Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177066 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ariefiansyah
"Pendahuluan: Hipotensi merupakan komplikasi yang masih sering terjadi pada anestesia umum. Angka kejadian hipotensi pascainduksi sampai dengan saat ini masih tergolong tinggi. Hipotensi intraoperatif terkait dengan mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Tindakan responsif yang dilakukan seorang anestesiologis saat terjadi hipotensi pascainduksi adalah dengan pemberian loading cairan infus. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian saat ini mengenai bahaya fluid overload, maka diperlukan alternatif lain dalam pencegahan hipotensi pascainduksi. Alternatif yang banyak dibahas adalah passive leg raising. Namun sampai saat ini, passive leg raising masih banyak dikaitkan dengan penilaian fluid responsiveness. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang membandingkan passive leg raising sebelum induksi terhadap fluid challenge test sebelum induksi untuk memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan passive leg raising terhadap fluid challenge test yang dilakukan sebelum induksi dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis acak, non inferiority dengan melibatkan 178 pasien yang akan menjalani anestesia umum pada pembedahan elektif. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak yaitu kelompok passive leg raising dan fluid challenge test. Pada masing-masing kelompok, intervensi dilakukan selama 10 menit. Pada kelompok passive leg raising, tidak ada cairan infus yang diberikan sejak awal penerimaan hingga sebelum insisi. Sedangkan untuk kelompok fluid challenge test, setelah pemberian cairan sejumlah 5 ml/kg berat badan selesai, tidak ada cairan infus yang diberikan sampai dengan sebelum insisi. Pencatatan data tekanan darah sistolik, mean arterial pressure (MAP), dan indeks perfusi dilakukan sejak subjek memasuki kamar operasi, pascaintervensi, setelah pemberian agen anestesia, sebelum intubasi, pascaintubasi, dan sebelum insisi. Definisi hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah MAP < 65 mmHg atau pada pasien dengan hipertensi terjadi penurunan MAP > 20% baseline sebelum dilakukan intubasi.
Hasil: Angka kejadian hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna angka kejadian hipotensi pascainduksi antara kelompok passive leg raising dan fluid challenge test (p = 0,314) dengan OR (IK 95%) 0,750 (0,462-1,216)
Simpulan:Passive leg raising tidak lebih inferior dibandingkan fluid challenge test dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.

Introduction: Hypotension remains a common complication in general anesthesia, with a persistently high incidence of post-induction hypotension. Intraoperative hypotension is associated with increased postoperative morbidity and mortality. The immediate response of anesthesiologists to post-induction hypotension typically involves administering intravenous fluid loading. However, growing awareness of the risks of fluid overload has highlighted the need for alternative approaches to prevent post-induction hypotension. One frequently discussed alternative is passive leg raising (PLR), which has been widely associated with assessing fluid responsiveness. To date, no studies have compared PLR before induction with a fluid challenge test prior to induction in reducing the incidence of post-induction hypotension. This study aims to compare the efficacy of PLR and fluid challenge tests conducted pre-induction in mitigating post-induction hypotension.
Methods: This randomized, non-inferiority clinical trial involved 178 patients scheduled for elective surgery under general anesthesia. Participants were randomly allocated into two groups: the passive leg raising group and the fluid challenge test group. Each intervention lasted 10 minutes. In the passive leg raising group, no intravenous fluid was administered from admission until incision. In the fluid challenge test group, after administration of 5 ml/kg body weight of intravenous fluid, no further fluid was given until incision. Data on systolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), and perfusion index were recorded upon entry into the operating room, post-intervention, after anesthetic agent administration, before intubation, post- intubation, and before incision. Post-induction hypotension was defined as MAP < 65 mmHg or a >20% reduction from baseline MAP in hypertensive patients prior to intubation.
Results: The incidence of post-induction hypotension in this study was 27.5%. There was no significant difference in the proportion of post-induction hypotension between the passive leg raising group and the fluid challenge test group (p = 0.314), with an odds ratio (95% confidence interval) of 0.750 (0.462–1.216).
