Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185545 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mulyono
"Telah dilakukan studi retrospektif dengan desain cross-sectional pada 316 wanita pascamenopause. Subyek yang diteliti berasal dari semua wanita pascamenopause yang berkunjung ke Poliklinik Orthopaedi I Poliklinik Penyakit Dalam I Poliklinik Obstetri dan Ginekologi FKUI I RSUPNCM, dan Klinik I Rumah Sakit luar, yang dirujuk atau datang langsung ke Klinik Konsultasi Laboratorium Makmal Terpadu lmunoendokrinologi (LMTl) Obstetri dan Ginekologi FKUI / RSUPNCM antara Mei 1995 hingga Juli 1997. Data yang diolah, diambil dari arsip dokumen medik yang ada Pengumpulan data dilakukan secara consecutive sampling dengan menerapkan kriteria penerimaan. Data-data yang dikumpulkan meliputi umur, berat badan, awitan menopause, kadar estrogen, paritas, dan kandungan mineral tulang belakang, leher femur, trokhanter femur, ward triangle femur, dan radius distal. Dilakukan analisis univariat dan bivariat yaitu dengan melihat nilai rerata dan simpang baku kelima lokasi pemeriksaan, melihat ada I tidaknya korelasi diantara hasil pemeriksaan densitas mineral tulang, dan melihat hubungan antara densitas mineral tulang dengan variabel tersebut. Nilai-nilai rerata untuk umUf 59.14 tahun ( 43 - 88 tahun ), herat barlan 58,99 kg ( 35,0 - 99 kg ), awitan menopause 49,15 tahun ( 35 - 66 tahun ), paritas 4,85 kali (0 - 13 kali) dan kadar estrogen 17,36 pgiml « 0,01 - 98,90 pgiml ). Terlihat nilai densitas mineral tulang yang cenderung menurun pada semua lokasi pemeriksaan. Kesimpulan : Tetjadi Iaju penurunan kandungan mineral tulang menurut perubahan umur pada wanita pascamenopause. Osteopenia lebih dulu tampak pada tulang radius distal dan ward triangle femur « 50 tahun ), selanjutnya berturut-turut pada tulang belakang ( 50 - 59 tahun ), leher femur dan trokhanter femur ( 60 - 69 tahun ). Osteoporosis lebih dulu tampak pada tulang radius distal ( 50 - 59 tahun ), selanjutnya berturut-turut pada ward triangle femur ( 60 - 69 tahun ), tulang belakang ( 70 - 79 tahun ), leher femur dan trokhanter femur ( 80 tahun keatas ). Umur, berat badan, awitan menopause, dan paritas merupakan variabel yang memiliki korelasi secara bermakna dengan kandungan mineral tulang pada wanita pascamenopause."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1999
T58396
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Mahardhika
"Tujuan: Meningkatkan peranan ultrasonografi sebagai alternatif Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) dalam menilai persentase lemak tubuh total secara akurat.
Metode: Dari April hingga September 2020, terdapat 28 pasien dewasa (14 laki-laki, 14 perempuan) yang menjalankan pemeriksaan DXA untuk menilai persentase lemak tubuh total (%LT total) dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengukur tebal lemak subkutis (TLS) pada beberapa lokasi tubuh. Dilakukan uji korelasi antara TLS pada beberapa lokasi tubuh menggunakan ultrasonografi serta data antropometri (IMT, lingkar pinggang, lingkar paha tengah) dengan %LT total berdasarkan DXA pada kedua jenis kelamin. Selanjutnya, variabel yang memiliki korelasi kuat dipilih untuk dimasukkan dalam analisis regresi multipel untuk mendapatkan formula regresi untuk memprediksi %LT total pada masing-masing jenis kelamin.
Hasil: Formula prediksi terbaik untuk menentukan %LT total pada laki-laki adalah %LT total = 13,7 + 5,5(TLS triceps) + 10,0(TLS paha depan); R2 0,91, sedangkan pada perempuan adalah %LT total = - 1,73 + 1,07(IMT) + 10,30(TLS paha depan); R2 0,88
Kesimpulan: Pemeriksaan TLS menggunakan ultrasonografi dikombinasikan dengan pengukuran antropometri dapat direkomendasikan untuk memperkirakan %LT total secara akurat dengan formula yang berbeda pada kelompok laki-laki dan kelompok perempuan.

