Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125591 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Berlian Indriansyah Idris
"[Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes.;Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes., Pasien dengan hiperglikemia saat mengalami infark miokard akut (IMA) diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding pasien normoglikemia, terlepas dari apakah mereka diketahui memiliki diabetes
sebelumnya atau tidak. Selain itu, pasien dengan hiperglikemia mengalami luaran yang lebih buruk setelah menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKKP). Ishihara dkk. melaporkan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi pada pasien dengan hiperglikemia, dan tidak ada perbedaan kematian yang bermakna antara pasien diabetes dengan nondiabetes.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Martalena
"ABSTRAK
Latar Belakang: Hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE pada SKA telah banyak diteliti, namun belum ada yang memperhatikan kesintasannya. Indonesia (ICCU RSCM khususnya), belum memiliki data epidemiologis mengenai hiperglikemia admisi pada SKA maupun pengaruhnya terhadap MACE dan kesintasannya. Penelitian ini dilakukan agar menjadi landasan untuk stratifikasi risiko selama perawatan.
Tujuan: Mengkaji hiperglikemia admisi sebagai prediktor MACE dan mengetahui kesintasan
terhadap MACE pada berbagai kelompok hiperglikemia admisi pada SKA selama perawatan.
Metode: Kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan terhadap 442 pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM Januari 2008-Mei 2012, terbagi 3 kelompok berdasarkan gula darah admisi (GD ≤140mg/dl, 141-200mg/dL, >200mg/dL). Kurva Kaplan Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan masing-masing kelompok. Analisis bivariat mengunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel hiperglikemia admisi dengan MACE dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah memasukkan variabel perancu.
Hasil dan pembahasan: 63 (14,25%) pasien mengalami MACE dengan kesintasan rata-rata 6,373 hari; SE 0,076 dan IK 95% 6,225-6,522. Analisis bivariat menunjukkan hubungan bermakna antara hiperglikemia admisi dengan kesintasan MACE (p<0,001). MACE tercepat terjadi berturut-turut pada GD admisi >200mg/dL, 141-200mg/dL, dan ≤140mg/dL dengan rata-rata kejadian secara berturut-turut pada hari perawatan ke-5,989; 6,078; 6,632. Analisis multivariat menunjukkan hiperglikemia admisi merupakan prediktor independen MACE selama perawatan (Adjusted HR 2,422; IK 95% 1,049-5,588 untuk GD admisi 141-200mg/dL dan Adjusted HR 3,598; IK 95% 1,038-12,467 untuk GD admisi >200mg/dL).
Simpulan: Kesintasan MACE pada pasien SKA selama 7 hari perawatan di ICCU RSCM adalah 85,7%, dan terdapat perbedaan kesintasan antara berbagai kelompok hiperglikemia admisi terhadap terjadinya MACE. Semakin tinggi kadar gula darah, semakin buruk kesintasannya (semakin tinggi risiko dan semakin cepat pula terjadi MACE)

ABSTRACT
Background: Hyperglycemia on admission as a predictor for MACE in ACS has been studied for several circumstances, but none had seen it’s importance for survival. Cipto Mangunkusumo Hospital’s ICCU, had not have any epidemiological data about hyperglycemia on admission in ACS nor it’s influence to MACE and survival. This study was conducted to provide a platform for risk stratification during hospitalisation
Aim: To evaluate hyperglycemia on admission as a predictor for MACE and, to describe survival according to hyperglycemia on admission status in patients with ACS.
Methods: Retrospective cohort design and survival analysis was used to 442 ACS patients hospitalised at Cipto Mangunkusumo hospital’s ICCU between Januari 2008 and May 2012 that divided into 3 groups according to admission BG (≤140 mg/dL, 141-200 mg/dL and >200 mg/dL). Kaplan Meier curve utilised to evaluate the survival of each group. Bivariate analysis was conducted using Log-rank tes. Multivariate analysis was conducted using Cox proportional hazzard regression. The extend of relation between admission hyperglycemia and MACE was expressed with crude HR with 95% CI and adjusted HR with 95% CI after adjusting for confounders.