Conclusion: Passive leg raising is not inferior to the fluid challenge test in reducing the incidence of post-induction hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ariefiansyah
"Pendahuluan: Hipotensi merupakan komplikasi yang masih sering terjadi pada anestesia umum. Angka kejadian hipotensi pascainduksi sampai dengan saat ini masih tergolong tinggi. Hipotensi intraoperatif terkait dengan mortalitas dan morbiditas pascaoperasi. Tindakan responsif yang dilakukan seorang anestesiologis saat terjadi hipotensi pascainduksi adalah dengan pemberian loading cairan infus. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan penelitian saat ini mengenai bahaya fluid overload, maka diperlukan alternatif lain dalam pencegahan hipotensi pascainduksi. Alternatif yang banyak dibahas adalah passive leg raising. Namun sampai saat ini, passive leg raising masih banyak dikaitkan dengan penilaian fluid responsiveness. Hingga saat ini belum terdapat penelitian yang membandingkan passive leg raising sebelum induksi terhadap fluid challenge test sebelum induksi untuk memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan passive leg raising terhadap fluid challenge test yang dilakukan sebelum induksi dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis acak, non inferiority dengan melibatkan 178 pasien yang akan menjalani anestesia umum pada pembedahan elektif. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak yaitu kelompok passive leg raising dan fluid challenge test. Pada masing-masing kelompok, intervensi dilakukan selama 10 menit. Pada kelompok passive leg raising, tidak ada cairan infus yang diberikan sejak awal penerimaan hingga sebelum insisi. Sedangkan untuk kelompok fluid challenge test, setelah pemberian cairan sejumlah 5 ml/kg berat badan selesai, tidak ada cairan infus yang diberikan sampai dengan sebelum insisi. Pencatatan data tekanan darah sistolik, mean arterial pressure (MAP), dan indeks perfusi dilakukan sejak subjek memasuki kamar operasi, pascaintervensi, setelah pemberian agen anestesia, sebelum intubasi, pascaintubasi, dan sebelum insisi. Definisi hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah MAP < 65 mmHg atau pada pasien dengan hipertensi terjadi penurunan MAP > 20% baseline sebelum dilakukan intubasi.
Hasil: Angka kejadian hipotensi pascainduksi pada penelitian ini adalah sebesar 27,5%. Tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna angka kejadian hipotensi pascainduksi antara kelompok passive leg raising dan fluid challenge test (p = 0,314) dengan OR (IK 95%) 0,750 (0,462-1,216)
Simpulan:Passive leg raising tidak lebih inferior dibandingkan fluid challenge test dalam memperbaiki angka kejadian hipotensi pascainduksi.

Introduction: Hypotension remains a common complication in general anesthesia, with a persistently high incidence of post-induction hypotension. Intraoperative hypotension is associated with increased postoperative morbidity and mortality. The immediate response of anesthesiologists to post-induction hypotension typically involves administering intravenous fluid loading. However, growing awareness of the risks of fluid overload has highlighted the need for alternative approaches to prevent post-induction hypotension. One frequently discussed alternative is passive leg raising (PLR), which has been widely associated with assessing fluid responsiveness. To date, no studies have compared PLR before induction with a fluid challenge test prior to induction in reducing the incidence of post-induction hypotension. This study aims to compare the efficacy of PLR and fluid challenge tests conducted pre-induction in mitigating post-induction hypotension.
Methods: This randomized, non-inferiority clinical trial involved 178 patients scheduled for elective surgery under general anesthesia. Participants were randomly allocated into two groups: the passive leg raising group and the fluid challenge test group. Each intervention lasted 10 minutes. In the passive leg raising group, no intravenous fluid was administered from admission until incision. In the fluid challenge test group, after administration of 5 ml/kg body weight of intravenous fluid, no further fluid was given until incision. Data on systolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP), and perfusion index were recorded upon entry into the operating room, post-intervention, after anesthetic agent administration, before intubation, post- intubation, and before incision. Post-induction hypotension was defined as MAP < 65 mmHg or a >20% reduction from baseline MAP in hypertensive patients prior to intubation.
