Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 222313 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdullah Muhammad Syafi`i
"Latar Belakang
Keterlambatan wicara adalah kondisi ketika seorang anak belum dapat mencapai batas kemampuan bicara yang ideal sesuai dengan anak normal seusianya. Salah satu penyebab keterlambatan wicara adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat diintervensi dengan tepat apabila pemeriksaan tidak terlambat. Baku emas pemeriksaan pendengaran pada anak oleh Joint Committee on Infant Hearing adalah Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Namun, BERA memiliki nilai standar yang berbeda pada setiap institusi, sehingga diperlukan nilai standar nilai BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di Poliklinik THT RSCM
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif numerik dengan model penelitian cross- sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 2-3 tahun dengan keterlambatan wicara yang melakukan pemeriksaan BERA dengan hasil fungsi pendengaran perifer normal untuk dicari rerata hasil pemeriksaan BERA pada 2018-2023.
Hasil
Dari 133 sampel yang dikumpulkan, didapatkan nilai normal masa laten absolut gelombang V BERA click dengan intensitas 20 dB pada anak dengan keterlambatan wicara adalah 7,30±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,29±0,41 ms pada telinga kiri. Terdapat perbedaan hasil pada laki-laki dan perempuan, dengan rerata nilai gelombang V BERA pada anak laki-laki sebesar 7,37±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,38±0,39 ms pada telinga kiri, sedangkan pada anak perempuan sebesar 7,16±0,38 ms pada telinga kanan dan 7,13±0,42 ms pada telinga kiri.
Kesimpulan
Terjadi pemanjangan hasil nilai normal gelombang V BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di poliklinik THT RSCM. Terdapat perbedaan yang bermakna pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan nilai rerata nilai normal gelombang V BERA anak laki-laki lebih panjang dibanding pada anak perempuan.

Introduction
Delayed speech is condition when a child can’t reach the milestones for their age. Hearing loss is one reason speech delay occurs. Hearing loss could intervened appropriately if diagnosed correctly. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) is the gold standard for child hearing tests, according to the Joint Committee on Infant Hearing. However, BERA standard values is vary in each institution, so it’s need a standard BERA value in children with speech delays at the ENT Polyclinic of RSCM
Method
This study is a descriptive numerical study with a cross-sectional model. Children aged 2-3 years with delayed speech who underwent BERA examinations with normal hearing function as the subject to find the average wave V BERA results in 2018-2023.
Results
From 133 samples collected, the average value of wave V BERA click with intensity 20 dB in children with delayed speech was 7.30±0.41 ms in right ear and 7.29±0.41 ms in left ear. There were differences in the results in boys and girls, with the average value of wave V BERA in boys being 7.37±0.41 ms in right ear and 7.38±0.39 ms in left ear, while in girls it was 7.16±0.38 ms in right ear and 7.13±0.42 ms in left ear.
Conclusion
The results of the normal value of wave V BERA in children with speech delay at ENT clinic of RSCM is prolonged compared to normative value. There is a significant difference in boys compared to girls, with prolonged average value of wave V BERA in boys than girls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ommy Ariansih
"ABSTRAK
Tujuan. 1. mengetahui hubungan antara FA yang lebar dengan perkembangan motorik
kasar dan bahasa pada anak usia 6-24 bulan, 2. mengetahui hubungan antara fontanel
anterior yang lebar dengan perkembangan otak yang abnormal dari pemeriksaan USG kepala,
3. mengetahui faktor-faktor risiko yang berperan dalam perkembangan motorik kasar dan
bahasa pada anak dengan FA lebar.
Metode. Desain penelitian adalah kasus kontrol untuk menilai perkembangan motorik
kasar dan bahasa menggunakan pemeriksaan Denver II dan perkembangan otak dinilai
dengan pemeriksaan USG kepala, pada anak usia 6-24 bulan dengan ukuran FA lebar (≥ 1 SD)
sesuai kelompok usia. Kelompok kasus jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
terlambat sedangkan kelompok kontrol jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
normal yang dipasangkan sesuai kelompok usianya, yang berobat ke RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo antara bulan Desember 2017 sampai dengan Mei 2018. Faktor-faktor risiko
dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dari 127 anak dengan FA lebar, 9 anak dieksklusi, sehingga ada 118 anak
sebagai subyek penelitian. Pada kelompok kasus maupun kontrol ada 59 subyek, terdiri dari
18 anak (usia 6-<9 bulan), 16 anak (usia 9-<12 bulan), 17 anak (usia 12-<18 bulan) dan 8
anak (usia 18-<24 bulan). Pada kelompok anak dengan FA lebar (>2SD) lebih banyak
ditemukan pada kelompok kasus, sebaliknya pada anak dengan FA ≥1 SD ≤ 2SD lebih
banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat didapatkan faktor
risiko yang bermakna adalah status gizi kurang, kelahiran prematur, LK abnormal dan
hasil USG kepala abnormal. Pada analisis multivariat didapatkan anak dengan FA lebar
berhubungan bermakna dengan riwayat kelahiran prematur (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913)
dan abnormalitas USG kepala (OR 29; IK 95% 3,82-225,37).
