Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177487 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diffa Akiela Damayanti
"Latar Belakang: Hipertrofi adenoid merupakan kelainan pada kelenjar adenoid yaitu berupa membesarnya ukuran dari kelenjar adenoid. Hipertrofi adenoid pada usia anak-anak dianggap suatu hal yang umum sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh. Obstruksi saluran pernapasan oleh hipertrofi adenoid dapat menimbulkan kebiasaan buruk mouth breathing yang jika tidak segera ditangani dapat mengakibatkan efek berkepanjangan seperti long face syndrome atau adenoid facies, rongga mulut kering, maloklusi dan postur tubuh yang cenderung membungkuk. Oleh sebab itu, ukuran adenoid dianggap penting karena tidak hanya berpotensi mempengaruhi fungsi respirasi, namun juga bila terjadi pada usia anak-anak dapat berdampak pada kelainan tumbuh kembang kraniofasial. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure pada anak usia 6-15 tahun sebagai kelompok berisiko mengalami obstruksi saluran pernapasan atas akibat hipertrofi adenoid di RSKGM FKG UI. Metode: Studi cross-sectional dengan rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure pada 126 sampel radiograf sefalometri lateral digital laki-laki dan perempuan usia 6-15 tahun yang diukur menggunakan aplikasi I-Dixel Morita. Uji kesesuaian pengukuran intraobserver dan interobserver dilakukan menggunakan uji ICC dan Kappa. Analisis deskriptif dilakukan untuk setiap parameter pengukuran pada setiap kelompok usia. Hasil: Nilai rerata rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure menunjukkan nilai terbesar 0,70 ± 0,009 (SD) pada usia 6 tahun dan terkecil terdapat pada kelompok usia 15 tahun yaitu, 0,54 ± 0,05 (SD). Hasil pengukuran dan evaluasi lebar nasofaring menunjukkan bahwa lebar nasofaring dengan kategori normal terbanyak terdapat pada usia 15 tahun. Kesimpulan: Nilai rata – rata rasio adenoid terhadap bony nasopharynx structure menunjukkan kecenderungan penurunan seiring bertambahnya usia. Sementara itu, lebar nasofaring menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring bertambahnya usia.

Background: Adenoid hypertrophy is an abnormality of the adenoid gland, characterized by its enlargement. It is common in children as part of the body's defense mechanism. Obstruction of the respiratory tract caused by adenoid hypertrophy can lead to the development of mouth breathing habits, which, if not treated promptly, can result in long-term effects such as long face syndrome, adenoid facies, dry mouth, malocclusion, and poor posture. Therefore, adenoid dimensions are important not only because they potentially affect respiratory function, but also because they impact craniofacial growth and development if it occurs in children. Objective: To determine the average ratio of the adenoid to the bony nasopharynx structure in children aged 6-15 years, a group at risk of upper respiratory tract obstruction due to adenoid hypertrophy at RSKGM FKG UI. Methods: This cross-sectional study measured the ratio of the adenoid to the bony nasopharyngeal structure in 126 digital lateral cephalometric radiographs of both male and female children aged 6-15 years, using the I-Dixel Morita application. Intraobserver and interobserver reliability were assessed using the ICC and Kappa tests. Descriptive analysis was performed for each measurement parameter across different age groups. Results: The mean adenoid-to-bony nasopharynx structure ratio was highest at 0.70 ± 0.009 (SD) in the 6-year-old group and lowest at 0.54 ± 0.05 (SD) in the 15-year-old group. In the evaluation of nasopharyngeal width, the highest normal category was observed in the 15-year-old group. Conclusion: The mean adenoid-to-bony nasopharynx structure ratio showed a tendency to decrease with age, while the nasopharyngeal width showed a tendency to increase with age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gani Winoto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T58793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astien Amalia Hidayah
"Latar Belakang: Sella turcica merupakan anatomi yang penting untuk diteliti dikarenakan deformitas bentuknya dapat menjadi petunjuk utama adanya kelainan skeletal. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi fossa hipofisis dikarenakan letaknya yang berada di tengah fossa hipofisis dan dapat menghambat pertumbuhan tulang pada regio kraniofasial seperti maksila, mandibula, palatal dan frontonasal.
