Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150067 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jason
"Latar belakang: Indonesia terletak dalam sabuk talasemia dengan prevalensi karier yang tinggi. Saat ini, terapi kelasi besi dibutuhkan oleh pasien talasemia dependen transfusi. Namun, terapi kelasi besi yang tersedia saat ini memiliki harga yang mahal serta efek samping yang berbahaya. Oleh karena itu, mangiferin merupakan salah satu senyawa alternatif yang berpotensi sebagai terapi kelasi besi karena mampu mengikat besi serta bertindak sebagai antioksidan. Studi ini bertujuan untuk menilai pengaruh mangiferin dan penggunaan nanopartikel kitosan-alginat terhadap aktivitas SOD jantung.
Tujuan: Mengetahui kemampuan mangiferin sebagai alternatif terapi besi berlebih
Metode: Sebanyak 25 tikus Sprague-Dawley dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yaitu: kelompok normal (N), kelompok besi berlebih (IO), dan kelompok terapi (IO+M50, IO+MN50, IO+MN25). Iron dekstran 15mg diberikan dua kali seminggu secara intraperitoneal selama 4 minggu, sedangkan mangiferin dan mangiferin dalam nanopartikel diberikan secara intraperitoneal sesuai dosis setiap hari selama 4 minggu. Aktivitas SOD diukur pada organ jantung menggunakan kit SOD dan spektrofotometer. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA Welch post-hoc Games-Howell dengan nilai kemaknaan 0,05.
Hasil: Studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara aktivitas SOD jaringan jantung tikus Sprague-Dawley dalam setiap kelompok percobaan (ANOVA Welch, p=0,071). Kelompok dengan besi berlebih menunjukkan kecenderungan penurunan aktivitas SOD dibandingkan kelompok normal (rerata 0,0092 vs 0,0175 U/mg), peningkatan jika diberikan mangiferin 50mg/kgBB (rerata 0,092 vs 0,0108 U/mg), dan penurunan ketika mangiferin diberikan dalam nanopartikel kitosan-alginat (rerata 0,0108 vs 0,0093 vs 0,0054 U/mg).
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan signifikan pada aktivitas SOD jantung tikus Sprague-Dawley antara setiap kelompok, baik dari pemberian besi berlebih maupun dengan terapi mangiferin.

Introduction: Indonesia is located inside the thalassemia belt with high prevalence. Until now, transfusion dependent thalassemia needs iron chelator therapy. But currently, the iron chelator therapies available are so expensive and have side effects. Currently, mangiferin is extensively studied because of its ability to act as an iron chelator and also as antioxidant. This study aims to evaluate the effect of mangiferin and mangiferin in chitosan-alginate nanoparticle to SOD activity in heart with iron overload condition.
Purpose: To know the extent of mangiferin potential as iron chelator therapy alternative
Methods: Twenty-five Sprague-Dawley rats were divided into 5 groups of 5 each: normal (N), iron overload (IO), 50 mg/kg/day mangiferin therapy (IO+M50), 50 mg/kg/day mangiferin therapy in nanoparticle delivery (IO+M50), and 25 mg/kg/day mangiferin therapy in nanoparticle delivery (IO+MN25). Iron dextran and mangiferin were administered intraperitoneally according to each group dose for 4 weeks. SOD activity was measured with spectrophotometer and analysed with Welch’s ANOVA followed by Games-Howell post-hoc test with significance level of 0.05.
Results: This study demonstrated no significant difference of SOD activity compared in each group (Welch’s ANOVA, p=0.071). SOD activity tend to be higher in N group when compared to IO group (mean 0.01175 vs 0.0092 U/mg), tend to increase with mangiferin therapy (mean 0.0108 U/mg), but tend to be lower when carried by chitosan-alginate nanoparticle with IO+MN25 being the lowest (mean 0.0108 vs 0.0093 vs 0.0054 U/mg).