Results: The incidence of post-induction hypotension in this study was 27.5%. There was no significant difference in the proportion of post-induction hypotension between the passive leg raising group and the fluid challenge test group (p = 0.314), with an odds ratio (95% confidence interval) of 0.750 (0.462–1.216).
Conclusion: Passive leg raising is not inferior to the fluid challenge test in reducing the incidence of post-induction hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hardja Priatna
"Tekanan darah bervariasi secara diurnal. Studi terdahulu telah menunjukkan, bahwa ada hubungan antara tekanan darah khususnya tekanan darah sistolik dengan hipertrofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi dengan koefisien korelasi yang bervariasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah pada subyek normotensi, tekanan darah diukur secara ambutatorik 24 jam sudah mempengaruhi indeks massa ventrikel kiri. Untuk mengetahui koretasi antara tekanan darah baik secara kasual maupun ambulatorik 24 jam dengan indeks massa ventrikel kiri pada subyek normotensi, telah dilakukan penelitian di RSJHK terhadap 42 karyawan bidang administrasi RSJHK. Semua subyek termasuk normotensi pada pengukuran kasual. Tiga di antaranya dieksklusi karena kelainan katup, dan gangguan pada pemeriksaan ambulatorik 24 jam sehinggga tidak memenuhi syarat untuk dianalisis. Subyek penelitian semuanya laki-Iaki, berumur 37,81 ± 4,65 tahun. Penelitian dilakukan dalam periode Nopember 1997 sampai dengan Juli 1998. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif.

Blood pressure varies diurnally. Previous studies have shown that there is a relationship between blood pressure, especially systolic blood pressure, and left ventricular hypertrophy in hypertensive patients with varying correlation coefficients. This study aims to find out whether in normotensis subjects, blood pressure measured ambutatorically at 24 hours has affected the left ventricular mass index. To determine the correlation between blood pressure both casually and ambulatory 24 hours with the left ventricular mass index in normotensis subjects, a study has been conducted at RSJHK on 42 employees in the field of administration of RSJHK. All subjects included normotensis to casual measurements. Three of them were excluded due to valve abnormalities, and interference with the 24-hour ambulatory examination so they were not eligible for analysis. The research subjects were all male, aged 37.81 ± 4.65 years. The research was conducted in the period from November 1997 to July 1998. Data collection is carried out prospectively "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Nabilah Johan
"Sistem kardiovaskular pada lansia mengalami perubahan secara fisiologis selama proses penuaan. Namun, gaya hidup lansia yang kurang sehat menjadi faktor pendukung terjadinya peningkatan tekanan darah secara progresif, yang dapat mengarah pada masalah hipertensi. Seorang lansia kelolaan dalam penulisan ini memiliki gaya hidup merokok dan stres, serta tidak patuh pada program pengobatan yang membuat tekanan darahnya mengalami fluktuasi. Sehingga masalah keperawatan utama yang ditegakan adalah risiko ketidakstabilan tekanan darah dan rencana asuhan keperawatan yang dipilih yaitu manajemen hipertensi melalui modifikasi gaya hidup. Intervensi unggulan cucumber infused water dan terapi slow deep breathing yang merupakan bagian dari modifikasi gaya hidup dilakukan pada pasien. Cucumber infused water melalui perendaman 12 potong mentimun dalam 200 ml air selama 12 jam dan terapi slow deep breathing dengan 6 napas per menit selama 15 menit yang dilakukan selama 12 hari memberikan hasil adanya penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik terjadi sebesar 4,17 mmHg dan 0,42 mmHg setelah penerapan intervensi cucumber infused water serta sebesar 4,67 mmHg dan 2,75 mmHg setelah penerapan intervensi slow deep breathing. Oleh karena adanya efek penurunan pada tekanan darah lansia tersebut, membuat intervensi ini dapat dilakukan secara berkala sesuai indikasi.

