Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175169 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiara Naninda
"Gangguan reseptivitas endometrium berpotensi mengakibatkan infertilitas pada wanita. Oleh karena itu, dibutuhkan hewan model yang dapat menggambarkan patofisiologi untuk meningkatkan pemahaman terkait gangguan ini. Penelitian mengenai pembentukan hewan model infertilitas dengan gangguan reseptivitas endometrium masih sangat terbatas. Konfirmasi dan validasi dibutuhkan untuk mengevaluasi reliabilitas hewan model. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis metode penentuan konsepsi dan pengaruh pemberian hidroksiurea dan adrenalin serta mengonfirmasi terbentuknya hewan model gangguan reseptivitas endometrium yang mengalami penurunan fertilitas melalui analisis parameter jumlah implantasi. Sebanyak 18 ekor tikus Wistar betina dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol normal (pembawa CMC Na 0,5%), model (hidroksiurea 450mg/kgBB dan adrenalin 0,3mg/kgBB), dan kontrol positif (hidroksiurea 450mg/kgBB, adrenalin 0,3mg/kgBB, dan progesteron 50mg/manusia). Perlakuan dilakukan selama 10 hari, kemudian tikus betina dipasangkan dengan tikus jantan dan dikorbankan pada hari ke-8 kehamilan. Dalam penelitian ini, waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya konsepsi cukup lama. Metode pemeriksaan sumbat vagina dan pengamatan sitologi vagina digunakan untuk mendeteksi konsepsi serta dibandingkan ketepatannya. Jumlah implantasi diukur dengan menghitung tonjolan blastosit pada uterus. Jumlah implantasi dievaluasi secara statistik dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol normal, model, dan kontrol positif (ANOVA p > 0,05). Sumbat vagina hanya teramati pada 1 ekor tikus, sementara spermatozoa teramati pada seluruh apusan vagina tikus. Berdasarkan hasil penelitian ini, metode sitologi vagina lebih dapat diandalkan daripada sumbat vagina untuk mendeteksi terjadinya konsepsi dan induksi hidroksiurea dan adrenalin mungkin tidak memengaruhi jumlah implantasi.

Impaired endometrial receptivity can cause infertility in women. Therefore, animal models are needed to improve understanding of the pathophysiology of this disorder. Research about animal models of infertility with impaired endometrial receptivity is still minimal. Confirmation and validation are required for the reliability of the animal model findings. This study aims to analyze the method of conception determination and the effect of hydroxyurea and adrenaline and to ensure the formation of an animal model of impaired endometrial receptivity through implantation parameters. Total of 18 female Wistar rats were divided into 3 groups; normal control, model (hydroxyurea 450mg/kgBW and adrenaline 0.3mg/kgBW), and positive control (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0.3 mg/kgBW, and progesterone 50 mg/human). Treatment was given for ten days, then female rats were paired with male rats and sacrificed on the 8th day of gestation. In this study, the time required for conception to occur is quite long. Vaginal plug and vaginal cytology observations were used to detect conception and compared for accuracy. The number of implantations was measured by counting the blastocyst protrusion in the uterus. The number of implantations was evaluated statistically, and no significant difference was found between the normal control, model, and positive control group ( ANOVA p>0.05). Vaginal plugs were observed only in one rat, while spermatozoa were observed in all vaginal smears. In conclusion, vaginal cytology method is more reliable than vaginal plugs for detecting the occurrence of conception and induction of hydroxyurea-adrenaline may not affect the number of implantations."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S70500
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Athyya Wulan Syafitri
"Gangguan reseptivitas endometrium telah diidentifikasi sebagai penyebab potensial infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Hewan model dapat menggambarkan patofisiologi terkait gangguan ini. Pembentukan hewan model gangguan reseptivitas endometrium sudah pernah dilakukan sebelumnya, tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia. Konfirmasi dan validasi dibutuhkan untuk menilai reliabilitas pembentukan hewan model. Identifikasi siklus estrus penting untuk melacak fase sebagai variabel yang dapat mempengaruhi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakter tiap fase siklus estrus untuk penentuan waktu awal pemberian perlakuan dan menganalisis pengaruh induksi hidroksiurea-adrenalin dalam pembentukan hewan model terhadap ketebalan endometrium. Tikus betina galur Wistar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok model (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB), kontrol normal (CMC Na 0,5%), dan kontrol positif (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB, progesteron 0,9 mg/200gBB). Pemberian perlakuan dilakukan setelah fase statik teridentifikasi. Metode apusan vagina digunakan untuk mengidentifikasi siklus estrus. Hasil pengamatan apusan vagina menunjukkan ciri khas dari fase yang diketahui dari siklus estrus dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Fase statik dapat diidentifikasi sebagai fase diestrus dari siklus estrus. Pemberian perlakuan dilakukan selama 10 hari, kemudian tikus betina dipasangkan dengan tikus jantan dan dikorbankan pada hari ke-8 kehamilan. Organ uterus diambil dan ketebalan endometrium dihitung dari pengukuran panjang rata-rata antara batas lumen uterus dan batas miometrium pada 4 kuadran. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada ketiga kelompok (F(2,15) = 1.584, p = 0.238). Sebagai kesimpulan, pembentukan hewan model dimulai setelah fase diestrus teridentifikasi dan pemberian hidroksiurea dan adrenalin tidak menyebabkan penurunan ketebalan endometrium.

Impaired endometrial receptivity has been identified as potential cause of unexplained infertility. Animal models can provide depiction of the pathophysiology related to this impairment. The establishment of impaired endometrial receptivity animal models has been done previously, but has never been done in Indonesia. Confirmation and validation are required to assess the animal models reliabilities. Identification of the estrus cycle is important to track the phase as a variable that can affect the study. The present study aims to analyze the character of each estrous cycle phase to determine the initial time of treatment and analyze the effect of hydroxyurea-adrenaline induction on the animal models establishment on endometrial thickness. Female Wistar rats is divided into 3 groups, namely the model grpup (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0.3mg/kgBW), normal control (CMC Na 0.5%), and positive control (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0, 3 mg/kg, progesterone 0,9 mg/200gBW). Treatment is carried out after the static phase is identified. The vaginal smears method is used to identify the estrus cycle. The results of vaginal smears observations showed the characteristics of a known phase of the estrus cycle and can be easily identified. The static phase can be identified as the diestrus phase of the estrus cycle. The treatment was carried out for 10 days, then female rats were paired with male rats and sacrificed on the 8th day of pregnancy. Uterine organs were removed and endometrial thickness was calculated from the measurement of the average length between the inner and outer layers of the uterus in 4 quadrants. The results of analysis showed that there is no statistically significant difference in the three groups (F(2.15) = 1.584, p = 0.238). In conclusion, the animal models establishment begins after the diestrus phase is identified and administration of hydroxyurea and adrenaline did not cause a decrease on endometrial thickness."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Anindya Tyagitha
"Latar belakang : Angka kejadian infertilitas di Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 6% atau terdapat kurang lebih 3-4,5 juta pasangan yang mengalami kesulitan mempunyai keturunan. Pada tahun 2012 dilaporkan bahwa 28,4% siklus merupakan transfer embrio beku dibandingkan pada tahun 2003 dimana dilaporkan siklus embrio beku dilakukan hanya 16,1% pada program Fertilisasi In Vitro (FIV). Walaupun transfer embrio beku telah semakin sering dilakukan, tetapi metode untuk persiapan endometrium yang paling efektif, antara alamiah atau artifisial, masih belum diketahui secara jelas. Tahap persiapan endometrium sebelum transfer embrio merupakan tahap yang sangat penting dalammencapai reseptivitas endometrium dan keberhasilan kehamilan. Tujuan : Mengetahui luaran program FIV pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial di Klinik Yasmin, RSCM Kencana. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan menggunakan metode uji potong lintang, periode 1 Januari 2011-31 Desember 2018. Pengambilan sampel dengan cara total sampling. Subjek penelitian ini merupakan seluruh wanita yang mengikuti FIV dengan tranfer embrio beku yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan di RSCM. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui angka implantasi dan kehamilan pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial. Hasil : Dari 147 subyek yang memenuhi kriteria penelitian, didapatkan 19 subyek menjalani persiapan endometrium dengan metode alamiah dan 128 menjalani persiapan endometrium dengan metode artifisial. Angka implantasi metode alamiah vs metode artifisial (32 % vs 29%); angka kehamilan biokimiawi (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); angka kehamilan klinis (42,1% vs 34,4%; p > 0,05); serta angka kehamilan lanjutan (36,8% vs  28,9%; p > 0,05). Kesimpulan :  Persiapan endometrium secara alamiah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya implantasi dan kehamilan biokimiawi dibandingkan persiapan secara artifisial. Sedangkan angka kehamilan klinis dan kehamilan lanjutan tidak berbeda bermakna. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menambah besar sampel, terutama pada kelompok persiapan endometrium secara alamiah.