Objective: To improve the use of ultrasonography as an alternative way to Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) in assesing total body fat percentage (%BF) accurately.
Methods: From April to September 2020, there were 28 adult patients (14 male, 14 female) underwent DXA examination to assess %BF and ultrasonography examination to measure subcutaneous fat thickness (SFT) at multiple sites. Correlation test was conducted between SFT sites using ultrasonography and anthropometric data (BMI, waist circumference, mid-thigh circumference) with %BF based on DXA in both genders. Furthermore, variables that had strong correlation were selected to be included in the multiple regression analysis in order to obtain a regression formula to predict the %BF for each gender.
Results: The best predictive formula to determine %BF for male is %BF = 13,7 + 5,5(SFT triceps) + 10,0(SFT quads); R2 0,91, while for female is %BF = - 1,73 + 1,07(BMI) + 10,30(SFT quads); R2 0,88. Conclusions: SFT examination using ultrasonography that is combined with anthropometric measurements can be recommended to estimate %BF accurately with different formulas in the male and female group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Mujono
"Latar belakang dan tujuan: Prevalensi osteoporosis di Indonesia cukup tinggi disertai peningkatan risiko patah tulang terutama pada wanita. Pemeriksaan kepadatan massa tulang dengan DXA merupakan baku emas dalam mendiagnosis osteopenia maupun osteoporosis dan memperkirakan risiko patah tulang berdasarkan nilai T-score, namun ketersediaan perangkat DXA sangat terbatas di wilayah Indonesia. Indeks ketebalan korteks merupakan salah satu parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan pada radiografi konventional dalam memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score.
Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA berdasarkan database populasi Indonesia, terhadap 31 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu Juli 2012 sampai Juni 2016.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p<0,000 dan r=0,76 antara nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang kuat antara nilai indeks ketebalan korteks femur proksimal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA.

Background and Objective: The prevalence of osteoporosis in Indonesia is high with increased risk of fractures, especially in women. Examination of bone density by DXA is the gold standard in the diagnosis of osteopenia or osteoporosis and predicts fracture risk based on the T-score, but the availability of DXA devices in Indonesia is very limited. The cortical thickness index is a simple, objective parameter, and easily applied to conventional radiography in estimating bone density, but needs to be proven its correlation with the T-score.
Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA based on population database in Indonesia, conducted in 31 subjects in the period of July 2012 to June 2016.
Results : With the Pearson correlation test, there is a significant correlation (p < 0.001 and r = 0.76) between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA.
Conclutions: There is a strong positive correlation between the cortical thickness index of proximal femur by conventional radiography and T-score of femoral neck by DXA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Rahmawati Mulyanto
"Latar belakang dan tujuan: Masalah osteoporosis merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Kurangnya jumlah alat DXA menyebabkan minimnya penderita yang terdiagnosis dini osteoporosis dan mendapat terapi, hingga akhirnya mengalami patah tulang. Pengukuran indeks ketebalan korteks tulang radius distal merupakan parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan, menggunakan radiografi konvensional yang berguna untuk memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score.
Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai indeks ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score kolum femur menggunakan DXA berdasarkan database populasi Indonesia, terhadap 38 subjek penelitian, menggunakan data primer, dalam kurun waktu Desember 2016 sampai Mei 2017.
Hasil: Uji korelasi Pearson antara indeks ketebalan korteks radius distal pada lokasi 1 dan 2 dengan nilai T-score kolum femur, didapatkan nilai koefisien korelasi r=0,46 p=0,096 untuk lokasi 1 dan r=0,45 p=0,093 untuk lokasi 2. Pada kelompok jenis kelamin perempuan, didapatkan nilai r=0,53 p

Background and objective: Osteoporosis is a problem in public health, especially in developing countries. DXA lacks of availability causing problem in osteoporosis early diagnosing and treatment until the occurance of bone fracture. Measurement of distal radius cortical thickness index using conventional radiography is a simple, objective and easy to applied methods for estimating bone density, but needs to be proven its correlation with T score.
Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thickness index of distal radius by conventional radiography and T score of femoral neck by DXA based on population database in Indonesia, conducted in 38 subjects in the period of December 2016 to May 2017.
