Ditemukan 235023 dokumen yang sesuai dengan query
Pohan, Farisreyhan Zachary
"Pada sistem peradilan pidana di Indonesia bahkan di dunia dikenal dengan prinsip In Dubio Pro Reo yang berarti apabila ditemukan keraguan, maka dipilih yang menguntungkan terdakwa. Sistem pembuktian negative di Indonesia mensyaratkan Hakim apabila hendak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, harus memperoleh keyakinan dari setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim sangat bergantung pada kuat atau tidaknya alat bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut tertuang pada Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp. dimana tidak ditemukan bukti yang meyakinkan oleh Hakim. Keyakinan terhadap alat bukti tersebut Penulis teliti pertimbangannya dan dikaitkan dengan asas In Dubio Pro Reo. Peneliti kemudian meneliti bagaimana asas In Dubio Pro Reo itu diterapkan pada sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Prancis karena kedua negara tersebut memiliki sistem pembuktiannya sendiri lalu dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., hukum pembuktian Amerika Serikat, Indonesia dan Prancis. Penulis berkesimpulan bahwa setiap negara menganut prinsip In Dubio Pro Reo karena adanya prinsip presumption of innocence namun dengan cara yang berbeda karena sistem pembuktian yang berbeda-beda. Keraguan Hakim sangat dipengaruhi dengan kekuatan dari suatu bukti dalam memutus seorang telah melakukan tindak pidana.
Criminal procedure law in Indonesia and even in another jurisdiction, it is known a principle called In Dubio Pro Reo, which means that if there is any doubt, favorableto the accused. The negative evidence system in Indonesia requires a judge if he wants to impose a sentence on a defendant, he must obtain a conviction from at least 2 (two) valid pieces of evidence. The judge's conviction is very dependent on the strength of the evidence presented at trial. This is stated in Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp.where no convincing evidence was found by the Judge. Judge’s conviction towards evidence will be examined an how the In Dubio Pro Reo applied in the United States and France criminal justice system because both countries have their own evidence law and then compare them wth those in Indonesia. The author examines the case study of Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., the law of evidence in the United States, Indonesia and France. The author concludes that each country adheres to the In Dubio Pro Reo principle because of the principle of presumption of innocence but in a different way due to different evidentiary systems. The judge's doubts are strongly influenced by the strength of the evidence in deciding a person has committed a crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Pohan, Farisreyhan Zachary
"Pada sistem peradilan pidana di Indonesia bahkan di dunia dikenal dengan prinsip In Dubio Pro Reo yang berarti apabila ditemukan keraguan, maka dipilih yang menguntungkan terdakwa. Sistem pembuktian negative di Indonesia mensyaratkan Hakim apabila hendak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, harus memperoleh keyakinan dari setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim sangat bergantung pada kuat atau tidaknya alat bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut tertuang pada Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp. dimana tidak ditemukan bukti yang meyakinkan oleh Hakim. Keyakinan terhadap alat bukti tersebut Penulis teliti pertimbangannya dan dikaitkan dengan asas In Dubio Pro Reo. Peneliti kemudian meneliti bagaimana asas In Dubio Pro Reo itu diterapkan pada sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Prancis karena kedua negara tersebut memiliki sistem pembuktiannya sendiri lalu dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., hukum pembuktian Amerika Serikat, Indonesia dan Prancis. Penulis berkesimpulan bahwa setiap negara menganut prinsip In Dubio Pro Reo karena adanya prinsip presumption of innocence namun dengan cara yang berbeda karena sistem pembuktian yang berbeda-beda. Keraguan Hakim sangat dipengaruhi dengan kekuatan dari suatu bukti dalam memutus seorang telah melakukan tindak pidana.
