Ditemukan 88494 dokumen yang sesuai dengan query
Winda Sari
"Tulisan ini menganalisis dua rumusan masalah utama, yakni: kondisi existing sistem seleksi hakim konstitusi Indonesia ditinjau dari pengaturan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945; serta bagaimana proyeksi ideal seleksi hakim konstitusi kedepannya. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan perbandingan negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan ketiadaan standar baku seleksi menjadikan sistem seleksi hakim konstitusi tidak secara transparan, akuntabel dan partisipatif. Sehingga prosesnya akrab dengan nuansa politik yang berujung pada kondisi hakim yang tidak independen dan imparsial dalam menjalankan fungsinya (sebagaimana kecenderungan hakim dalam memutus perkara dan pelanggaran kode etik oleh hakim). Dikarenakan saat proses rekrutmen hakim dijadikan sebagai moemntum embaga pengusung untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman, maka pembentukan panitia ad hoc menjadi pilihan ideal dalam merekrut hakim konstitusi. Selain mempertegas teori pemisahan kekuasaan dengan peran politik yang dibatasi, sistem rekrutmen akan berjalan dengan terbuka dan akuntabel. Sebagaimana dijalankan oleh negara komparasi yakni Afrika Selatan, Zambia, dan Ekuador. Ketiga negara tersebut, menrapkan sistem seleksi dengan lembaga khusus bernama Judicial Service Commission.
This paper analyzes two main problem as formulations, those are: the existing condition of Indonesian constitutional judge selection system in terms of the regulation of Article 24C of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia; and how the ideal projection of the contitutional judge’s selection in future. This study uses doctrinal research methods with a statutory and comparative state approach. The results shows that the absence of selection standards made the selection system of constitutional judges not transparent, accountable and participatory. So that the process is lead into political nuances which lead to the condition of judges who are not independent and impartial in carrying out their functions (as the tendency of judges in deciding cases and violations of the code of ethics by judges). Thus, when the recruitment process of judges is used as a momentum for the supporting institutions to intervene in judicial power, the formation of an ad hoc committee is the ideal choice in recruiting constitutional judges. In addition to reinforcing separation of powers with a limited political role’ theory, the recruitment system goes openly and accountably. As used by comparative countries as South Africa, Zambia and Ecuador. Those countries apply a selection system with a special institution called the Judicial Service Commission."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Guspita Arfina
"Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi.
The process of filling the position of constitutional court justices is one of the fundamental issues in judicial system, especially the Constitutional Court. Under the provisions of Article 24C Paragraph 3 of 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Indonesian Constitutional Court has nine justices, nominated by Supreme Court, People 39 s Legislative Assembly, and President. The three state institutions have differences in selecting justices because of lack of clear regulation as standard for the selection. Therefore, research is conducted to find out current regulations and mechanisms of selecting justices so that later the ideal concept can be formulated, particularly for the President. The research method is juridical normative method that refers to legal norms in legislation. Analysis is conducted by discussing the conformity between the implementation of transparency, participation, objectivity and accountability principles that have been regulated in the Constitutional Court Law with practices conducted by President. The lack of clear regulation encourages the formulation of regulation that clearly regulates standard selecting justices through applicable laws for three state institutions or presidential decree specifically for President. Furthermore, the research will try to advise the implementation of open selection through selection committee to fulfill the implementation of principles in selecting the justices. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Afdhal Mahatta
Jakarta: Prenadamedia , 2023
347.01 AFD p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Tabah Sulistyo