Result: Using the Pearson correlation test between the cortical thickness index of distal radius in two location with T score of femur column by DXA, we obtained coefficient correlation value of r 0,46 p 0,096 for location 1 dan r 0,45 p 0,093 for location 2. In the female group we obtained r 0,53 p 0,05 for location 1 and r 0,52 p 0,05 for location 2. Based on age group, r value for location 1 and 2 in 60 years age group is r 0,31 p 0,194 and r 0,32 p 179 for location 1 and 2, respectively.
Conclusion: There is a weak positive correlation between the cortical thickness index of distal radius by conventional radiography and T score of femoral neck by DXA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Masita Hayati
"Latar belakang dan tujuan: Angka kejadian osteoporosis di Indonesia cukup tinggi disertai peningkatan risiko patah tulang terutama pada wanita. Pemeriksaan kepadatan massa tulang dengan DXA merupakan baku emas dalam mendiagnosis osteoporosis dan memperkirakan risiko patah tulang berdasarkan nilai T-score, namun ketersediaan perangkat DXA di Indonesia masih terbatas. Rasio ketebalan korteks merupakan salah satu parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan dengan menggunakan radiografi konvensional yang berguna untuk memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score.
Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-scoreradius distal menggunakan DXA berdasarkan database populasi Asia, terhadap 40 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu November 2016 sampai April 2017.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p<0,05 dan r=0,39 antara nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score radius distal menggunakan DXA.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang lemah antara nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score radius distal menggunakan DXA.

Background and Objective: The prevalence of osteoporosis in Indonesia is high with increased risk of fractures, especially in women. Examination of bone density by DXA is the gold standard in the diagnosis of osteoporosis and predicts fracture risk based on the T-score, but the availability of DXA devices in Indonesia is very limited. The cortical thickness ratio is a simple, objective parameter, and easily applied to conventional radiography in estimating bone density, but needs to be proven its correlation with the T-score.
Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thicknessratio of distal radius by conventional radiography and T-score of distal radius by DXA based on population database in Asia, conducted in 40 subjects in the period of November 2016 toApril 2017.
Results :With the Pearson correlation test, there is a significant correlation (p < 0.05 and r = 0.39) between the cortical thickness ratio of distal radiusby conventional radiography and T-score of distal radius by DXA.
Conclutions: There is a weak positive correlation betweenthe corticalthickness ratio of distal radius by conventional radiography and T-score of distal radius by DXA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Febrian Faqih Abdullah
"Pada penelitian ini dilakukan penggabungan citra dari dua sumber energi yang berbeda berdasarkan kerangka kerja deep learning. Tujuannya untuk menghasilkan citra objek dengan material penyusun lebih dari satu yang lebih baik dan lebih informatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang diajukan dapat menghasilkan citra yang lebih minim noise, kontras yang baik, dan dapat mempertahankan struktur objek. Evaluasi kualitas citra menggunakan metrik objektif, seperti FMIdct, FMIpixel, FMIw, Nabf, dan SSIM, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan metode tradisional. Rata-rata nilai FMI yang lebih tinggi menunjukan bahwa keterkaitan informasi hasil fusi dengan kedua sumber lebih baik dibanding kedua metode pembanding. Nilai Nabf yang lebih rendah menunjukan noise yang muncul akibat dari proses fusi lebih minim dibanding kedua metode lainnya. Nilai SSIM pada hasil fusi menggunakan metode ini juga memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding dengan kedua metode yang dibandingkan. Sampel yang memiliki rata-rata nilai metrik terbaik adalah busi dengan nilai tertinggi metrik evaluasi FMIdct adalah 2,96×10^(-1), nilai FMIpixel adalah 9,70×10^(-1), nilai FMIw adalah 3,69×10^(-1), nilai SSIM adalah 9,92×10^(-1), dan nilai Nabf terrendah adalah 3,82×10^(-3). Kesimpulannya, penelitian ini berhasil mengembangkan pendekatan baru dalam penggabungan citra CT menggunakan framework VGG19. Metode ini memiliki potensi untuk meningkatkan diagnosis dan analisis non-medis seperti pada evaluasi kualitas produksi pada industri manufaktur dengan menghasilkan citra yang lebih informatif dan akurat.