The cardiovascular system in elderly undergoes physiological changes during the aging process. However, the unhealthy lifestyle in elderly is a contributing factor to the progressive increase in blood pressure, which can lead to hypertension problems. An elderly managed in this paper has a smoking and stressful lifestyle, and doesn’t comply with a treatment program that makes his blood pressure fluctuate. So that the main nursing problem that is enforced is the risk of blood pressure instability and the chosen nursing care plan is hypertension management through lifestyle modification. The superior intervention of cucumber infused water and slow deep breathing therapy which is part of lifestyle modification is carried out on the patient. Cucumber infused water through soaking 12 pieces of cucumber in 200 ml of water for 12 hours and slow deep breathing therapy with 6 breaths per minute for 15 minutes for 12 days gave the results of lowering blood pressure. The decrease in systolic and diastolic blood pressure occurred by 4.17 mmHg and 0.42 mmHg after the implementation of the cucumber infused water intervention and 4.67 mmHg and 2.75 mmHg after the implementation of the slow deep breathing intervention. Because of the decreasing effect on the elderly's blood pressure, this intervention can be carried out periodically according to indications."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Christin Natalia
"Hipertensi adalah penyakit degeneratif yang salah satu faktor penyebabnya adalah penuaan. Penuaan dapat dipicu oleh stres oksidatif, yang mana merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan RONS (reactive oxygen-nitrogen species). Antioksidan di dalam tubuh ada banyak, salah satunya adalah enzim katalase. Enzim katalase berperan dalam mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara enzim katalase dengan penyakit degeneratif, dalam hal ini adalah hipertensi. Sampel yang digunakan berjumlah 94 sampel. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross-sectional. Data yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan aktivitas enzim katalase eritrosit. Aktivitas enzim katalase didapatkan dari lisat eritrosit sampel dengan bantuan spektrofotometer yang mana perhitungan absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. Keseluruhan data kemudian dianalisis korelasinya menggunakan Uji Korelasi Pearson karena distribusi keseluruhan data normal. Uji T-test juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok sampel hipertensi dan normotensi. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik dan diastolik populasi lansia secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, ditemukan korelasi lemah pada hubungan antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik kelompok populasi normotensi, juga antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah diastolik kelompok populasi hipertensi (p<0,05). Hasil uji T-test menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok hipertensi dan normotensi (p>0,05). Aktivitas enzim katalase eritrosit berkorelasi lemah dengan tekanan darah sistolik pada kelompok populasi lansia dengan normotensi, juga dengan tekanan darah diastolik pada kelompok populasi lansia dengan hipertensi.

Hypertension is a degenerative disease which one of the causes being aging. Aging can be triggered by oxidative stress, which is an imbalance between antioxidants and RONS (reactive oxygen-nitrogen species). There are many antioxidants in the body, one of which is the enzyme catalase. Catalase enzyme plays a role in converting hydrogen peroxide into water. Previously, there was no known relationship between the catalase enzyme and degenerative diseases, in this case hypertension. The sample used is 94 samples. The research was carried out using a cross-sectional method. The data needed are blood pressure and erythrocyte catalase enzyme activity. The activity of the catalase enzyme was obtained from the sample erythrocyte lysate with the help of a spectrophotometer where the absorbance calculation was carried out at a wavelength of 210 nm. The entire data was then analyzed for correlation using the Pearson Correlation Test because the overall data distribution was normal. T-test was also performed to see whether or not there was a difference between the mean values of the catalase enzyme activity data for the hypertensive and normotensive groups. There was no