Background : Infertility incidence in Indonesia is estimated to reach approximately 6% or approximately 34.5 million couples who have difficulty having children. In 2012 it was reported that 28.4% of cycles were frozen embryo transfers compared to 2003 where it was reported that only frozen embryo cycles performed only 16.1% in the In Vitro Fertilization (FIV) program. Although frozen embryo transfers have increasingly been done, the most effective method for endometrium, between natural or artificial, is still not clearly known. The endometrial preparation stage before embryo transfer is a very important stage in achieving endometrial receptivity and the success of pregnancy. Objective : Knowing the outcome of the FIV program on frozen embryo transfer using natural and artificial methods at the Yasmin Clinic RSCM Kencana. Methods : This research was an restropective analytical study using a cross-sectional test method for the period of January 1, 2011-December 31, 2018. Sampling by total sampling. The subjects of this study were all women who took part in FIV with frozen embryo transfer that met the inclusion and exclusion criteria performed at RSCM. The data obtained were analyzed bivariately using the chi-square test to determine implantation and pregnancy rates in frozen embryo transfer using natural and artificial methods. Results : 1 47 subjects who met the study criteria, 19 subjects underwent endometrial preparation by natural methods and 128 were subjects who underwent endometrial preparation by artificial methods. The rate of implantation of natural methods vs. artificial methods (32% vs 29 %); biochemical pregnancy rates (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); clinical pregnancy rate (42,1% vs 34,4%; p > 0,05) and on going  pregnancy rates (36.8% vs 2 8,9%; p > 0,05). Conclusion : Natural endometrial preparations have a higher tendency for implantation and biochemical pregnancy, while  clinical pregnancy rate and on going pregnancies not significantly difference. Further research is needed to increase sample size, especially in natural preparation group."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Ovalina Wisman
"Latar Belakang: Infertilitas merupakan salah satu permasalahan pasangan suami istri yang cukup sering ditemui dengan prevalensi berkisar pada 13-15%. Permasalahan infertilitas apabila tidak segera ditangani, dapat berakibat pada berbagai permasalahan seperti ekonomi, psikologis, maupun masalah medis. Diantara faktor penyebab infertilitas, 40% diantaranya berasal dari wanita dengan faktor terbanyak berupa faktor tuba. Sampai saat ini, jenis pemeriksaan yang sering digunakan untuk mengevaluasi tuba adalah histerosalpingografi (HSG) karena cara pengerjaan mudah, harganya yang lebih terjangkau dan masih dapat memberikan angka sensitivitas yang cukup baik. Meskipun demikian, pemeriksaan dengan HSG ini memiliki banyak kekurangan yakni metode yang invasif, menimbulkan rasa kurang nyaman, beresiko infeksi atau alergi, serta akurasi yang lebih rendah dibanding baku emas pemeriksaan faktor tuba yaitu laparoskopi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penilaian akurasi pemeriksaan HSG dalam menilai faktor tuba jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi yang data menilai faktor tuba dan temuan patologi organik lainnya pada perempuan infertil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi Ciptomangunkusumo (RSCM) dan rumah sakit YPK Menteng Jakarta dengan sampel berupa 93 wanita infertil yang diduga memiliki faktor tuba serta menjalani pemeriksaan HSG dan laparoskopi selama Juli 2014 sampai dengan Juni 2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat data rekam medis dari pasien yang telah menyetujui menjadi subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan oleh peneliti. Penilaian akurasi HSG dalam menilai faktor tuba dilakukan dengan melihat nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif dari HSG jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi, dan data dianalisis dengan analisis bivariat (crosstab) untuk menentukan signifikasi.
