Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214333 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Agus Satria Jayatama S. Putra
"Latar Belakang: Polusi udara merupakan masalah kesehatan bagi petugas jalan raya, salah satu dari polusi udara yaitu CO.6 Pajanan CO kronis berakibat peningkatan kadar COHb dalam tubuh pekerja yang tidak menimbulkan keluhan jangka pendek namun berdampak pada aktivitas status oksidan tubuh yang paling sering diukur melalui kadar MDA.8 Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi pilihan dalam pajanan CO yang membantu meningkatkan oksigen seluler sehingga menghambat ikatan CO pada hemoglobin dan membantu menurunkan status oksidan. Penelitian terkait dampak pajanan CO kronis terhadap aktivitas status oksidan masih terbatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh TOHB terhadap COHb dan MDA pada pajanan CO kronis.
Metode: Penelitian ini dengan desain true experimental double blind control trial. Sebanyak 30 orang petugas jalan raya dibagi menjadi kelompok kontrol (normobaric hyperoxia) dan kelompok perlakuan (hyperbaric hyperoxia) menggunakan randomisasi blok. Kadar MDA dan COHB darah perifer diambil sebelum dan dua jam setelah intervensi. Pemeriksaan kadar MDA menggunakan metode TBARS sedangkan COHb menggunakan spektrofotometri.
Hasil: Terdapat penurunan kadar MDA kelompok intervensi (p=0,291) dan kelompok kontrol (p=0,051). Selisih rerata kadar MDA setelah intervensi (p=0,050) dimana tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) pada kedua kelompok. Terdapat penurunan kadar COHb kelompok intervensi (p=0,480) dan kelompok kontrol (p=0,776). Selisih rerata kadar COHb post intervensi (p=0,633) dimana tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) pada kedua kelompok.
Simpulan: Pemberian oksigen hyperbaric hyperoxia tidak memberikan perubahan bermakna namun memberikan penurunan yang lebih banyak dibandingkan dengan oksigen normobaric hyperoxia. Hal ini kemungkinan akibat dosis TOHB sebanyak satu kali belum cukup untuk memberikan dampak yang bermakna terhadap aktivitas status oksidan. Penelitian selanjutnya agar TOHB dilakukan lebih dari satu kali.

Background: Air pollution is a health problem for road workers, one of which is air pollution, namely CO.6 Chronic CO exposure results in an increase in COHb levels in the worker's body which does not cause short-term complaints but has an impact on enzymatic antioxidant activity which is most often measured by MDA levels.8 Research on the impact of chronic CO exposure on enzymatic antioxidant activity is limited. Hyperbaric oxygen therapy is the therapy of choice in CO exposure which helps increase cellular oxygen thus inhibits CO binding to hemoglobin and helps increase antioxidant cytoproteins.
Methods: This study used a true experimental double blind control trial design. A total of 30 traffic warden were divided into a control group (normobaric) and a treatment group (hyperbaric) using block randomization. Peripheral blood MDA and COHB levels were taken before and two hours after the intervention. The examination of MDA levels used the TBARS method while COHb used spectrophotometry.
Result: Both group were equal before the intervention (p>0.05). COHb levels in both group were decreased after the intervention (p=0.480) in control group and (p=0.776) in experiment group, so there was no significant difference after intervention (p>0,05). MDA levels were unsignificantly decreased in both group after intervention (p>0,05), control group (p=0.051) and experiment group (p=0.291). Mean difference in after intervention condition of both group also unsignificant (p>0,05).