Tujuan: untuk mengetahui bentuk variasi morfologi sella turcica pada kelompok umur tertentu di RSKGM FKG UI.
Metode: Radiograf sefalometri lateral digital pada pasien dengan rentang usia 17 tahun ke atas sebesar 258 sampel ditracing dan bentuk morfologi sella turcica dinilai.
Hasil: Frekuensi morfologi sella turcica tertinggi yaitu morfologi normal sebesar 52,3%, diikuti dengan morfologi irregular sella turcica sebesar 13,2%, morfologi bridging sella turcica sebesar 10,9%, morfologi oblique dan pyramidal sebesar 9,7%, dan morfologi double contour sebesar 4,3%.
Kesimpulan: Bentuk variasi morfologi sella turcica di RSKGM FKG UI yang paling sering ditemukan adalah morfologi normal.

Background: Sella turcica is an anatomy that is important to study because its deformity form can be indication key of the presence of skeletal abnormalities. This may affect the  function of the pituitary fossa due to its location in the center of the pituitary fossa and can inhibit bone growth in the craniofacial region such as the maxilla, mandible, palatal, and frontonasal.
Objective: To determine the shape of the morphological variation of sella turcica in certain age groups in RSKGM FKG UI.
Methods: Lateral cephalometric digital radiographs in patients with an age range of 17 years and over by 258 samples traced and the morphological forms of sella turcica assessed.
Results: The most frequence morphology of sella turcica is the normal morphology which is 52,3%, followed by the irregular morphology of sella turcica is 13,2%, the morphology of sella turcica is 10,9%, oblique and pyramidal morphology is 9,7%, and the morphology of double contour is 4,3%.
Conclusion: The most shape of the morphological variation of sella turcica that can be found in RSKGM FKG UI is normal morphology.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parade, Magdalena
"Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Karina Fitriananda
"Latar Belakang:  Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut kedua terbanyak diderita masyarakat Indonesia. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis. Periodontitis adalah inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau kelompok mikroorganisme. Dalam mendiagnosis penyakit periodontitis pada umumnya diperlukan pemeriksaan radiografis untuk melakukan evaluasi perubahan tulang alveolar, terutama perubahan tinggi tulang alveolar yang merupakan salah satu tanda adanya penyakit periodontal. Data ini diperlukan bagi tatalaksana pasien yang meliputi diagnosis, rencana perawatan, prakiraan prognosis dan observasi. Radiograf periapikal adalah “gold standard” pada pemeriksaan radiografis konvensional kasus periodontitis. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada pasien penderita periodontitis kronis rentang usia 25-40 tahun secara radiografis di RSKGM FKG UI. Metode: Pengukuran penurunan tinggi tulang alveolar pada 192 sampel radiograf periapikal digital usia 25-40 tahun di RSKGM FKG UI. Hasil: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada gigi insisif sentral rahang atas permukaan mesial sebesar 5.13 ± 0.58 dan pada permukaan distal sebesar 3.82 ± 0.4. Pada gigi insisif sentral rahang bawah, nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar permukaan mesial sebesar 7.98 ± 0.6 dan pada permukaan distal 6.85 ± 0.48. Pada gigi molar 1 rahang atas, diperoleh nilai rata-rata permukaan mesial sebesar 3.73 ± 0.37 dan pada permukaan distal 4.66 ± 0.55, sedangkan pada gigi molar 1 rahang bawah permukaan mesial diperoleh nilai rata-rata 3.74 ± 0.43 dan permukaan distal sebesar 3.08 ± 0.17. Kesimpulan: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada permukaan mesial gigi insisif sentral rahang bawah kasus penyakit periodontal adalah yang tertinggi dibanding kelompok lainnya.

