat modern, berupa pengetahuan baru yang mungkin sekali mempengaruhi pengetahuan lama yang dimiliki orang Toraja.
Pengetahuan baru karena pengaruh pariwisata tadi menyebabkan orang Toraja menentukan pilihan, terutama yang menyangkut keberadaan Tongkonan. Pilihan itu harus diambil karena orang Toraja harus mempertahankan Tongkonan dan hal lain yang terkait dengan itu, misalnya upacara. Keutuhan Tongkonan memberi pengaruh terhadap peningkatan taraf hidup mereka, karena Tongkonan merupakan salah satu faktor yang menarik wisatawan.
Pengetahuan mereka yang berkembang menyebabkan perubahan persepsi mereka tentang kesehatan (penyediaan jamban dirumah), keamanan (kondisi dapur yang tidak mudah menimbulkan kebakaran), kesejahteraan: misalnya ruangan untuk kebutuhan pendidikan anak-anak mereka yang memenuhi syarat. Keadaan tersebut diatas melahirkan masalah yang akan dicoba difahami, meialui penelitian ini. Permasalahan yang timbul adalah :
1. Apakah fungsi Tongkonan akan tergeser karena perubahan pola hidup ?
2. Apakah masyarakat Toraja masih memerlukan suatu wujud budaya secara fisik dalam bentuk Tongkonan ?
Lokasi yang dipilih adalah desa Tikuna Malenong, kecamatan Sanggalangi Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan. Dipilih lokasi ini karena : masyarakatnya masih menganut adat istiadat etnik Toraja, lokasi Bering -dikunjungi wisatawan , sehingga diduga Bering berinteraksi dengan orang luar Toraja, kepadatan penduduknya paling tinggi dan lokasi memiliki obyek wisata cukup lengkap.
Data-data dikumpulkan dengan menggunakan cara pengambilan sampel acak sederhana. Data dikumpulkan dari responder melalui wawancara yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang terstruktur. Analisis data dilakukan secara diskriptif dan analisis uji statistik.
Kesimpulan yang didapat penelitian ini adalah :
1. Ditinjau dari segi kesehatan dan keselamatan lingkungan, bentuk Tongkonan asli tidak dapat dipertahankan.
2. Fungsi Tongkonan dasar belum tergeser, karena fungsi Tongkonan dapat dilengkapi dengan ruangan yang diinginkan. Kelengkapan ruangan itu dapat ditemui dalam Tongkonan Dilanggara.
3. Pengaruh tradisi dalam kaitannya dengan Tongkonan masih akan melekat dalam waktu cukup lama ditinjau dari perilaku masyarakatnya.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memahami pandangan masyarakat Toraja dalam menghadapi modernisasi yang datang ke daerahnya. Dan bagaimana mempertahankan pola kehidupan melalui bentuk kultural seperti arsitektur rumah tradisional dan juga sebagai sumbang saran bagi pembuat keputusan dalam mengelola kebudayaan etnik di Indonesia.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Qoyim
"Disertasi ini mengkaji konteks, dan fungsinya Dalang Jemblung sebagai tradisi lisan, bagi masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Dalang Jemblung adalah tradisi yang dituturkan dengan cara menggelar pertunjukan yang khas dalam bahasa Banyumas. Bentuk, cara penyajian, dan bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Dalang Jemblung dari dahulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan secara signifikan, tetapi lakon ceritanya dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan konteks perkembangan khalayaknya. Penciptaan lakon cerita dalam pertunjukan Dalang Jemblung dilakukan sekaligus dengan penuturannya. Lakon yang dibawakan dalam pertunjukan Dalang Jemblung diciptakan atas kondisi yang kontekstual. Struktur pertunjukan Dalang Jemblung terdiri atas: bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian penutup. Dalang menciptakan jalannya cerita yang akan dilakonkan dalam pertunjukan dengan cara tidak menghafal, tetapi memanfaatkan persediaan formula di dalam ingatannya. Formula yang digunakannya berupa formula dalam dan formula luar. Pewarisan Dalang Jemblung dilakukan secara otodidak antara Dalang terdahulu dengan Dalang kemudian melalui proses mendengarkan penuturan, melakukan penuturan, dan mendialogkan hasil penuturan antar generasi Dalang. Adanya satu kesatuan konteks yang saling memengaruhi antara Dalang, penonton, penyelenggara pertunjukan, kesempatan pertunjukan, waktu dan tempat pertunjukan, imbalan jasa pertunjukan, dan inovasi pertunjukan menjadikan Dalang Jemblung dapat tetap bertahan hidup di dalam masyarakat Banyumas. Dalang Jemblung yang dikhawatirkan akan mati bahkan punah, ternyata masih berfungsi di dalam kehidupan masyarakat Banyumas dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakatnya. Fungsi-fungsi itu berguna bagi pembentukan karakter dan identitas panginyongan pada masyarakat Banyumas khususnya dan bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.