Conclusion: Hyperbaric oxygen therapy did not provide significant changes but gave more reduction than normobaric. This is probably due to that one dose of TOHB is not sufficient to have a significant impact on enzymatic antioxidant activity. Subsequent research so that TOHB will be do more than once.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amrizal Umran
"Torsio testis merupakan kedaruratan dalam urologi yang dapat terjadi pada 1 dari 4000 laki-laki berusia dibawah 25 tahun, dan apabila keadaan ini tidak segera ditangani dengan benar dalam 4 sampai 6 jam dapat terjadi nekrosis testis. Dari penelitian sebelumnya didapatkan torsio testis dengan puntiran sebesar 720° dan lama puntiran lebih dari 4 jam dapat menyebakan kerusakan testis secara menetap. Oleh karena itu tindakan bedah sedini mwtgkin harus dilakukan untuk menyelamatkan testis dari kerusakan menetap, saat ini tindakan bedah yang dianjurkan adalah melakukan detorsi testis dan orkidopeksi bilateral. Tindakan ini dilaporkan dapat menyelamatkan testis sampai dengan 90%, namun dalam pengamatan yang lebih lanjut menunjukkan lebih dari 67% tetstis tersebut akan mengalami atropi dan menjadi subfertil. Menurut Hagan dan kawan-kawan dari 55 pasien yang diamati hanya 7 pasien yang menenjukkan spermiogrnmnya normal Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan lain dalam penatalaksanaan torsio testis guna menekan angka terjadinya kerusakan testis permanen secara signifikan. Kerusakan jaringan testis akibat torsio testis disebakan adanya ischemia yang diperberat dengan teijadinya reperfosion injury (IR) setelah dilakukan detorsi. Telah banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui mekanisme dan penanganan IR., diantaranya penggunaan oksigen hiperbarik yang secara signifikan dapat mengurangi efek IR dalam tindakan pembuatan flap kulit dan otot yang percobaannya dilakukan pada binatang.

Testicular torsion is a urological emergency that can occur in 1 in 4000 men under 25 years of age, and if this condition is not treated properly within 4 to 6 hours, testicular necrosis can occur. From previous research, it was found that testicular torsion with a twist of 720° and a twisting time of more than 4 hours can cause permanent testicular damage. Therefore, surgical action must be carried out as early as possible to save the testicles from permanent damage. Currently, the recommended surgical treatment is testicular detorsion and bilateral orchidopexy. This action was reported to be able to save up to 90% of the testicles, but further observations showed that more than 67% of the testicles would experience atrophy and become subfertile. According to Hagan and friends, of the 55 patients who were observed, only 7 patients showed normal sperm. Therefore, another breakthrough is needed in the management of testicular torsion in order to significantly reduce the rate of permanent testicular damage. Damage to testicular tissue due to testicular torsion is caused by ischemia which is exacerbated by the occurrence of reperfusion injury (IR) after detorsion. Many studies have been carried out to determine the mechanism and treatment of IR, including the use of hyperbaric oxygen which can significantly reduce the effects of IR in the procedure of creating skin and muscle flaps in experiments carried out on animals."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mugi Lestari
"Latar Belakang: Pekerja jalan raya merupakan kelompok rentan terpapar CO kronis dengan efek yang mungkin tidak dikenali. Penelitian terkait dampak pajanan kronis CO terhadap COHB dan penurunannya masih terbatas. Terapi Oksigen Hiperbarik terbukti menyebabkan peningkatan waktu paruh CO darah sehingga mengurangi CO yang berikatan dengan sitokrom oksidase. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi oksigen hiperbarik dosis tunggal 2,4 ATA selama 3x30 menit O2 interval 5 menit udara Terhadap Pajanan Kronis Karbon Monoksida pada pekerja jalan raya Dinas Perhubungan Jakarta Timur dengan Penanda COHb dan SOD Metode: Penelitian ini merupakan true experimental pre post dengan desain double blind pada 30 pekerja jalan raya yang dibagi menjadi kelompok control (normobarik hiperoksik) dan kelompok perlakuan (hiperbarik hiperoksik) dengan randomisasi blok, Kadar COHb dan SOD darah perifer diambil sebelum dan 2 jam sesudah perlakuan. Pemeriksaan dilakukan menggunakan spektrofotometer. Hasil. Terdapat peningkatan kadar SOD baik pada kelompok hiperbarik hiperoksik (p= 0,955)dan kelompok normobarik hiperoksik (p=0,246) akan tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna (p> 0,05) setelah perlakuan pada kadar SOD antara 2 kelompok. Terdapat penurunan kadar COHb baik pada kelompok hiperbarik hiperoksik (p= 0,480)dan kelompok normobarik hiperoksik (p=0,776) tidak terdapat perbedaan bermakna (p> 0,05) setelah perlakuan pada kadar COHB antara 2 kelompok. Kesimpulan. Terapi hiperbarik hiperbarik (HBOT) tidak secara signifikan menurunkan COHb yang berada dalam nilai normal dibandingkan dengan hiperoksia normobarik dan status antioksidan setelah perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda secara statistik yang berarti terapi hiperbarik hiperoksik tidak menyebabkan lebih banyak stres oksidatif dibandingkan dengan hiperoksia normobarik. Penelitian selanjutnya harus fokus pada efek HBOT pada dosis COHb yang berbeda dan apakah terapi multipel akan memberikan hasil yang berbeda.

