Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174481 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anika Kunthi Hutami
"Computed tomography dosis rendah telah menjadi pilihan yang efektif untuk skrining lesi kanker pada populasi berisiko tinggi. Namun, kekurangan dari dosis rendah CT menghasilkan noise pada gambar. Solusi yang diperkenalkan, seperti penggunaan tipe rekonstruksi, cenderung kurang efisien dalam waktu, rumit dan membutuhkan biaya tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimalisasi dengan membandingkan kemampuan deteksi lesi pada dosis standar dan dosis rendah menggunakan alat bantu fantom in-house yang dirancang khusus untuk mensimulasi lesi paru. Fantom in-house dibuat dari material ekuivalen organ atau jaringan, serta dilengkapi berbagai variasi nilai hounsfield unit (-500, -400, -300 dan -200 HU) dan ukuran diameter objek ( 2, 4, 6 dan 8 mm). Variasi tersebut diperoleh berdasarkan analisis 73 data pasien kontras untuk mendukung evaluasi performa pencitraan. Pemindaian dilakukan pada fantom in-house dengan menggunakan parameter protokol dosis standar (200 mAs) dan dosis rendah (10 mAs, 30 mAs, dan 50 mAs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol dosis rendah dengan arus tabung 10 mAs mampu mengurangi dosis radiasi hingga 95% dan mampu mendeteksi lesi kecil berdiameter kurang dari 3 mm dengan nilai Hounsfield Unit rendah pada tingkat radiasi yang lebih rendah. Pada computed tomography dosis rendah (10 mAs), hasil yang memuaskan ditunjukkan dengan signal difference to noise (≥5) diberbagai variasi lesi. Selain itu, optimalisasi kualitas gambar melalui figure of merit yang konsisten tinggi ditunjukkan.

Low dose computed tomography has become an effective option for screening cancerous lesions in high-risk populations. However, the drawback of low-dose CT is that it generates noise in the images. Solutions introduced, such as the use of reconstruction techniques, tend to be time-inefficient, complex, and costly. This study aims to optimize and compare the lesion detection capability between standard dose and low dose CT using an in-house phantom specifically designed to simulate lung lesions. The in-house phantom was constructed from organ or tissue-equivalent materials and equipped with various Hounsfield Unit values (-500, -400, -300, and -200 HU) and object diameters (2 mm, 4 mm, 6 mm, and 8 mm). These variations were derived based on an analysis of 73 contrast-enhanced patient data to support imaging performance evaluation. Scanning was performed on the in-house phantom using standard-dose protocol parameters (200 mAs) and low-dose protocols (10 mAs, 30 mAs, and 50 mAs). The results showed that the low-dose protocol with a tube current of 10 mAs was able to reduce radiation exposure by up to 95% while still detecting small lesions with diameters of less than 3 mm and low Hounsfield Unit values at reduced radiation levels. In low-dose CT (10 mAs), satisfactory results were demonstrated with a signal difference to noise (≥5) across various lesion types. Additionally, optimization of image quality through consistently high figure-of-merit values was achieved."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anglin Andhika Maharani
"CT-scan abdomen merupakan opsi dalam penegakan diagnosis terkait dengan dugaan penyakit yang diderita pasien menggunakan radiasi pengion, namun resiko radiasi pada organ sensitif di sekitar area abdomen dapat menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Maka dari itu, dilakukan penelitian untuk menunjukkan seberapa besar dosis radiasi yang diterima organ sensitif (gonad, payudara, tiroid dan mata) pada pelaksanaan pemeriksaan CT abdomen, dengan fantom rando sebagai objek pemeriksaan dan TLD rod sebagai penangkap radiasi. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan memvariasikan kV (80,120 dan 140) dan nilai pitch (4,6 dan 8). Dosis radiasi terbesar didapatkan pada gonad dengan 7,67 mGy dan terendah pada tiroid kanan dengan 0,01 mGy. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan CT-scan abdomen tidak menimbulkan efek langsung.