Background: Periodontal disease is the second most common tooth and mouth disease suffered by Indonesian society. Periodontal disease consists of gingivitis and periodontitis. Periodontitis is defined as an inflammatory disease of supporting bone tissues of teeth caused by specific microorganisms or groups of specific microorganisms. In diagnosing periodontitis, in general we need radiograph examination to evaluate changes in alveolar bone, especially changes in alveolar height which indicates the periodontal disease. This data is necessary for the management of the patient including diagnosis, treatment plan, prognosis, and observation.  Periapical is a “gold standard” on conventional radiographic examination on periodontitis cases. Objective: To obtain the average value of decreased alveolar bone height in 25-40 years old patients with chronic periodontitis at RSKGM FKG UI radiographically. Method: Measurement of decreased alveolar bone height in 192 digital periapical radiograph samples aged 25-40 years in RSKGM FKG UI. Result: The mean value of decreased alveolar bone height of maxillary central incisors on the mesial surface was 5.13 ± 0.58 and on the distal surface was 3.82 ± 0.4. On mandibular central incisors, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 7.98 ± 0.6 and on the distal surface was 6.85 ± 0.48. On maxillary first molars, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 3.73 ± 0.37 and on the distal surface was 4.66 ± 0.55. Whereas, on mandibular first molar, the mean value of decreased alveolar bone height on mesial surface was 3.74 ± 0.43 and on the distal surface was 3.08 ± 0.17. Conclusion: The average decreased in alveolar bone height on mesial surface of mandibular central incisors is the highest among other groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Rosalina, Author
"Bertambah majunya teknik perawatan dan material di bidang ortodonsi, memungkinkan perawatan ortodonsi dilakukan dalam tiga arah yaitu anteroposterior, vertical, dan lateral. Oleh karena itu diagnosis harus ditegakkan pada ketiga arah tersebut, sehingga pemilihan teknik perawatan dan materialpun tepat, dan di dapat basil perawatan yang sesuai dengan harapan.
Maloklusi dalam arah vertikal dapat terjadi dalam bentuk gigitan dalam dan gigitan terbuka. Kesulitan mengoreksi gigitan dalam telah lama diketahui. Selama ini terdapat banyak perbedaaan pendapat mengenai etiologi gigitan dalam dan juga bagaimana merawatnya.
Pengurangan gigitan dalam biasanya dilakukan pada tahap awal perawatan ortodontik yang dapat dicapai dengan cara intrusi insisif ekstrusi molar, proklinasi insisif atau kombinasi dari semuanya. Intrusi gigi insisif lebih disukai pada pasien dengan muka anterior bawah yang lebih besar dari rata-rata. Dengan menghindari ekstrusi molar maka dimensi vertikal wajah tidak berubah, ruang interoklusal tidak hilang serta memperbalki estetika karena insisal gigi depan dapat ditempatkan ke posisi yang harmonis dengan garis bibir. Posisi tepi insisal pada akhir perawatan idealnya kira-kira 3 mm di bawah garis bibir pada regio anterior.2
Pada teknik Begg intrusi gigi depan dicapai dengan pembuatan tekukan penjangkaran pada kawat busur, dan diletakkan di mesial tube M, kurarig lebl antara gigi P2 dan Mi , yang biasanya disertai pemakaian karet pada kasus malaklusi klas I dan klas II div I. Pemberian tekukan penjangkaran untuk mengintrusi gigi depan, yang disertai pemakaian karet klas II untuk menggeser gigi depan, tidak terlepas dari aksi dan reaksi antara gigi molar dan gigi depan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fawnia Raissa Azzahra
"Latar belakang: Terdapat banyak tindakan Kedokteran Gigi yang dilakukan di daerah foramen mental serta adanya risiko komplikasi cedera neurovaskular. Foramen mental memiliki letak bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ras dan jenis kelamin. Mengetahui normal range letak foramen mental merupakan hal yang penting diketahui klinisi untuk mengurangi resiko cedera saat perawatan. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata dan membandingkan jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI. Metode: Dilakukan pengukuran nilai jarak dengan membuat garis tegak lurus antara garis singgung pada batas superior foramen mental dan garis singgung pada puncak tulang alveolar, di mana garis-garis singgung tersebut sejajar dengan batas bawah mandibula pada 140 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 di RSKGM FKG UI menggunakan software viewer Microdicom. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobsever dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif dengan uji T-test Independen. Hasil: Berdasarkan pengukuran diperoleh rata-rata dan standar deviasi pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun adalah 15.60 ± 1.73 mm dan pada kelompok perempuan berusia 20-40 tahun adalah 15.12 ± 1.97 mm. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rata-rata jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun dan kelompok perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI.

