Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114081 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daulay, Muhammad Ikhram Habib
"Latar Belakang
Non-obstruktif azoospermia (NOA) dapat dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk ketidakseimbangan hormon, yang mungkin dipengaruhi oleh body mass index (BMI). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi adanya hubungan antara peningkatan kadar hormon reproduksi pria, seperti follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), dan testosterone (T), dengan hasil pengambilan sperma. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara BMI dan hasil pengambilan sperma serta dampak BMI terhadap kadar hormon (FSH, LH, dan T) pada pasien NOA.
Metode
Peneliti melakukan analisis retrospektif menggunakan rekam medis dengan persetujuan etik. Peserta yang memenuhi syarat adalah pria dari segala usia yang didiagnosis dengan NOA. Pasien dikategorikan berdasarkan BMI menjadi kelompok Normal (<18,5 kg/m , 18,5-22,9 kg/m , 23-24,9 kg/m ) dan Obesitas (>25 kg/m ). Kadar hormon FSH, LH, dan T juga dicatat. Uji regresi logistik digunakan untuk analisis data.
Hasil
Studi ini melibatkan 133 pria dengan azoospermia yang diikuti dari tahun 2008 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, 72 pasien (54,1%) memiliki hasil pengambilan sperma yang spermatozoa ditemukan, di mana 64 pasien (88,9%) diklasifikasikan sebagai obesitas (BMI > 25 kg/m ). Terdapat hubungan signifikan antara BMI dan keberhasilan pengambilan sperma (p = 0,045). Namun, ditemukan hubungan langsung dan tidak langsung antara kadar FSH yang lebih tinggi dan kegagalan ditemukannya spermatozoa (p = 0,009).
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa obesitas bukan merupakan faktor utama dalam keberhasilan pengambilan sperma, namun jumlah pasien NOA dengan obesitas lebih banyak dibandingkan subjek dengan BMI normal. Temuan ini mengindikasikan bahwa pengelolaan BMI dapat penting untuk keseimbangan hormon dan berpotensi meningkatkan strategi pengobatan NOA.

Introduction
Non-obstructive azoospermia (NOA) can be attributed with various factors, including hormonal imbalances, which may be influenced by body mass index (BMI). Several studies have identified a relationship between increased levels of male reproductive hormones, such as follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), and testosterone (T), with sperm retrieval outcomes. This study aims to explore the relationship between BMI and sperm retrieval outcomes, as well as the impact of BMI on hormone levels (FSH, LH, and T) in NOA patients.
Method
We conducted a retrospective analysis of medical records with ethical clearance. Eligible participants were males of any ages diagnosed with NOA. Patients were categorized based on BMI into Normal (<18.5 kg/m , 18.5-22.9 kg/m , 23-24.9 kg/m ) and Obese (>25 kg/m ). Hormone levels (FSH, LH, and T) were also recorded. Logistic regression analysis was used for data analysis.
Results
This study included 133 men with azoospermia who were followed from 2008 to 2019. Among them, 72 patients (54.1%) had positive sperm retrieval outcomes, with 64 patients (88.9%) classified as obese (BMI > 25 kg/m ). A direct relationship was found between BMI and sperm retrieval success (p = 0.045). However, a direct and indirect relationship was found between higher FSH levels and failure to find spermatozoa (p = 0.009). Conclusion
This study shows that obesity is not a major factor in sperm retrieval outcomes, but the number of NOA patients who are obese is higher than those with normal BMI. These findings suggest that managing BMI could be important for hormonal balance and potentially improve treatment strategies for NOA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Muhammad Ikhram Habib
"Latar Belakang
Non-obstruktif azoospermia (NOA) dapat dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk ketidakseimbangan hormon, yang mungkin dipengaruhi oleh body mass index (BMI). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi adanya hubungan antara peningkatan kadar hormon reproduksi pria, seperti follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), dan testosterone (T), dengan hasil pengambilan sperma. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara BMI dan hasil pengambilan sperma serta dampak BMI terhadap kadar hormon (FSH, LH, dan T) pada pasien NOA.
Metode
Peneliti melakukan analisis retrospektif menggunakan rekam medis dengan persetujuan etik. Peserta yang memenuhi syarat adalah pria dari segala usia yang didiagnosis dengan NOA. Pasien dikategorikan berdasarkan BMI menjadi kelompok Normal (<18,5 kg/m , 18,5-22,9 kg/m , 23-24,9 kg/m ) dan Obesitas (>25 kg/m ). Kadar hormon FSH, LH, dan T juga dicatat. Uji regresi logistik digunakan untuk analisis data.