Simpulan. Anak dengan FA lebar >2 SD lebih banyak ditemukan perkembangan motorik
kasar dan bahasa yang terlambat, dan berhubungan bermakna dengan kelahiran prematur
dan abnormalitas USG kepala.

ABSTRACT
Background. Abnormalities in head circumference (HC) and anterior fontanel (AF) size in children may reveal clues to assessment of intrauterine brain growth disorders. Brain growth disorders may lead to clinical manifestations of impaired growth and development of children. Objectives. (1) to determine the relationship between large AF with gross motor and language developmental in children aged 6-24 months, (2) to determine the relationship between large AF with abnormalities of brain growth by cerebral ultrasound, (3) to find the association of risk factors of gross motor and language developmental in children with large AF. Methodes. A case control study was to assess gross motor and language development by using Denver II and brain growth by cerebral ultrasound in children aged 6-24 months with large AF (≥ 1 SD) visiting dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital between December 2017 and May 2018. Case group consisted of gross motor and language developmental delay, control group consisted of similar children but who were normal of gross motor and language development. Both groups were matched according to gender and aged. Bivariate and multivariate analysis were done to identify significant risk factors. Results. Out of 127 large AF children, 9 child who meet exclusion criteria, subject in the study was 118 children. Case groups and control groups were 59 subject; 18 subject (6-<9 months), 16 subject (9-<12 months), 17 subject (12-<18 months) and 8 subject (18-<24 months). Most children of AF >2 SD with gross motor and language development delay were compared to children of AF ≥1 SD- ≤2 SD with normal of gross motor and language development. Bivariate analysis showed that significantly of risk factors were under nutrition, premature, abnormality HC and abnormality cerebral ultrasound. Multivariate analysis showed that significantly prematurity (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913) and abnormality cerebral ultrasound (OR 29; IK 95% 3,82-225,37) in children of large AF with gross motor and language development delay. Conclussions. The most of children of large AF (> 2 SD) were gross motor and language development delay, and significantly with prematurity and abnormality cerebral ultrasound."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta
"Latar belakang: Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kondisi heterogen dengan gejala yang bervariasi disebabkan berbagai etiologi, dan komorbiditas yang berdampak pada defisit komunikasi sosial, gangguan perilaku berulang dan minat terbatas. Sudah banyak penelitian yang mengaitkan ASD dengan variasi gambaran pemanjangan masa laten gelombang dan antar gelombang pada Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Beberapa penelitian menghubungkan BERA dengan derajat keparahan ASD berdasarkan The Childhood Autism Rating Scale (CARS), namun masih kontroversi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan derajat keparahan ASD berdasarkan skoring CARS anak usia 3-8 tahun dengan pendengaran normal. Metode: Studi potong lintang ini terdiri dari 26 subjek ASD yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penilaian derajat keparahan subjek dilakukan menggunakan skoring CARS dan pemeriksaan BERA. Pengolahan data dilakukan dengan analisis uji korelasi masa laten absolut dan masa laten antar gelombang BERA dan CARS. Hasil: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara masa laten absolut gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang III-V BERA Click dengan CARS (r<0,3 dan p>0,05). Namun berdasarkan analisis deskriptif, terdapat pemanjangan masa laten gelombang III dan V serta masa laten antar gelombang I-III pada anak ASD dengan pendengaran perifer normal. Kesimpulan: Anak ASD dengan pendengaran perifer normal menunjukkan karakteristik BERA abnormal. Hal ini menunjukkan potensi BERA sebagai alat objektif untuk mengevaluasi perkembangan ASD di masa depan namun diperlukan penelitian lebih lanjut.