Background: There are a lot of dental treatments involving mental foramen and a risk of neurovascular injuries as the complication from the treatments. Mental foramen varies in position based on several factors including race and gender. Knowing the position range of mental foramen is essential to prevent injuries during dental treatment. Objective: To elicit and compare the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male and female aged 20-40 years old at RSKGM FKG UI. Method: This study is utilizing 140 digital panoramic radiographs divided into male group and female group aged 20-40 years old in RSKGM FKG UI. Samples were measured by making a perpendicular line to tangent line of mental foramen’s superior border and tangent line of alveolar crest which both tangent lines are parallel to inferior border of the mandible. Samples were measured directly on the digital panoramic viewer software (Microdicom). Then, carry on with the reliability test for both intraobserver and interobserver with ICC test and comparative test with Independent T-test. Results: Average and standard deviation for mean distance of mental foramen to alveolar crest in male group aged 20-40 years is 15.60 ± 1.73 mm and in female group aged 20-40 years is 15.12 ± 1.97 mm. Conclusion: There is no significant difference between the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male aged 20-40 years and in female aged 20-40 years at RSKGM FKG UI"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qurrotul Aini
"ABSTRACT
Latar Belakang: Penyakit periodontitis yang sering dijumpai adalah periodontitis kronis. Periodontitis kronis tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga tidak jarang penyakit ini terdiagnosa ketika telah mencapai tingkat keparahan moderate atau severe. Pada pemeriksaan radiografis periodontitis kronis, akan terlihat penurunan tulang alveolar. Penurunan tulang alveolar  akibat proses destruksi meluas akan menyebabkan terjadinya perubahan rasio akar-mahkota gigi. Nilai rasio akar-mahkota gigi dapat berpengaruh pada rencana perawatan dan prognosis dari gigi. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata rasio akar-mahkota pada gigi 36 atau 46 pasien usia 40-59 tahun yang mengalami periodontitis kronis di RSKGMP FKG UI dari radiograf. Metode: Pengukuran rasio akar-mahkota dengan menggunakan metode Lind (1972) dan modifikasi metode Lind pada 69 sampel radiograf periapikal digital yang diambil dari rekam medik pasien periodontitis kronis pada gigi 36 dan/atau 46 usia 40-59 tahun di RSKGMP FKG UI. Hasil: Pada gigi molar pertama mandibula, nilai rata-rata rasio akar-mahkota anatomis sebesar 1,99 ± 0,26, nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis sebesar 1,32 ± 0,18, dan nilai rata-rata rasio akar-mahkota kasus periodontitis kronis sebesar 0,78 ± 0,29. Berdasarkan tingkat keparahan, nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan moderate sebesar 2,66 ± 1,43 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar  0,82 ± 0,24, sedangkan nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan severe sebesar 8,25 ± 1,41 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar 0,20 ±0,13. Kesimpulan: Nilai rata-rata rasio akar mahkota anatomis gigi molar pertama mandibula lebih besar dari rasio akar-mahkota radiografis. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa semakin besar tingkat keparahan periodontitis kronis maka semakin kecil nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis gigi.