CT-scan for abdomen area is an examination option in diagnosis that related to patient’s disease, but the radiation risk that appears on sensitive organs near abdomen area need to be concern. Therefore, a research was done to show how much radiation dose for organs received (gonad, breasts, thyroids, and eyes) in CT-scan examination for abdomen, using rando phantom as an object and TLD rod as dosemeter. The variation of examination was done for kV (80, 120, and 140) and pitch (4, 6, and 8). The result show that gonad had received the highest radiation dose with 7,674 mGy (tube’s voltage was 140 kV, pitch 6). So, it can be concluded that examination with CT-scan did not give deterministic effect to sensitive organs."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55873
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwazi
"Computed Tomography (CT) merupakan modalitas sinar-X untuk membuat citra organ dalam tiga dimensi. Akuisisi citra dilakukan dengan perputaran tabung sinar-X yang disertai gerakan meja, sehingga tabung mengelilingi pasien dalam bentuk spiral. Gerakan meja pasien persatu rotasi gantry dibagi lebar kolimator pada isocenter dikenal dengan pitch, yang berpengaruh pada kualitas citra maupun dosis radiasi pada pasien. Telah diobservasi profil ditribusi dosis sepanjang sumbu-Z fantom simulasi toraks in house berbentuk silinder elips dengan ukuran 28 cm × 21 cm dan panjang 22 cm. Fantom terbuat dari bahan PMMA dengan Hounsfield Unit (123,10 ± 3,96 HU) dilengkapi dengan objek simulasi paru dari gabus patah (-790,60 ± 15,55 HU), dan tulang belakang dari material teflon dengan (918,60 ± 7,35) balok dan silinder untuk tempat film gafchromic ukuran 1 cm x 25 cm. Posisi film ditandai dengan 1-9 dengan koordinat berturut turut (0, 0), (5, 0), (10, 0), (-5, 0), (-10, 0), (0, 4), (0, 8), (0,-4), (0,-8). Citra fantom diakuisisi dengan kondisi eksposi 120 kV,100 mAs dan pitch 0,8, 1,0, dan 1,5. Dosis minimum terjadi pada awal dan akhir scan untuk seluruh profil dan nilai pitch, dosis rata-rata material paru (2, 3, 4, dan 5) dalam rentang (2,49-2,90) mGy untuk pitch 0,8 dan (2,36-2,88) mGy untuk pitch 1,0, serta (2,33-2,74) mGy untuk pitch 1,5, relatif lebih rendah disbanding dengan pada jaringan lunak dan tulang. Dosis maksimum selalu terjadi di pertengahan sumbu-Z. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan pitch 0,8 dan 1,0 tidak memberikan perbedaan dosis yang signifikan dan menurunkan dosis rata-rata pada pitch 1,5. Selain itu dosis maksimum tidak selalu terjadi di pertengahan sumb-z dikarenakan oleh material isotropis.