Results and discussion: MACE was found to happen to 63 (14.25%) patients with average survival of 6.373 days, SE 0.076 and 95% CI 6.225-6.522. Bivariate analysis found statistically significant relation hyperglycemia on between admission and MACE survival (p<0.001). MACE was significantly earlier in admission BG of >200 mg/dL, 141-200 mg/dL and ≤140 mg/dL respectively, with mean hospitalisation day at 5.989, 6.078 and 6.632 in that order. Multivariate analysis shown that hyperglycemia on admission was an independent predictor for MACE during hospitalisation (Adjusted HR 2.422; 95% CI 1.049-5.588 for BG 141-200 mg/dL and Adjusted HR 3.598; 95% CI 1.038-12.467 for BG >200 mg/dL).
Conclusion: Survival of MACE in ACS patient during 7 days hospitalisation in ICCU RSCM is 85,7%, and there was a survival difference between different admission hyperglycemia groups. The higher the blood glucose level, signify a worse survival and also faster and higher risk for MACE."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
"ABSTRAK
Latar Belakang. Hiperglikemia yang terjadi selama masa perawatan di rumah sakit pada pasien dengan penyakit kritis telah diketahui akan memberikan luaran klinis yang buruk bahkan dapat berujung pada kematian. Hiperglikemia yang terjadi pada pasien sindrom koroner akut (SKA) akan berakibat pada gangguan regenerasi sel endotel dan pembentukan pembuluh darah kolateral (revaskularisasi). Sayangnya, manajemen hiperglikemia sampai saat ini masih belum dicapai kata sepakat terutama perbedaan dalam menentuksn nilai potong dalam evaluasi glukosa lanjutan.
Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh hiperglikemia selama perawatan terhadap kesintasan
(mortalitas) enam bulan pasien SKA dan mencari nilai potong ideal jntuk evaluasi lanjutan dan target kendali selama perawatan
Metodologi. Penelitian dilakukan secara kohort retrospestif pada pasien SKA di dirawat di instalasi ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dengan melibatkan pasien yang dirawat sampai dengan Desember 2011. Pengambilan data subjek penelitian dilakukan melalui data sekunder dengan pendaraan rekam medis dan dilakukan secara konsekutif.
Hasil. Kami mendapatkan 807 pasien SKA selama periode Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hiperglikemia selama perawatan terjadi 242 (30 %) subjek penelitian. Hiperglikemia yang memberikan pengaruh pada kesintasan enam bulan dengan meningkatkan resiko kematian (HR 2,16 dengan IK 95% 1,77 sampai 2,63). Nilai potong glukosa darah yang memberikan kemaknaan pada kesintasan berada pada nilai 142,5 mg/dL.
Kesimpulan. Pasien dengan hiperglikemia memiliki kesintasan yang lebih buruk dibandingkan pasien tanpa hiperglikemia. Nilai glukosa darah 142,5 mg/dL dapat dipergunakan sebagai nilai potong untuk evaluasi glukosa darah lanjutan selama masa perawatan.

ABSTRACT
Background. Hyperglicemia during hospitalization especially on critically ill patients has worse clinical outcome and deadly. Patient with hyperglicemiain in acute coronary syndrome (ACS) will hamper endotelial regeneration and revascularization of coronary blood vessels. Unforrtunately, up until now rate of blood glucose cut off in hyperglycemia management had not reached any consession although we undoubtfully agree that this concept is very important in evaluation and choosing goal treatment.
Aim. To determine the impact of hyperglicemia during admission in six month mortality rate of ACS patients and the best blood glucose cut off for evaluation and goal treatment.
Method. This research used retrospective cohort on ACS patients admitted in ICCU, Cipto Mangukusumo Hospital, Jakarta, untill December 2011. Subjects' data were collected through medical records consecutively.