Background: Autism Spectrum Disorder (ASD) is a heterogeneous condition with variable symptoms due to various etiologies, and comorbidities that result in social communication deficits, repetitive behavioral disorders and restricted interests. Many studies have linked ASD to variations in the latent wave and inter-wave lengthening images on Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Some studies have linked BERA to ASD severity based on The Childhood Autism Rating Scale (CARS), but it is still controversial. Aim: This study aims to determine whether there is a correlation between latencies of waves III and V, as well as interpeak latencies of waves III-V BERA Click and ASD severity based on CARS scoring in children aged 3-8 years with normal hearing. Methods: This cross-sectional study consisted of 26 subjects with ASD met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were assessed for severity using CARS scoring and BERA examination. Data processing was done by correlation test analysis between latencies of waves III and V BERA and CARS waves. Results: There was no significant relationship between the latencies of waves III and V and interpeak latencies of waves III-V and interpeak latencies of waves III-V BERA Click with CARS (r < 0.3 and p>0.05). However, based on descriptive analysis, there was a lengthening of the latency of waves III and V and interpeak latency of waves I-III in ASD children with normal peripheral hearing. Conclusion Children with ASD display abnormal ABR characteristics. This shows the potential of BERA as an objective tool to evaluate ASD development in the future but further research is needed"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farisa Rizky
"Pendengaran merupakan suatu proses yang kompleks dan apabila terganggu dapat berdampak terhadap menurunnya pemahaman wicara. Kesulitan dalam mendengar terutama pada tempat dengan suasana bising merupakan salah satu gangguan yang umum terjadi pada bidang THT. Proses kemampuan mendengar meliputi proses deteksi, diskriminasi, rekognisi, serta komprehensi. Pemeriksaan audiometri tutur dalam suasana yang sepi dapat menggambarkan kemampuan pemahaman atau rekognisi seseorang, namun tidak cukup untuk menggambarkan kemampuan rekognisi sehari-hari yang pada umumnya ada pada suasana bising.
Tesis ini membahas mengenai penilaian ambang wicara yang disertai bising latar yang dapat diketahui dari nilai Speech Recognition Threshold SRT 50 dan Speech Discrimination Score SDS 100 pada orang dengan ambang dengar normal usia 18-60 tahun melalui pemeriksaan audiometri tutur dalam bising. Penelitian ini adalah penelitian studi potong lintang dengan desain deskriptif analitik pada 71 percontoh yang diambil secara berurutan.
Hasil dari penelitian ini didapatkan nilai SRT 50 audiometri tutur dalam bising 67.6 dB SNR -2.4 dB SL dan nilai SDS 100 79.7 dB SNR 9.7 dB SL. Terdapat hubungan yang bermakna antara perbedaan kelompok usia terhadap seluruh hasil audiometri tutur dan audiometri tutur dalam bising. Terjadi peningkatan nilai SRT 50 dan SDS 100 yang signifikan pada kelompok usia 40-60 tahun dibandingkan kelompok usia 18-39 tahun.

Hearing is a complex process and if disturbed, it can affect decrease in speech understanding. Difficulty in hearing especially in places with noisy environment is one of the most common disorders in ENT. The process of listening ability includes the process of detection, discrimination, recognition, and comprehension. Speech audiometric examination in a quiet environment can describe the ability of a person 39 s understanding or recognition, but it is not enough to describe the ability of daily recognition that generally exist in a noisy environment.
This thesis discusses the assessment of speech threshold with background noise which can be known from the value of Speech Recognition Threshold SRT 50 and Speech Discrimination Score SDS 100 in people with normal hearing threshold age 18 60 years old through speech in noise audiometric examination. This study is a cross sectional study with descriptive analytic design on 71 samples taken sequentially.
The results of this study obtained SRT 50 speech in noise audiometric was 67.6 dB SNR 2.4 dB SL and SDS 100 was 79.7 dB SNR 9.7 dB SL. There was a significant correlation between age group differences with all results of speech audiometry and speech in noise audiometry examination. The values of SRT 50 and SDS 100 were significantly increased in the 40 60 years old group compared to the 18 39 years old group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fekhaza Alfarissi
"Pada masa anak-anak, perkembangan ada salah satu faktor penting dalam kehidupan. Bedasarkan riset yang diadakan oleh Rumah Sakit Cipto Mangukusumo, prevalensi keterlambatan perkembangan yang terjadi pada anak-anak ada lah sekitar 42%1 dan angka ini meningkat setiap tahunnya. Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembang: internal dan external. Tujuan utama dari skrining perkembangan adalah untuk mencari prevalensi keterlambatan perkembangan pada anak-anak umur 4-6 dan faktor yang berkontribusi pada keterlambatan perkembangan. Penelitian ini menggunakan metode potong-lintang dan menggunakan kuestioner PEDS sebagai alat untuk skrining perkembangan. Metode pengambilan sampel adalah konsekutif. Hasil skrining perkembangan ini adalah Path C (40,7%), Path E (25%), Path B (23,1%), Path A (11,1%) tidak ada subjek yang dikategorikan sebagai Path D. Prevalensi mengalami keterlambatan perkembangan adalah 75% sedangankan yang masih dalam tahap normal adalah 25%. Faktor yang mempengaruhi perkembangan anak-anak adalah jumlah anak. Hasil PEDS ini didominasi kekhawatiran orang tua terhadap perkembangan anak. Kesimpulan riset ini adalah prevalensi anak suspek dengan keterlambatan perkembangan cukup tinggi dan jumlah anak berpengaruh pada proses perkembangan.