Hasil
Studi ini melibatkan 133 pria dengan azoospermia yang diikuti dari tahun 2008 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, 72 pasien (54,1%) memiliki hasil pengambilan sperma yang spermatozoa ditemukan, di mana 64 pasien (88,9%) diklasifikasikan sebagai obesitas (BMI > 25 kg/m ). Terdapat hubungan signifikan antara BMI dan keberhasilan pengambilan sperma (p = 0,045). Namun, ditemukan hubungan langsung dan tidak langsung antara kadar FSH yang lebih tinggi dan kegagalan ditemukannya spermatozoa (p = 0,009).
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa obesitas bukan merupakan faktor utama dalam keberhasilan pengambilan sperma, namun jumlah pasien NOA dengan obesitas lebih banyak dibandingkan subjek dengan BMI normal. Temuan ini mengindikasikan bahwa pengelolaan BMI dapat penting untuk keseimbangan hormon dan berpotensi meningkatkan strategi pengobatan NOA.

Introduction
Non-obstructive azoospermia (NOA) can be attributed with various factors, including hormonal imbalances, which may be influenced by body mass index (BMI). Several studies have identified a relationship between increased levels of male reproductive hormones, such as follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), and testosterone (T), with sperm retrieval outcomes. This study aims to explore the relationship between BMI and sperm retrieval outcomes, as well as the impact of BMI on hormone levels (FSH, LH, and T) in NOA patients.
Method
We conducted a retrospective analysis of medical records with ethical clearance. Eligible participants were males of any ages diagnosed with NOA. Patients were categorized based on BMI into Normal (<18.5 kg/m , 18.5-22.9 kg/m , 23-24.9 kg/m ) and Obese (>25 kg/m ). Hormone levels (FSH, LH, and T) were also recorded. Logistic regression analysis was used for data analysis.
Results
This study included 133 men with azoospermia who were followed from 2008 to 2019. Among them, 72 patients (54.1%) had positive sperm retrieval outcomes, with 64 patients (88.9%) classified as obese (BMI > 25 kg/m ). A direct relationship was found between BMI and sperm retrieval success (p = 0.045). However, a direct and indirect relationship was found between higher FSH levels and failure to find spermatozoa (p = 0.009). Conclusion
This study shows that obesity is not a major factor in sperm retrieval outcomes, but the number of NOA patients who are obese is higher than those with normal BMI. These findings suggest that managing BMI could be important for hormonal balance and potentially improve treatment strategies for NOA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Dwi Hartanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Endometriosis merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif. Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. Hormon estrogen memegang peranan penting dalam patogenesis endometriosis. Biosintesis estrogen merupakan rangkaian reaksi yang memerlukan enzim untuk mengkatalisis salah satu reaksi komponennya yaitu aromatase. Sel yang mengekspresi aromatase adalah sel granulosa yang aktifitasnya dikendalikan oleh FSH. Agar dapat menjalankan fungsinya, FSH harus berikatan dengan reseptor spesifiknya, yaitu reseptor FSH. Interaksi FSH dengan reseptor FSH yang merupakan bagian integral membran sel granulosa akan sangat menentukan respon ovarium untuk menghasilkan estrogen melalui aktifitas katalitik enzim aromatase. Respon ovarium terhadap FSH ditentukan oleh genotip reseptor FSH. Hasil skrining mutasi gen reseptor FSH menunjukkan adanya dua polimorfisme pada gen reseptor FSH. Polimorfisme pertama terdapat pada posisi 307 domain ekstraseluler, yang dibaca sebagai kode Alanin (Ala) atau Threonin (Thr). Polimorfisme kedua terdapat pada posisi 680 domain intraseluler, yang dibaca sebagai kode Asparagin (Asn) atau Sarin (Ser). Sensitivitas reseptor FSH terhadap FSH ditentukan oleh kombinasi alel yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polimorfisme gen reseptor FSH pada wanita-wanita dengan endometriosis. Hasil dan Kesimpulan : Analisis pada reseptor FSH dengan PCR-SSCP dalam penelitian ini mendapatkan perbedaan frekuensi alel Mn dan Ser yang bermakna antara wanita dengan endometriosis dengan wanita normal (p < 0,05, chi-square), sedangkan frekuensi alel Ala dan Thr pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH basal antara genotip-genotip pada kedua daerah polimorfik reseptor FSH pada kedua kelompok Genotip SerfSer cenderung memiliki kadar FSH basal yang lebih tinggi, baik pada wanita dengan endometriosis maupun wanita kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa polimorfisme gen reseptor FSH tidak berperan dalam patogenesis endometriosis walaupun alel Ser cenderung berasosiasi dengan endometriosis. Karena banyaknya penderita endometriosis yang mengikuti program fertilisasi in vitro (FIV), maka disarankan untuk memeriksa polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita endometriosis yang mengikuti program FIV agar dicapai hasil yang optimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Wingit Ciptaning