Results. This research found that there were 807 ACS patients admitted during Januari 2000 to December 2011 that met inclusion and exclusion criterias. Hyperglicemia during admission was found on 242 (30 %) subjects. This condition statistically proven to increase six month mortality rate (HR 2, 16 with CI 95% 1,77 till 2,63). The best rate of Blood Glucose cut of for evaluation and management was 142,5mg/dL.
Conclussion. There was significant difference mortality rate between hyperglicemia patients and non hyperglicemia.Blood glucose level on 142, 5 mg/dL could be used as cut off evaluation during admission."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fonny Roosmyaty Wadudi
"Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu penyebab kematian global. Tindakan reperfusi dengan Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) adalah tatalaksana untuk revaskularisasi, namun tindakan ini memiliki efek paradoks berupa cedera iskemik pasca reperfusi yang meningkatkan morbiditas dan mortalitias. Mekanisme patogenesis cedera reperfusi yaitu respon inflamasi melalui pelepasan sitokin proinflamasi salah satunya IL-1b. Penelitian ini bertujuan mengkaji perubahan IL-1b pada serum pasien infark miokard akut-elevasi segmen- ST (IMA-EST) yang menjalani IKPP sebelum dan pasca 48 jam tindakan reperfusi dengan pemberian kolkisin. Penelitian melibatkan 64 subjek terdiri dari 30 subjek kelompok kolkisin dan 34 subjek kelompok plasebo. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar IL-1b pasca 48 jam IKPP pada kedua kelompok  dengan delta perubahan pada kelompok kolkisin 0,4 pg/mL (-0,2 – 11,3 pg/mL) dan kelompok kontrol 0,3 pg/mL (-1,2 – 14,0 pg/mL), namun tidak didapatkan perbedaan bermakna antar kedua kelompok (p=0,136). Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai efek kolkisin terhadap perubahan kadar IL-1b pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.

Cardiovascular disease is one of the leading causes of death globally. Reperfusion with Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is a management for revascularisation, but it has a paradoxical effect of post-reperfusion ischaemic injury that increases morbidity and mortality. Pathogenesis of reperfusion injury is an inflammatory response through release of proinflammatory cytokines, including IL-1b. This study aims to assess levels of IL-1b changes in serum of ST-elevation acute myocardial infarction (STEMI) patients who underwent PCI before and after 48 hours of reperfusion action with colchicine administration. The study involved 64 subjects consisting of 30 subjects in colchicine group and 34 subjects in placebo group. Study results showed an increase in IL-1b levels after 48 hours of PCI in both groups with delta changes in colchicine group of 0.4 pg/mL (-0.2 – 11.3 pg/mL) and control group of 0.3 pg/mL (-1.2 – 14.0 pg/mL), but there was no significant difference between the two groups (p=0.136). This is the first study to assess the effect of colchicine on levels of IL-1b changes in STEMI patients undergoing PCI, so it can be used as a reference for future studies."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Ahmad Anzali
"Latar Belakang: Perbaikan dalam sistem, teknologi, dan farmakoterapi telah mengubah prognosis secara signifikan pada pasien infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMAEST) selama beberapa dekade terakhir. Sekitar sepertiga pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) berisiko mengalami no-reflow (NR), suatu kondisi yang ditandai dengan perfusi miokard yang buruk meskipun aliran koroner epikardial berhasil dibuka. NR berdampak signifikan pada luaran klinis termasuk luas infark yang lebih besar, gagal jantung, dan kematian. Peningkatan D-Dimer dan Fibrinogen berkaitan dengan meningkatnya risiko NR. Beberapa publikasi telah menyimpulkan rasio D-Dimer dan Fibrinogen (DFR) memiliki spesifisitas yang lebih baik. Belum ada penelitian yang menilai hubungan DFR dengan NR pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara DFR dengan perfusi mikrovakular koroner yang dinilai dengan Quantitative Blush Evaluator (QuBE) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Kami mengevaluasi 61 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan memenuhi kriteria untuk dilakukan penilaian myocardial blush menggunakan QuBE. Sampel pemeriksaan D-Dimer dan Fibrinogen diambil saat admisi. DFR dinilai hubungannya dengan nilai QuBE yang dikategorikan menjadi dua kelompok (QuBE <9 dan ≥9 unit arbiter). Hasil: Pasien dengan DFR ≥0,149 berisiko untuk memiliki nilai QuBE <9 unit arbiter sebesar 18,32 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan DFR <0,149 (IK 95% 2,49-134,68; p 0.004). Nilai batas DFR 0,149 memiliki sensitivitas 54,5% dan spesifisitas 82% untuk menggambarkan no-reflow pasca-IKPP (AUC= 0,665).