"Rekrutmen Hakim merupakan basis independensi kekuasaan kehakiman. Penelitian ini bermaksud menjawab permasalahan terkait konstruksi rekrutmen hakim di Indonesia, bagaimana implementasi setelah rekrutmen menjadi kewenangan satu atap, dan bagaimanakah rekrutmen hakim ideal untuk ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode yuridis normatif melalui studi literatur, dengan perbandingan Negara Belanda, Perancis, Italia, Jepang dan India. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Konstruksi rekrutmen hakim Indonesia dibangun dari pergeseran rekrutmen oleh kementerian kehakiman menjadi model rekrutmen oleh Mahkamah Agung dengan sistem satu atap. Selanjutnya pasca amandemen rekrutmen hakim dijalankan dengan model Komisi Yudisial. Implementasi rekrutmen hakim di Indonesia masih belum sejalan dengan konsepsi Judicial Self governance, dimana rekrutmen masih belum terstandarisasi baik dari sisi pelaku, metode dan persyaratan. Rekrutmen hakim agung menggunakan metode appointment by judicial commission meskipun kewenangan DPR telah dianulir MK, namun metode cooperative appointment masih terus dijalankan dengan metode double fit and proper test. Rekrutmen hakim tingkat pertama dilaksanakan dengan metode recruitment by political institution dengan sub model Ministry, meskipun pasca putusan MK diperintahkan untuk dilakukan secara judicial self appointment namun nyatanya MA menyerahkan proses kepada Menpan-BKN yang notabene eksekutif. Sedangkan untuk hakim adhoc dan hakim pajak, potensial dengan intervensi eksekutif dalam pelaksanaan rekrutmennya. Sebagai bentuk ideal yang ditawarkan adalah rekrutmen hakim dengan metode appointed by judicial commission dengan model single body appointment, idealitas model rekrutmen terletak pada asas-asas rekruitmen yang transparan, akuntabel, partisipatif dan obyektif dengan sinergi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Saran penelitian, pengaturan rekrutmen hakim perlu diatur dalam konstitusi kita, standarisasi tersebut termasuk dalam konsistensi personal judicial self-governance dengan berpegang pada Independensi dan efektifitas administrasi peradilan.
The selection of Judges is the basis of judicial independence. This research was designed to exercise, the construction of judge appointment process in Indonesia, How the recruitment of judge was implemented under the one roof system and answering the ideal model of judge appointment in Indonesia. This was normative juridic research, conducted by literature study, and comparative study to Netherland, France, Italy, Japan, and India. The conclusions show that the construction of Judicial Appointment in Indonesia was shifted from Ministry of Justice to Judicial self-Appointment by the one roof system enactment. The construction shifting continuous to “appointment by Judicial council/commission model” after the amendment. The implementation of the judge appointment process was not suitable to the principles of Judicial Self-governance, since the subject, method and requirement were not standardized. The judge appointment was Implemented as follow, Supreme court judge appointment was using the “appointment by judicial commission model” even though Legislative involvement were annulled by the supreme court, but the cooperative appointment is still being practiced with the double fit and proper test method. The Implementation of first instance judge appointment was conducted ala recruitment by political institution, in sub-Ministry model, this model was against the constitutional court decision since it should be held by “judicial self-appointment” since judicial commission involvement was unconstitutional, but supreme court was given the authority to state apparatus ministry and state civil servant Body (Menpan-BKN) instead. While the appointment of ad hoc judges and tax judges were potentially open the interference by the executive. The study proposed the appointment by judicial commission with the single body appointment model as the ideal model. The ideal appointment method needs to rely on the core principles of appointment which are transparent, accountable, participative, and objective, this also need Supreme Court dan Judicial Commission synergy. The study suggests that our constitution needs to arrange the Judge appointment mechanism, this also includes the personal judicial self-governance based on independence and effectiveness of the judiciary."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sidik Hadi Suwito
"Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam upaya memenuhi kebutuhan personel Polri khususnya yang berpangkat Perwira, maka dilaksanakan proses seleksi Akpol (Akademi Kepolisian) bertahap oleh Polri. Pada pelaksanaan seleksi tersebut, Kapolri mendeligasikan kewenangan kepada Kapolda dan jajaran melalui seleksi penerimaan Akpol yang dilaksanakan masing - masing Kepolisian Daerah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi standar rasio jumlah personel Polri sesuai dengan DSP (Daftar Susunan Personel) Polri seperti yang tercantum dalam peraturan Kapolri. Kegiatan seleksi penerimaan perwira Polri merupakan salah satu bagian dari kegiatan manajemen sumber daya manusia Polri. Hal ini dikarenakan kualitas pelaksanaan kegiatan seleksi tersebut akan berpengaruh kepada kualitas calon-calon perwira Polri yang akan dihasilkan. Agar kualitas pelaksanaan dari kegiatan seleksi menjadi lebih baik dan menghindari berbagai macam bentuk penyimpangan dari ketentuan yang telah ditetapkan maka dalam kegiatan seleksi tersebut harus merujuk pada Good Governance. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan rekrutmen Akpol dapat menjaring calon pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip-prinsip good governance dalam kegiatan Rekrutmen Akpol tingkat daerah yaitu di Polda Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi. Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Hasil akhir dari penelitian ini yaitu masih ada beberapa prinsip-prinsip good governance yang masih belum diterapkan dalam rekrutmen Akpol tahun anggaran 2017 di Polda Jawa Barat, Sehingga pada pelaksanaanya terjadi kericuhan. Hal tersebut dikarenakan adanya kebijakan yang dibuat oleh Kapolda Jawa Barat mengenai kebijakan persentase kelulusan Akpol dibagi menjadi kuota khusus putra daerah dan kuota non putra daerah. Kebijakan itulah yang membuat adanya polemik dalam pelaksanaan Rekrutmen akpol di Polda Jawa Barat, sehingga Rekrutmen akpol di Polda Jawa Barat akhirnya diambil alih oleh Mabes polri.
The Indonesian National Police (Polri) in an effort to meet the needs of Polri personnel, especially those with the rank of Officers, a gradual selection process for the Police Academy (Police Academy) by the National Police. In the implementation of the selection, the Chief of Police delegated authority to the Regional Police Chief and ranks through the selection of the Police Academy that was carried out by each Regional Police. This was done to meet the standard ratio of the number of Polri personnel in accordance with the DSP (List of Personnel Arrangements) of the Indonesian National Police as stated in the National Police regulation. Polri officers' recruitment selection activities are part of the National Human Resources management activities. This is because the quality of the implementation of the selection activities will affect the quality of the candidates for the Police officers who will be produced. In order for the quality of the implementation of the selection activities to be better and avoid various forms of deviations from the stipulated provisions, the selection activities must refer to Good Governance. This is so that the Police Academy recruitment activities can recruit qualified leaders. The study aims to determine how the principles of good governance are applied in the Regional Police Academy Recruitment activities at the West Java Regional Police. This study uses a qualitative approach with the method of description. Based on its benefits, this study included descriptive research. The final result of Police Academy recruitment in the West Java Regional Police is that there are still some principles of good governance that are still not applied in the 2017, so there is chaos in the implementation. This is because the West Java Regional Police Chief made the policy about percentage of the Police Academy graduation is divided into special quota for male regions and non-male regional quota. That policy made the polemic in the implementation of the Police Academy recruitment in the West Java Regional Police, so that the recruitment of the AKPOL in the West Java Regional Police was finally taken over by the National Police Headquarters."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T52004
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"Artikel ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai fungsi lembaga negara penegak hukum di Indonesia. Perbedaan kewenangan dan fungsi lembaga penegak hukum seperti MA, Kejaksaan Agung, dan MK perlu dipahami secara mendalam. Selanjutnya mengingat perrmasalahan di semua lembaga pengadilan di seluruh dunia antara lain tentang lambatnya penyelesaian perkara, artikel ini mendeskripsikan dan menganalisis peran Hakim Agung dalam menyelesaikan perkara kasasi dan peninjauan kembali sebelum dan sesudah terbitnya SK Ketua MK No. 119/KMA/SK/VII/2013 tentang penetapan hari musyawarah dan ucapan dan No. 214/KMA/SK/XII/2014 tantang jangka waktu penanganan perkara pada MA. Namun demikian, ketika MK menerbitkan putusan No. 34/PUU-XI/2013 muncul masalah bahwa diantara produk kedua lembaga tinggi negara di bidang peradilan terlihat tidak sejalan, terutama dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Di satu sisi, MA yang menginginkan terciptanya proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan melalui penguatan dua produk di atas, namun di sisi lain MK melalui putusannya memperpanjang rentang waktu proses penyelesaian perkara permohonan peninjauan kembali yang dapat dilakukan berulang kali. Kemudian untuk memberikan kepastian hukum, MA menerbitkan surat edaran MA No. 7 tahun 2014 yang menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dibatasi satu kali melalui payung hukum lainnya, yaitu UU kekuasaan kehakiman dan UU Mahkamah Agung."