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH sangat dipengaruhi oleh fungsi reseptor FSH (FSHR). Genotip FSHR memainkan peranan yang mendasar pada respon fisiologis organ target terhadap stimulasi FSH. Telah diketahui polimorfisme pada gen reseptor FSH mempengaruhi sensitivitas reseptor terhadap FSH. Persentase penderita Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) pada wanita usia reproduksi cukup besar yaitu sekitar 5 -10 % dan dalam penanganannya membutuhkan terapi induksi ovulasi, salah satunya dengan menggunakan FSH eksogen. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita SOPK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Distribusi genotip dan frekuensi alel FSHR di posisi 307 dan 680 ekson 10 pada kelompok SOPK dan kelompok normal. b). Kadar FSH basal pada wanita penderita SOPK dan wanita normal. c). Hubungan antara distribusi genotip FSHR di posisi 307 dan 680 dengan level FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal. Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan distribusi genotip maupun frekuensi alel pada posisi 307 dan 680 pada ekson 10 gen reseptor FSH antara kelompok wanita penderita SOPK dan kelompok wanita normal. Ada perbedaan bermakna antara kadar FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal . Tidak terdapat perbedaan kadar FSH yang bermakna pada varian genotip posisi 307 maupun posisi 680 gen FSHR antara kelompok SOPK dan kelompok normal, dengan kadar FSH basal tertinggi pada posisi 307 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Threonin/Threonin dan kadar FSH basal tertinggi di posisi 680 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Asparagin/Serin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Reseptor follicle-stimulating hormone (FSHR) hanya terekspresi pada sel granulosa ovarium dan sel Sertoli testis. Ekspresinya yang sangat spesifik menunjukkan adanya peristiwa-peristiwa traskripsi khusus pada kedua tipe sel tersebut yang bertanggung jawab untuk aktivasi gen reseptor FSH. Walaupun mekanismenya belum diketahui, namun telah dicapai beberapa kemajuan menyangkut mekanisme yang mengontrol proses transkripsi dan regulasi gen reseptor FSH. Sampai saat ini telah diidentifikasi beberapa elemen regulator penting yang bertanggung jawab untuk proses transkripsi gen reseptor FSH yang tidak mengandung TATA box tersebut seperti elemen E box (CACG(A)TG, –124/–119), elemen GATA (TATC, –88/–85), E2F (TTTCGCG, –45/–39), dan elemen regulator-3 (–197/–171). Studi fungsional menunjukkan bila mutasi terjadi pada elemen regulator tersebut akan menurunkan fungsi promoter secara bermakna dan dampak terbesar terdeteksi bila mutasi terjadi pada elemen E box. Metilasi pada situs CpG spesifik dalam daerah promoter inti tampaknya memegang peranan penting dalam regulasi transkripsi gen reseptor FSH tikus dan mencit. (Med J Indones 2003; 12: 187-93)

Follicle-stimulating hormone receptor (FSHR) is exclusively expressed in granulose cells of the ovary and Sertoli cells of the testis. The highly cell-specific of gene expression revealed that transcriptional events unique to these two cell types are responsible for activation of the FSHR gene. Even though its mechanisms are still unclear, several progress regarding the mechanism that control its basal transcription and regulation has been made. It has been identified several important elements that responsible for the transcription of the TATA-less FSHR gene such as: E box element (CACG(A)TG, –124/–119), an inverted GATA (TATC, –88/–85), E2F (TTTCGCG, –45/–39), and regulator element-3 (–197/–171). The functional studies shown that mutations through these regulatory elements significantly decrease the promoter function with greatest impact detected when mutation was done in E-box element. The site-specific CpG methylation within the core promoter seems play an important role in the regulation of rat and mouse FSHR gene expression. (Med J Indones 2003; 12: 187-93)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (3) Juli September 2003: 187-193, 2003
MJIN-12-3-JulSep2003-187
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dheeva Noorshintaningsih