This dissertation examines the context and function of Dalang Jemblung as an oral tradition, for the people of Banyumas, Central Java. Dalang Jemblung is a tradition that is spoken by performing a peculiar show in Banyumas language. The form, way of presentation, and the language used in Dalang Jemblung 39;s show from the beginning until recent time has not changed significantly, but the story can change from time to time in accordance with the context of the development of the audience.The creation of story in Dalang Jemblung shows is done at once with the narration. The story performed in Dalang Jemblung 39;s show were created on contextual conditions. The performance structure of Dalang Jemblung consists of: the prologue, the contents, and the epilogue. The Dalang creates the story that will be performed in the show by not memorizing, but using the formula in his memory. Formula used in the form of inner formulas and outer formulas. The inheritance of Dalang Jemblung is done autodidactically between the former Dalang and the recent Dalang through the process of listening, telling, and dialogue between generations of Dalang.The existence of a unified context that affects the Dalang, the audience, the performance organizers, the performance opportunities, the time and place of the performance, the rewards of performing services, and the performance innovation make Dalang Jemblung able to survive in Banyumas society. Dalang Jemblung who is feared to be extinct, was still fully functioning in the life of Banyumas society from time to time in accordance with the demands of society change. These functions are useful for the formation of character and identity of panginyongan in Banyumas society in particular and for the character formation of Indonesian nation in general."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2447
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Anggi Aulina
"Penelitian ini secara umum bertujuan memberikan outline bagi pengembangan studi pencegahan kejahatan dengan cara yang lebih terintegrasi. Selanjutnya, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memberikan jawaban ilmiah pada tantangan fenomena kejahatan berkelanjutan di wilayah perkotaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method sequential, dimana pendekatan kuantitatif akan diikuti oleh pendekatan kualitatif yang akan menjawab pertanyaan penelitian. Sebagai tambahan dalam pengembangan kajian studi pencegahan kejahatan, maka sebagai pendekatan teoretis peneliti memanfaatkan pemikiran mengenai konsep ruang dari Lefebvre dan teori strukturasi dari Giddens.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa diperlukan suatu pendekatan holistik dalam studi pengendalian dan pencegahan kejahatan untuk dapat menganalisa masalah kejahatan berkelanjutan di ruang publik perkotaan. Keadaan Existing condition yang terungkap dalam penelitian ini menuntun kepada pembentukan model integratif pencegahan kejahatan, yang digambarkan baik dalam model Systems Thinking maupun model Matrix. Penelitian ini di satu pihak mengungkap kelemahan dari teori-teori yang masih berada dalam tataran disinitegratif pada bidang pencegahan kejahatan yang telah menghasilkan model pengamanan ruang publik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti terungkapnya keadaan (1) parsialitas dalam pendelegasian wewenang dalam isu keamanan (2) fenomena Vertical Crossed Domain (3) adanya model pengamanan yang berbasis tanggung jawab kepemilikan yang ternyata tidak efektif dan (4) tidak terkontrolnya keamanan dalam lokus yang saling bersinggungan. Dari hasil penelitian juga diungkap beberapa struktur penyebab fenomena kejahatan berkelanjutan dalam pandangan Systems Thinking, yang diantaranya adalah struktur kejahatan berkelanjutan aktual, struktur pola pikir disintegratif dalam pencegahan kejahatan dan Matrix Existing Condition berdasarkan Lefebvre-Giddens.
Penelitian ini pada akhirnya melahirkan sebuah model solusi atas kelemahan pencegahan kejahatan di ruang publik perkotaan, dari pendekatan sebelumnya, yaitu (a) Matrix Solusi Integratif berdasarkan Lefebvre ? Giddens, (b) Struktur Pola Pikir Integratif berdasarkan Wolstenholme, dan (c) Rekomendasi Kebijakan Terintegrasi, yang memungkinkan kelenturan aspek-aspek pencegahan kejahatan bereaksi terhadap ancaman kejahatan.

In general, the study aims to give an outline through a more integrated method in the development of crime prevention. In particular, to provide a scientific response to the challenging phenomenon of crimes persistence in urban areas. This study takes the mixed method sequential approach i.e. the quantitative approach is followed by a qualitative approach in response to the questions of the study. In addition, as a theoretical approach, the study makes use of Lefebvre's concept of space and Giddens theory of structure.
This study demonstrates that a holistic approach is needed in the prevention and control of crimes to enable the analysis of persisting crimes in urban public areas. The revealing situation of the existing condition in this study leads to the formulation of the integrated model of crime prevention, as illustrated in the models of Systems Systems and Matrix.
On the one hand the study discloses the weaknesses in the theories that maintains in the level of disintegrated crime prevention, and results in the model of public area security to the disagreement of public needs. This condition is revealed in the: (1) partiality related to the delegation of authority in security issues, (2) phenomenon of Vertical Crossed Domain, (3) the presence of ineffective security based on responsibility ownership, and (4) uncontrolled overlapping security. This study also reveals some structures in the causes of persisting crimes from the view of Systems Thinking, e.g. the structure of actual crime persistance, the disintegrated pattern of thinking to crime prevention, and Lefebvre-Giddens Existing Condition Matrix.
Eventually, the study delivers a solution model for the weaknesses of crime prevention in urban areas from the previous approach, namely, (a) Integrated Matrix Solution from Lefebvre-Giddens, (b) Integrated Pattern of Thinking from Wolsterholme, and (c) Integrated Policy Recommendation, enabling the flexibility of crime prevention aspects to react on threats of crime."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1426
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>