Computed Tomography (CT) is an X-ray modality for scanning organ in three dimensional images. Image acquisition is performed by rotating X-ray tube that match with table movements, there by the tube can cover patient body in a spiral scan. Patient table movements by gantry rotation divided by the width of the collimator on the isocenter is known as a pitch, which affects the image quality and radiation dose in the patient. A dose distribution profile has been observed along the z-axis of the in-house thorax phantom simulation in an elliptical cylinder form with the size of 28 cm x 21 cm and 22 cm length. Phantom is made from PMMA with Hounsfield Unit (123.10 ± 3.96 HU) was equipped with a lungs simulation object using a cork (-790.60 ± 15.55 HU), a spine using Teflon material (918.6 ± 7.35 HU), and 9 bar and a cylinder to place 1 cm x 25 cm gafchromic films. The position of the film was marked with point position 1-9 for the series of coordinates (0,0), (5, 0), (10, 0), (-5, 0), (-10, 0), (0, 4), (0, 8), (0,-4), (0, -8) cm. The phantom images was performed with an exposure condition by 120 kV, 100 mAs and pitch variations (0.8, 1.0 and 1.5). The minimum dose occured at the beginning and end of the scan for all profiles and pitch values. The average dose of lung material (2, 3, 4, and 5) in the range (2.49-2.90) mGy for pitch 0.8, (2.36-2.88) mGy for pitch 1.0 and (2.33-2.74) mGy for pitch 1.5. The dose in lung was relatively lower compared to the dose in soft tissue and bone. The maximum dose always occur in the middle of the z-axis. It can be concluded that the use of pitch 0.8 and 1.0 did not provide a significant dose difference and reduced the average dose on pitch 1.5. Moreover, the maximum dose does not always occur in the middle of the z-axis due to an isotropic material.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T55322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Yuliasri
"Low dose computed tomography (LDCT) sangat baik digunakan dalam screening tetapi sangat sulit dalam mendeteksi adanya nodul. Penelitian ini dilakukan dengan cara membuat simulasi kgb di dalam paru (intrapulmonary lymph node) dan di daerah soft tissue. Simulasi kgb dimasukkan ke dalam gabus cork lalu disisipkan ke dalam 002LFC fantom CIRS toraks. Fantom tersebut dipindai dengan menggunakan 100 kV dan 120 kV pada 11, 25, 30, 50 mAs untuk LDCT dan 70, 80, 90, 100 mAs untuk SDCT. Hasilnya diperoleh bahwa terdapat perbedaan signifikan (p>0,05) antara nilai rata-rata SNR terhadap ukuran, bentuk dan komposisi IPLN pada low kV dan high kV. Jika dilihat secara visual, IPLN masih dapat dideteksi pada teknik LDCT dan SDCT untuk high kV maupun low kV sedangkan kgb pada soft tissue untuk LDCT khususnya pada 11 mAs dan 25 mAs untuk 100 kV dan 120 kV sangat sulit dideteksi dan SDCT pada 100 kV memiliki noise yang terlihat lebih besar dibandingkan pada 120 kV. Resolusi spasial citra dari MTF 10% yang terbaik didapatkan pada 120 kV, 30 mAs (LDCT). Kesimpulan dari penelitian ini adalah IPLN masih dapat dideteksi pada high kV, low kV untuk LDCT maupun SDCT sedangkan pada kgb yang berada di dalam soft tissue masih sulit untuk dideteksi pada low kV untuk LDCT.

Low Dose Computed Tomography (LDCT) is already well recognized for lung screening but it is still difficult to detect nodules. The lymph node simulations were put in the cork and paraffin then they both were inserted into the 002LFC CIRS thorax phantom. The phantom was scanned by using 100 kVp and 120 kVp at 11, 25, 30, 50 mAs for LDCT and 70, 80, 90, 100 mAs for SDCT. The results showed that there were significant (p>0,05)differences in average SNR values for varying sizes, shapes, and compositions of intrapulmonary lymph nodes (IPLNs). Visually, IPLNs could still be detected in LDCT and SDCT for high kVp and low kVp while lymph node in soft tissue for LDCT especially in 11 mAs and 25 mAs for 100 kVp and 120 kVp was very difficult to detect and the noise for 100 kVp SDCT technique was observed larger when compared to the 120 kVp SDCT. The best spatial resolution of images for 10% MTF is at 120 kVp, 30 mAs (LDCT). It can be concluded that IPLNs are still be able to detect at low and high kVp for LDCT and SDCT technique while lymph node in soft tissue is still difficult to detect at low kVp for LDCT."