Conclusion: There is no significant difference of SOD activity from comparison of each group of Sprague-Dawley rat’s hearts.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Chalisya Ilyas
"Latar belakang: Iron overload adalah kondisi dimana terjadi penumpukan besi berlebih dalam tubuh dan sering terjadi pada pasien yang menjalani transfusi berulang seperti pasien talasemia beta mayor. Iron overload ini merusak banyak organ dan salah satunya yang terberat adalah kerusakan organ jantung berupa kardiomiopati yang merupakan penyebab utama kematian pasien talasemia beta mayor. Tatalaksana yang diberikan untuk mencegah iron overload adalah obat pengkelat besi yang saat ini harganya mahal dan banyak efek samping. Mangiferin adalah senyawa polifenol yang dapat dijadikan kandidat potensial obat pengkelat besi. Sayangnya bioavailabilitasnya rendah, sehingga dipikirkan pembuatan formulasi mangiferin dalam nanopartikel kitosan alginate akan dapat meningkatkan bioavailabilitas dan distribusinya ke organ. Pada penelitian ini mangiferin akan diukur kadarnya dalam organ jantung tikus Sprague- Dawley yang diberi besi berlebih. Metode: Data penelitian ini diperoleh dari homogenat organ jantung tersimpan tikus Sprague- Dawley yang diperoleh dari penelitian sebelumnya sebanyak 17 sampel dan diukur kadar Mangiferin dalam jantung menggunakan alat HPLC. Tikus dibagi ke dalam tiga kelompok dan diinduksi besi berlebih sambil diberikan Mangiferin yang berbeda setiap harinya yaitu Mangiferin konvensional 50 mg/ kgBB (MK50), Mangiferin kitosan alginat 50 mg/ kgBB (MN50), dan Mangiferin kitosan alginat 25 mg/ kgBB (MN25). Hasil: Nilai rerata kadar MK50, MN50 dan MN25 yang diukur dalam organ jantung tikus dalam satuan (ng/g) berturut-turut sebesar 4365,80, 4453,65 dan 4171,97 dengan nilai p = 0, 974. Simpulan: Kadar mangiferin di jantung tikus Sprague-Dawley yang diinduksi besi berlebih setelah pemberian mangiferin kitosan alginate nanopartikel tidak berbeda dengan pemberian mangiferin konvensional.

Background : Iron overload is an accumulation of excess iron in the body and often occurs in repeated transfusion patients such as beta thalassemia major. Iron overload damages multi-organs and the worst impact is cardiomyopathy which is the main cause of death in beta thalassemia major patients. The preventive treatment for iron overload is iron chelating drugs, which are expensive and have many adverse effects. Mangiferin is a polyphenol that have potential to be a candidate for iron chelator. Unfortunately, its bioavailability is low. Therefore, new formulation is considered to increase the bioavailability of Mangiferin with chitosan alginate nanoparticles technology which was measured in the heart organ of iron overload Sprague-Dawley rats. Method : The data of this study were obtained from the stored heart organ homogenate of Sprague-Dawley rats which were obtained from a previous study of 17 samples and the levels of mangiferin in the heart were measured using an HPLC device. Rats were divided into three groups and induced by excess iron while given different Mangiferin every day, namely conventional Mangiferin 50 mg/kgBW (MK50), Mangiferin chitosan alginate 50 mg/kgBW (MN50), and Mangiferin chitosan alginate 25 mg/kgBW (MN25). Results: The mean values of MK50, MN50 and MN25 levels measured in the rat heart in units (ng/g) were 4365.80, 4453.65 and 4171.97 with p = 0.974, respectively. Conclusion: There was no significant difference between Conventional Mangiferin and Mangiferin Nanoparticles in the heart of Sprague-Dawley rats induced by excess iron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Dwi Haryanto
"Latar belakang: Kondisi penumpukan zat besi di tubuh sering terjadi pada pasien talasemia yang bergantung pada transfusi darah. Kelebihan zat besi dapat memicu terbentuknya reactive oxygen species (ROS) sehingga terjadi disfungsi organ. Limpa adalah salah satu organ yang terdampak dan dapat terjadi splenomegali yang dapat berujung pada splenektomi. Terapi kelasi besi diperlukan untuk mengurangi akumulasi zat besi. Mangiferin memiliki properti antioksidan sehingga dianggap dapat menjadi obat alternatif terapi kelasi. Namun, rendahnya bioavailibilitas mangiferin menghambat pengembangan dan aplikasi klinisnya. Penghantaran obat menggunakan nano-carrier menjadi salah satu pilihan untuk memperbaiki bioavailibilitas mangiferin. Penelitian ini menganalisis kadar mangiferin biasa dibandingkan mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat pada limpa tikus Sprague-Dawley. Metode: Penelitian menggunakan data dari tiga kelompok homogenat organ limpa tikus Sprague-Dawley tersimpan yang diinduksi kelebihan besi. Kelompok dibagi menjadi limpa yang diberi mangiferin konvensional dosis 50 mg/kgBB, mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat dosis 50 mg/kgBB, serta mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat dosis 25 mg/kgBB. Kadar mangiferin pada limpa diukur menggunakan HPLC. Hasil: Kadar rata-rata mangiferin pada organ limpa tikus Sprague-Dawley (ng/g jaringan) pada kelompok M50K (686,1±168,55), kelompok M50NP (924,6±253,63), dan kelompok M25NP (683,75±240,52). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada ketiga kelomok tersebut. Kesimpulan: Pemberian mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat tidak meningkatkan kadar mangiferin pada limpa tikus Sprague-Dawley dibandingkan dengan pemberian mangiferin konvensional dan tidak ada perbedaan bermakna antara kadar mangiferin pada pemberian mangiferin nanopartikel kitosan-alginat dosis 50 mg/kgBB dibanding dosis 25 mg/kgBB.