During child, development is important role in entire human life. Based on research conducted by Cipto Mangukusumo hospital, the prevalence of delayed development was around 42%1 and this number is increasing every year. Contributing factors are classified into two types, internal and external. Main purpose of developmental screening in this research is to seek the prevalence of child at age 4-6 suspected developmental delayed process. Determine the exact factors that contributing most and to prevent the children developmental delay number increasing. Research design used was cross sectional study by which the researcher collected the questionnaires (PEDS). Sampling techniques that will be used for this research is consecutive sampling. Path C result (40%), Path E (25%) Path B (23,1%) Path A (11,1%). There is no subject categorized as Path D. The normal subject only 25%, while subjects suspected with developmental delayed reach the number of 75%. The most influence factor is the number of children with the strength of relationship to child development is 0,402. PEDS interpretation result in PAUD Cikini, Jakarta dominated by parents concern about their child development process. The prevalence of children suspected with developmental delayed based on the PEDS interpretation is quite high. The factor has the most powerful relationship with developmental process in child is number of children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Raissa
"Ekstrak meniran dan jinten hitam telah lama digunakan sebagai imunostimulan tunggal. Sedangkan kombinasi kedua ekstrak tersebut belum pernah digunakan sebagai imunostimulan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek imunostimulan dari kombinasi ekstrak meniran dan jinten hitam dibandingkan dengan efek imunostimulan dari ekstrak tunggal. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap menggunakan 24 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang terbagi dalam 6 kelompok. Larutan uji dalam bentuk suspensi diberikan secara per oral. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol. Kelompok 2 diberikan suspensi ekstrak meniran dosis tunggal (27 mg per hewan uji). Kelompok 3 diberikan suspensi ekstrak jinten hitam (10 mg per hewan uji). Kelompok 4 diberikan suspensi kombinasi (13,5 mg ekstrak meniran dan 5 mg ekstrak jinten hitam per hewan uji). Kelompok 5 diberikan suspensi kombinasi 2 (6,75 mg ekstrak meniran dan 7,5 mg ekstrak jinten hitam per hewan uji). Kelompok 6 diberikan suspensi kombinasi 3 (21 mg ekstrak meniran dan 2,5 mg ekstrak jinten hitam per hewan uji). Aktivitas imunostimulan diukur dengan uji hipersensitivitas tipe lambat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variasi dosis kombinasi ekstrak meniran dan jinten hitam memiliki aktivitas imunostimulan. Dosis kombinasi lainnya maupun ekstrak dalam dosis tunggal. Dosis kombinasi 3 memiliki aktivitas imunostimulan yang lebih kuat daripada dosis kombinasi 1 dan dosis ekstrak tunggal. Aktivitas imunostimulan dari dosis kombinasi 1 dan dosis ekstrak tunggal tidak memiliki perbedaan yang bermakna."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S1096
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina
"Latar Belakang: Keterlambatan bicara adalah salah satu bentuk keterlambatan perkembangan pada anak. Untuk meminimalisir dampak negatif keterlambatan bicara, faktor risiko dibutuhkan untuk membantu mendiagnosis pasien, agar intervensi dini dapat dimulai.
Tujuan: Identifikasi asosiasi antara jenis kelamin, usia kehamilan, berat lahir, lingkar kepala, penutupan anterior fontanel, perkembangan motorik kasar, periode ASI eksklusif, pengasuh sehari-hari, jumlah saudara kandung, paparan media, interaksi sosial dengan pasien, dan keterlambatan bicara pada anak usia 1 sampai 2 tahun.