Criminal procedure law in Indonesia and even in another jurisdiction, it is known a principle called In Dubio Pro Reo, which means that if there is any doubt, favorableto the accused. The negative evidence system in Indonesia requires a judge if he wants to impose a sentence on a defendant, he must obtain a conviction from at least 2 (two) valid pieces of evidence. The judge's conviction is very dependent on the strength of the evidence presented at trial. This is stated in Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp.where no convincing evidence was found by the Judge. Judge’s conviction towards evidence will be examined an how the In Dubio Pro Reo applied in the United States and France criminal justice system because both countries have their own evidence law and then compare them wth those in Indonesia. The author examines the case study of Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., the law of evidence in the United States, Indonesia and France. The author concludes that each country adheres to the In Dubio Pro Reo principle because of the principle of presumption of innocence but in a different way due to different evidentiary systems. The judge's doubts are strongly influenced by the strength of the evidence in deciding a person has committed a crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sulistiandriatmoko
"Alat bukti elektronik telah diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang Narkotika. Alat bukti elektronik tersebut selalu diandalkan pada setiap tingkatan peradilan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan. Kekuatan pembuktian alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat nomor 1094/Pid.Sus/2015 PN.JKT.BRT, 13 Nopember 2015 yang memvonis terdakwa Wong Chi Ping dengan hukuman mati dan putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nomor 307/PID/2015/PT.DKI, 18 Januari 2016 juga telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut. Alat bukti elektronik yang dijadikan pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tersebut berasal dari berkas dakwaan Jaksa dan Jaksa mendapatkan dari berkas perkara penyidikan yang diajukan oleh Penyidik BNN. Legalitas penyidik BNN melakukan penyadapan untuk mendapatkan alat bukti elektronik diatur pada Pasal 75 huruf i Undang-Undang Narkotika.
Electronic evidence is provided in Article 86 of the Narcotics Act. Such electronic evidence is always relied upon at every level of the judiciary, whether at the level of investigation, prosecution or trial in court. The strength of proof of electronic evidence as a valid evidence can be seen in the Decision of West Jakarta District Court number 1094/Pid.Sus/2015/PN.JKT.BRT, 13 November 2015 which sentenced the defendant Wong Chi Ping to death sentence and appeal decision of DKI High Court Jakarta number 307/PID/2015/PT.DKI, January 18, 2016 has also strengthened the decision of West Jakarta District Court. Electronic evidence which the Judge takes into consideration in deciding the case comes from the indictment file of the Prosecutor and the Prosecutor obtained from the file of the investigation case filed by the BNN Investigator. Legality investigator BNN intercepts to obtain electronic evidence is set in Article 75 letter i Narcotics Ac
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hari Sasangka
Bandung: Mandar Maju, 2005
347.01 HAR h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
"Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena di samping para pelaku tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi mereka juga pintar untuk menyembunyikan bukti-bukti kejahatannya.Untuk memecahkan masalah tersebut, salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui pengaturan pembuktian terbalik (Reversal burden of proof) terhadap perkara-perkara korupsi. Dalam praktik, penerapan pembuktian terbalik ini secara murni banyak mendapat tantangan baik dari segi teoritis maupun praktis. Salah satunya adalah bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tak bersalah yang telah diakui secara internasional dan diatur pula dalam KUHAP dan ketidaksesuaian dengan sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Namun demi tegaknya hukum di Indonesia dan sesuai dengan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan bagi masyarakat banyak, maka hal tersebut diterapkan terhadap perkara tindak pidana korupsi secara proporsional dengan menerapkan beban pembuktian secara seimbang (Balanced probability of principles)."
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
"Politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya diperkenankan dan telah ada justifikasi teorinya yaitu dalam Pasal 31 ayat (8) dan Pasal (35) huruf b Konvensi Anti Korupsi UNCAC 2003. Penggunaan mekanisme pengembalian beban pembuktian dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud. Untuk itu yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya."