Background: Road workers are a vulnerable group to chronic CO exposure with effects that may go unrecognized. Research on the impact of chronic CO exposure to COHB and its reduction is limited. Hyperbaric oxygen therapy has been shown to increase the CO half-life of the blood, thereby reducing CO binding to cytochrome oxidase. The purpose of this study was to determine the effect of single dose hyperbaric oxygen therapy of 2,4 ATA for 3x30 minutes O2 5 minute intervals of air against Chronic Carbon Monoxide Exposure to highway workers of the East Jakarta Transportation Agency with COHb and SOD markers. Methods: This research is a true experimental pre post with double blind design on 30 road workers which is divided into a control group (hyperoxic normobaric) and a treatment group (hyperbaric hyperoxic) with block randomization, peripheral blood SOD and COHB levels were taken before and 2 hours after treatment. The examination was carried out using a spectrophotometer. Result: There was an increase in SOD levels in both the hyperoxic hyperbaric group (p = 0.955) and the hyperoxic normobaric group (p = 0.246) but there was no significant difference (p> 0.05) after treatment on the SOD levels between the 2 groups. There was a decrease in COHb levels in both the hyperbaric group (p = 0.480) and the normobaric group (p = 0.776) and the difference between group is not significant Conclusion: hyperoxic hyperbaric therapy (HBOT) does not significantly lowered COHb that already within normal value compared to normobaric hyperoxia and antioxidant status after treatment on both group are not statistically different which means hyperoxic hyperbaric therapy does not caused more oxidative stress compared to normobaric hyperoxia. Future research should focus on the effect of hyperoxic hyperbaric therapy on different doses of COHb and whether if multiple hyperoxic hyperbaric therapy will give different outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Prasetya Hadi
"ABSTRAK
Nama : Ananto Prasetya HadiProgram Studi : Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJudul : Efek Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap Penurunan KadarHbCO pada Penyelam Tradisional Dengan Teknik Penyelaman Kompresor Konvensional Di Pesisir Utara Lombok.Latar belakangMelihat masih banyaknya penyelam tradisional yang masih menggunakan kompresor konvensional sebagai media utama dalam penyelaman dan minimnya informasi dan data kasus-kasus keracunan CO akibat penggunaan kompresor konvensional, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi kondisi tersebut, terutama keracunan CO kronik yang terjadi pada penyelam tradisional dengan teknik penyelaman kompresor konvensional di sepanjang pesisir utara Pulau Lombok. MetodePenelitian ini merupakan penelitian eksperimental pre dan post design dengan membandingkan hasil terapi berupa rerata penurunan kadar HbCO pada penyelam tradisional dengan teknik penyelaman kompresor konvensional, sebelum dan sesudah dilakukan terapi oksigen hiperbarik, dengan tekanan 2,4 ATA selama 3x30 menit. HasilDidapatkan nilai median kadar HbCO sebelum dilakukan intervensi adalah 19,45 ; min 16,02 ; maks 30,20 ; sementara nilai median HbCO setelah dilakukan intervensi adalah 6,63 ; min 4,90 ; maks 11,39 . Ada hubungan positif yang kuat antara keduanya dengan nilai koefisien Spearman rsquo;s rho rs = 0,666 dan hubungan tersebut signifikan secara statistik p = 0,001 .Penurunan HbCO dapat dipengaruhi oleh kadar Hb dalam darah ? = -0,473 dan kadar hematokrit ? = -0,587 . Korelasi risiko pajanan kumulatif CO selama menjadi nelayan dengan DCS digambarkan dengan nilai koefisien Spearman rsquo;s ? = 0,029 untuk nyeri sendi dan ? = 0,085 untuk sering kram. Kesimpulan dan saranTerapi OHB dapat menurunkan kadar HbCO pada penyelam tradisional dengan teknik kompresor konvensional. Perlu penelitian lanjutan tentang risiko DCS pada penyelam tradisional dengan teknik penyelaman kompresor konvensional. Kata kunci: penyelam tradisional, kompresor konvensional, HbCO, Terapi OHB

