Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153964 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Wardhani
"Jaringan korupsi, seperti kejahatan terorganisir lainnya, memiliki struktur dan dinamika yang kompleks, khususnya di sektor perkebunan sawit di Indonesia. Penelitian ini mengeksplorasi korupsi sebagai sistem kompleks melalui perspektif state-corporate crime, dengan menganalisis relasi antara aktor negara, korporasi, dan pemangku kepentingan lainnya dengan menggunakan Social Network Analysis (SNA). Data penelitian berasal dari dokumen Berita Acara Pemeriksaan dan Putusan Pengadilan pada lima kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dengan pendekatan studi kasus dan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur jaringan korupsi dapat berupa centralized atau decentralized, dengan peran aktor meliputi organizer, intermediary, influencer, communicator, dan connector. Peran aktor dalam jaringan bervariasi, mulai dari keterlibatan terbuka hingga terselubung, yang secara langsung atau tidak langsung memfasilitasi pengalihan sumber daya. Dinamika jaringan mencerminkan karakteristik non-linearitas, sifat emergen, dan adaptivitas yang memperkuat ketahanan jaringan terhadap intervensi eksternal, termasuk penegakan hukum. Temuan penelitian mendukung teori white-collar crime dan teori kompleksitas, dengan menyoroti peran negara sebagai fasilitator melalui relasi kompleks dengan korporasi serta sebagai inisiator melalui kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu. Untuk merespons kompleksitas jaringan korupsi, diperlukan pendekatan disruptif, isolasi aktor sentral, serta dekonstruksi dan rekonstruksi birokrasi dan penegakan hukum berbasis demokrasi partisipatoris.

Corruption networks, like other organized crime, have complex structures and dynamics, particularly in the oil palm plantation sector in Indonesia. This study explores corruption as a complex system through the perspective of state-corporate crime by analyzing the relationship between state actors, corporations, and other stakeholders using Social Network Analysis (SNA). The research data comes from the investigation report and Court Decisions on five corruption cases with permanent legal force (inkracht), using a case study approach and qualitative methods. The study results show that the corruption network's structure can be centralized or decentralized, with the roles of actors including organizers, intermediaries, influencers, communicators, and connectors. The roles of actors in networks vary, ranging from overt to covert engagements, which directly or indirectly facilitate the diversion of resources. Network dynamics reflect the characteristics of non-linearity, emergent nature, and adaptability that strengthen the network's resilience to external interventions, including law enforcement. The findings support white-collar crime and complexity theory by highlighting the state's role as a facilitator through complex corporate relationships and as an initiator through policies that benefit certain parties. To respond to the complexity of corruption networks, disruptive approaches, isolation of central actors, deconstruction and reconstruction of bureaucracy and law enforcement based on participatory democracy are needed."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hamzah
Jakarta: Rajawali, 2012
345.023 23 AND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfanisa
"Korporasi tidak dikenal sebagai subyek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP, termasuk Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkembangan ilmu hukum pidana pun semakin maju dengan kemunculan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun dalam praktik, putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi masih minim dan berbeda-beda penerapan hukumnya. Untuk pertama kalinya, pada tahun 2010 PT. Giri Jaladhi Wana korporasi yang dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Kemudian diikuti oleh kasus tindak pidana korupsi dengan Terdakwa direktur utama PT. Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan yang sebenarnya lebih mengarah kepada tindak pidana korporasi. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah ada kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban pidana korporasi. Bagaimana pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korporasi dan apa saja kesulitan dalam pelaksanaannya akan dibahas pada skripsi ini.

Corporation is not known as a subject of criminal law in Indonesia Criminal Code. Corporation is recognized as a subject of criminal law in the acts outside of Indonesia Criminal Law, such as Law No. 31 Year 1999 on Eradication of Corruption (as amended by Law No. 20 Year 2001). The development of criminal law become more advanced with existence of corporate criminal liability doctrines. On the other side, in practice there is lack of jurisprudence that corporation become a subject of criminal law. For the first time, in 2010 Giri Jaladhi Wana Ltd was charged as perpetrator of corruption. This followed by corruption case where the director of Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, as a defendant although this case leads to corporate criminal offence. The question arises whether there are difficulties to implement corporate criminal liability in corruption. How the implementation of corporate criminal liability and the difficulties to implement it will be discussed in this thesis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55781
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahetapy, J.E.
Bandung: Eresco, 1994
345 SAH k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H. Setiyono
Malang: Bayumedia Publishing, 2005
345 SET k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Deasy Selpamorita
"Tindak pidana korupsi di Indonesia yang semakin marak terjadi, dengan berkembangnya modus tindak pidana korupsi kini tidak hanya menyangkut subjek hukum orang-perseorangan saja tetapi juga menyangkut korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Adapun pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dimintai kepada pengurus korporasi, korporasi, atau pengurus dan korporasi. BUMN merupakan salah satu bentuk dari korporasi, sehingga apabila korporasi terlibat dalam tindak pidana korupsi sudah seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Namun yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah ketika berbicara mengenai keuangan atau kekayaan BUMN yang dianggap sebagai keuangan negara, seperti yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2013 dikaitkan dengan adanya kerugian negara yang terjadi dalam tindak pidana korupsi. Permasalahan tersebut terletak pada bagaimana pemenuhan unsur kerugian keuangan negara dan pertanggungjawaban pidana dan mekanisme penerapan pidana denda dan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti oleh BUMN itu sendiri. Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah Normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan adanya penyatuan keuangan BUMN sebagai keuangan negara maka BUMN selaku korporasi tidak dapat memenuhi unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana korupsi, ketika perbuatan korupsi tersebut menguntungkan BUMN. Selain itu dengan menyatukan keuangan BUMN sebagai keuangan negara maka untuk mendapatkan pertanggungjawaban pidana terhadap BUMN akan menjadi sulit terkait tindak pidana korupsi, mengingat pidana pokok yang dapat dibebankan terhadap korporasi hanya pidana denda.