Hasil: Dari hasil analisis statistik didapatkan skor kappa adalah 0,484 (0,306-0,662, Cl 95%), yang berarti konsistensi hasil dari dua alat pemeriksaan dalam perhitungan moderat. Evaluasi patensi tuba menggunakan HSG dan laparaskopi memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif HSG secara berturut-turut 72,92%, 75,56%, 76,09%, dan 72,34%. Dengan nilai akurasi menggunakan HSG untuk mengevaluasi patensi tuba adalah 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%).
Diskusi: Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan HSG memiliki tingkat akurasi yang baik, dan HSG dapat masih digunakan sebagai pilihan pertama untuk mengevaluasi patensi tuba dan pasien infertil. PDari hasil penelitian ini penggunaan HSG tidak disarankan pada pasien usia 31-40 tahun menginat hasil statistik yang kurang mendukung.

Introduction: Infertility is of reproductive problems which is quite often encountered with a prevalence at 13-15%. Infertility which is not handled immediately can lead to various problems such as economic, psychological, or medical problems. Among the factors causing infertility, 40% of it came with the most factor of tubal factor. Until now, the type of examination used to diagnose tubal patency is hysterosalfingography (HSG) due to its affordable price. However, HSG examination has several shorthage such as invasive, painful sensation, risk of allergy, and low sensitivity compared to laparoscopy as the gold standard examination for tubal patency. Therefore, in this study the accuracy assessment carried out the ability of HSG information in view of tubal factors and other organic pathology findings in infertile women when compared with the gold standard is laparoscopy.
Methods: This study was a cross-sectional study obtained from Departement of Obatetrics and Gynecology of Ciptomangunkusumo (RSCM) and YPK Menteng Hospital with sample of 93 infertile women with tubal factors and underwent HSG and laparoscopic examination during the period July 2014 through June 2015. Taking the sample is done by looking at medical record data patients who have agreed to bet he subject of research conducted by the investigator. Assessment and measurement of HSG in tubal factor was performed by looking at sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG when compared with laparoscopy as the gold standard. In addition, bivariate trials were conducted using chi-square to see whether or not any signifficant difference between examination of tubal patency using HSG and laparoscopy, and data were analyzed by variate analysis (crosstab) to determine the significance.
Results: From the statistical analysis, the kappa score wa 0,484 (0,306-0,662, CL 95%), which means consistensy of result from two checking devices in moderate calculations. Evaluation of tubal patency, calculation of sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG 72,92%, 75,56%, 76,09%, and 72,34%. respectively. With accuracy values using HSG to evaluate tubal patency was 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%).
Discussion: This research shows that the sensitivity, specificity, and positive values of HSG are low while negative score is high enough. This shows that the data of HSG in the number of tubal factors in this study is still relatively low compared with the standard standard of laparoscopy. A further search with a larger sample quantity to do can be more accurate predictive value from HSG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Andi Wijaya
"Sebanyak 15% persen pasangan mengalami kemandulan. Sebanyak 30% di antaranya disebabkan oleh faktor pria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerapan mikrodelesi kromosom Y dan mengetahui mikrodelesi kandidat gen mana pada kromosom Y yang paling sering dijumpai pada pria penderita oligozoospermia di Jakarta 2007 ? 2008. Penelitian ini menggunakan desain penelitian bentuk deskriptif molekuler cross sectional. Besarnya sampel pria infertil dengan kriteria oligozoospermia berat yang akan diteliti sebanyak 50 orang. Dari penelitian ini didapatkan gen yang paling sering mengalami mikrodelesi pada pria penderita oligozoospermia di Jakarta 2007 ? 2008 adalah gen pada regio sY254 dan sY255 kromosom Y.