In this research, images from two different energy sources are combined based on a deep learning framework. The goal is to produce better and more informative images of objects with more than one constituent material. The results show that the proposed method can produce images with less noise, good contrast, and can maintain the structure of the object. Evaluation of image quality using objective metrics, such as FMIdct, FMIpixel, FMIw, Nabf, and SSIM, shows improvement compared to traditional methods. The higher average FMI value indicates that the fused information is better related to the two sources than the two comparison methods. The lower Nabf value indicates that the noise arising from the fusion process is more minimal than the other two methods. The SSIM value in the fusion results using this method also has a higher value than the two methods compared. The sample that has the best average metric value is the spark plug with the highest value of FMIdct evaluation metric is 2.96×10-1, FMIpixel value is 9.70×10-1, FMIw value is 3.69×10-1, SSIM value is 9.92×10-1, and the lowest Nabf value is 3.82×10-3. In conclusion, this study successfully developed a new approach in CT image fusion using the VGG19 framework. This method has the potential to improve non-medical diagnosis and analysis such as production quality evaluation in the manufacturing industry by producing more informative and accurate images."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Andreas
"Latar Belakang: Obesitas merupakan masalah kesehatan utama yang ditemui di berbagai negara. Massa lemak tubuh bagian atas (regio abdominal/android) berhubungan dengan profil kardiometabolik yang buruk sedangkan massa lemak tubuh bagian bawah (regio glutefemoral/gynoid) merupakan faktor protektif. Nilai rasio lemak android/gynoid (rasio A/G) yang didapatkan dari dual energy x-ray absorptiometry (DXA) merupakan prediktor parameter risiko kardiovaskular. Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas yang menjanjikan untuk evaluasi komposisi tubuh serta memiliki korelasi yang sangat baik dengan DXA dalam memprediksi massa lemak tubuh total. Namun belum terdapat studi yang menggunakan USG untuk memperkirakan rasio A/G menurut DXA. Tujuan: Mengetahui korelasi antara tebal lemak subkutis dan viseral yang diukur dengan USG di regio abdominal serta gluteofemoral dan rasio A/G yang diukur dengan DXA. Metode: Sebanyak 28 subjek penelitian dilakukan pemeriksaan DXA untuk menilai rasio A/G. Kemudian subjek menjalani pemeriksaan USG untuk menentukan tebal lemak regio abdominal dan gluteofemoral pada hari yang sama atau maksimal tujuh hari setelah pemeriksaan DXA. Dilakukan analisis korelasi rasio A/G dengan tebal lemak subkutis dan viseral regio abdominal serta tebal lemak subkutis regio gluteofemoral. Setelah itu dilanjutkan dengan mencari formula regresi linear serta formula regresi multipel untuk mencari nilai rasio A/G berdasarkan tebal lemak pada pemeriksaan USG. Hasil: Pada jenis kelamin perempuan didapatkan korelasi kuat antara tebal lemak subkutis regio abdominal (R = 0,82 ; p = 0,000), krista iliaka (R = 0,77 ; p = 0,001), abdominal atas (R = 0,80 ; p = 0,001), dan abdominal bawah (R = 0,85 ; p = 0,000) dengan rasio A/G. Korelasi sedang didapatkan antara tebal lemak subkutis di regio supraspinale (ρ = 0,62 ; p = 0,017) dan erector spinae (ρ = 0,54 ; p = 0,049), serta tebal lemak viseral abdominal di pertengahan garis xipho-umbilikal (R = 0,66 ; p = 0,011), dan 5 cm di atas umbilikal (R = 0,55 ; p = 0,041) dengan rasio A/G. Analisis multivariat kelompok jenis kelamin perempuan menghasilkan formula rasio A/G = 0,295 - 0,019(tebal lemak subkutis abdominal atas) + 0,024(tebal lemak subkutis abdominal bawah) + 0,006(tebal lemak viseral abdomen di pertengahan xipho-umbilikal) dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0,823. Kesimpulan: Pada jenis kelamin perempuan, semakin tebal lemak subkutis dan viseral regio abdominal, semakin besar rasio A/G. Pada jenis kelamin perempuan, tebal lemak subkutis di regio abdominal atas, tebal lemak subkutis di regio abdominal bawah, dan tebal lemak intraabdominal di pertengahan garis xipho-umbilikal dapat digunakan untuk memprediksi rasio A/G jika tidak terdapat sarana pemeriksaan DXA.