Introduction: Iron overload in the body often occur in transfusion-dependent thalassemia patients. This condition can trigger the formation of reactive oxygen species (ROS) resulting in organ dysfunction. Spleen is one of the organs affected and it can lead to splenomegaly which leads to splenectomy. Iron chelation therapy is required to reduce iron accumulation. Mangiferin has antioxidant properties, therefore, it is considered as an alternative medicine for iron chelation therapy. However, the low bioavailability restricts the development and clinical application of mangiferin. Drug delivery using nano-carriers is an option to increase the bioavailability of mangiferin. This study analyzed the levels of conventional mangiferin compared to mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles in the spleen of Sprague-Dawley rats. Method: This study used data from three groups of spleen organ homogenate storage of Sprague-Dawley rats induced by iron overload. The groups were divided into spleens which were given conventional mangiferin 50 mg/kgBW, mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles 50 mg/kgBW, and mangifeirn in chitosan-alginate nanoparticles 25 mg/kgBW. Spleen mangiferin levels were measured using HPLC. Result: The mean level of mangiferin in the spleen organs of Sprague-Dawley rats (ng/g tissue) in the M50K group (686,1±168,55), M50NP group (924,6±253,63), and M25NP group (683,75±240,52). There was no significant difference in the three groups. Conclusion: Administration of mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles did not increase the spleen mangiferin levels in Sprague-Dawley rats compared to conventional mangiferin and there was no significant difference between mangiferin levels in spleen after the administration of mangiferin chitosan-alginate nanoparticles between doses of 50 mg/kgBW and 25 mg/kgBW."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Suryo Wijaya
"Latar belakang: Tubuh kita hanya dapat mengekskresi zat besi secara terbatas sehingga apabila seseorang mengalami peningkatan zat besi, zat besi bebas akan menumpuk di jaringan dan menyebabkan kondisi iron overload dan memicu produksi ROS, yang dapat memicu disfungsi organ, salah satunya ginjal. Saat ini telah terdapat tiga macam agen kelasi besi untuk mengatasi iron overload. Namun, ketiga agen kelasi tersebut mahal dan memiliki berbagai efek samping. Berdasarkan penelitian yang sudah ada, mangiferin merupakan senyawa yang dapat mengkelasi besi, mengikat radikal superoksida (yang didismutasi oleh enzim superoxide dismutase), dan memiliki efek samping yang sedikit. Namun, mangiferin memiliki bioavailabilitas yang rendah. Saat ini dikembangkan beberapa teknologi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat, salah satunya adalah dengan menggunakan nanopartikel kitosan-alginat sebagai nanocarrier.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian mangiferin dalam nanopartikel kitosanalginat terhadap aktivitas SOD pada ginjal tikus yang diberi besi berlebih.
Metode: Penelitian menggunakan organ ginjal tikus Sprague-Dawley dari penelitian sebelumnya yang terbagi menjadi lima kelompok uji: Kelompok N, IO, IO+M50, IO+MN50, dan IO+MN25. Homogenat sampel direaksikan dengan menggunakan InvitrogenTM SOD Colorimetric Activity Kit. Data diperoleh dengan membaca absorbansi dari hasil reaksi melalui metode spektrofotometri yang hasilnya kemudian dibagi dengan protein jaringan.
Hasil: Kadar SOD ginjal tikus pada kelompok IO+MN25 memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan kelompok IO dan serupa dengan kelompok IO+M50 (p>0,05)
Simpulan: Pemberian mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat tidak berpengaruh terhadap aktivitas SOD pada ginjal tikus yang diberi besi berlebih.