2019
T54697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joni S. Kadir
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pengukuran CTDI dan dosis efektif pada 3 mesin CT dengan pengujian abdominal terhadap pasien pediatrik dan dewasa menggunakan phantom CT yang dibuat dan detector pensil CT serta electrometer RADCAL. Phantom CT dibuat berdasarkan standar US-FDA untuk CT. Pengujian Computed Tomography (CT) yang dilakukan menggunakan 2 CT phantom yang berbeda, diameter 32 cm (pasien dewasa) dan diameter 16 cm (pasien pediatrik). Pengukuran CTDI dan perhitungan dosis efektif radiasi menunjukkan bahwa terdapat dosis pasien pediatrik yang lebih tinggi signifikan dibandingkan dengan dosis pasien dewasa pada perlakuan yang sama. Hal ini menandakan pentingnya penentuan secara hati-hati parameter teknis scan dan justifikasi yang kuat terhadap penggunaan pengujian CT pada pasien pediatrik.

A study has been performed to measure CTDI and effective dose on 3 CT machines pertinent to abdominal examination to adult and pediatric patients using fabricated CT phantom and RADCAL pencil detector and electrometer. The CT phantom was tailored according US-FDA standard. Computed tomographic (CT) examinations have been performed using two different CT phantoms, 32 cm (adult) and 16 cm (pediatric) diameter. Computed tomographic (CT) examinations and radiation effective dose showed significant higher pediatric dose as compared to adult patient dose at the same examinations. This indicates the importance of careful selection of technical scan parameters and strong justification of the use of CT examination on pediatric patient."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulianti
"Citra Cone Beam CT (CBCT) sangat berperan dalam menentukan keberhasilan verifikasi posisi pasien radioterapi, oleh karena itu jaminan kualitas sistem CBCT sangat diperlukan. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan pesawat Linear accelerator yang dilengkapi dengan CBCT dan CT Simulator GE Bright Speed Edge. Fantom Catphan® 600 dan CBCT Electron DensityTM digunakan untuk menilai kualitas dari citra CBCT dan linearitas CT Number. Sesuai dengan uji kualitas, citra pada CBCT hanya dapat membedakan kontras rendah dan kontras tinggi (udara, jaringan dan tulang).
Hasil uji ketebalan slice menunjukkan nilai yang didapat masih dalam batas toleransi ±0.5 mm. Pada uji kontras rendah bagian supra-slice untuk target kontras 1%, 0.5%, dan 0.3% nilai konstantanya sebesar 3, 2.5, dan 4.5, sedangkan pada bagian sub-slice untuk target kontras jarak 7, 5, dan 3 mm memiliki nilai konstanta 5 mm. Hasil pengujian resolusi tinggi pada CBCT dan CT Simulator adalah 3 lp/cm dan 7 lp/cm. Hasil pengujian uniformitas pada CBCT tidak memenuhi standar dari batas toleransi rata-rata CT Number tepi dan tengah kurang dari 5 HU, dan nilai setiap titik tepi dan tengah ±2 HU.

Cone Beam Computed Tomography (CBCT) image is very important in verification of patient positioning in the treatment couch radiotherapy machine so quality control of the system is required. The experiment was performed using the Linear accelerator with equipped with CBCT and CT simulator GE Bright Speed Edge. Catphan® 600 and CBCT Electron DensityTM phantom was used to evaluate the quality of CBCT and CT Number linearity. According to the image quality test, the CBCT image only be able to distinguish low contrast and high contras for air, tissue and bone.