ABSTRACT
Background: The most common type of periodontitis is chronic periodontitis. Chronic periodontitis is painless, consequently the disease may not be diagnosed until the severity is moderate or severe.  In radiograph examination of chronic periodontitis, a decreased alveolar bone height will be seen. Decreasing alveolar bone height due to the extensive destruction process will cause changes in the root-crown ratio. The value of root-crown ratio can affect the treatment planning and prognosis of the tooth. Objective: To obtain the average value of root-crown ratio on mandibular first molar in 40-59 years old patient with chronic periodontitis at RSKGMP FKG UI radiographically. Method: Measurement of root-crown ratio using Lind Method (1972) and modification of Lind Method in 69 digital periapical radiograph samples obtained from medical records of patient with chronic periodontitis on mandibular first molar aged 40-59 years old at RSKGMP FKG UI. Result: On mandibular first molar, the average value of anatomic root-crown ratio was 1,99 ± 0,26, the average value of radiographic root-crown ratio was 1,32 ± 0,18 and the average value of root-crown ratio was 0,78 ± 0,29. Based on the severity, the average value of decreased alveolar bone height at moderate severity was  2,66 ± 1,43 and  the average value of root-crown ratio was 0,82 ± 0,24, whereas the average value of root-crown ratio at severe severity was 8,25 ± 1,41 dan the average value of root-crown ratio was 0,20 ±0,13. Conclusion: The average value of anatomic root-crown ratio is greater than radiographic root-crown ratio. From this study, there is a tendency that the greater severity of chronic periodontitis, the smaller average value of radiographic root-crown ratio."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Khairiyah
"Pendahuluan: Pengukuran parameter sefalometri lateral adalah bagian penting dalam perencanaan perawatan ortodonti. Pengukuran metode konvensional dilakukan secara manual, namun teknik ini memakan waktu. Metode digital dapat dilakukan menggunakan aplikasi yang saat ini semakin banyak dikembangkan dan disebarluaskan seperti aplikasi OrthoCeph yang dapat digunakan secara semi-otomatis dan aplikasi WebCeph secara otomatis dan semi otomatis. Dokter gigi dapat menggunakan aplikasi tersebut pada smartphone ataupun web agar lebih efisien dengan memastikan adanya keakuratan antara pengukuran pada radiografi sefalometri metode digital dan metode konvensional sebagai gold standard. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengukuran parameter sefalometri lateral (skeletal, dental, dan jaringan lunak) antara metode digital (OrthoCeph dan WebCeph) dengan konvensional. Metode: Radiografi sefalometri lateral dari 36 subjek penelitian didapatkan sesuai kriteria inklusi. Terdapat 14 parameter skeletal, dental, dan jaringan lunak sefalometri lateral yang dianalisis. Uji paired t-test digunakan untuk menguji perbedaan antar metode. Interclass correlation coefficient (ICC) dan Bland-Altman plot digunakan untuk menguji reliabilitas antar metode. Hasil: tidak terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital OrthoCeph dan konvensional pada sebagian besar parameter pengukuran parameter sefalometri lateral, antara lain SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, dan II (p≥0,05). Terdapat perbedaan secara statistik pada parameter SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls dan Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital WebCeph dan konvensional pada seluruh parameter (p≥0,05) kecuali E-Line Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode OrthoCeph dengan WebCeph pada seluruh parameter (p<0,05). Sebagian besar parameter menunjukkan kesepakatan baik hingga hampir sempurna antar metode (ICC≥0.61). Kesimpulan: Sebagian besar parameter menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penggunaan OrthoCeph dan WebCeph masih diperlukan penyempurnaan.