.....Background: Obesity is a major health problem that is encountered in various countries. Upper body fat mass (abdominal / android region) is associated with a poor cardiometabolic profile while lower body fat mass (glutefemoral / gynoid region) is a protective factor. The value of the android / gynoid fat ratio (A/G ratio) obtained from dual energy x-ray absorptiometry (DXA) is a predictor of cardiovascular risk parameters. Ultrasonography (US) is a promising modality for evaluation of body composition and has a very good correlation with DXA in predicting total body fat mass. However, there are no studies using ultrasound to estimate the A/G ratio according to DXA. Purpose: Knowing the correlation between the thickness of the subcutanoeus and visceral fat as measured by ultrasound in the abdominal and gluteofemoral regions and the A / G ratio as measured by DXA. Methods: A total of 28 subjects completed DXA examinations to assess the A/G ratio. Then the subject underwent US examination to determine the fat thickness in abdominal and gluteofemoral region on the same day or maximum of seven days after the DXA examination. Correlation analysis was performed between A/G ratio and the thickness of the subcutaneous and visceral fat in the abdominal region, and subcutaneous fat thickness in the gluteofemoral region. We also find linear regression formulas and multiple regression formulas to find the A/G ratio value based on the thickness of fat on ultrasound examination. Result: female group showed a strong correlation between the thickness of the subcutaneous fat in the abdominal region (R = 0.82; p = 0.000), iliac crest (R = 0.77; p = 0.001), upper abdominal (R = 0.80; p = 0.001), and lower abdominal (R = 0.85; p = 0.000) with A/G ratio. A moderate correlation was obtained between the thickness of the subcutaneous fat in the supraspinale region (ρ = 0.62; p = 0.017), erector spinae (ρ = 0.54; p = 0.049), and the thickness of the abdominal visceral fat in the middle of the xipho-umbilical line (R = 0.66; p = 0.011), and 5 cm above umbilical (R = 0.55; p = 0.041) with A/G ratio. Multivariate analysis of the female group resulted in the formula: A/G ratio = 0.295 - 0.019 (thickness of upper abdominal subcutaneous fat) + 0.024 (thickness of lower abdominal subcutaneous fat) + 0.006 (thickness of abdominal visceral fat in the middle of xipho-umbilical) with a coefficient of determination (R2) = 0.823. Conclusion: In female group, the thicker the subcutaneous and visceral fat in the abdominal region, the greater the A/G ratio. For female group, the thickness of the subcutaneous fat in the upper abdominal region, the thickness of the subcutaneous fat in the lower abdominal region, and the thickness of the intraabdominal fat in the middle of the xipho-umbilical line can be used to predict the A/G ratio if DXA is not available."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwita W Laksmi
"Background: the use of bioelectrical impedance analysis (BIA) is affected by the population setting, the type of BIA, and the cut-off point being used. The aim of this study was to determine the diagnostic performance of BIA to measure muscle mass in Indonesian elderly outpatients aged 60 years or more.
Methods: a cross-sectional study was conducted at the Geriatric Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from April to June 2018. The muscle mass was measured using BIA Tanita MC-780MA (Tokyo, Japan) with dual-energy x-ray absorptiometry (DXA) as the reference test. Analysis on the cut-off point was performed based on the Asian Working Group of Sarcopenia (AWGS) criteria and the new cut-off point. Results: from 120 subjects, 74 were female (61.7%). The diagnostic performance of BIA based on AWGS criteria only showed sensitivity and specificity of 79.2% and 66.7%. The diagnostic performance of BIA based on the new cut-off point showed sensitivity and specificity of 75% and 92.7%. The new cut-off point using BIA was found to be <6.9 kg/m2 in males (sensitivity 70.6%; specificity 82.8%) and <5 kg/m2 in females (sensitivity 85.7%; specificity 97%).
Conclusion: the diagnostic performance of BIA Tanita MC-780MA (Tokyo, Japan) was good to measure muscle mass in Indonesian elderly outpatients using a new cut-off point of <6.9 kg/m2 for males and <5 kg/m2 for females.

Latar belakang: penggunaan bioelectrical impedance analysis (BIA) dipengaruhi oleh populasi, jenis BIA, dan titik potong yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa diagnostik BIA untuk mengukur massa otot pada pasien berusia 60 tahun atau lebih di rawat jalan.