Quantitavely, the slice thickness was in tolerance limit ±0.5 mm, low contrast with constant value of 3, 2.5, dan 4.5 for supra-slice contrast targets 1%, 0.5%, dan 0.3% whereas sub-slice targets axis lenghts for 3, 5, and 7 mm with constant value of 5 mm, the high resolution appear in 3 lp/cm and 7 lp/cm for CBCT and CT simulator, respectively. On the one hand, CBCT uniformity was out of tolerance limit with average CT number edge and central less than 5 HU, and ±2 HU for the edge and center point.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S45532
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Zefanya Parlindungan
"Latar Belakang
COVID-19 adalah sebuah infeksi virus yang memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi dalam periode waktu yang sangat sempit. Infeksi COVID-19 akan menyebabkan inflamasi di jaringan paru tubuh yang dapat diukur dengan serum D-dimer. Keparahan gejala dari infeksi COVID-19 dapat dilihat dalam gejala klinis dan keterlibatan segmen paru pada gambaran CT-Scan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara level D-dimer dengan keparahan klinis pasien COVID-19 serta dengan keterlibatan lobus paru pada gambaran CT-Scan pasien COVID-19
Metode
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang retrospektif dengan uji korelasi gamma untuk melihat hubungan antara level d-dimer dengan keparahan klinis dan keparahan gambaran CT-Scan pada pasien COVID-19. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian “Implementasi Pencitraan Diagnostik Foto Toraks dan CT- Scan Toraks Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Menggunakan Artificial Intelligence” oleh Kamelia T, dkk. di tiga rumah sakit (Rumah Sakit Bunda Menteng, Rumah Sakit Bunda Depok, dan Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo) dalam periode 2020-2024, dimana terdapat 50 subjek yang melakukan pemeriksaan laboratorium (D- dimer) dan pemeriksaan CT-Scan.
Hasil
Didapatkan 50 subjek dimana terdapat 25 (50%) subjek yang mengalami peningkatan level D-dimer dan 25 (50%) subjek dengan level D-dimer normal. Uji korelasi antara level D-dimer dengan keparahan klinis memiliki nilai P <0,001 dengan koefiesien korelasi sebesar 0,806. Uji korelasi antara level D-dimer dengan keparahan CT-Scan memiliki nilai P 0,012 dengan koefisien korelasi sebesar 0,528. Koefisien korelasi yang dianggap bermakna pada penelitian ini adalah 0,4.
Kesimpulan
Level D-dimer memiliki korelasi sangat kuat dengan keparahan klinis serta korelasi sedang dengan keparahan CT-Scan, sehingga dapat menjadi biomarker potensial untuk menentukan tingkat keparahan gejala klinis pasien dan keparahan gambaran CT-Scan thoraks pasien COVID-19.

Introduction
COVID-19 is a viral infection associated with a high mortality rate within a relatively short period. The infection triggers inflammation in lung tissues, which can be measured using serum D-dimer levels. The severity of COVID-19 symptoms can be assessed through clinical manifestations and the extent of pulmonary segment involvement observed on CT-Scan imaging. This study aims to determine the correlation between D- dimer levels and the clinical severity of COVID-19, as well as the involvement of pulmonary lobes on CT-Scan images of COVID-19 patients.
Method
This study employed a retrospective cross-sectional method with a gamma correlation test to examine the relationship between D-dimer levels, clinical severity, and CT-Scan severity in COVID-19 patients. This study utilized secondary data from the research “Implementation of Diagnostic Imaging of Chest X-rays and CT-Scans for Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Using Artificial Intelligence” by Kamelia T, et al., conducted at three hospitals (Bunda Menteng Hospital, Bunda Depok Hospital, and Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital) from 2020 to 2024, involving 50 subjects who underwent laboratory (D-dimer) and CT-Scan examinations.
Results
A total of 50 subjects were included, with 25 (50%) showing elevated D-dimer levels and 25 (50%) with normal D-dimer levels. The correlation test between D-dimer levels and clinical severity showed a p-value <0.001 with a correlation coefficient of 0.806. The correlation test between D-dimer levels and CT-Scan severity yielded a p-value of 0.012 with a correlation coefficient of 0.528. A correlation coefficient of 0.4 or higher was considered significant in this study.
Conclusion
D-dimer levels can serve as a potential biomarker for determining the severity of clinical symptoms and the severity of thoracic CT-Scan findings in COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adhitya Latief
"ABSTRAK
Pendahuluan : Perkembangan teknologi telah menghasilkan model 3-dimensi berdasarkan data CT-Scan yang mampu menyajikan data lebih informatif. Karena dapat menghasilkan bentuk seperti anatomi tubuh, maka model 3-dimensi dijadikan acuan dalam bidang rekonstruksi mandibula menggantikan peran CT-Scan.