Background: Our body can only excrete a limited amount of iron. Therefore, if iron amount in-body exceeds the excretion limit, non-transferrin-bound iron will increase and piles up in body tissues causing iron overload which triggers ROS production, which later induce organ dysfunctions, e.g. kidney dysfunction. Currently, there are three types of iron chelators to treat iron overload. But, those iron chelators are expensive and cause many adverse effects. Researchers find out that mangiferin is able to chelate iron, scavenge radical superoxides (which is dismutated by superoxide dismutase), and has less adverse effects. However, mangiferin has a low oral bioavailability. Many technologies are being developed to increase oral bioavailability of a medicine, one of them is by using chitosanalginate nanoparticles as nanocarriers.
Objective: The aim of this research is to analyze the effect of mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles treatment towards kidney superoxide dismutase (SOD) activity of iron-induced rats.
Methods: This research uses kidneys of iron-induced Sprague-Dawley rats from the last experiment which were grouped into five groups: N, IO, IO+M50, IO+MN50, IO+MN25. Sample homogenates are reacted with InvitrogenTM Superoxide Dismutase (SOD) Colorimetric Activity Kit. The data is collected by reading the absorbance of reaction results with spectrophotometry and dividing the spectrophotometry data by total tissue protein.
Results: Kidney SOD activity level in IO+MN25 group tends to be higher than IO group and similar to IO+M50 group (p>0,05).
Conclusion: The treatment of mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles does not affect kidney superoxide dismutase (SOD) activity of ironinduced rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zizi Tamara
"Garcinia mangostana L. merupakan salah satu tanaman obat yang diketahui
mempunyai berbagai manfaat, diantaranya sebagai antibakteri, antidiare,
antiinflamasi, serta memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Penelitian ini
bertujuan untuk menguji aktivitas antioksidan dari ekstrak etanol 50% kulit buah G.
mangostanaterhadap hati dan plasma tikus dari kerusakan oksidatif akibat pemberian
karbon tetraklorida (CCl4). Dua puluh lima ekor tikus putih jantan Sprague-Dawley
dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol; kelompok CCl4 dengan dosis
0,55 mg/g BB peroral; serta kelompok ekstrak dosis 900, 1080, dan 1296 mg/kg BB
peroral selama 8 hari sebelum pemberian CCl4. Karbon tetraklorida diberikan 48 jam
sebelum tikus dikorbankan. Parameter biokimia yang diukur adalah aktivitas
superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT) dan senyawa karbonil di jaringan hati
dan plasma darah tikus. Hasil penelitian memperlihatkan aktivitas SOD hati
kelompok ekstrak (900 dan 1080 mg/kg BB) dan aktivitas SOD plasma kelompok
ekstrak (900 dan 1296 mg/kg BB) lebih tinggi bermakna (p<0,05) terhadap
kelompok CCl4. Aktivitas CAT hati kelompok ekstrak (900, 1080, dan 1296 mg/kg
BB) lebih tinggi bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok CCl4. Pemberian
ekstrak dosis 900 mg/kg BB memperlihatkan kadar senyawa karbonil hati lebih
rendah tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok CCl4. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa ekstrak etanol 50% kulit buah manggis dapat memberikan
pengaruh terhadap aktivitas antioksidan endogen sehingga mampu mencegah
terjadinya stres oksidatif di hati akibat pemberian CCl4.

Garcinia mangostana L. is a medicinal plant known many benefits, including its
potency as antibacterial, antidiarrheal, antiinflammatory, and high antioxidant
activity. This study aimed to test the antioxidant activity of 50% ethanolic extract of
G. mangostana rind against oxidative damage in liver and plasma of rats caused by
administration of carbon tetrachloride (CCl4). Twenty-five male Sprague-Dawley
rats were divided into 5 groups consist of control group; CCl4 group aregiven a dose
of 0.55 mg/g b.w orally; group that are given doses of extract 900, 1080, and 1296
mg/kg b.w orally for 8 days prior to CCl4 administration. Carbon tetrachloride
(CCl4)are given 48 hours before the rats were sacrificed. Parameters measured were
superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT) activity and carbonyl compounds in
liver tissue and blood plasma of rats. The results of this study showed that the
activity of liver SOD in extract groups (900 and 1080 mg/kg b.w) and activity of
plasma SOD in extract group (900 and 1296 mg/kg b.w) were significantly higher (p
<0.05) compared to CCl4 group. Activity of the liver CAT in extractgroups (900,
1080, and 1296 mg/kg b.w) were significantly higher (p <0.05) compared to CCl4
group. Extract administration on900 mg/kg b.w showed the levels of carbonyl
compounds in liver was lower not significant (p> 0.05) compared to the CCl4 group.
