Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116730 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Michael William Benedict
"Pelaksanaan dan kepatuhan negara anggota Statuta Roma dalam melaksanakan permintaan kerjasama untuk menangkap dan menyerahkan sangatlah penting bagi  Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam mencapai tujuannya untuk mengakhiri impunitas. Meskipun begitu, Pasal 98 Statuta Roma hadir sebagai bentuk pengesampingan dari kewajiban kerjasama tersebut. Salah satu negara anggota yang menggunakan pasal ini untuk tidak melakukan kewajiban kerjasamanya adalah Yordania dalam permintaan kerjasama ICC untuk menangkap dan menyerahkan Al Bashir. Menurut Yordania disini Pasal 98(1) berlaku sebab Al Bashir masih memiliki imunitas dan Pasal 98 (2) juga berlaku berdasarkan Convention on the Privileges and Immunities of the League of the Arab States. Melalui metode penelitian hukum normatif yang berbasiskan pada data sekunder, hendak dianalisis apakah Pasal 98 benar berlaku di dalam kasus ini sehingga membuat Yordania tidak melanggar kewajibannya dengan tidak menangkap dan menyerahkan Al Bashir. Adapun melalui penelitian yang telah dilakukan, ditemukan kesimpulan bahwa pertimbangan ICC telah tepat bahwa Pasal 98 tidak berlaku dalam kasus ini. Oleh sebab itu penelitian ini menyarankan perlu dilakukan amandemen terhadap Pasal 98 khususnya untuk memperjelas terkait keberlakuannya terhadap negara yang menjadi subjek dari suatu rujukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Selain itu mekanisme konsultasi yang tersedia dalam Pasal 97 Statuta Roma sebaiknya dapat menghasilkan suatu keputusan hukum yang mengikat terhadap pelaksanaan kerjasama oleh negara anggota. Dengan begitu setelah diputuskan di tahapan konsultasi bahwa tidak terdapat permasalahan yang diatur di Pasal 98, negara anggota wajib melaksanakan permintaan kerjasama tersebut.