ABSTRACT
Name Ananto Prasetya HadiStudy Program Occupational Health Magister, Faculty of Medicine, Universitas IndonesiaTitle Effect of Hyperbaric Oxygen Therapy against HbCO Level Decrease on Traditional Diver with Conventional Compressor Technique On North Coast of Lombok. BackgroundThere are many traditional divers with conventional compressor as the main gear for diving and the lack of information and case reports on CO poisoning, urgent measures are needed to address the situation, especially on chronic CO poisoning among traditional divers with conventional compressor in northern coast of Lombok Island. MethodsThe study design is experimental pre and post design by comparing the results of therapy in the form of a mean decrease of HbCO levels on traditional divers with conventional compressor technique, before and after hyperbaric oxygen therapy at 2.4 ATA pressure for 3x30 minutes. ResultsHbCO levels median value before intervention is 19,45 minimum value 16,02 maximum value 30,2 and after Hyperbaric Oxygen intervention the median value is 6,63 minimum value 4,9 maximum value 11,39 . There is strong positive correlation between them with Spearman rsquo s correlation coeficient rho rs 0,666 and statistically significant p 0,001 .Decrease in HbCO levels is influenced by Hb level 0,473 and hematocrit level 0,587 . Correlation between cummulative CO exposure risk during the time working as divers and DCS is shown by Spearman 39 s coefficient 0,029 for joint pain and 0,085 for cramps. ConclusionsHyperbaric Oxygen therapy can reduce HbCO levels in traditional divers with conventional compressors. Further study is needed to address the problem between DCS risk and traditional divers with conventional compressors technique. Keyword traditional divers, conventional compressor, HbCO, Hyperbaric Oxygen therapy "
2017
T55724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enjelita Karujan
"Gangguan oksigenasi merupakan masalah yang sering dialami oleh pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif anak. Oksigen merupakan kemponen yang penting dalam pembentukan energi sehingga gangguan oksigenasi dapat memengaruhi keseimbangan energi. Teori Konservasi Levine bertujuan untuk mempertahankan keutuhan pasien melalui empat prinsip konservasi yaitu konservasi energi, konservasi integritas strukrutal, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial sehingga dapat diaplikasikan pada anak dengan gangguan oksigenasi. Salah satu intervensi keperawatan yang sesuai dengan prinsip konservasi energi pada pasien dengan masalah oksigenasi adalah pengaturan posisi lateral kanan. Tujuan dari karya ilmiah ini adalah memberikan gambaran mengenai aplikasi teori Konservasi Levine dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi dan pengaruh pengaturan posisi lateral kanan pada anak yang dirawat di ruang perawatan intensif. Asuhan keperawatan dengan pendekatan teori Konservasi Levine diberikan kepada lima anak yang terpasang ventilator. Proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi dilakukan berdasarkan empat prinsip konservasi. Evaluasi keperawatan menunjukkan adanya perbaikan kondisi pada beberapa pasien. Demikian halnya dengan pengaturan posisi lateral kanan dengan kemiringan 30° terbukti efektif meningkatkan saturasi oksigen pada anak yang terpasang ventilasi mekanik. Penulis merekomendasikan penggunaan teori Konservasi Levine dalam memberikan asuhan keperawatan kepada anak dengan gangguan oksigenasi di ruang perawatan intensif. Selain itu penulis merekomendasikan pengaturan posisi lateral kanan dengan kemiringan 30° untuk dapat diaplikasikan di ruang perawatan intensif anak serta dilakukan uji klinik lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar sehingga dapat dijadikan dasar penyusunan standar operasional prosedur.