JK 12:2 (2015)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Yustina Sari
"Penelitian ini didasarkan pada pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstiusi yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder. Penelitian ini membahas tiga permasalahan utama. Pertama, konsep pengawasan internal yang dilaksanakan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini terkait dengan pengisian jabatan dan pengawasan hakim di Mahkamah Konstitusi. Kedua, perubahan susunan, kedudukan, dan peran Majelis Kehormatan dalam menjalankan fungsi pengawasan atas hakim konstitusi. Ketiga, menganalisis perubahan susunan, kedudukan, dan peran Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan relasinya dengan pengisian jabatan hakim konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan yang bersifat internal di lingkungan hakim di masa lalu dianggap tidak berjalan dengan efektif sehingga memunculkan gagasan perlunya pengawasan yang dilakukan oleh suatu lembaga khusus. Adanya peran pihak eksekutif dan legislatif maupun lembaga non-yudisial dalam proses perekrutan hakim, tidaklah dianggap sebagai hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Adanya keinginan untuk mengaktifkan kembali pengawasan eksternal memberikan pengaruh yang cukup besar pada susunan, kedudukan dan peran Majelis Kehormatan termasuk di dalamnya keterlibatan 3 (tiga) lembaga negara yang berperan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi di dalam susunan Majelis Kehormatan di Indonesia secara langsung.
This research is based on the establishment of Constitutional Court of honor assembly which is regulated in Act No.24/2003 regarding Constitutional court and its amendments, Act No. 8/2011. The method used in this study is a yuridis normatif by using the secondary data. First, the concept of internal control which is implemented in the judial power, in this case related to recruitment system and surveillance mechanism in the constitutional court. Second, the amendment in the composition, position and role of the Constitutional Court of Honor Assemblies in performing supervisory functions. And the third is to analyze the changes in the composition, position and role of the Constitutional Court of honor assemblies in performing supervisory functions and ts relation to recruitment system of Constitutional Judges. There results showed that the internal surveillance in the past is considered ineffective, and this leads to the idea of the need for supervision by the special agency. On the other hand, the participation of the executive, legislatif and/or non-judicial body in recruitment system of Constitutional Court Judges should not be considered as a threat to judicial independency. There is an inclination to re-enable the external supervision to constitutional judges which leads to a significant change of the composition, position, and role of the Constitutional Court of Honor Assemblies, including the involvement of the executive, legislative and judiciary in its honor assemblies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44665
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Agung Sudrajat
"Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi di Indonesia. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan yang menggabungkan teori pemisahan kekuasaan, fiilosofi pembentukan peradilan konstitusi, konsep negara hukum dengan proses legislasi di Indonesia. Putusan No. 10/PUU-VI/2008 menunjukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah berperan sebagai positive legislator (pemuat norma) yang menimbulkan banyak perdebatan secara akademis. Hal ini sejalan dengan perkembangan di beberapa negara yang memungkinkan adanya peran peradilan konstitusinya sebagai positive legislator dalam menjamin hak-hak warga negara. Selain itu, dapat dilihat bagaimana implikasi dari tindakan Mahkamah Konstitusi yang mencantumkan syarat domisili calon anggota DPD terhadap proses legislasi yang dipegang oleh DPR dan Presiden (termasuk DPD).