correlation between catalase enzyme activity and systolic and diastolic blood pressure in the elderly population as a whole (p>0.05). However, a weak correlation was found in the relationship between catalase enzyme activity and systolic blood pressure in the normotensive population group, as well as between catalase enzyme activity and diastolic blood pressure in the hypertensive population group (p<0.05). The results of the T-test showed that there was no significant difference between the mean values of the catalase enzyme activity data in the hypertension and normotensive groups (p>0.05). The activity of the erythrocyte catalase enzyme was weakly correlated with systolic blood pressure in the normotensive elderly population group, as well as with diastolic blood pressure in the elderly population group with hypertension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini
"Luka Bakar merupakan suatu kondisi dimana terjadi kerusakan integritas kulit yang dapat menimbulkan nyeri pada pasien. Perawatan luka yang dilakukan dapat menyebabkan nyeri ringan sampai berat. Dampak dari nyeri adalah pelepasan adrenalin yang berdampak pada peningkatan tekanan darah. Metode : menggunakan Quasi-experimental dengan Cross Over Design. Analisa data yang digunakan untuk data numerik skala nyeri pada kelompok kontrol dan intervensi menggunakan uji T berpasangan, sedangkan untuk tekanan darah pada responden yang tidak mendapatkan terapi musik dan yang mendapatkan terapi musik saat perawatan luka menggunakan uji Chi Square. Hasil : secara statistik terdapat perbedaan tingkat skala nyeri yang diberikan terapi musik saat perawatan luka dengan nyeri saat perawatan luka tanpa musik dengan (p=0,001), sedangkan untuk tekanan darah tidak ada pengaruh yang signifikan (p=0,057) . Simpulan : terapi musik dapat digunakan sebagai terapi penunjang saat dilakukan perawatan luka bakar.

Burns is a condition where the skin has damage and cause pain in patients. Wound care can cause unpleasant or painful feelings of pain intensity from mild to severe. The impact of pain is the release of adrenaline which can result in increased blood pressure. Methods: This study used a quasi-experimental with cross over design. Pain scale using the Numeric Pain Scale measuring tool, whereas blood pressure using spignomanometer. To compare the pain scale before being given music therapy and after given music therapy using paired t test analysis, for blood pressure using Chi square analysis. Results: Musical therapy gave a significant effect related to patient’s pain scale during wound care (p=0.001), while it has insignificant effect on blood pressure (p = 0,057). Conclusions: Musical therapy could be use as an adjuvant therapy when wound care is applied on burn patient."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T41942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Halim
"Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara masukan Ca, kadar ion Ca serum dengan tekanan darah primigravida dengan usia kehamilan 24, 32 dan 36 minggu dalam rangka poncegahan terjadinya Preeklampsia.
Tempat : Poliklinik Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan FKUI Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Bersalin Budi Kemuliaan.
Bahan dan Cara: Penelitian dilakukan pada wanita primigravida dengan usia kehamilan 24 minggu yang memenuhi kriteria. Mula-mula dikumpulkan data-data mengenai sosiodemografi dan pamoriksaan masukan Kalori, Protein, Ca, kadar ion Ca serum dan tekanan darah, kemudian pada usia kehamilan 28 minggu diperiksa tekanan darah, usia kehamilan 32 minggu masukan Kalori, Protein, Ca dan tekanan darah, akhirnya pada usia kehamilan 36 minggu diperiksa masukan Kalori, Protein, Ca, kadar ion Ca serum dan tekanan darah. Data karakteristik disajikan secara deskriptif, sedangkan analisis dilakukan dengan uji statistik t dan x2.
Hasil: Dari 86 subyek penelitian yang diteliti, rata-rata masukan Ca nya pada usia kehamilan 24, 32 dan 36 minggu lebih rendah dari AKO, masing-masing 63%,76% dan 63%, rata-rata kadar ion Ca serumnya pada usia kehamilan 24 dan 36 minggu, dalam batas normal, masing-masing 1,06 dan 1,05 mmol/l, 7 orang (8,1%) menderita Preeklampsia. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara Preeklampsia dengan variabel yang diteliti yaitu umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, status gizi, masukan Ca dan kadar ion Ca serum.