Background : Improvements in systems, technology, and pharmacotherapy have
significantly changed the prognosis of STEMI patient over the past few decades.
Approximately one third of patients undergoing primary percutaneous coronary intervention
(PPCI) are at risk for no-reflow (NR), a condition characterized by poor myocardial perfusion
despite successful opening of epicardial blood flow. NR has significant impact on clinical
outcomes including greater infarct size, heart failure, and death. Increased D-Dimer and
Fibrinogen are associated with an increased risk of NR events. Several publications have
concluded that the D-Dimer and Fibrinogen ratio (DFR) has better specificity. There are no
studies that have assessed the relationship between DFR and NR in STEMI patients
undergoing PPCI.
Objective: This study aims to determine the association between DFR and coronary
microvascular perfusion using the Quantitative Blush Evaluator (QuBE) in STEMI patients
undergoing PPCI.
Methods: We evaluated 61 STEMI patients who underwent PPCI and met the criteria for
myocardial blush assessment using the QuBE program. D-Dimer and Fibrinogen examination
samples were taken at admission. DFR was assessed for its association with the QuBE score
results which were divided into two groups (QuBE <9 arbitrary units and ≥9 arbitrary units).
Results: Patients with DFR ≥0.149 had a 11.26 times greater risk of having QuBE <9 arbitrary
units than patients with DFR <0.149 (CI 95% 2,49-134,68; p 0.004). The DFR cut point of
0.149 had a sensitivity of 54.5% and a specificity of 82% for predicting NR (AUC= 0.665; p
0.019).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Wirya Atmaja
"Penyakit kardiovaskular menjadi masalah kesehatan global dan menempati urutan pertama penyebab kematian. Prevalensinya semakin meningkat seiring peningkatan faktor risiko diabetes melitus (DM), hipertensi, dislipidemia, dan merokok. Infark miokard akut (IMA) merupakan iskemia miokard yang disebabkan oleh ruptur plak arteri koroner yang menyebabkan trombosis dan oklusi. Upaya penanganan IMA dapat dilakukan dengan tindakan revaskularisasi, namun tindakan tersebut berpotensi menyebabkan cedera miokard ireversibel dan kematian kardiomiosit yang dikenal sebagai cedera iskemia reperfusi miokard. Mekanisme cedera iskemia reperfusi miokard menginduksi respons inflamasi yang memicu pembentukan inflamasom NLRP3 sehingga terjadi aktivasi kaspase-1 yang berperan pada maturasi dan pelepasan interleukin (IL)-18. Kolkisin merupakan obat antiinflamasi yang sederhana, murah, dengan masa kerja cepat yang dapat menghambat inflamasom, sehingga tidak terjadi aktivasi dan pelepasan IL-18. Penelitian mengenai efektivitas kolkisin terhadap penyakit kardiovaskular telah banyak dilakukan, namun penelitian mengenai perubahan kadar IL-18 pada pasien IMA belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan kadar IL-18 pada 48 jam pasca IKPP pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST (EST) dengan pemberian kolkisin. Desain penelitian uji klinik tersamar ganda,  dengan total 60 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdiri dari 30 subjek kelompok kolkisin dan 30 subjek kelompok plasebo. Penurunan kadar IL-18 pada 48 jam pasca IKPP pada kelompok kolkisin lebih besar daripada kelompok plasebo, namun tidak didapatkan perbedaan bermakna antara keduanya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai rentang waktu untuk menilai penurunannya. 