From this study it can be concluded that the 50% ethanolic extract of mangosteen
rind influence the activity of endogenous antioxidant and prevent oxidative stress in
the liver caused by CCl4 administration.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T35741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Triwindawati
"Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin C serum
dengan kadar SOD eritrosit pada penderita HIV/AIDS . Penelitian dilakukan di UPT
HIV RSUPNCM Jakarta mulai bulan Februari sampai Maret 2013. Penelitian ini
merupakan studi potong lintang terhadap 52 orang penderita HIV. Data yang diambil
meliputi data karakteristik subyek berdasarkan usia, jenis kelamin dan pendidikan,
asupan energi, asupan vitamin C, status gizi, riwayat pengobatan ARV, jumlah
limfosit T CD4. Dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar vitamin
C serum dan kadar SOD eritrosit. Analisis korelasi menggunakan uji Pearson dengan
kemaknaan p<0,05. Hasil: Subyek penelitian 25 perempuan dan 27 laki-laki, rerata
usia 33,60±4,84 tahun. 80,8% berada dalam rentang usia 30–40 tahun dan 82,7%
berpendidikan sedang. Asupan energi 76,9% kurang dengan rerata untuk perempuan
1700,41±316,25kkal/hari dan rerata laki-laki 1996,33±525,72kkal/hari. Asupan
vitamin C 100% kurang dengan rerata untuk perempuan 46,62±15,66mg/hari dan
laki-laki 46,97±13,39mg/hari. Status gizi 44,2% cukup dan 40,4% lebih dengan rerata
IMT 21,98±3,48kg/m2. Sebanyak 94,2% sudah mendapat ARV dan jumlah limfosit T
CD4 terbanyak berada pada kategori II CDC (200–499sel/?L) yaitu sebanyak 63,5%
dengan median 245(50–861)sel/?L. Kadar vitamin C serum sebanyak 92,3% dalam
kategori rendah dengan median 0,23(0,10–0,56)mg/dL. Kadar SOD eritrosit
terbanyak (53,8%) dalam kategori normal dengan rerata 1542,10±5,42U/gHb.
Terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar vitamin C serum
dengan kadar SOD eritosit (r= −0,109 dan p=0,442)

The objective of this study was to investigate the correlation between serum vitamin
C concentration and erythrocyte SOD concentration of HIV/AIDS patients. Study
was conducted at UPT HIV/AIDS RSUPNCM from February to March 2013. The
study was a cross sectional study of 52 HIV/AIDS patients. Data collected including
subject characteristic age, sex, education, energy intake by food record 2x24 hour,
vitamin C intake by FFQ semikuantitatif, nutritional status, history of ART, and CD4
lymphocyte count. Conducted laboratory tests to measure serum vitamin C
concentration and erythrocyte SOD concentration. Statistical analysis was done using
Pearson’s correlation test.
Result: Subject consisted of 27 men and 25 women, mean of age 33.60±4.84years
old. 80.8% age in range 30–40years old. 82.7% were medium education level. 76.9%
subject had low energy intake, mean 1700.41±316.25kcal/day for women and mean
1996.33±525.72kcal/day for men. 100% subject had low vitamin C intake with mean
46.62±15.66mg/day for women and 46.97±13.39mg/day for men. . Nutritional status
of 44.2% had normal and 40.4% over enough with a mean BMI 21.98±3.48 kg/m2.