Introduction: Measurement of lateral cephalometric parameters is an important part of orthodontic treatment planning. Conventional measurement methods are performed manually, but this technique is time-consuming. Digital methods can be performed using applications that are currently being increasingly developed and disseminated, such as the OrthoCeph application which can be used semi-automatically and the WebCeph application both automatically and semi-automatically. Dentists can use these applications on smartphones or the web to be more efficient by ensuring accuracy between measurements on digital cephalometric radiography and conventional methods as the gold standard. Objective: This study aims to determine and analyze the differences in lateral cephalometric parameter measurements (skeletal, dental, and soft tissue) between digital methods (OrthoCeph and WebCeph) and conventional methods. Method: Lateral cephalometric radiographs from 36 research subjects were obtained according to inclusion criteria. There are 14 skeletal, dental, and soft tissue lateral cephalometric parameters that were analyzed. Paired t-test was used to test the differences between methods. Interclass correlation coefficient (ICC) and Bland-Altman plot were used to test the reliability between methods. Results: There were no statistically significant differences between the digital method OrthoCeph and conventional method in most lateral cephalometric parameter measurements, including SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, and II (p≥0.05). There were statistically significant differences in the SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls, and Li parameters (p<0.05). There were statistically significant differences between the digital method WebCeph and conventional method in all parameters (p≥0.05) except for E-Line Li (p<0.05). There were statistically significant differences between the OrthoCeph method and WebCeph in all parameters (p<0.05). All parameters showed good to almost perfect agreement between methods (ICC≥0.61). Conclusion: Most parameters show significant differences. The use of OrthoCeph and WebCeph still requires refinement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Shafa Khairunnissa
"Latar Belakang: Radiografi sefalometri lateral dan foto ekstra oral merupakan dua pemeriksaan awal yang umum dilakukan pada perawatan ortodonti. Parameter vertikal skeletal pembentuk wajah pada radiografi sefalometri lateral dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan pola pertumbuhan wajah vertikal, dan foto ekstra oral dapat digunakan untuk menentukan tipe wajah. Kedua proyeksi ini diharapkan memiliki keselarasan dalam penentuan diagnosis. Tujuan: Mengetahui hubungan beberapa parameter vertikal skeletal pada sefalometri lateral terhadap indeks fasial pada maloklusi skeletal kelas I. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 70 rekam medik pasien maloklusi skeletal kelas I di Klinik Integrasi dan Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan korelasi yang positif dengan koefisien korelasi pada sudut gonial sebesar 0,590; sudut gonial inferior sebesar 0,312; sudut SN.MP sebesar 0,574; sudut FMPA sebesar 0,638; dan sudut MMPA sebesar 0,516 dengan nilai p pada kelima sudut <0,5. Pada sudut gonial superior didapatkan nilai p>0,5 dengan koefisien korelasi sebesar 0,072. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Hubungan Beberapa Parameter Vertikal Skeletal pada Sefalometri Lateral terhadap Indeks Fasial, sudut gonial, SN.MP, FMPA, dan MMPA memiliki korelasi positif kuat, sudut gonial inferior memiliki korelasi positif sedang, dan sudut gonial superior tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik.

Background: The two most common initial examinations performed in orthodontic treatment are lateral cephalometric radiographs and extra-oral photographs. Vertical skeletal facial parameters on lateral cephalometric radiographs can be used as indicators to determine vertical facial growth patterns, and extra-oral photographs can be used to determine the facial type. Both of these projections are expected to have harmony in determining the diagnosis. Objective: This study aims to describe the correlation of several vertical skeletal parameters in lateral cephalometry to facial index on class I skeletal malocclusion. Methods: Cross-sectional study is done using the secondary data found in patient’s medical record. Results: From 70 medical records of class I skeletal malocclusion patients at the Integration and Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, a positive correlation was obtained with a correlation coefficient on gonial angle of 0.590; inferior gonial angle of 0.312; SN.MP angle of 0.574; FMPA angle of 0.638; and the MMPA angle is 0.516 with p values at the five angles <0.5. At the superior gonial angle, p>0.5 was obtained with a correlation coefficient of 0.072. Conclusion: Based on research on the Correlation of Several Vertical Skeletal Parameters in Lateral Cephalometry to Facial Index, gonial, SN.MP, FMPA, and MMPA angle have a strong positive correlation, inferior gonial angle has a moderate positive correlation, and superior gonial angle has no statistically significant correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>