Tujuan Penelitian: Membandingkan hasil pengukuran tebal dan tingginya symphisis mandibula pada model 3 dimensi terhadap data CT-Scan sehingga diketahui tingkat akurasinya.
Material dan Metode : 8 data CT-Scan Maksilofasial Pasien dalam bentuk DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) dengan mandibula bebas defek atau hanya sebagian, dengan gigi geligi telah erupsi penuh dilakukan analisa dan pengukuran dengan piranti lunak OSIRIX pada komputer, kemudian dibuatkan 8 Model 3-Dimensi berdasarkan data DICOM dengan menggunakan mesin printing FDM (Fused Deposition Modelling) untuk dilakukan analisa dan pengukuran menggunakan kaliper digital.
Hasil : Tebal dan Tinggi Symphisis Mandibula hasil pengukuran model 3-Dimensi dan data CT-Scan berbeda, terdapat deviasi ukuran lebih kecil pada model 3 Dimensi, Nilai akurasi model 3-dimensi yang dihasilkan mesin FDM sebesar 98% dari data aslinya.
Kesimpulan : Perbandingan pengukuran ketebalan dan ketinggian tulang symphisis mandibula pada model 3 Dimensi terhadap CT-Scan memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik namun secara klinis dapat digunakan sebagai alternatif sebagai acuan rekonstruksi mandibula.

ABSTRACT
Introduction : the emerging technologies has invented 3-dimensional model based on CT-Scan data that able to present better information. Because of the similiarity to anatomy, 3-Dimensional model became guidance for mandible reconstruction, replacing the role of CT-Scan imaging.
Objective : To compare the measurements of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data and be able to define the accuracy level of it.
Materials and Methods : 8 CT-Scan maxillofacial data in form of DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) were analyzed and measured using OSIRIX software on computer, continued with production of 8 3-Dimensional model based on DICOM data using printing FDM (Fused Deposition Modelling) machine, model then analyzed and measured using digital caliper.
Result : The thickness and height of mandible symphisis from 3 dimensional model measurement compared with CT-Scan are different. Smaller deviation were measured in 3 dimensional model, the accuracy level of 3 Dimensional model made from FDM printing machine is 98% from original data.
Conclussion : The measurement comparison of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data is statistically different but clinically 3 dimensional model could be used as alternative as mandibular reconstruction guidance.
"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ristania Nodya
"Computed Tomography (CT) Scanner merupakan alat pencitraan diagnostik yang memberikan informasi citra medis untuk menunjang pengobatan pasien, namun tanpa disadari pemanfaatan radiasinya dapat menimbulkan efek negatif pada organ sensitif sekitar. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur dosis organ sensitif (mata, tiroid, dan payudara) menggunakan fantom Rando pada CT Scanner area thorax. Untuk memudahkan penelitian ini, TLD rod 100 digunakan sebagai dosimeter, dimana kV dan pitch dijadikan sebagai variasi parameter penelitian. Hasil menunjukkan bahwa nilai paparan dosis tertinggi pada tiap kualitas berkas berturut-turut dari 80, 120, dan 140 kV yaitu payudara kanan (1,72±0,34 mGy), tiroid kanan (6,25±0,16 mGy), dan payudara kiri (10,78±0,76 mGy). Pada variasi pitch nilai paparan dosis tertinggi secara berturut-turut dari 4, 6, dan 8 yaitu payudara kiri (6,19±0,02 mGy), tiroid kanan (6,25±0,16 mGy), dan payudara kanan (5,08±0,85 mGy). Dapat disimpulkan bahwa nilai dosis payudara pada CT Thorax lebih tinggi dibandingkan dengan mamografi, namun keduanya tidak melebihi nilai batas dosis yang ditetapkan International Commission on Radiological Protection (ICRP) yaitu 5 Gy.