As many as15% couples have an infertility problem. 30% problems among them are caused by male factor. This research is objected to measure the Y chromosome microdeletion frequency and to know the gen candidate of Y chromosome with the highest frequency among oligozoospermia patient in Jakarta from 2007 until 2008. This research uses cross sectional molecular descriptive design. From this research, we can conclude that the genes with the highest microdeletion frequency in oligozoospermia patient in Jakarta from 2007 until 2008 are genes in sY254 and sY255 region of Y chromosome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farid Anfasa Moeloek
"ABSTRAK
Latar Belakang Dan Permasalahan
Dewasa ini, dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas hidup dan kehidupannya, membawa masalah tersendiri terhadap penanganan infertilitas dalam menangani masalah fertilitas secara menyeluruh. Sesungguhnya kehadiran berbagai disiplin ilmu baik dari dalam dunia kedokteran, maupun dari luar dunia kedokteran seperti psikologi, ilmu sosial, ilmu pendidikan, ilmu hukum, dan bahkan agama sekali pun diperlukan dalam mengatasi masalah ini, karena sedemikian majemuknya permasalahan yang dihadapi. Ini berarti dituntut tanggung jawab yang merupakan tantangan bagi terlaksananya pusat pengkajian ilmu bagi masalah-masalah kesehatan reproduksi di Indonesia.
Sampai saat ini di dalam dunia kedokteran sendiri, pemeriksaan klinik infertilitas yang bermaksud untuk memperoleh sejauh mungkin keterangan mengenai sebab infertilnya pasangan, agar dapat dibuat kebijaksanaan bagi pengobatannya yang tepat dan terarah, masih tetap merupakan masalah yang menarik perhatian. Kenyataan ini dihadapkan dengan masih berlangsungnya hingga kini suatu penelitian bersama dari WHO dalam Investigation and diagnosis of the infertile couple, Special Programme of Research Development and Research Training in Human Reproduction (study number 78923). Dengan demikian dapat dimaklumi, bahwa keberhasilan pengobatannya pun sampai saat ini masih banyak membawa kekecewaan, meskipun ada kalanya memberi kepuasan tersendiri baik bagi dokter pemeriksa dan pasiennya sendiri.
Adalah kenyataan dalam 10 tahun terakhir ini, bahwa banyak kelainan genitalia interna pada wanita dengan perkawinan infertil yang masih sulit dikenal melalui pemeriksaan-pemeriksaan klinik infertilitas lazimnya yang terdiri dari pemeriksaan dalam (ginekologik), suhu basah badan, sitologi vagina atau biopsi endometrium, uji pasca sanggama dan histerosalpingografi saja. Pasangan infertil yang dianggap "normal", yang masih belum dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan kiinik tersebut masih cukup tinggi, berkisar 10-20%. Sedangkan pemeriksaan klinik infertilitas wanita yang dilakukan di klinik ini masih meliputi pemeriksaan-pemeriksaan itu; pemeriksaan imuno-hormonologik lanjut yang mungkin dapat membantu menerangkan hal-hal lainnya masih belum sempurna dapat dilaksanakan di sini karena masih langkanya pemeriksaan tersebut.
Selain daripada itu, masalah lain yang dihadapkan dan dirasakan perlu mendapat perhatian pada pemeriksaan klinik infertilitas wanita adalah lamanya waktu pemeriksaan dengan segala macam halangannya. Masih dirasakan sampai saat ini, terutama bagi pihak istri, perlunya waktu yang relatif lama untuk mencari faktor penyebabnya itu; sedangkan mereka telah dihadapkan pada waktu yang cukup lama pula untuk menantikan datangnya keturunan. Behrman dan Kistner, dan Jain, 17 ;pernah mengutarakan 'bahwa'lamanya usaha ingin anak atau lamanya perkawinan berlangsung 'merupakan faktor yang turut pula bertanggung jawab terhadap kesuburan pasangan.