Kata Kunci : IMA-EST, cedera iskemia reperfusi miokard, IL-18, kolkisin, penurunan kadar


Cardiovascular diseases have become a global health problem and are the leading cause of death. The prevalence is increasing due to the rise in risk factors such as diabetes mellitus (DM), hypertension, dyslipidemia, and smoking. Acute myocardial infarction (AMI) is myocardial ischemia caused by the rupture of a coronary artery plaque, leading to thrombosis and occlusion. The management of AMI can be done through revascularization procedures, but these interventions have the potential to cause irreversible myocardial injury and cardiomyocyte death, known as ischemia-reperfusion myocardial injury. The mechanism of ischemia-reperfusion myocardial injury induces an inflammatory response that triggers the formation of the NLRP3 inflammasome, leading to caspase-1 activation involved in interleukin (IL)-18 maturation and release. Colchicine is a simple, inexpensive, fast-acting anti-inflammatory drug that can inhibit the inflammasome, thus preventing the activation and release of IL-18. Studies on the effectiveness of colchicine in cardiovascular diseases have been conducted extensively, but research on changes in IL-18 levels in AMI patients is limited. This study aims to assess the changes in IL-18 levels within 48 hours post-primary percutaneous coronary intervention (PPCI) in ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) patients treated with colchicine. The study design is a double-blinded, randomized clinical trial, involving a total of 60 STEMI patients undergoing PPCI, with 30 subjects in the colchicine group and 30 subjects in the placebo group. The reduction in IL-18 levels at 48 hours post-PPCI in the colchicine group was greater than in the placebo group, although no significant difference was observed between the two groups. Further research with different time intervals is needed to assess the extent of IL-18 reduction.

Keyword : STEMI, ischemia-reperfusion myocardial injury, IL-18, colchicine, reduction levels"

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachmi Ahmad Muslim
"Latar Belakang : Cedera reperfusi menyebabkan kerusakan dan kematian sel miokard dan memberikan kontribusi hingga 50% dari luas infark. Pengkondisian iskemia dari luar jantung (remote ischemic conditioning, RIC) dapat menjadi perlakuan non invasif, murah dan mudah untuk membatasi cedera reperfusi. Efek kardioprotektif yang didapatkan dari perlakuan ini antara lain penurunan luas infark dan peningkatan fungsi kontraktilitas ventrikel. 6 MWT merupakan salah satu penilaian luaran klinis dan NT pro BNP menjadi salah satu parameter dari penilaian fungsi miokard dari efek RIC. 6 MWT pada sejumlah studi telah menunjukkan hubungannya dengan luas infark. Dalam studi yang lain pemeriksan NT-pro BNP setelah IMA-EST berkorelasi dengan ukuran infark dan fungsi miokard setelah IMA.
Tujuan : Menilai efek perlakuan pengkondisian iskemia ekstremitas pada pasien IMA EST yang menjalani IKPP terhadap 6 MWT dan kadar NT-ProBNP.
Metode : Penelitian ini merupakan studi klinis acak tersamar dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Dilakukan perlakuan RIC pada kelompok studi sebelum tindakan IKPP. Pengukuran 6 MWT dan kadar NT-ProBNP dilakukan dalam masa perawatan pada kelompok studi dan kontrol.
Hasil : Terdapat 87 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 41 orang mendapat perlakuan RIC dan 46 orang sebagai kelompok kontrol. Didapatkan jarak 6 MWT lebih jauh pada kelompok studi dibandingkan dengan kelompok kontrol namun tidak bermakna secara statistik (316 (±46) vs 289 (±66) meter; p = 0.06). Didapatkan kadar NT-Pro BNP lebih rendah pada kelompok studi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang bermakna secara statistik (1073 (328-3974) vs 1514 (205-10696) pg/mL; p = 0.05).