94.2% had ART and 63.5% lymphocyte count at category II CDC with mean
245(50–861)cell/?L. 92.3% subyek had low serum vitamin C concentration with
median 0.23(0.10–0.56)mg/dL. 53.8% subject had normal erythrocyte SOD
concentration with mean 1542.10±5.42U/gHb. There was no correlation between
serum vitamin C and erythrocyte SOD. (r=−0.109 and p=0.442)
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mugi Lestari
"Latar Belakang: Pekerja jalan raya merupakan kelompok rentan terpapar CO kronis dengan efek yang mungkin tidak dikenali. Penelitian terkait dampak pajanan kronis CO terhadap COHB dan penurunannya masih terbatas. Terapi Oksigen Hiperbarik terbukti menyebabkan peningkatan waktu paruh CO darah sehingga mengurangi CO yang berikatan dengan sitokrom oksidase. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi oksigen hiperbarik dosis tunggal 2,4 ATA selama 3x30 menit O2 interval 5 menit udara Terhadap Pajanan Kronis Karbon Monoksida pada pekerja jalan raya Dinas Perhubungan Jakarta Timur dengan Penanda COHb dan SOD Metode: Penelitian ini merupakan true experimental pre post dengan desain double blind pada 30 pekerja jalan raya yang dibagi menjadi kelompok control (normobarik hiperoksik) dan kelompok perlakuan (hiperbarik hiperoksik) dengan randomisasi blok, Kadar COHb dan SOD darah perifer diambil sebelum dan 2 jam sesudah perlakuan. Pemeriksaan dilakukan menggunakan spektrofotometer. Hasil. Terdapat peningkatan kadar SOD baik pada kelompok hiperbarik hiperoksik (p= 0,955)dan kelompok normobarik hiperoksik (p=0,246) akan tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna (p> 0,05) setelah perlakuan pada kadar SOD antara 2 kelompok. Terdapat penurunan kadar COHb baik pada kelompok hiperbarik hiperoksik (p= 0,480)dan kelompok normobarik hiperoksik (p=0,776) tidak terdapat perbedaan bermakna (p> 0,05) setelah perlakuan pada kadar COHB antara 2 kelompok. Kesimpulan. Terapi hiperbarik hiperbarik (HBOT) tidak secara signifikan menurunkan COHb yang berada dalam nilai normal dibandingkan dengan hiperoksia normobarik dan status antioksidan setelah perlakuan pada kedua kelompok tidak berbeda secara statistik yang berarti terapi hiperbarik hiperoksik tidak menyebabkan lebih banyak stres oksidatif dibandingkan dengan hiperoksia normobarik. Penelitian selanjutnya harus fokus pada efek HBOT pada dosis COHb yang berbeda dan apakah terapi multipel akan memberikan hasil yang berbeda.

Background: Road workers are a vulnerable group to chronic CO exposure with effects that may go unrecognized. Research on the impact of chronic CO exposure to COHB and its reduction is limited. Hyperbaric oxygen therapy has been shown to increase the CO half-life of the blood, thereby reducing CO binding to cytochrome oxidase. The purpose of this study was to determine the effect of single dose hyperbaric oxygen therapy of 2,4 ATA for 3x30 minutes O2 5 minute intervals of air against Chronic Carbon Monoxide Exposure to highway workers of the East Jakarta Transportation Agency with COHb and SOD markers. Methods: This research is a true experimental pre post with double blind design on 30 road workers which is divided into a control group (hyperoxic normobaric) and a treatment group (hyperbaric hyperoxic) with block randomization, peripheral blood SOD and COHB levels were taken before and 2 hours after treatment. The examination was carried out using a spectrophotometer. Result: There was an increase in SOD levels in both the hyperoxic hyperbaric group (p = 0.955) and the hyperoxic normobaric group (p = 0.246) but there was no significant difference (p> 0.05) after treatment on the SOD levels between the 2 groups. There was a decrease in COHb levels in both the hyperbaric group (p = 0.480) and the normobaric group (p = 0.776) and the difference between group is not significant Conclusion: hyperoxic hyperbaric therapy (HBOT) does not significantly lowered COHb that already within normal value compared to normobaric hyperoxia and antioxidant status after treatment on both group are not statistically different which means hyperoxic hyperbaric therapy does not caused more oxidative stress compared to normobaric hyperoxia. Future research should focus on the effect of hyperoxic hyperbaric therapy on different doses of COHb and whether if multiple hyperoxic hyperbaric therapy will give different outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerald Alain Aditya
"Biji djenkol / Pithecellobium lobatum / Pithecellobium jiringa / Archidendron pauciflorum adalah buah dengan bau yang menyengat dan dapat dimakan. Walaupun dengan bau yang menyengat tersebut, biji djengkol ini bukan hanya sangat diminati oleh orang-orang Indonesia saja, tetapi juga diminati oleh orang-orang yang tinggal di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, dan Phillipines. Biji ini mengandung vitamin dan asam djengkol. Asam djengkol ini kaya akan sulfur sistein tioasetal formaldehid. Karena komponen tersebut, biji djengkol bisa berpotensi untuk menjadi antioksidan. Tujuan riset ini adalah untuk mengobservasi efek dari ekstrak biji djengkol dalam melindungi sel darah domba yang telah di induksi H2O2 dengan mengukur aktivitas enzim superoxide dismutase SOD . Dalam riset ini, sel darah domba diberikan lima perlakuan yang berbeda. Diantaranya adalah kontrol, H2O2, H2O2 Djenkol, Djenkol, and Djenkol H2O2. Dengan perlakuan tersebut, kami dapat melihat fungsi proteksi dan kuratif dari ekstrak biji djengkol. Hasil menunjukan adanya perbedaan yang signifikan antara grup kontrol dan grup H2O2 dimana aktivitas SOD lebih tinggi pada grup kontrol. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada grup H2O2 dengan grup djenkol p=0.036 , dan grup djenkol H2O2 0.011 . Tetapi, perbedaan antara grup H2O2 dengan grup H2O2 Djenkol tidak signifikan p=0.059 . Hasil ini menunjukan bahwa ekstrak biji jengkol dapat menghambat perusakan sel darah merah domba karena H2O2. Sebagai kesimpulan, ekstrak biji jengkol lebih menunjukan efek proteksi dibandingkan dengan efek kuratifnya.