Oxygenation impairment is one of the problems that is often experienced by patients treated in pediatric intensive care units. Oxygen is an important component in energy formation.  Oxygenation impairment can affect energy balance. Levine's Conservation theory focuses on maintaining patient wholeness through four conservation principles, namely conservation of energy, conservation of structural integrity, conservation of personal integrity, and conservation of social integrity so that it can be applied to children with oxygenation impairment. One of the nursing interventions that relate to the conservation of energy in patients with oxygenation impairment is the positioning with the right lateral position. The purpose of this scientific paper is to provide an overview of the application of Levine's Conservation theory in meeting oxygenation needs and the effect of right lateral position in children treated in intensive care units. Nursing care with the application Levine Conservation theory was given to five children who were on ventilators. The nursing process from assessment to evaluation was carried out based on four conservation principles. Nursing evaluation showed an improvement in the condition of several patients. Likewise, the right lateral position setting with a 30° tilt has shown to be effective in increasing oxygen saturation in children who are on mechanical ventilation. The author recommends the use of Levine's Conservation theory in providing nursing care to children with impaired oxygenation in intensive care units. In addition, the author recommends setting the right lateral position with a 30° tilt to be applied in the pediatric intensive care room and conducting further clinical trials with larger samples so that it can be used as a basis for compiling standard operating procedures."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cokroningrum Dewi Windarsih
"Latar Belakang : Kelelahan merupakan suatu permasalahan umum di segala bidang pekerjaan. Didalam proses kelelahan ini tidak lepas dari adanya peran suatu sistem dalam eliminasi Reactive Oxygen Species (ROS) yang juga melibatkan peran antioksidan endogen baik antioksidan enzimatik maupun antioksidan non enzimatik seperti Glutathione (GSH). Dalam proses patofisiologinya terdapat titik dimana pemberian oksigen hiperbarik dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kelelahan tersebut; sehingga menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui efek pemberian oksigen hiperbarik terhadap kadar glutathione pada perawat dengan kelelahan. 
Metode : Penelitian ini merupakan bagian dari suatu penelitian payung dengan desain randomized control trial. Penelitian ini dilaksanakan pada 30 orang perawat yang sebelumnya telah terdiagnosis dengan kelelahan secara subjektif dan terbagi dalam kelompok intervensi dan kontrol, dengan pada masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan kadar glutathione (GSH) sebelum dan setelah perlakuan. 
Hasil : Terdapat kenaikan tidak bermakna kadar GSH sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol dengan p=0,074, dan terdapat penurunan kadar GSH sebelum dan sesudah perlakuan yang bermakna pada kelompok intervensi dengan p=0,012. Selisih GSH sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi secara berurutan adalah sebesar 0,68±1,353 µg/ml dan -1,46±1,526 µg/ml dengan nilai uji perbandingan rerata keduanya meunjukkan hasil signifikan (P<0,05) yaitu dengan nilai sebesar p=0,001. 
Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada selisih kadar GSH Kelompok Intervensi setelah perlakuan pemberian oksigen hiperbarik dibandingkan dengan kelompok Kontrol.

Background: Fatigue is a common problem in all fields of work. In fatigue process, it is inseparable from the role of a series elimination process of Reactive Oxygen Species (ROS) which also involves the endogenous antioxidants both enzymatic and non-enzymatic antioxidants such as Glutathione (GSH). In the pathophysiological process there is a point where hyperbaric oxygen administration can be utilized to overcome fatigue; thus, making researchers interested in knowing the effect of hyperbaric oxygen administration on glutathione levels in nurses with fatigue.
Methods: This study is part of joint research with double blinded-randomized control trial design. This study was conducted on 30 nurses having fatigue condition defined by the Japan Industrial Fatigue Research Committee (JIFRC) and Maslach Burnout inventory (MBI) then divided them into intervention and control groups, with plasma glutathione (GSH) levels retrieved before and after treatment.
Results: There was no significant increase in GSH levels before and after treatment in the control group with p=0.074, and there was a significant decrease in GSH levels before and after treatment in the intervention group with p=0.012. The difference in GSH before and after treatment in the control group and intervention group respectively was 0.68±1.353 µg/ml and -1.46±1.526 µg/ml with the value of the comparison test of the two means showing significant results (P <0.05), namely with a value of p=0.001.