Kesimpulan: Masukan Ca dan kadar ion Ca serum tidak ada hubungan bermakna dengan terjadinya Preeklampsia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Putu Wilandari Dewi, auhthor
"Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan, salah satunya dapat mengakibatkan kenaikan tekanan darah dan apabila terjadi terus menerus akan berakibat pada hipertensi. Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan yang serius saat ini, dimana 27,5% penduduk di Indondesia menderita hipertensi. Kasus hipertensi di DKI Jakarta terbanyak terdapat di Wilayah Jakarta Timur yaitu 75.099 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sesudah kerja pada pekerja di PT. Sanggar Sarana Baja Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dengan jumlah sampel 196 orang.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara umur (5,97; 3,03–11,76) dan kebiasaan merokok (5,85; 2,91–11,77) dengan kejadian peningkatan tekanan darah. Besar risiko yang dialami oleh pekerja yang berumur > 40 tahun dan memiliki kebiasaan merokok dalam satu hari > 2 batang untuk mengalami kejadian peningkatan tekanan darah adalah 7,87 kali dibandingkan dengan pekerja yang berumur ≤ 40 tahun dan memiliki kebiasaan merokok dalam satu hari ≤ 2 batang.

Noise is unwanted sound and can cause health problems, one of which can result in increased blood pressure and the event will continue to result in hypertension. Hypertension is one of the non-communicable diseases are a serious health problem today, where 27,5% of the population suffers from hypertension in Indondesia. Cases of hypertension in Jakarta are the highest in the East Jakarta District 75.099 cases. This study aims to analyze the risk factors associated with increased blood pressure after work on workers at PT. Sanggar Sarana Baja in 2013. This study uses cross-sectional design with a sample of 196 people.
The results showed a significant relationship between age (5,97; 3,03-11,76) and smoking (5,85; 2,91-11,77) with an increased incidence of blood pressure. Major risks faced by workers aged > 40 years and have a habit of smoking in one day > 2 sticks to experience an increased incidence of blood pressure was 7,87 times compared with workers aged ≤ 40 years and has a habit of smoking in one day ≤ 2 sticks.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Mario
"ABSTRAK
Latar belakang Pasien penurunan kesadaran merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat IGD Penilaian awal diperlukan untuk memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai kemungkinan yang akan terjadi dan membantu keluarga dalam pengambilan keputusan GCS telah menjadi salah satu penilaian yang digunakan untuk menilai luaran pasien penurunan kesadaran tetapi dinilai masih kurang dalam memprediksi luaran yang terjadi Penelitian ini bertujuan untuk menilai gabungan GCS tekanan darah sistolik dan umur dapat memprediksi luaran pasien penurunan kesadaran Metode Penelitian ini merupakan studi observasional kohort retrospektif 76 pasien penurunan kesadaran yang datang ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Peneliti melakukan pencatatan penilaian Glasgow Coma Scale GCS tekanan darah sistolik dan umur saat pasien diperiksa di triase Luaran dinilai setelah dua minggu pasca kedatangan di IGD Hasil Hasil analisis bivariat pada GCS dan umur memperoleh hasil berbeda bermakna antara pasien kelompok luaran buruk dengan kelompok luaran baik p.
ABSTRACT
Background Patients loss of consciousness is one case that is often encountered in the Emergency Room ER The initial assessment is required to provide information to the patient 39 s family about the possibility that will happen and help families in decision making GCS has become one assessment used to assess outcomes of patients with loss of consciousness but is insufficient in predicting the outcome of some cases This study aims to assess the combined GCS systolic blood pressure and age can predict the outcome of patients with loss of consciousness Methods This was a retrospective cohort observational study 76 patients with loss of consciousness that comes into the ER RSUPN Cipto Mangunkusumo Researchers conducted the recording of the Glasgow Coma Scale GCS systolic blood pressure and age when patients checked in triage Outcomes assessed after two weeks after arrival in the emergency room Results The results of the bivariate analysis on the GCS and ages get results significantly different between patients with poor outcome group with good outcome group p ."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Palmer, Anna
Jakarta: Erlangga, 2007
616.132 PAL t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>