"Usia subur merupakan usia yang paling penting dalam reproduksi perempuan. Usia subur berkisar 15 tahun hingga 46 tahun. Usia memiliki pengaruh terhadap sekresi GnRH, pada saat perempuan menempuh dekade ketiga dan keempat folikel akan mengalami penurunan sehingga sekresi GnRH juga akan terpengaruh, namun menjelang menopause sekresi GnRH akan meningkat karena folikel sudah tidak ada lagi dan tidak akan yang memberikan umpan balik negatif kepada GnRH, maka itu sekresi GnRH pada orang menopause tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar LH berdasarkan perempuan dengan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik, dalam penelitian ini terdapat 74 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi yang terlibat. Data pada penelitian didapatkan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan analisis chi-square. Berdasarkan analisis, didapatkan hasil bahwa proporsi usia dibawah 30 tahun yang memiliki kadar LH yang tergolong normal lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi usia dibawah 30 tahun yang mempunyai kadar LH abnormal yaitu masing-masing nilainya 60,9% dan 39,1%. Perbedaan proporsi tersebut secara statistic bermakna dengan P sama dengan 0,009. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LH pada aktivitas fisik, status gizi, gejala gangguan mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memiliki peran dalam perbedaan kadar LH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Reproductive age is the most important phase in women?s reproductive cycle. In most women the reproductive age is around 15-46 years old. Age has influence on GnRH secretion, when women take the third and fourth decades of follicles will decrease so the secretion of GnRH may also be affected, but the menopause GnRH secretion will increase as the follicle is no longer there and that will not give negative feedback to GnRH, the GnRH secretion was higher in the menopause. This study aimed to compare the levels of LH by women of reproductive age, especially in women with menstrual disorders. The study design is cross-sectional analytic involving 74 women of childbearing age (15-45 years) who experience menstrual disorders. The study was conducted using secondary data derived from the results of laboratory tests and the SCL-90 questionnaire of study titled "The Role of Adiponection to polycystic ovary syndrome (PCOS) and Its Relationship to Genetic Factors, Endocrine and Metabolic". Data analysis was performed with SPSS for Windows version 17.0 using chi-square analysis. Based on the analysis, showed that the proportion aged under 30 years who have a relatively normal LH levels higher than the proportion aged under 30 years who have abnormal levels of LH values ​​respectively 60.9% and 39.1%. The difference was statistically significant proportion of the P equals 0.009. Meanwhile, there were no significant differences in the levels of LH in physical activity, nutritional status, symptoms of mental, emotional, as well as the status of PCOS women with menstrual disorders. It can be concluded that there are differences in the role of age in LH levels in women with menstrual disorders."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Budi Fakhirah
"Gangguan keseimbangan hormonal dapat menyebabkan infertilitas pada pria, salah satunya adalah Hipogonadisme. Hipogonadisme ditandai dengan abnormalitas kadar hormon testosteron yang dapat mengganggu proses spermatogenesis. Kuda laut ( Hippocampus spp.) merupakan sumber daya kelautan yang digunakan sebagai pengobatan tradisional di wilayah asia untuk mengatasi infertilitas pada pria. Hippocampus comes merupakan salah satu spesies kuda laut yang memiliki habitat di perairan Indonesia, namun belum banyak penelitian yang meneliti pengaruh spesies kuda laut ini terhadap biomarker terkait infertilitas pria, terutama kadar Luteinizing Hormone sebagai hormon gonadotropin yang menstimulasi sekresi hormon testosteron, serta kajian histologi testikuler mengenai indeks meiosis dan indeks sel Sertoli. Induksi Depot Medroksiprogesteron asetat (DMPA) dapat mengganggu aksis hipotalamus-pituitari-gonad yang menyebabkan turunnya sekresi hormon gonadotropin serta hormon testosteron sehingga mempengaruhi proliferasi dan maturasi sel spermatogenik. Dua puluh delapan tikus jantan Sprague Dawley  diinduksikan DMPA 1,25 mg/kgBB pada minggu ke- 0 dan 12, kemudian dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kontrol negatif (CMC Na 1%), dosis ekstrak 150 mg/kgBB, 225 mg/kgBB, dan 300 mg/kgBB. Parameter kadar LH tikus dianalisis menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), sedangkan parameter indeks meiosis dan indeks sel Sertoli dianalisis melalui pemeriksaan histologi pewarnaan H&E. Hasil menunjukkan bahwa ketiga varian dosis tidak menghasilkan perbedaan yang bermakna antar kelompok pada ketiga parameter, namun cenderung mengalami peningkatan pada dosis 300 mg/kgBB setelah 18 minggu perlakuan.