Conclusion: There is a significant difference of Plasma GSH levels in the Intervention Group after hyperbaric oxygen treatment compared to the Control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"Pembedahan abdomen atas berkaitan disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma merupakan penyebab PPC (postoperative pulmonary complication). Terapi oksigen konvensional (TOK) merupakan terapi standar pada pasien pasca pembedahan abdomen atas. Terapi HFNC (high-flow nasal cannula) memiliki berbagai mekanisme yang berbeda dengan TOK dan dipikirkan dapat membantu fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan HFNC terhadap TOK dalam mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2018 – September 2019. Tujuh puluh satu pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok TOK dan HFNC. Enam puluh enam pasien mendapat intervensi setelah ekstubasi di ICU (intensive care unit). Seluruh subjek dilakukan pencatatan nilai DTF (diaphragm thickening fraction) menggunakan ultrasonografi, ΔTIV (perubahan tidal impedance variance), ΔEELI-G dan ΔEELI-ROI (perubahan end expiratory lung impedance global dan region of interest) menggunakan EIT (electrical impedance tomography), PaO2 dan PaCO2 (tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida arteri) secara berkala pada dua seri. Efek samping dan keluhan yang muncul dicatat dan ditatalaksana. Total 66 subjek disertakan dalam bivariat menggunakan t-test dan mann whitney, sedangkan analisis tren menggunakan general linear model atau generalized estimating equation. Durasi ventilasi mekanik di ICU, persentase prediksi mortalitas dan skor P-POSSUM antara kedua kelompok berbeda signifikan (p=0,003; 0,001; dan 0,019, secara berurutan). Tidak ada perbedaan tren yang ditemukan antarkelompok pada seri pertama parameter DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI dan PaCO2 (p=0,951; 0,100; 0,935; 0,446; dan 0,705, secara berurutan) maupun pada seri kedua (p=0,556; 0,091; 0,429; 0,423; dan 0,687, secara berurutan). Tren PaO2 pada seri pertama dan kedua berbeda sangat signifikan (p<0,001) karena protokol pengaturan fraksi oksigen yang lebih tinggi pada kelompok TOK. Penggunaan HFNC tidak lebih baik daripada TOK dalam membantu mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas.

Upper abdominal surgery is related to diaphragmatic dysfunction. Diaphragmatic dysfunction is the main factors causing postoperative pulmonary complication (PPC). Conventional oxygen therapy (TOK) in the form of nasal cannula, is a standard therapy in post upper abdominal surgery patients. High-flow nasal cannula (HFNC) therapy has a variety of mechanisms that differ from TOK and is thought to be able to maintain diaphragm function in post upper abdominal surgery patients. This study aims to compare the ability of HFNC vs TOK in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients. This study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from November 2018 - September 2019. Seventy-one patients were randomly divided into two groups: TOK and HFNC groups. Sixty-six patients received intervention after extubation in the intensive care unit (ICU). This given data were all collected periodically in 2 series; diaphragm thickening fraction (DTF) values using ultrasonography, changes in tidal impedance variance (ΔTIV), changes in global end expiratory lung impedance and region of interest (ΔEELI-G and ΔEELI-ROI) using electrical impedance tomography, arterial oxygen and carbon dioxide partial pressure (PaO2 and PaCO2). Side effects and complaints that arise were collected and managed. A total of 66 subjects were included in the bivariate using t-test and mann whitney test, while trends were analyzed by general linear models or generalized estimating equations. The baseline characteristics of mechanical ventilation duration in the ICU, the predicted mortality rate and P-POSSUM score between the two groups were significantly different (p = 0.003; 0.001; and 0.019, respectively). No trend differences were found between groups in the first series of DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI and PaCO2 parameters (p = 0.951; 0.100; 0.935; 0.446; and 0.705, respectively) and in the second series (p = 0.556, 0.091, 0.429, 0.423 and 0.687, respectively). The PaO2 trends in the first and second series differed very significantly (p<0.001) due to the higher oxygen fraction regulation protocol in the COT group. The use of HFNC is no better than COT in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Bakar
"ABSTRAK