Kemajuan ilmu ,dan teknologi .kontemporer di dalam bidang kedokteran saat ini, ternyata banyak mengundang harapan baru bagi terciptanya cara pemeriksaan klinik dan pengobatan, yang lebih maju. Kemajuan dalam bidang penelitian teknologi kontrasepsi dan sumber cahaya dingin (fiber optik), ternyata membuka era baru pula bagi cara-cara pemeriksaan klinik dan pengobatan pada infertilitas wanita. Dari sekian banyak teknologi alat kontrasepsi yang sedang dikembangkan dan kini mulai banyak digunakan untuk maksud pemeriksaan, klinik genitalia interna dan pengobatan pada wanita dengan perkawinan infertil adalah endoskopi (laparoskopi dan kuldoskopi). Endoskopi (laparoskopi ,atau kuldoskopi) yang merupakan pemeriksaan langsung genitalia interna, yang dapat dilaksanakan dalam waktu tidak lebih dari satu jam saja, membuat kelainan-kelainan genitalia interna yang sulit dikenal dengan pemeriksaan-pemeriksaan klinik infertilitas lainnya dengan mudah, cepat, dan tepat dapat diketahui. Berdasarkan pandangan dari beberapa penulis tampaknya endoskopi dapat memperkecil masalah pemeriksaan klinik infertilitas wanita. Bahkan Frangenheim dan Lindemann lebih tegas menyatakan bahwa kini pemeriksaan genitalia interna belum sempurna dilaksanakan apabila pemeriksaan endoskopi belum dilakukan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
D233
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Adi Pratama
"Latar Belakang: Infertilitas adalah suatu kondisi di mana pasangan gagal menghasilkan keturunan setelah 12 bulan melakukan hubungan seksual, tanpa alat kontrasepsi. Infertilitas wanita yang disebabkan oleh berbagai faktor merupakan masalah yang dapat meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Salah satu penanganan infertilitas adalah teknologi reproduksi berbantuan seperti IVF dan ICSI yang keberhasilannya dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama viabilitas oosit. Viabilitas oosit sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti zat gizi yang mengandung seperti asam lemak tertentu dan isoflavon. Kedelai (Glycine max) diketahui mengandung berbagai zat yang dapat mempengaruhi viabilitas oosit, namun belum ada penelitian mengenai pengaruh konsumsi kedelai.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kedelai terhadap viabilitas oosit yang diukur dengan potensial membran mitokondria.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan hewan coba. Mencit betina galur Swiss (Mus musculus) umur 6 minggu dibagi menjadi beberapa kelompok, dimana setiap kelompok harus menghasilkan 16 oosit yang diberi pakan kedelai 120 g/KgBB dan yang tidak. Mencit diberi perlakuan sampai umur 8 minggu. Pada umur 8 minggu, mencit diterminasi untuk diambil oositnya. Oosit kemudian diperlakukan dengan protokol MitoTracker (ThermoFisher) dan dilihat menggunakan mikroskop confocal untuk melihat intensitas warna, yang kemudian dianalisis dengan perangkat lunak ImageJ.
Hasil: Rata-rata intensitas warna pada kelompok yang diberi kedelai lebih tinggi (27154.63) dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi (19036.42). Namun, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik jika diuji menggunakan uji-t independen dengan p > 0,05).
Kesimpulan: Rata-rata intensitas warna kelompok dengan kedelai lebih tinggi tetapi perbedaannya tidak nyata. Kurangnya signifikansi statistik bisa menjadi hasil dari ukuran sampel yang kecil.

Background: Infertility is a condition in which a couple fails to produce offspring after 12 months of sexual intercourse, without contraception. Female infertility caused by various factors is a problem that will increase in the next few years. One of the treatments for infertility is assisted reproductive technology such as IVF and ICSI whose success is influenced by many factors, especially oocyte viability. Oocyte viability itself is influenced by various factors such as nutrients that contain certain fatty acids and isoflavones. Soybean (Glycine max) is known to contain various substances that can affect oocyte viability, but there has been no research on the effect of soybean consumption.
Objective : This study aimed to determine the effect of soybean on oocyte viability as measured by mitochondrial membrane potential.