Hormonal imbalances can lead to male infertility, one of which is hypogonadism. Hypogonadism is characterized by abnormal levels of testosterone hormone that can disrupt the process of spermatogenesis. Seahorses (Hippocampus spp.) are marine resources used in traditional medicine in Asia to address male infertility. Hippocampus comes is one of the seahorse species that inhabits the waters of Indonesia, but there have been few studies examining the effects of this seahorse species on biomarkers related to male infertility, especially the levels of Luteinizing Hormone as a gonadotropin hormone that stimulates testosterone secretion as well as histological studies of testicular meiotic index and Sertoli cell index. Induction of Depot Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) can disrupt the hypothalamic-pituitary-gonadal axis, leading to a decrease in the secretion of gonadotropin hormones and testosterone, thus affecting the proliferation and maturation of spermatogenic cells. Twenty-eight male Sprague Dawley rats were induced with 1.25 mg/kg body weight of DMPA in weeks 0 and 12, then divided into four groups: negative control (CMC Na 1%), extract dose of 150 mg/kg BW, 225 mg/kg BW, and 300 mg/kg BW. The levels of LH in the rats were analyzed using Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), while the meiotic index and Sertoli cell index parameters were analyzed through histological examination using H&E staining. The results showed that the three dose variants did not produce significant differences between groups in all three parameters, but tended to increase at a dose of 300 mg/kg body weight after 18 weeks of treatment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Dewi Artati
"Latar belakang : Pubertas prekoks sentral (Central precocious puberty CPP) merupakan perkembangan karakteristik seks pubertas sebagai konsekuensi dari aktivasi prematur aksis Hipotalamus Hipofise Gonad (HHG) sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak laki-laki. Beberapa penelitian memperlihatkan perbedaan hasil dari terapi Leuprolide Acetate (LA) untuk pasien CPP menyangkut dosis dan waktu pemberian terhadap supresi sekresi gonadotropin.
Tujuan : Untuk mengetahui efek terapi LA dengan cara pemberian yang berbeda-beda, yaitu setiap bulan dan 3 bulan terhadap supresi sekresi LH pada pasien CPP.
Metode : Meta-analisis terhadap tinjauan systematic review yang tersedia pada Cohrane library, MEDLINE, EBSCO, PROQUEST serta referensi terdaftar lainnya mengenai terapi LA untuk supresi sekresi LH pada pasien CPP. Tiga peneliti secara independen melakukan tinjauan terhadap abstrak dan naskah lengkap, masing-masing untuk menentukan kriteria inklusi dan ekstraksi data.
Hasil : Ditemukan 2 penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dimasukkan dalam meta-analisis ini. Meta-analisis menunjukkan bahwa supresi LH bervariasi dengan berbagai dosis dan waktu pemberian LA yang berbeda. Penelitian-penelitian tersebut membandingkan terapi LA dosis 11,25 mg/3 bulan dibandingkan dengan kontrol 7,5 mg/bulan, 22,5 mg/3 bulan dibandingkan dengan kontrol 7,5 mg/bulan dan 22,5 mg/3 bulan dibandingkan dengan kontrol 11,25 mg/3 bulan.
Kesimpulan : Terapi LA 7,5 mg/bulan menghasilkan supresi kadar LH lebih besar dibandingkan 11,25 mg/3 bulan dan 22,5 mg/3 bulan; sementara terapi LA dosis 22,5 mg/3 bulan memberikan supresi yang lebih besar dibandingkan dengan dosis 11,25 mg/3 bulan.

Background : Central precocious puberty (CPP) is a characteristic development of sexual puberty as a consequence of premature activity of hypothalamic hypophyse gonadal (HHP) axis before 8 years old for girls or 9 years old for boys. Several studies have showed different results in Leuprolide Acetate (LA) therapy for CPP in terms of administration doses and time of treatment on suppression of gonadotropine secretion.