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Irfan Ardani
"
ABSTRAKNama : Irfan ArdaniProgram Studi : Magister Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Efektivitas Sistem Pencatatan Kematian dan PenyebabKematian di Provinsi Daerah Khusus Ibukota JakartaTesis ini membahas tentang efektivitas sistem pencatatan kematian dan penyebabkematian di Provinsi DKI Jakarta dalam menghasilkan statistik vital kematian danpenyebab kematian yang akurat, menyeluruh dan sewaktu. Metode yang digunakanadalah deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancaramendalam dan studi data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Provinsi DKIJakarta memiliki dua sistem yang terpisah dan belum disinkronisasi antara pencatatankematian dengan pencatatan penyebab kematian. Hal ini menyebabkan statistik vital yangdihasilkan oleh kedua sistem tersebut berbeda satu dengan yang lain sehingga belumefektif menghasilkan statistik vital kematian dan penyebab kematian yang akurat,menyeluruh dan sewaktu.Kata kunci: efektivitas, pencatatan kematian, pencatatan penyebab kematian, statistikvital
ABSTRACTName Irfan ArdaniStudy Program Master of Public HealthTitle Effectiveness of Death and Cause of Death RegistrationSystem in Special Capital Region of JakartaThis study discusses the effectiveness of death and cause of death registration system inDKI Jakarta Province to produce accurate, thorough and timely death and cause of deathvital statistics. A qualitative research has been conducted with in depth interview andsecondary data studies as methods for data collection. The results showed that DKIJakarta Province has two separate systems between the death and the cause of deathregistration and not yet synchronized. The vital statistics generated differ from oneanother, so that it has not been effective in generating accurate, thorough and timely deathand cause of death vital statistics.Keywords effectiveness, death registration, causes of death registration, vital statistics"
2018
T50883
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
JY 4:1 (2011) (1)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Sianipar, Dony R.
"Untuk menjadi pemenang dalam persaingan pada pasar adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap pelaku usaha, akan tetapi cara-cara yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut tidak boleh melanggar undang-undang. Salah satu larangan yang terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1999 ialah kegiatan penguasaan pasar, dimana ketentuan ini sangat berkaitan dengan kekuatan atau dominasi pasar yang dmiliki oleh suatu pelaku usaha. Pengawasan terhadap kegiatan penguasaan pasar yang dilakukan oleh KPPU sebagai lembaga kausi yudikatif yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999.
Dalam melakukan pengawasan kegiatan penguasaan pasar, KPPU cenderung membuktikan peristiwa-peristiwa yang terkait dugaan pelanggaran hanya didasarkan satu alat bukti,oleh karena itu belum memenuhi syarat pembuktian. Akan tetapi hal itu dapat dibenarkan karena dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak ada pengaturan mengenai minimal alat bukti dan keyakinan sebagaimana halnya dalam hukum politik
To be a winner in competition in the market is a goal that every business actor wants to achieve, but the methods used by these business actors must not violate the law. One of the prohibitions contained in Law no. 5 of 1999 is a market control activity, where this provision is closely related to the power or market dominance owned by a business actor. Supervision of market control activities carried out by KPPU as a judicial causation institution tasked with supervising the implementation of Law no. 5 of 1999. In supervising market control activities, KPPU tends to prove that events related to alleged violations are based on only one piece of evidence, therefore they have not fulfilled the requirements of proof. However, it can be justified because in Law no. 5 of 1999 there is no regulation regarding minimum evidence and belief as is the case in political law."
Jakarta: Fakultas Hukum, 2008
T24255
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Pattinasarani, Robyn Maria
"Setiap orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana dalam peradilan pidana harus dipidana. Pada pelaku tindak pidana yang diduga menderita sakit jiwa dapat dimintakan untuk dibuat suatu surat keterangan dari ahli jiwa mengenai keadaan jiwa orang tersebut yang disebut juga dengan Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP). VeRP dapat diminta pada tahap penyidikan (Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penjelasan Pasal 186 KUHAP), tahap penuntutan (Penjelasan Pasal 186 KUHAP),dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 180 KUHAP). VeRP menyentuh sekaligus dua sisi alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Apabila berdasarkan VeRP orang tersebut terbukti sakit jiwa, maka berdasarkan pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) orang tersebut tidak boleh dihukum karena terdapat faktor-faktor pemaaf pada orang tersebut, yaitu jiwa yang cacat pada pertumbuhan atau jiwa yang terganggu karena penyakit yang mengakibatkan orang tersebut tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memfokuskan pada hasil diagnosis mengenai sakit jiwa, bukan pada kemampuan bertanggung jawab dari orang tersebut. Begitu pula halnya dengan model VeRP yang ada sekarang ini yang hanya memfokuskan pada diagnosis, sama sekali tidak menyebut-nyebut mengenai kemampuan bertanggung jawab, dan model VeRP tersebut juga hanya terbatas untuk kasus pidana dimana yang diminta untuk diperiksa (terperiksa) adalah pelaku tindak pidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21918
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library