The purpose of this thesis is to explain and analyse the role of Constitutional Court as Positive Legislator and its implications toward the legislation process in Indonesia. The writer uses the juridical-normative research method alongside bibliographic study which mixes separation of power theory, the forming of constitutional tribunal philosophy, the state of law concept with the legislation process in Indonesia. From the Judgment No.10/PUU-VI/2008, it can be concluded that the Indonesian Constitutional Court has its role as a positive legislator. This is consistent with the developments among some States which permit the existence of a role of a positive legislator from a constitutional tribunal in guaranteeing the rights of citizens. Besides, this thesis will bring into focus the implications from the acts of Constitutional Court which has the domicile requirements written down for the candidates of DPD to the legislation process which is held by DPR and the President (including the DPD)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42534
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Muhamad Nafi Uz Zaman
"Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan partisipasi masyarakat dalam sebuah terminologi “meaningful participation” yang mencakup 3 (tiga) syarat yaitu right to be heard, right to be considered dan right to be right explained. Namun makna tersebut masih bersifat umum dan membutuhkan elaborasi lebih lanjut. Misalnya dalam menentukan sejauh mana indikator “bermakna” dapat dinilai dari partisipasi dan apakah jumlah masyarakat menentukan bermaknanya sebuah partisipasi. Melalui pendekatan doktriner dan analisis terhadap Putusan MK perihal pengujian formil sejak tahun 2003-2022, penelitian ini bertujuan untuk melihat pola Putusan MK dan menganalisis ratio decidendi yang digunakan oleh Majelis Hakim. Dari 49 putusan tentang permohonan pengujian formil, diperoleh 23 putusan yang dipertimbangkan dengan dalil permohonan “partisipasi masyarakat.” Hasil penelitian menunjukkan terdapat parameter yang menentukan meaningful participation sebagai elaborasi dari 3 (tiga) syarat sebelumnya yaitu Pertama keterbukaan akses masyarakat dalam mengetahui setiap tahapan beserta riwayat/risalah. Kedua, pertimbangan jangka waktu pembahasan dan subjek terdampak secara proporsional dengan cakupan undang-undang yang dibahas. Ketiga, tracking atas pendapat masyarakat yang diadopsi maupun tidak dalam perumusan norma. Selain itu, kedepan diharapkan adanya terobosan hukum dengan lebih mengedepankan keadilan substantif dalam pengujian formil terutama menguji pemenuhan partisipasi masyarakat. Hal ini bertujuan agar tercapainya hakikat dari meaningful participation itu sendiri.
Through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020, the Constitutional Court (MK) interpreted the participation of the public in the terminology of "meaningful participation," which includes three requirements: the right to be heard, the right to be considered, and the right to be right explained. However, this meaning remains general and requires further elaboration. For example, it needs clarification on how the indicator of "meaningful" can be assessed in participation and whether the number of people determines the meaningfulness of participation. Using a doctrinal approach and analyzing MK's decisions on formal testing from 2003 to 2022, this study aims to observe patterns in MK's decisions and analyze the ratio decidendi used by the panel of judges. Out of 49 decisions on formal testing applications, 23 decisions were related to the argument of "public participation." The research findings indicate that there are parameters determining meaningful participation as elaboration of the previous three requirements. Firstly, it involves the openness of public. Secondly, it considers about the numbers. Thirdly, it involves tracking the adoption or non-adoption of public opinions. Moreover, in the future, it is hoped that legal breakthroughs will prioritize substantive justice in formal testing, especially when evaluating the fulfillment of public participation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"The Head of Region Election in "judicial review" perspective of Constitutional Court constitutes crucial as well as strategic problem in order to organize general election concept comprehensively. This will ensure independency of General Election and Governance legal rezimes. In addition, the comprehensive General Election Law will be able to reduce distortion deriving from the existance of different three laws regulating the carrying out of general election."
340 JIHAG 13:3 (2005)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library