Keberhasilan pelayanan keperawatan yang bermutu dipengaruhi oleh tingkat kepuasan kerja perawat. Kepuasan kerja perawat dapat diupayakan melalui MPKP Jiwa modifikasi pendekatan manajemen fungsi pengarahan, namun kegiatan MPKP dan fungsi pengarahan belum dijalankan secara konsisten. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh fungsi pengarahan kepala ruang dan ketua tim terhadap kepuasan kerja perawat pelaksana di unit rawat inap RSUD Blambangan Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan desain pre-post test with control group, dan pelatihan serta bimbingan fungsi pengarahan (operan, pre conference, post conference, iklim motivasi, supervisi dan delegasi) pada kepala ruang dan ketua tim di kelompok intervensi. Sampel penelitian diperoleh secara purposive sampling, terdiri dari 35 perawat pelaksana RSUD Blambangan Banyuwangi sebagai kelompok intervensi dan 40 perawat pelaksana di RSUD dr. Haryoto Lumajang sebagai kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja diambil dari Minnesota Satisfaction Questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja perawat pelaksana yang mendapat pengarahan dari kepala ruang dan ketua tim yang sudah memperoleh pelatihan, bimbingan dan pendampingan fungsi pengarahan meningkat lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kepuasan kerja perawat pelaksana yang mendapat pengarahan dari kepala ruang dan ketua tim yang tidak dilatih fungsi pengarahan. Fungsi pengarahan bila dilaksanakan secara konsisten oleh kepala ruang dan ketua tim, berpeluang meningkatkan kepuasan kerja sebesar 67,40%. RSUD Blambangan Banyuwangi dan RSUD dr. Haryoto Lumajang dapat mengupayakan dan meningkatkan kepuasan kerja perawat pelaksana secara berkelanjutan dengan mengimplementasikan fungsi pengarahan dari MPKP Jiwa Modifikasi umum.

ABSTRACT
Humidifier is a device for delivering oxygen to the patients. Before using it, the humidifier tube should fill with sterile water. There was a recent study that administering oxygen less than five liter per minutes, the tube was not load with the sterile water. Aim: The research aim was to describe the difference between bacterial growth in the humidifier and non humidifier at the patient who got oxygen therapy. Design: The design was the analytic survey with purposive sampling method. The samples were 24 patients. They were divided into two groups. Group one, consisted of 12 patients with humidifier and the others with non humidifier. The instrument was culture equipments diagnostic test and observation guidance. Hypothesis: The hypothesis was there was no difference bacterial growth existence in humidifier and non humidifier at the patient who got oxygen therapy. Results: The results showed that there was no significance difference of bacterial growth at time of zero hour (p=
0.131). Meanwhile, there was significance different of bacterial growth at time of 12 hour (p= 0,046), and time of 24 hour(p= 0,046). There was also significance different between bacterial growth in humidifier and non humidifier at the patient who got oxygen therapy (p= 0.010). Conclusion: The conclusion is a non humidifier device could prevent bacterial and reduce nosocomial infection. Recommends: It was recommended that hospital should use non humidifier and the humidifier had to disinfect and change the water every 12 hours."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Eviriyanti
"Latar Belakang : Perawat yang bekerja di Rumah Sakit memiliki tuntutan pekerjaan tinggi yang berdampak terjadinya kelelahan, sehingga menurunkan produktivitas kerja dan resiko terjadinya accident ditempat kerja. Biomarker untuk mengukur kelelahan yaitu asam laktat, meningkat pada kondisi kelelahan. Oksigen Hiperbarik diharapkan menurunkan kadar asam laktat dalam darah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh Oksigen Hiperbarik pada kadar asam laktat dengan tabel klinis tunggal.
Metode : Subjek penelitian ini adalah perawat dengan metode true experimental dan double-blind pada 30 perawat dengan kelelahan yang dibagi menjadi dua kelompok dengan randomisasi blok, kelompok Normobarik Normosik sebagai kontrol dan Hiperbarik Hiperoksik sebagai perlakuan. Kedua kelompok melakukan terapi dalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi. Kadar asam laktat diukur menggunakan teknik kolorimetri sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil : Perubahan kadar rerata kadar asam laktat sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda signifikan dengan nilai p value untuk kelompok normobarik normosik adalah 0,12 dan nilai p value kelompok hiperbarik hiperoksik adalah 0,51. Demikian dengan rerata delta Asam Laktat pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak berbeda signifikan dengan nilai p > 0,15.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbeaan bermakna rerata kadar asam laktat pada kedua kelompok sebelum dan sesudah perlakuan

Background : Nurses who work in hospitals have high job demands which can result in fatigue, thereby reducing work productivity and the risk of accidents at work. The biomarker for measuring fatigue is lactate acid, which can increase in conditions of fatigue Hyperbaric Oxygen is expected to be able to reduce lactate levels in the blood. This study aims to determine the effect of Hyperbaric Oxygen (HBO) on lactate levels with a single clinical table.