Corruption in Indonesia are increasingly prevalent, with the development of the mode of corruption now not only concerning individual as legal subjects but also concerning corporations as legal subjects who can be asked for criminal liability. The corporate criminal liability can be asked to administrators of corporations, corporations, or administrators and corporations. SOEs is a form of corporation, so if a corporation was involved in a crime of corruption it should be able to be asked for criminal liability. However, the problem in this case is when talking about budgets or SOEs assets that are considered as state budgets, as stated in the Constitutional Court Decision Number 48/PUU-IX/2013 associated with state losses that occur in criminal acts of corruption. The problem repose in how to fulfill the element of state budgets losses and criminal liability and the mechanism of the application of criminal penalties and additional crimes in the form of payment of substitute money by the SOE itself. In this study, the type of research used is normative using a legal and conceptual approach. The results of the study concluded that with the union of state-owned budgets as state budget, SOEs as corporations cannot fulfill the detrimental state finances element in criminal acts of corruption in Article 2 and Article 3 of the Corruption Act, when such corruption benefits SOEs. In addition, by integrating state-owned budget as state budgets, obtaining criminal liability against SOEs will be difficult in relation to corruption, given that the principal crimes that can be imposed on corporations are only forfeit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017
364.132 598 ACC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tiyas Widiarto
"Ketentuan undang-undang mensyaratkan perlu adanya ijin dari pejabat yang berwenang sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu. Latar belakang dan pertimbangan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang ijin pemeriksaan diantaranya adalah untuk menjaga kewibawaan, martabat dan kedudukan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya. Ketentuan ini juga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Seseorang yang diduga terlibat tindak pidana harus segera mendapat pemeriksaan guna memberikan kepastian hukum terhadap yang bersangkutan, dan penyidikan terhadap kasus tersebut berjalan dengan lancar. Sampai scat ini belum ada penolakan secara formal dari pejabat yang berwenang terhadap ijin yang diajukan oleh penyidik. Bentuk penolakan pemberian ijin dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa alasan yang jelas. Lamanya tenggang waktu keluarnya ijin tanpa limitasi waktu yang pasti dan panjangnya alur birokrasi pengajuan ijin pemeriksaan berpengaruh terhadap jalannya penyidikan tindak pidana korupsi. Tertundanya pemberian ijin dari pejabat yang berwenang mengakibatkan tertundanya juga pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya penyelesaian terhadap kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tersebut juga tertunda atau bahkan "mandek". Namun khusus pemeriksaan terhadap kepala daerah, dapat dilakukan tanpa menunggu ijin dari Presiden, karena menurut pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat dilakukan, apabila ijin pemeriksaan tersebut tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan.

The regulation set out the requirements of permit from authorized governmental officer prior to inspect any certain state officer. Consideration background of rules regulating regarding inspection permit, among other thing to maintain authority, prestige and position of such state officer in running his/her duties. It had resulted in the discrimination treatment among his/her with other large public citizens, and it had contradicted with principle of equality before the law and with Constitution 1945 as well as other legislations. Those principles had not discriminated among any citizen with Others either in judicature or governmental process.. When any state officer should present before the court either as witness or prosecuted then, she/he should be treated equally, without considering his/her economic status, position and others. Also it had not been suitable with principle of fast and simple judicature. Any person who had become involved in criminal case presumably, immediately, he/she should be inspected or investigated in order to give legal certainty with his/her, and such case investigation may be proceed fluently. To date the formal refusal from authorized governmental officer filed by investigator had never been found. The refusal of giving permit no conducted by issuing inspection permit for long enough period and without the real arguments. The length both of period to issue permit by unlimited time and bureaucracy process it had influenced the process of corruption commitment investigation. The postponement of giving permit from authorized governmental officer, also it had resulted in the cancellation of such person case, subsequently, the case of supposed corruption commitment of such person is cancelled or even stagnant. Nevertheless, specially, for case of Local Governmental Head, it may be conducted without waiting permit from President, because, according to Article 36 paragraph (2) UU.No.32 year 2004 on Local Government, inspection and investigation process to Head/Vice of Local Government it may be realized provided that such inspection permit no given by President at least sixty (60) days calculated since the receipt of application."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>