Djenkol bean Pithecellobium lobatum Pithecellobium jiringa Archidendron pauciflorum is a pungent smelling consumable fruit. Despite its repulsive smell, djenkol bean is quite favored by not only Indonesian, but also by the people of the Southeast Asian region, including Malaysia, Thailand, and Philippines. It contains vitamins and substance called djenkolic acid, which is a sulfur rich cysteine thioacetal of formaldehyde. Due to its components, djenkol bean has a potential to be an antioxidant. This research aims to observe the effect of djenkol bean extract in protecting sheep rsquo s red blood cells that treated by H2O2 by measuring the superoxide dismutase SOD activities. The sheep rsquo s red blood cells were given five different treatments, which include control, H2O2, H2O2 Djenkol, Djenkol, and Djenkol H2O2. Those treatments enable us to see the protective and curative effects of djenkol bean extract. The result showed that there was a significant difference between control group and H2O2 group where control group has higher SOD activity. H2O2 group was also significantly different compared to the djenkol p 0.036 , and djenkol H2O2 group p 0.011 . However, there were no significant difference between H2O2 group and H2O2 Djenkol group p 0.059 . The result indicates that djenkol bean extract were able to prevent harm caused by the H2O2. Therefore, djenkol bean extracts are more into its protective effect rather than its curative effect."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Mardhiyah
"Mangiferin berpotensi menjadi agen pengkelat besi. Namun, rendahnya bioavailabilitas mangiferin membatasi kemampuan mangiferin sebagai agen pengkelat. Sistem penghantaran obat nanopartikel yang terenkapsulasi dalam kitosan-alginat diketahui mampu meningkatkan bioavailabilitas obat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan kadar mangiferin konvensional dan mangiferin nanopartikel kitosan-alginat pada organ ginjal. Data penelitian diperoleh dari homogenat organ ginjal tersimpan tikus Sprague-Dawley yang diinduksi besi berlebih. Tikus dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu diberikan mangiferin konvensional 50 mg/kgBB (MK50), mangiferin nanopartikel kitosan-alginat 50 mg/kgBB (MN50), dan mangiferin nanopartikel kitosan-alginat 25 mg/kgBB (MN25).
Pengukuran kadar mangiferin dilakukan dengan menganalisis plasma menggunakan alat HPLC dan mengacu pada metode Estuningtyas. Berdasarkan pengukuran, rata-rata kadar mangiferin di organ ginjal (ng/g) antara lain sebesar 5368.5±1407,52 ng/g (MK50), 4757.78±1420,32 ng/g pada (MN50), dan 4448.06±1938,95 ng/g (MN25). Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan. Pemberian mangiferin nanopartikel kitosan-alginat dosis 50 mg/kgBB maupun 25 mg/kgBB tidak meningkatkan kadar mangiferin di ginjal tikus dibandingkan dengan pemberian mangiferin konvensional dosis 50 mg/kgBB. Selain itu, kadar mangiferin nanopartikel kitosan-alginat dosis 25 mg/kgBB tidak lebih tinggi dibandingkan mangiferin nanopartikel kitosan-alginat dosis 50 mg/kgBB di ginjal.