Methods : This research is an experimental study with experimental animals. Female Swiss strain mice (Mus musculus) aged 6 weeks were divided into several groups, where each group had to produce 16 oocytes that were fed 120 g/KgBW soybean and those that were not. Mice were treated until the age of 8 weeks. At the age of 8 weeks, the mice were terminated to collect the oocytes. The oocytes were then treated with the MitoTracker protocol (ThermoFisher) and viewed using a confocal microscope for color intensity, which was then analyzed with ImageJ software.
Results: The average color intensity in the group that was given soybeans was higher (27154.63) than the group that was not given (19036.42). However, this difference was not statistically significant when tested using an independent t-test with p > 0.05).
Conclusion: The average color intensity of the group with soybeans was higher but the difference was not significant. The lack of statistical significance could be a result of the small sample size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ari Pujianto
"Antibodi antisperma adalah salah satu penyebab infertilitas pada manusia. Antibodi ini berikatan dengan protein pada permukaan sperma dan dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sperma yang menghambat proses fertilisasi secara langsung maupun tak langsung. Identifikasi antigen sperma diharapkan akan menjelaskan mekanisme terjadinya infertilitas autoimun. Selain itu, apabila antigen tersebut berhubungan langsung dengan proses fertilisasi, studi ini dapat pula memperjelas mekanisme fertilisasi pada tingkat molekul.
Tesis ini melaporkan basil penelitian awal dari sebuah penelitian besar yang mempelajari tentang mekanisme infertilitas imunologis. Penelitian awal ini mencakup identifikasi antigen sperrna dengan menggunakan sera pasien infertil dan isolasi klon cDNA yang menyandi salah satu antigen tersebut. Identifikasi antigen dilakukan dengan Western immunoblotting menggunakan 13 sera yang berasal dari individu fertil sebagai kontrol (kode EIC) dan 37 sera dari pasien infertil (kode EIS). Serum pasien yang memberikan reaksi kuat dan konsisten kemudian digunakan untuk mengisolasi klon cDNA dari pustaka cDNA testis manusia.
Hasil Western immunoblotting menunjukkan bahwa EIS mengenali satu atau beberapa protein sperma dengan berat molekul yang bervariasi mulai dari 34 hingga 105 kDa. Sebagian besar EIC (11 dari 13) juga berikatan dengan beberapa protein sperma namun intensitasnya lebih lemah dibanding EIS. Serum dengan kode EIS07 memperlihatkan reaksi yang kuat dan spesifik dengan protein berukuran 66 kDa clan 88 kDa. Serum ini kemudian digunakan sebagai pelacak pada skrining pustaka cDNA testis manusia. Dari skrining tersebut berhasil diisolasi sebuah klon positif dari kurang lebih 225.000 klon. Klon ini membawa potongan cDNA berukuran kurang lebih 2.3 kpb yang selanjutnya disebut cDNA AIR (Autoimmune Infertility Related). cDNA AIR selanjutnya disubklon ice dalam vektor plasmid pGEX-4T2. Plasmid rekombinan ini kemudian dipotong dengan berbagai enzim restriksi untuk membuat peta restriksi pada fragmen eDNA AIR tersebut. Hasil pemetaan menunjukkan adanya situs restriksi untuk enzim Pstl, ApaI, HindIII, KpnI, SacI, dan Xbal. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlina
"ABSTRAK
Pengukuran kadar komplemen C3c dalam seminal plasma pria pasangan infertil dilakukan dengan Nephelometer Iaser . Pengukuran dilakukan untuk nengetahui kadar kompIenen C3c dan apakah terdapat perbedaan kadar komplenen C3c yang nyata antara ketiga kelonpok sampel. Juga diteliti peranan antibodi antisperma IgG yang menempel pada permukaan spermatozoa dan komplemen C3c dalan pengrusakan membran dan imobilisasi spermalozoa. Adanya IgG pada permukaan spermatozoa diperiksa dengan uii - IgG Mixed Antiglobulin Reaction. Keadaan membran spermatozoa diperiksa dengan uji Hypoosmotic Swelling, SampeI-sampel digolongkan kedalarn tiga kelompok, yaitu: kelompok 1 (hasiI uji-IgG MAR = 0%' spermaLozoa yang membrannya rusak < 40%), kelompok 2 (hasil uji-IgG MAR > 0%, spermatozoa yang membrannya rusak < 4O%), dan kelompok 3 (hasil uii - IgG MAR > O%, spermatozoa yang membrannya rusak >,, 40%) . Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kadar rata - rata komplemen C3c di dalam seminal plasma Pria Pasangan infertil adalah sebesar 0 ' 6185 mg/100 ml . Tidak terdapat perbedaan kadar komplemen C3c yang nyata antara ketiga kelompok sampel. Antibodi antisperma IgG dan komplemen C3c berperanan dalam pengrusakan membran spermatozoa tetapi tidak berperanan dalam imobilisasi spermatozoa.