Metode: Penelitian kasus kontrol pada anak usia 1 sampai 2 tahun di Rumah Sakit Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo dan Klinik Anakku, Pondok Pinang di Jakarta, Indonesia, dari Januari 2018 sampai Maret 2018. Data dikumpulkan dari wawancara orang tua. Data yang diperoleh diolah dengan SPSS Statistics for Mac, dengan uji Chi-Square dan metode logistic regression. Hasil: Jumlah subjek pada studi ini adalah 126 anak, dengan 63 anak dengan keterlambatan bicara, dan 63 anak lainnya dengan perkembangan bicara yang normal. Pada uji multivariat, variabel yang signifikan adalah keterlambatan perkembangan motorik kasar (p < 0.001; OR = 9.607; 95% CI = 3.403-27.122), periode ASI eksklusif kurang dari 6 bulan (p = 0.016; OR = 3.278; 95% CI = 1.244-8.637), dan paparan gadget dan televisi selama lebih dari 2 jam sehari (p < 0.001; OR = 8.286; 95% CI = 2.555-26.871). Kontak sosial yang buruk (p = 0.998) adalah confounding factor pada studi ini.
Kesimpulan: Keterlambatan perkembangan motorik kasar, periode ASI eksklusif kurang dari 6 bulan, paparan media selama lebih dari 2 jam, dan kontak yang buruk adalah faktor risiko keterlambatan bicara pada anak.

Background: Speech delay is one of the most common developmental delay in children. To minimize the negative outcomes of speech delay, risk factors should be explored to help in patient diagnosis, so an early intervention can be initiated. Aim: Identify the association between gender, age, birth weight, asphyxia during birth, head circumference, closure of anterior fontanel, gross motor development, period of
breastfeeding, caregiver, number of siblings, media exposure, social interaction with subject and delayed speech in children between 1 to 2 years old. Method: A case-control study for children between 1 to 2 years old in Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo and Klinik Anakku, Pondok Pinang in Jakarta, Indonesia, from January 2018 to March 2018. Data was collected from parent interviews. The data obtained was processed with SPSS Statistics for Mac, with Chi-Square test and logistic regression method.
Result: The total number of subjects in this study was 126, with 63 children with speech delay and 63 children with normal speech development. In the multivariate analysis, the significant risk factors were delayed gross motor development (p < 0.001; OR = 9.607; 95% CI = 3.403-27.122), period of exclusive breastfeeding of less than 6 months (p = 0.016; OR = 3.278; 95% CI = 1.244-8.637), and exposure to gadgets and television for more than 2 hours (p < 0.001; OR = 8.286; 95% CI = 2.555-26.871). Poor social interaction (p = 0.998) was found to be the confounding factor. Conclusion: Delayed gross motor development, period of exclusive breastfeeding of less than 6 months, media exposure for more than 2 hours, and poor are risk factors of
delayed speech development in children.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Mega Rinindra
"Tumor di Cerebellopontine Angle CPA terjadi sekitar 5-10 dari seluruh tumor intrakranial. Gejala yang muncul bervariasi sesuai ukuran dan lokasi lesi. Keluhan yang paling sering terjadi adalah ganggguan pendengaran dan tinitus. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data gambaran gangguan pendengaran sensorineural pada pasien tumor CPA di poli THT RSCM berdasarkan audiometri nada murni dan Brainstem Evoked Response Audiometry BERA serta mengetahui gambaran tumor CPA pada MRI di RSCM. Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan studi potong lintang cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Subjek penelitian diambil semua total sampling yaitu sebanyak 104 pasien, berasal dari data sekunder pada periode Juli 2012 hingga November 2016 dan 30 pasien di antaranya memenuhi kriteria penerimaan. Karakteristik pasien tumor CPA di poli THT FKUI RSCM sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dengan usia rerata dewasa tua 41-60 tahun dan keluhan paling banyak berupa tinitus dan gangguan pendengaran asimetri berupa gangguan pendengaran sensorineural sangat berat pada 10 subjek. Hasil BERA ipsilateral terganggu pada 29 subjek dan BERA kontralateral terganggu pada 17 subjek. Terdapat 24 dari 30 subjek memberi gambaran tumor berukuran besar, dan lokasi tumor telah meluas di intrakanal hingga ekstrakanal pada 19 subjek.