Computed Tomography (CT) Scanner is an instrument of medical imaging using radiation to support treatment for patient, but the radiation may give a negative effect around sensitive organs. The research meant to measure dose for sensitive organs at thorax area (eyes, thyroid, and breast) using CT Scanner with rando phantom as an object. To ease this experiment, TLD rod 100 used as dosimetry, which kV and pitch as a parameter variation. The result showed that the highest dose for kV variation upon each sequent beam quality from 80, 120, and 140 kV are right breast (1,72±0,34 mGy), right thyroid (6,25±0,16 mGy), and left breast (10,78±0,76 mGy). Towards pitch variation the highest exposure dose value in sequently from 4, 6, and 8 are left breast (6,19±0,02 mGy), right thyroid (6,25±0,16 mGy), and right breast (5,08±0,85 mGy). As a conclusion, the dose on breast from CT Thorax is higher than the one from mammography but both are bellow dose value limit from International Commission on Radiological Protection (ICRP) which is 5 Gy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S58757
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dennis Oh
"Latar Belakang: Prevalensi keterlambatan tumbuh kembang di Indonesia masih cukup tinggi. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan merupakan alat skrining yang digunakan untuk mendeteksi dini gangguan tumbuh kembang anak. Sensitifitas KPSP adalah 60%, yang merupakan nilai yang cukup rendah. Maka dari itu, alat skrining lain diperlukan untuk mencegah tidak terdeteksi anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian diagnostik potong lintang 101 anak sehat usia 0-5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi di Kampung Lio, Kampung Gangsang, Kampung Tapos dan mal di Jakarta.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa KPSP dan BDI-2 ST tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p=0.078). Sensitifitas dan Spesifisitas BDI-2 ST masing-masing adalah 34.78% dan 92.31%. Umur dan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0.05) bagi nilai KPSP maupun BDI-2 ST. Pendidikan anak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05) untuk nilai KPSP tetapi tidak dengan nilai BDI-2 ST. Sebagian anak dengan KPSP skor pass tetap memiliki gangguan di 1 atau lebih domain BDI-2 ST (39.7%).
Konklusi: Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari nilai KPSP dan BDI-2 ST. Sensitifitas BDI-2 ST yang rendah diakibatkan oleh pemeriksaan yang hanya membandingkan skor total sedangkan seharusnya disertakan skor domain. Penggunaan KPSP sebagai reference test juga kurang memadai. Anak yang sudah melakukan skrining menggunakan KPSP sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan skrining dengan BDI-2 screening test untuk mendeteksi gangguan di area perkembangan tertentu.

Background: The prevalence of developmental delays in Indonesia is still high. Kuesioner Pra Screening Perkembangan is a questionnaire used to screen for developmental delays. The sensitivity of Kuesioner Pra Screening Perkembangan is 60%, which is still considered low. Therefore, different screening tests are required to prevent under-detection.
Methods: A diagnostic cross-sectional study of 101 healthy children aged 0-5 years old was done at Kampung Lio, Kampung Gangsang, Kampung Tapos, and malls in Jakarta.
Results: KPSP and BDI-2 ST does not have a significant difference (p=0.078). The sensitivity and specificity of BDI-2 ST is 34.78% and 92.31% respectively. Age and gender both do not show a significant correlation (p>0.05) with both KPSP and BDI-2 ST scores. Education, however, shows a significant correlation (p<0.05) with KPSP scores while not with BDI-2 ST scores. Some children with KPSP score pass still had at least 1 domain in BDI-2 ST that is refer (39.7%).
Conclusion: There is no significant difference between the scores of KPSP and BDI-2 ST. The low sensitivity of BDI-2 ST was caused by the assessment which compares only the total score when the domain scores needed to be taken into account. Usage of KPSP as a reference test also lacks in reliability. Subjects who have undergone KPSP screening should not stop there, and is recommended to continue with a BDI-2 screening test to detect developmental delays in specific areas.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>