Method : The subject of the research is a nurse with true experimental and a double-blind design on 30 nurses with fatigue who were divided into two groups with block randomization, where the Normobaric Normoxic (NN) group was used as a control and Hyperbaric Hyperoxic (HH) group was used as treatment. Both groups underwent therapy in Chamber. Lactate levels were measured using colorimetric techniques before and after treatment.
Results : The average change in lactate levels before and after treatment in both groups did not differ significantly with a p-value for the control group: of 0.12 and a p-value for the intervention group of 0.516. Likewise, the average delta Lactate Acid in the control group and treatment did not differ significantly with a p-value = 0.15
Conclusion : There was no significant difference in the average lactate levels in both groups before and after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sesanti Hayuning Tyas
"ABSTRAK
Terapi oksigen hiperbarik (TOH) telah direkomendasikan sebagai terapi adjuvan dari terapi utama steroid pada tuli mendadak, dengan mekanisme peningkatan oksigenasi jaringan dan penekanan inflamasi dan edema akibat iskemia. Belum didapatkan penelitian tentang perbandingan ambang perfrekuensi dan signal to noise ratio (SNR) antara terapi steroid metil prednisolon (MP) dibanding kombinasi MP dan TOH pada tuli mendadak. Penelitian uji klinis acak tersamar tunggal ini dilakukan di Poliklinik Neurotologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM dan Unit Hiperbarik RSAL Mintohardjo pada bulan Juni-Desember 2013, melibatkan 20 subjek tuli mendadak, dengan 10 subjek kelompok terapi MP dan 10 subjek kelompok terapi MP dan TOH. Analisis dilakukan pada pemeriksaan audiometri nada murni pada 9 frekuensi dan Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) pada 5 frekuensi, pada awal terapi dan hari ke-15. Penelitian ini tidak mendapatkan perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok, didapatkan kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi yang lebih besar pada frekuensi 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 dan 16000 Hz pada kelompok MP dan TOH, dan perubahan SNR yang lebih besar pada frekuensi 12000 Hz pada kelompok MP dan TOH. Tidak didapatkannya perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna, dimungkinkan karena penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan. Penelitian juga membatasi analisis hingga terapi hari ke-15, sedangkan subjek tuli mendadak di Poli Neurotologi THT-KL RSCM sedianya dilanjutkan evaluasi hingga hari ke-90 (3 bulan). Penelitian lebih lanjut dengan besar subjek yang sesuai serta waktu evaluasi yang lebih lama, diharapkan dapat lebih menganalisis kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang lebih besar pada kelompok MP dan TOH.

ABSTRACT
Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) has been recommended as an adjuvant therapy of primary steroid therapy in sudden deafness, the mechanism by increasing of tissue oxygenation and suppression of inflammation and edema due to ischemia. Differences in frequency threshold and signal to noise ratio changes between methyl prednisolone (MP) therapy with MP and HBOT on sudden deafness, has not been obtained. This single-blind randomized clinical trial study was conducted at the Neurotology clinic of CMH ENT Department and Hyperbaric Unit of Mintohardjo Navy Hospital in June-December, 2013, involving 20 sudden deafness subjects, with 10 subjects in MP therapy group and 10 subjects in MP and HBOT group. Analysis was performed on pure tone audiometric examination at 9 frequencies and Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) at 5 frequencies, at the start of therapy and day 15. This study does not get the statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups, it was found that the tendency of changes in frequency threshold was greater in frequencies 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 and 16000 Hz in the MP and HBOT group, and the change in SNR was greater in frequency of 12000 Hz in the MP and HBOT group. The statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups does not obtained, possible because this study is preliminary research. The study also restrict the analysis to the 15th day of therapy, while the subject of sudden deafness in Neurotology Clinic of CMH ENT Department originally continued evaluation until the 90th day (3 months). Further studies with larger appropriate subject and a longer evaluation period, is expected to further analyze trends and greater changes in frequency threshold and SNR in the MP and HBOT gorup."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>