Kesimpulan : Perlakuan RIC sebelum tindakan IKPP tidak meningkatkan kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 MWT namun dapat menurunkan kadar NT-ProBNP.

Background : Reperfusion injury has been recognized to cause cell damage and death. As consequence, it contributes about 50% of infarct size. Remote ischemic condiotioning (RIC) has been identified as a noninvasive, low-cost, and easy to performed method to prevent it, so cardioprotective effect such as reducing infarct size and ventricular contraction improvement could be achieved. Meanwhile, myocardial function can be clinically assessed by measuring 6 minutes walk test (6MWT) and serum NT-proBNP level. Many studies showed association and correlation among 6MWT, NT-proBNP, infarct size and myocardial function.
Objectives : To assess remote ischemic conditioning in ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PCI) to their 6 MWT distance and serum NT-proBNP level.
Methods : Eighty seven subjects were randomly assigned into 2 groups, those receiving RIC intervention (4 to 5 minutes cycles of cuff inflation/deflation on lower extremity) or control (uninflated cuff for 40 minutes) protocols prior to primary PCI. Prior to hospital discharge, all subjects underwent 6MWT and NT-proBNP evaluation.
Results : RIC improve 6MWT distance in intervention group, but it was not significantly different compared to control group (316 ±46 meters vs. 289 ± 66 meters). Serum NT-ProBNP level was also lower in RIC group compared to control group (1073 (328-3974) pg/mL vs. 1514 (205-10696) pg/mL ) and the difference was statistically significant.
Conclusion : RIC intervention prior to primary PCI improved functional capacity measured by 6MWT but not statistically significant compared to control group, however it improved serum NT-ProBNP significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Setya Ardiningsih
"Hiperglikemia merupakan masalah di Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat dan berdampak pada tingginya angka kematian penduduk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kedua daerah tersebut memiliki prevalensi hiperglikemia cukup tinggi, yaitu sebesar 14.4% di Kota Depok dan 7.7% di Kabupaten Lampung Tengah.
Desain penelitian adalah crossectional menggunakan data penelitian Strategi Nasional mengenai Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular 2010 dengan jumlah sampel 362 orang dewasa.
Analisis data dilaksanakan dengan Regresi Logistik Ganda dan pada permodelan akhir menunjukkan variabel lokasi penelitian (OR=11.9, 95% CI 2.04 – 69.39), tingkat pendidikan (OR= 11.25, 95% CI 1.99 – 63.44), dan asupan lemak (OR=3.44, 95% CI 1.04 – 11.44) memiliki hubungan signifikan terhadap hiperglikemia.
Lokasi penelitian memiliki nilai OR tertinggi sehingga merupakan faktor yang paling dominan terhadap hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kemudian terdapat enam variabel perancu (konfounder) yaitu variabel usia, variabel obesitas berdasarkan lingkar pinggang, variabel asupan energi, variabel konsumsi nasi, konsumsi mi, dan konsumsi singkong.

Hyperglycemia is a problem in Indonesia, which is increasing and contributes to the high mortality rate of the population. This study aimed to identify factors associated with hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Both of these areas have a high prevalence of hyperglycemia, which amounted to 14.4% in Depok and 7.7% in Central Lampung regency.
The study design was cross-sectional study used data on the National Strategy for Communicable Diseases Risk Factors in 2010 with 362 samples of adults.
Data analysis was performed with logistic regression modeling and the result shows the location of the study (OR = 11.9, 95% CI 2.04 - 69.39), educational level (OR = 11.25, 95% CI 1.99 - 63.44), and fat intake (OR = 3.44, 95% CI 1.04 to 11.44) have statistical relationship with hyperglycemia.
Location of the study had the highest OR value that is the most dominant factor for hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Then there are six confounding variables include age, obesity based on waist circumference, energy intake, rice consumption, noodle consumption, and cassava consumption.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>