Metode: uji diagnostik potong lintang dilakukan di poliklinik geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan April–Juni 2018. Pengukuran massa otot menggunakan BIA Tanita MC-780MA (Tokyo, Jepang) dengan dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) sebagai uji referensi. Analisis titik potong berdasarkan kriteria Asian Working Group of Sarcopenia (AWGS) dan titik potong baru.
Hasil: dari 120 subjek didapatkan 74 perempuan (61,7%). Performa diagnostik BIA dengan menggunakan acuan AWGS mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas hanya 79,2% dan 66,7%. Sedangkan performa diagnostik BIA dengan acuan titik potong baru menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75% dan 92,7%. Titik potong optimal yang baru dengan menggunakan BIA adalah <6,9 Kg/m2 pada laki-laki (sensitivitas 70,6%; spesifisitas 82,8%) dan <5 kg/m2 pada perempuan (sensitivitas 85,7%; spesifisitas 97%).
Kesimpulan: BIA Tanita MC-780MA (Tokyo, Jepang) memiliki akurasi diagnostik yang baik untuk mengukur massa otot pada pasien lanjut usia dengan menggunakan titik potong laki-laki kurang dari 6,9 kg/m2, sedangkan pada perempuan kurang dari 5 kg/m2
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ema Susiana
"ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Proses remodelling tulang ditentukan oleh keseimbangan antara proses pembentukan oleh osteoblast dan resorpsi sel tulang oleh osteoklas. Osteprotegerin (OPG) memiliki peran penting dalam menghambat proses resorpsi tulang oleh osteoklas. Pada wanita menopause, proses resorpsi lebih tinggi daripada proses pembentukan tulang, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya osteoporosis. Pada penelitian ini, single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada daerah promoter gen OPG diteliti untuk mengetahui hubungannya dengan risiko osteoporosis pada wanita menopause.
BAHAN dan CARA KERJA: Penelitian ini melibatkan 285 wanita Indonesia menopause yang terdiri dari 81 wanita normal, 143 wanita dengan osteopenia dan 61 wanita dengan osteoporosis. Angka T-score diperoleh dengan pengukuran menggunakan Ultrasound Densitometry. Analisis genetik dilakukan menggunakan teknik PCR-RFLP. Analisis statistik menggunakan uji chi-square dengan asumsi kemaknaan p<0,05.
HASIL: Hasil penelitian memperlihatkan bahwa frekuensi genotip (TT, TC dan CC) pada semua kelompok (normal, osteopenia dan osteoporosis) tidak berbeda bermakna (p>0,05). Frekuensi alotip (alel T dan C) pada semua kelompok juga tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hasil perhitungan odd ratio dengan menggunakan genotip TT sebagai pembanding memperlihatkan bahwa genotip CC memiliki kemungkinan mengalami gangguan kelainan tulang (osteopenia dan osteoporosis) 0,29 kali (22%) dan TC 0,88 kali (46%) lebih besar dibandingkan dengan genotip TT. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa SNP T950C tidak memiliki peranan dalam kejadian osteoporosis pada wanita menopause di Indonesia.

ABSTRACT
INTRODUCTION: Bone remodelling process is determined by the balance between the bone formation and resorption. Osteoprotegerin (OPG) has an important role to inhibit bone resorption by osteoclast. In menopausal women, the rate of bone resorption is higher than its formation, thereby inducing osteoporosis. In this study, single nucleotide polymorphism (SNPs) in promoter region of gene OPG is studied regarding to the association to the risk of the osteoporosis in menopausal Indonesian women.
MATERIAL and METHODS: The study samples consist of 285 menopausal Indonesian women, of which 81 are classified as normal (healthy), 143 are with osteopenia and 61 are with osteoporosis. T-score is obtained from the measurement using Ultrasound Densitometry, and genetic polymorphism analysis was performed by PCR RFLP. The statistical analysis uses chi-square with significance assumption at p<0.05.
RESULT: This study shows the frequency of genotypes (TT, TC and CC) to all groups (normal, osteopenia and osteoporosis), but it does not demonstrate any significant differences (p>0.05). The frequency of allotypes (T and C) to all groups also does not show the significance (p>0.05). Odd ratio calculations demonstrate that the possibility of developing bone disorders (osteopenia and osteoporosis) for both CC genotype and TC genotype is higher than TT genotype, as much as 0.29 times higher (22%) and 0.88 times higher (46%), respectively."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>