Objective : To determine the effects of different administration of LA therapy, monthly doses and every three month, on suppression of LH secretion in CPP patients.
Method : Meta-analyses of systematic review on available literature from Cochrane library, MEDLINE, EBSCO, PROQUEST and other registered reference about therapy to suppress LH secretion in CPP patients. Three researches independently conducted reviews on abstract and full-texts for inclusion criterion and data extraction, respectively.
Result : There are two studies fulfill inclusion criterion and included in the meta-analyses. Meta-analyses showed that LH suppression varies with different administration doses and time of LA. These studies compare LA therapy using 11,25 mg/3 month with control 7,5 mg/month, 22,5 mg/3 month with control 7,5 mg/month, and 22,5 mg/3 month with control 11,25 mg/3 month doses.
Conclusion : LA therapy 7,5 mg/month gives greater LH suppression compared with 11,25 mg/3 month and 22,5 mg/3 month; while LA therapy 22,5 mg/3 month provides greater suppression compared with 11,25 mg/3 month.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Joko Wahyono
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH (Follicle Stimulating Hormone) pada setiap individu akan bervariasi dari hiporespon sampai hiper-respon yang dapat menyebabkan hiperstimulasi. Diduga hal ini berkaitan dengan adanya polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen reseptor FSH (FSHR). Dengan demikian polimorfisme FSHR ini dapat dijadikan prediktor dalam menentukan dosis preparat FSH untuk induksi folikel ovarium wanita peserta program reproduksi berbantuan. Pada situs polimorfik ini akan mengkode asam amino Asparagin (Asn) atau Serine (Ser), sehingga genotip FSHR yang terbentuk adalah homosigot Asn (NN), heterosigot Asn/Ser (NS), dan homosigot Ser (SS). Metoda Polymerase Chain Reaction - Single Stranded Conformation Polymorphisms (PCR-SSCP) dan Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length Polymorphisms (PCR-RFLP) dapat digunakan untuk mendeteksi polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen FSHR. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan subyek 91 wanita usia reproduktif peserta program reproduksi berbantuan dengan teknik IVF (in vitro fertilization) dan ICSI (infra cytoplasmic sperm injection) dengan informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi tentang perbandingan efektivitas metoda PCR-SSCP dan PCR-RFLP untuk deteksi polimorfisme kodon 680 ekson 10 gen FSHR.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa hasil uji beda proporsi yang berpasangan nilai p (n = 91) = 0,491 adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan uji kesesuaian kappa (x) = 0,795 adalah sangat kuat dengan nilai p (n = 91) < 0,01 adalah sangat bermakna. Kesimpulan penelitian ini adalah Ho diterima karena metoda PCR-SSCP dan PCR-RFLP mempunyai efektivitas yang lama untuk mendeteksi polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen FSHR. Metoda PCR-SSCP digunakan untuk deteksi polimorfisme kodon 680 ekson 10 gen FSHR pada jumlah sampel besar dan perlu dilakukan klarifikasi dengan metoda PCR-RFLP sebagai pembanding, sedangkan metoda PCR-RFLP untuk jumlah sampel kecil. Klarifikasi genotip FSHR dilakukan dengan analisis sikuensing DNA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhif Faza Ananda
"Latar Belakang
Azoospermia, yang dikenal sebagai ketiadaan sperma dalam ejakulasi, adalah penyebab utama infertilitas pria, yang diklasifikasikan menjadi pre-testicular, testicular, dan post- testicular. Penyebab pre-testicular dan post-testicular memungkinkan intervensi kesuburan, sementara penyebab testicular bersifat ireversibel dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah. Indonesia memiliki keterbatasan data yang mendukung dokter dalam menentukan tingkat keberhasilan pengambilan sperma berdasarkan etiologi yang berbeda. Dokter dapat memperoleh manfaat dengan mengetahui klasifikasi penyebab azoospermia dan bagaimana hal tersebut memengaruhi tingkat keberhasilan pengambilan sperma. Studi ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma.
Metode
Kami melakukan analisis cross-sectional terhadap data dari rumah sakit di Jakarta. Data mencakup 659 pasien azoospermia yang telah menjalani prosedur pengambilan sperma. Etiologi azoospermia dikategorikan menjadi pre-testicular, testicular, dan post-testicular. Data dengan dua atau lebih etiologi simultan dianggap sebagai azoospermia multi- faktorial. Namun, azoospermia multi-faktorial dikecualikan dari analisis. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma. Asosiasi antara metode pengambilan sperma dengan tingkat keberhasilan pengambilan sperma juga dianalisis dengan uji chi-square. Penelitian ini telah memperoleh izin etik.