Tumors in cerebellopontine angle CPA occurs approximately about 5 10 of all intracranial tumors. Symptoms are varies according to the size and location of the lesion. Unilateral hearing loss and tinnitus are the most frequent symptoms. The aim of the is study is to obtain data of sensorineural hearing loss in CPA tumor patients in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital CMH using pure tone audiometry and BERA, also to obtain data of tumor imaging in MRI. This is a cross sectional study descriptive analytic. Subjects of this study was collected using total sampling method from secondary data from July 2012 to November 2016. Thirty patient from 104 patients met the inclusion criteria. Characteristics of the CPA tumor patients in the ENT CMH outpatients clinic mostly female, with a mean age of middle age patients 41 60 years and most clinical presentation is tinnitus and severe assymmetry sensorineural hearing loss in 10 subjects. From 30 subjects, 29 subjects had impaired BERA in ipsilateral and contralateral BERA impaired in 17 subjects. There are 24 from 30 subjects had a large sized tumor and location of the tumor has spread in intracanal until extracanal in 19 subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Amshar
"ABSTRAK
Pubertas terlambat merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien thalassemia mayor. Penyebab utama pubertas terlambat pada pasien thalassemia mayor adalah penumpukan besi pada kelenjar hipofisis. Selain itu, anemia kronis pada pasien thalassemia mayor juga dapat menyebabkan pubertas terlambat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang melibatkan 47 pasien thalassemia mayor dengan rentang usia 13-18 tahun untuk pasien perempuan dan 14-18 tahun untuk pasien lelaki di Pusat Thalassemia RSCM. Profil besi subjek ditentukan dari kadar feritin serum dan saturasi transferin subjek. Status pubertas subjek ditentukan berdasarkan Tanner Staging. Hasil & Diksusi: Berdasarkan kadar feritin serum, terdapat 47 (100%) subjek yang mengalami kelebihan besi, dengan 35 (75%) diantaranya mengalami kelebihan besi berat. Nilai median feritin serum subjek adalah 3645 (1415-12636) ng/mL. Berdasarkan saturasi transferin, sebesar 36 (77%) subjek mengalami kelebihan besi, dengan nilai median saturasi transferin sebesar 85 (28-100)%. Terdapat 42 (89%) subjek yang mengalami anemia, dengan nilai median kadar hemoglobin pra-transfusi sebesar 8,0 (4,8-9,5) g/dL. Pubertas terlambat ditemukan pada delapan (17%) subjek. Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara feritin serum dengan status pubertas (p = 0,183), saturasi transferin dengan status pubertas (p = 0,650), dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas (p = 0,932). Berdasarkan hasil tersebut, profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi tidak berhubungan dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM.

ABSTRAK
Introduction Delayed puberty is a major complication in thalassemia major patients. Delayed puberty occurs due to accumulation of iron in the pituitary gland. In addition, chronic anemia in thalassemia major patients can cause delayed puberty.Objectives This study aims to find the association between iron profile and pre transfusion hemoglobin level with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM.Methods This was a cross sectional study that involved 47 thalassemia major patients aged 13 to 18 years for female patients and 14 to 18 years for male patients in Thalassemia Centre RSCM. Iron profile was determined from serum ferritin level and transferrin saturation. Pubertal status was determined by Tanner Staging.Results Discussion Based on serum ferritin level, 47 100 subjects had iron overload, in which 35 75 subjects had severe iron overload. The median of serum ferritin level was 3645 1415 12636 ng mL. Based on transferrin saturation, 36 77 subjects had iron overload. The median of transferrin saturation was 85 28 100 . Forty two 89 subjects were found anemic. The median of pre transfusion hemoglobin level was 8,0 4,8 9,5 g dL. Delayed puberty occurred in eight 17 subjects. Statistically, no significant associations were found between serum ferritin level and pubertal status p 0.183 , transferrin saturation and pubertal status p 0.650 and pre transfusion hemoglobin level and pubertal status p 0,932 . Based on the results, iron profile and pre transfusion hemoglobin level are not associated with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Delayed eruption is one of the forms of dental eruption deviation characterized by delay of dental eruption. Delayed eruption can be caused by local factor such as impacted tooth. Treatment of the delayed eruption due to impacted tooth, which needs to be surgically exposed, bonded with a bracket and ligature or chain, and then orthodontically brought into the dental arch. We reported a case of a 12 years old girl who has non-erupted upper right permanent central incisor without the retention of upper right primary central incisor. Physical development was normal. 12, 21, 22, already erupted. Panoramic examination shows impacted 11 in the alveolar bone with the completion of apex formation. After the cephalometric and model analysis, we placed the fixed orthodontic appliances followed by surgical exposure to open the impacted area then place an orthodontic bracket with an attached chain to apply orthodontic forces on the tooth to aid in its movement into the line of occlusion. "
Journal of Dentistry Indonesia, 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>