The implementation and compliance of member states of the Rome Statute in carrying out requests for cooperation in arrest and surrender is essential for the International Criminal Court (ICC) in achieving its goal of ending impunity. Even so, Article 98 of the Rome Statute is present as a form of waiver of the cooperation obligation. One of the member states that use this article to not carry out its cooperation obligations is Jordan in the ICC's request for cooperation to arrest and hand over Al Bashir. According to Jordan, Article 98(1) applies because Al Bashir still has immunity and Article 98(2) also applies in accordance with the Convention on the Privileges and Immunities of the League of the Arab States. Through a normative legal research method based on secondary data, it will be analyzed whether Article 98 applies in this case so that Jordan does not violate its obligations by not arresting and handing over Al Bashir. As for the research that has been carried out, it was concluded that the ICC's consideration was correct in concluding Article 98 does not apply in this case. Therefore, this study suggests that it is necessary to amend Article 98 in particular to clarify its applicability to countries that are the subject of a United Nations Security Council (UNSC) referral. In addition, the consultation mechanism provided in Article 97 of the Rome Statute should be able to produce a binding legal decision on implementation of cooperation by member states. Thus, after it was decided at the consultation stage that there were no problems arising out of Article 98, member states were obliged to implement the request for cooperation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
McDougall, Carrie, 1978-
""This guide to the crime of aggression provisions under the Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) offers an exhaustive and sophisticated legal analysis of the crime's definition, as well as the jurisdictional provisions governing the ICC's exercise of jurisdiction over the crime. A range of practical issues likely to arise in prosecutions of the crime of aggression before the ICC are canvassed, as is the issue of the domestic prosecution of the crime. It also offers an insight into the geopolitical significance of the crime of aggression and the activation of the ICC's ability to exercise its jurisdiction over the crime. The author's intimate involvement in the crime's negotiations, combined with extensive scholarly reflection on the criminalisation of inter-State uses of armed force, makes this highly relevant to all academics and practitioners interested in the crime of aggression"--"
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2015
341.62 MCD c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Aristo Marisi Adiputra
Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
341.77 PAN m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Grover, Leena
"Abstract:
"The Rome Statute of the International Criminal Court defines more than ninety crimes that fall within the Court's jurisdiction: genocide, crimes against humanity, war crimes and aggression. How these crimes are interpreted contributes to findings of individual criminal liability, and moreover impacts upon the perceived legitimacy of the Court. And yet, to date, there is no agreed approach to interpreting these definitions. This book offers practitioners and scholars a guiding principle, arguments and aids necessary for the interpretation of international crimes. Leena Grover surveys the jurisprudence of the ICTY and ICTR before presenting a model of interpretive reasoning that integrates the guidance within the Rome Statute itself with articles 31-33 of the Vienna Convention on the Law of Treaties""
Cambridge, UK: Cambridge Univ. Press, 2014
345.02 GRO i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Efrianto
"ICC adalah sebuah pengadilan independen permanen yang bertujuan untuk menuntut individu yang melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, yaitu seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC didirikan pada tanggal 1 Juli 2002 dan bermarkas di kota Den Haag, Belanda. ICC adalah pengadilan terakhir di mana ICC tidak akan bertindak jika kasus telah atau sedang diselidiki atau dituntut oleh sistem peradilan nasional kecuali proses nasional tersebut tidak adil, misalnya jika proses formal dilakukan semata-mata untuk melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana. Jadi, salah satu tujuan didirikannya ICC adalah untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Selain itu, ICC hanya mencoba mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan yang paling parah. Dalam setiap kegiatan, ICC mengamati standar tertinggi keadilan dan proses pengadilan. Yurisdiksi dan fungsi ICC diatur oleh Statuta Roma yang merupakan hasil konferensi internasional di Roma pada Juni 1998 (diadopsi 17 Juli 1998). Banyak kalangan menilai bahwa proses keikutsertaan (ratifikasi) Indonesia ke Statuta Roma (yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional) berjalan sangat lambat. Meskipun saat ini terdapat 119 negara yang telah menjadi Negara Pihak pada Statuta Roma, proses ratifikasi oleh Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan Pemerintah. Untuk itu, Penulis memandang perlu untuk menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat mendorong proses ratifikasi tersebut. Sejalan dengan maksud tersebut, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan secara ringkas manfaat dan urgensi ratifikasi Statuta Roma. Selanjutnya, tulisan ini juga akan secara khusus menganalisa beberapa mispersepsi (kesalahpahaman) yang selama ini menurut Penulis telah menghambat dan menjadi kendala proses ratifikasi di Indonesia. Kemudian di bagian akhir, selain memberikan beberapa kesimpulan, tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah guna mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma."
[Place of publication not identified]: The Ary Suta Center Series on Strategic Management, 2015
330 ASCSM 29 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nabila
"Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sebagai pengadilan pidana permanen yang memiliki yurisdiksi terhadap tindak pidana internasional, atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza. Palestina dan Israel kerap terlibat dalam konflik bersenjata dalam wilayah Jalur Gaza, diantaranya pada tahun 2009 serta 2012. Dalam kedua periode konflik tersebut terdapat beberapa indikasi adanya tindak pidana internasional yang dilakukan oleh kedua negara, namun belum terdapat proses pengadilan apaun terkait dengan indikasi tersebut. Pada 1 April 2015, Palestina secara resmi telah menjadi negara anggota dari Mahkamah Pidana Internasional. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terkait dengan konflik di Jalur Gaza yang melibatkan salah satu negara anggotanya tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa hingga saat ini, Mahkamah Pidana Internasional belum memiliki yurisdiksi atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza.

This study discusses the jurisdiction of International Criminal Court, as the permanent criminal court whose jurisdiction covers international criminal acts, with regard to the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip. Palestine and Israel are often involved in a conflict in Gaza Strip, most notably in 2009 and 2012. The aftermath of the two conflicts suggested several indications of internatioanl criminal acts conducted by two States, however no measures have been taken thus far in response to such indications. On 1 April 2015, Palestine has officialy become the State Party of International Criminal Court. This raises the question of the possibility of International Criminal Court?s jurisdict ion over the two notable conflicts in Gaza Strip. The author concluded that International Criminal Court does not have jurisdiction over the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
"Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma. Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC) yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan (co-perpetration).