Hasil
Data terdiri dari 111 pasien azoospermia pre-testicular, 112 pasien azoospermia testicular, 62 pasien azoospermia post-testicular, dan 374 pasien azoospermia multi-faktorial. Analisis chi-square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma (χ2 = 134.179, p = <0.001). Azoospermia post-testicular memiliki tingkat keberhasilan pengambilan sperma tertinggi (97.1%), diikuti oleh azoospermia testicular (27.7%) dan azoospermia pre-testicular (13.2%). Selain itu, analisis metode pengambilan sperma menunjukkan perbedaan tingkat keberhasilan yang signifikan. PESA memiliki tingkat keberhasilan tertinggi sebesar 94% (234/249. TESE menunjukkan tingkat keberhasilan terendah sebesar 19.4% (78/402). Hubungan yang signifikan antara metode pengambilan sperma dan hasil juga ditemukan.
Kesimpulan
Studi kami menemukan adanya hubungan signifikan (nilai p < .001) antara etiologi azoospermia dan tingkat keberhasilan pengambilan sperma. Azoospermia pasca- testicular memiliki tingkat keberhasilan tertinggi sebesar 98,4%. Azoospermia pre- testicular merupakan jenis yang paling umum terjadi, diikuti oleh azoospermia testicular dan pasca-testicular. Selain itu, metode pengambilan sperma juga secara signifikan berkaitan dengan tingkat keberhasilan, di mana Percutaneous Epididymal Sperm Aspiration (PESA) menjadi metode yang paling efektif dengan tingkat keberhasilan 94%. Hal ini menegaskan pentingnya pemahaman etiologi dan pemilihan metode pengambilan yang tepat dalam menangani azoospermia.

Introduction
Azoospermia, known as absence of sperm in ejaculation, is a major cause of male infertility, classified as pre-testicular, testicular, post-testicular. Pre-testicular and post- testicular causes allow for fertility intervention, while testicular causes are irreversible with lower success rates. Indonesia have a data scarcity to support doctors to determine the sperm retrieval success rate between different etiology. Doctors could be benefited by knowing the classifications of the causes for azoospermia and how it affects the sperm retrieval success rate. This study aimed to investigate the associaton between etiology of azoospermia and the success rate of sperm retrieval
Method
We conducted a cross-sectional analysis of data from hospitals in Jakarta. The data includes 659 azoospermia patient who have undergone sperm retrieval procedures. Azoospermia etiology was categorized into pre-testicular, testicular, and post-testicular azoospermia. Data who have two or more simultaneous etiology were considered as multi-factorial azoospermia. However, multi-factorial azoospermia is excluded from the analysis. Chi-square tests were used to analyse the association between etiology of azoospermia and sperm retrieval success rate. Sperm retrieval methods association with sperm retrieval success rate was also analyse with chi-square test. The ethical clearance is obtained for this research.
Results
The data consist of 111 pre-testicular azoospermia patients, 112 testicular azoospermia patients, 62 post-testicular azoospermia patients, and 374 multi-factorial azoospermia patients. Chi-square analysis revealed a significant association between azoospermia etiology and sperm retrieval success rate (χ2= 134.179, p = <.001). Post-testicular azoospermia has the highest sperm retrieval success rate (97.1%), followed by testicular azoospermia (27.7%), and pre-testicular azoospermia (13.2%). In addition, the analysis of sperm retrieval methods showed significant differences in success rates. PESA had the highest success rate at 94% (234/249), TESE demonstrated the lowest success rate at 19.4% (78/402). A significant association between sperm retrieval methods and outcomes was observed.
Conclusion
Our study found a significant association (p-value < .001) between the etiology of azoospermia and the success rate of sperm retrieval. Post-testicular azoospermia exhibits the highest success rate at 98.4%. Pre-testicular azoospermia is the most prevalent type, followed by testicular and then post-testicular azoospermia. Additionally, the method of sperm retrieval is also significantly associated with sperm retrieval success rates, with Percutaneous Epididymal Sperm Aspiration (PESA) proving to be the most effective, boasting a 94% success rate. This underscores the importance of both etiological understanding and the selection of appropriate retrieval methods in treating azoospermia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>