ABSTRACT
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiarti
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya stereotip yang berkembang di masyarakat bahwa setiap wanita dewasa yang telah menikah diharapkan perannya sebagai seorang ibu, bila ia mau dikatakan sebagai wanita yang sempurna. Namun demikian, sekitar 10 % pasangan di Indonesia tidak beruntung memiliki keturunan. Sedangkan penyebab kekurang berhasilan seorang wanita untuk bisa hamil dan melahirkan anak setelah 12 bulan pernikahan dengan kegiatan bersenggama secara teratur, yang lazimnya disebut infertilitas, sangat bervariasi. Adanya kenyataan infertilitas tersebut membuat wanita memiliki penghayatan psikologis terhadap kondisinya tersebut, yang pada akhirnya bisa menjadi satu sumber stres baginya.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dengan pertimbangan bahwa masalah yang diteliti merupakan masalah yang peka dan membutuhkan kedalaman informal. Teknik pengambilan data melalui wawancara mendalam dan observasi. Ruang lingkup penelitian adalah wanita yang sudah menikah, paling sedikit 12 bulan, berpendidikan minimal SMA dan belum punya anak. Lokasi penelitian pun dibatasi yaitu kompleks perumahan salah satu BUMN di Cilegon.
Hasil yang diperoleh adalah terjaringnya berbagai sumber-sumber stres, baik berupa penghayatan frustrasi, karena adanya hambatan fisik dan sosial, konflik maupun tekanan-tekanan yang dirasakan oleh wanita infertil. Tergali pula mengenai makna anak, serta hal yang menarik lagi adalah diketahuinya peran dukungan suami yang sangat besar dalam memotivasi istri untuk melakukan coping secara efektif. Sedangkan strategi coping yang muncul pun bervariasi, mencakup coping baik yang berpusat pada masalah, maupun berpusat pada emosi. Upaya pencarian pengobatan yang dilakukan oleh wanita infertil lebih condong bersifat bukan medis/tradisional. Hal ini berkaitan dengan kurangnya dukungan suami untuk terlibat dalam upaya pencarian pengobatan. Kesimpulan yang diperoleh adalah tentang pentingnya dukungan suami dalam memotivasi wanita infertil untuk melakukan upaya pencarian pengobatan. Saran yang diberikan adalah perlunya konseling infertilitas bagi pasangan infertil dan pemberdayaan pengobatan tradisional oleh wanita infertil.

This research is base on stereotype about role of woman as married adult who has a child. About 10% of married couples in Indonesia doesn't have child. They are called infertile couple or who has infertility problem. The infertility is condition where married woman doesn?t have pregnancy including 12 months during her married periods within do coitus routinely. The cause of infertility is varied. The infertility made a married woman appreciate some psychological feeling about her problem, so that can be a stressor for her.
Method of this research is qualitative, because of the essential research problem is sensitive and wants a accurate and in-depth data. The informants are married women, with married age at least 12 months, high school education minimal, Childless. The research location is in Cilegon.
The results of research are known frustration, because of physical and social barriers, conflicts and stress. The informants appreciated varied meaning of child for them. The role of social support from informants? husbands is very important, because that can motivate them to do coping effectively. There are many coping strategy; problem-focused coping and emotion focused coping that do by informants. The low of social support from their husbands made them do traditional treatments, that no husband participants. The infertility counseling and the improvement traditional medicine is propose to help infertility couple to solve their problems.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>