This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Schabas, William A.
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2011
345.01 SCH i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Novia Lurizha Adza
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan prinsip komplementaritas sebagai salah satu prinsip esensial dalam Statuta Roma oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam dua perkara di Libya yaitu perkara Saif al-Islam Gaddafi dan Abdullah al- Senussi. Kedua perkara ini ditangani oleh negara yang sama yaitu Libya, namun pada putusan akhirnya keduanya mendapatkan putusan yang berbeda. Libya dinyatakan tidak mampu dalam perkara Saif al-Islam Gaddafi sedangkan dalam perkara Abdullah al-Senussi, Libya dinyatakan mampu untuk mengadili perkara sehingga perkara tersebut dinyatakan tidak admissible. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa sistem hukum yang sama dapat dianalisa menjadi dua kondisi yang berbeda dalam dua perkara tersebut. Untuk menjawab persoalan ini, Penulis menggunakan studi pustaka terhadap berbagai jenis data sekunder, Penulis menyimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak konsisten dalam melakukan penilaian terhadap penerapan prinsip komplementaritas dalam dua perkara tersebut. Hal tersebut bersumber dari penilaian mengenai ketidakmampuan Libya berdasarkan Pasal 17 3 Statuta Roma.

This study discusses the implementation of the complementarity principle as one of the most essential principle established in the Rome Statute by the International Criminal Court in two cases in Libya, which are the case of Saif al Islam Gaddafi and Abdullah al Senussi. These cases were investigated by the same State which was Libya. However, on the final Decision the Court has rendered two substantially different rulings. Libya was declared unable to investigate the case of Saif al Gaddafi, whereas in the case of Abdullah al Senussi, Libya was declared able to investigate the case, rendering the case inadmissible before the Court. This condition raises the question of why the same national legal system can be analysed and described into two different conditions. The author concluded that the International Criminal Court has been inconsistent in analyzing the implementation of the complementarity principle in these cases. Such inconsistencies can be found in the Court rsquo s analysis regarding the inability of Libya to investigate or carry out a proceeding pursuant to Article 17 3 of the Rome Statute.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69182
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmatu Shalihah
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh dari Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 terhadap penuntutan kejahatan seksual yang diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Dalam penelitian ini juga akan dibahas secara kronologis terkait pengaturan dan penuntutan kejahatan seksual di pengadilan- pengadilan sebelum Mahkamah Pidana Internasional untuk melihat signifikansi dari setiap pengadilan dalam penuntutan kejahatan seksual. Kejahatan seksual pada International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT dan IMTFE) pada masa Perang Dunia II belum dianggap sebagai kejahatan yang terpisah dan hanya sebagai bagian dari “mass atrocities”. Perkembangan dan pengaturan juga kejahatan seksual dapat dilihat pada pengadilan pidana internasional yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB yaitu ICTY, ICTR dan SCSL. Dengan berkembangnya pengaturan kejahatan seksual dalam pengadilan-pengadilan ini maka keberhasilan Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual telah menghasilkan landmark cases seperti putusan Prosecutor v. Tadic yang merupakan keberhasilan pertama oleh Penuntut Umum dalam membuktikan kejahatan seksual. Namun, tidak ada kejahatan seksual yang berhasil dituntut di Mahkamah Pidana Internasional sebelum diterbitkannya Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014. Kasus pertama yang berhasil membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa kejahatan seksual adalah kasus Prosecutor v. Bemba setelah diterbitkan Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Maka dari itu, penulis bertujuan untuk menjelaskan faktor- faktor dari ketidakberhasilan penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional melalui kasus-kasus dan pengaruh Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014 sebagai pedoman Penuntut Umum terhadap penuntutan kejahatan seksual di Mahkamah Pidana Internasional.

This thesis discusses the implementation of the Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes 2014 on the prosecution of sexual crimes tried at the International Criminal Court. This study will also discuss chronologically regarding the regulation and prosecution of sexual crimes in courts before the International Criminal Court to see the significance of each court in prosecuting sexual crimes. Sexual crimes at the International Military Tribunal of Nuremberg and Tokyo (IMT and IMTFE) during World War II were not considered separate crimes and only as part of "mass atrocities". The development and regulation of sexual crimes can be seen in the international criminal courts established by the UN Security Council, namely ICTY, ICTR and SCSL. With the development of the regulation of sexual crimes in these courts, the success of the Public Prosecutor in proving sexual crimes has resulted in landmark cases such as the decision of Prosecutor v. Tadic which is the first success by the Public Prosecutor in proving a sexual crime. However, no sexual crimes were successfully prosecuted in the International Criminal Court prior to the publication of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender-Based Crimes. The first case that succeeded in proving crimes against humanity in the form of sexual crimes was the case of Prosecutor v. Bemba after the publication of the Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes 2014. Therefore, the author aims to explain the factors of the unsuccessful prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court through cases and the influence of the 2014 Policy Paper on Sexual and Gender Based Crimes as the Public Prosecutor guide for the prosecution of sexual crimes at the International Criminal Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>