Mangiferin has potential to be an iron chelating agent. However, the low bioavailability of mangiferin limits its ability as a chelating agent. The nanoparticle drug delivery system encapsulated in chitosan-alginate is known as an option to increase drug bioavailability. Therefore, this study aimed to analyze the levels of conventional mangiferin and mangiferin chitosan-alginate nanoparticle in the kidney. Data were obtained from stored kidney homogenates of iron overload Sprague-Dawley rat model. Rats were divided into three treatment groups, namely conventional mangiferin 50 mg/kgBW (MK50), mangiferin chitosan-alginate nanoparticle 50 mg/kgBW (MN50), and mangiferin chitosan-alginate nanoparticle 25 mg/kgBW (MN25).
The measurement of mangiferin levels was carried out by plasma analysis using HPLC tool and referring to the Estuningtyas method. The average levels of mangiferin in kidneys (ng/g) are 5368.5±1407,52 (MK50 group), 4757.78±1420,32 (MN50 group), and 4448.06±1938,95 (MN25 group). However, there was no significant difference between the treatment groups. The administration of mangiferin chitosan-alginate nanoparticle 50 mg/kgBW or 25 mg/kgBW did not increase mangiferin levels in the rat kidney compared to conventional mangiferin 50 mg/kgBW. In addition, the levels of mangiferin chitosan-alginate nanoparticle 25 mg/kgBW were not higher than mangiferin chitosan-alginate nanoparticle 50 mg/kgBW.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lawrentza Yunovka Mambaya
"Penuaan merupakan suatu proses hilangnya fungsi organ dan jaringan seiring bertambahnya usia yang sering dikaitkan dengan peningkatan kerentanan seseorang terhadap penyakit dan kematian. Salah satu faktor dari penuaan seluler yaitu stress oksidatif yang terjadi karena ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh yang menyerang struktur seluler, seperti membran, lipid, protein, lipoprotein, dan asam deoksiribonukleat. Spirulina platensis diketahui mempunyai berbagai manfaat bagi kesehatan manusia yaitu dalam antioksidan, peradangan, antitumor, dan peningkatan kekebalan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh ekstrak etanol tanaman spirulina sebagai antioksidan terutama superoxide dismutase (SOD) untuk penanganan stres oksidatif yang juga mencegah penyakit kronik, terutama pada jaringan jantung. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian eksperimental in vivo. Penelitian menggunakan beberapa kelompok tikus berbeda usia, yaitu 12, 18, dan 24 minggu sebagai subjek penelitiannya yang diberikan ekstrak spirulina dengan dosis 200 mg/kgBB selama 29 hari secara oral menggunakan sonde ke lambung tikus dan kelompok tikus lainnya yang diberikan aquabides sebagai kelompok kontrol. Aktivitas SOD diukur dengan metode analisis kolorimetri WST-1. Hasil pengukuran menunjukkan aktivitas SOD yang lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol dengan p<0,05 (uji Kruskal-Wallis Post Hoc Mann-Whitney) pada kelompok usia 12 minggu, sedangkan p>0,05 pada kelompok 18 dan 24 minggu.Perbandingan antar kelompok kontrol dan antar kelompok perlakuan semuanya menunjukkan hasil yang bermakna p<0,05 (uji Kruskal-Wallis Post-Hoc Mann-Whitney U) kecuali hasil perbandingan antara kontrol 12 dan 24 minggu dengan p>0,05.

Aging is a process of loss of organ and tissue function with age that is often associated with increased susceptibility to disease and death. One of the factors of cellular aging is oxidative stress that occurs due to an imbalance between free radicals and antioxidants in the body that attack cellular structures, such as membranes, lipids, proteins, lipoproteins, and deoxyribonucleic acid. Spirulina platensis is known to have various benefits for human health, namely in antioxidants, inflammation, antitumor, and immune enhancement. Therefore, this study aims to examine the effect of ethanol extract of spirulina plant as an antioxidant, especially superoxide dismutase (SOD) for handling oxidative stress which also prevents chronic diseases, especially in heart tissue. The research design used was an in vivo experimental study. The study used several groups of rats of different ages, namely 12, 18, and 24 weeks as research subjects who were given spirulina extract at a dose of 200 mg/kgBW for 29 days orally using a sonde into the stomach of rats and another group of rats given aquabides as a control group. SOD activity was measured using the WST-1 colorimetric analysis method. The measurement results showed lower SOD activity in the treatment group compared to the control group with p<0.05 (Kruskal-Wallis Post Hoc Mann-Whitney test) in the 12-week group, while p>0.05 in the 18- and 24-week groups. Comparison between control groups and between treatment groups all showed significant results p<0.05 (Kruskal-Wallis Post-Hoc Mann- Whitney U test) except for the comparison results between the 12- and 24-week controls with p>0.05. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>