Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197153 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Nugroho
"Latar Belakang: Melanoma konjungtiva adalah keganasan konjungtiva yang jarang dijumpai, namun berpotensi agresif. Rekurensi melanoma konjungtiva pada kasus melanoma konjungtiva mencapai 40% disertai persentase mortalitas yang tinggi (18%). Aktivitas mitosis dan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) Ki-67 sebagai penanda proliferasi memiliki potensi sebagai prediktor prognosis kondisi ini. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi pada melanoma konjungtiva yaitu lokasi tumor, invasi lokal, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), rekurensi, metastasis jauh, tipe sel, invasi limfovaskular, dan penyebaran pagetoid. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data rekam medis dan blok parafin pasien melanoma konjungtiva di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2013 – Desember 2023. Sampel dikaji ulang dan dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) serta pulasan IHK menggunakan antibodi Ki-67. Hasil hitung mitosis dan ekspresi Ki-67 selanjutnya dicek silang dengan faktor-faktor prognosis lain yang ditemukan dari rekam medis dan sampel yang diuji. Kemudian dilakukan analisis statistik untuk mengetahui hubungan keduanya. Hasil: Didapatkan 34 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi yang diuji (p>0.05). Mayoritas pasien melanoma konjungtiva pada penelitian ini memiliki aktivitas mitosis tinggi (85.3%), temuan ini melebihi persentase proporsi pada penelitian-penelitian sebelumnya. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara aktivitas mitosis dan ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis buruk klinis dan histopatologi pada pasien melanoma konjungtiva. Terdapat ketimpangan proporsi populasi berupa ditemukannya hampir seluruh pasien dengan aktivitas mitosis tinggi.

Background: Conjunctival melanoma is a rare but potentially aggressive conjunctival malignancy. Local recurrence of conjunctival melanoma cases reaches 40% with a high mortality rate (18%). Mitotic activity and Ki-67 immunohistochemistry (IHC) staining expression as proliferation markers can predict this condition's prognosis. This study aims to assess the association between mitotic activity and Ki-67 expression with clinical and histopathological prognostic factors in conjunctival melanoma, namely tumor location, local invasion, lymph node involvement, recurrence, distant metastasis, cell type, lymphovascular invasion, and pagetoid spread. Methods: This study was conducted using data from medical records and paraffin blocks of conjunctival melanoma patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 - December 2023. Samples were reviewed, hematoxylin-eosin (HE) stained, and IHC stained using Ki-67 antibody. The mitotic count and Ki-67 expression results were then cross-checked with established prognostic factors. Then, statistical analysis was performed to determine the association between these two. Results: 34 research samples met the inclusion and exclusion criteria. There was no statistically significant association between mitotic activity and Ki-67 expression with the clinical and histopathological prognostic factors tested (p>0.05). Most conjunctival melanoma patients in this study had high mitotic activity (85.3%); this finding exceeds the percentage proportion in previous studies.Conclusion: In conjunctival melanoma patients, there was no statistically significant association between mitotic activity and Ki-67 expression with poor clinical and histopathological prognostic factors. There was an imbalance in the population proportion in the form of almost all patients with high mitotic activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Theodorus Suwendi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efek pajanan suhu lingkungan terhadap proliferasi sel dan derajat nekrosis dari adenokarsinoma mammae Pada penelitian true experimental parallel design ini mencit mencit yang telah ditransplantasikan dengan adenokarsinoma mammae dibagi menjadi empat grup dengan masing masing grup dipajankan temperatur lingkungan dengan satu dari beberapa rentang suhu tertentu 20 220C 25 270C 32 340C dan 37 390C selama enam jam hari selama dua minggu Grup temperatur 37 390C dieksklusi karena semua subjek pada grup ini mati Analisis sampel berdasarkan metode AgNOR HE Dari hasil analisis AgNOR ditemukan terdapat perbedaan signifikan dalam hal respon proliferasi sel antara ketiga grup temperatur ANOVA p mAgNOR 0 000 p pAgNOR 0 000 Grup temperatur 32 340C menunjukkan respon proliferasi sel yang lebih besar dibandingkan dengan grup temperatur 20 220C Namun analisis HE gagal menunjukkan perbedaan signifikansi dalam hal respon derajat nekrosis antara ketiga grup temperatur nilai tes Mann Whitne Asymp Sig 2 tailed antara grup temperatur 20 220C dan kontrol 25 270C 0 241 dan nilai tes Mann Whitney Asymp Sig 2 tailed antara grup temperatur 32 340C dan kontrol 0 575 Studi AgNOR menunjukkan bahwa respon proliferasi sel adenokarsinoma mammae memiliki korelasi positif terhadap rentang temperatur Di lain pihak studi HE tidak menunjukkan adanya pengaruh temperatur terhadap derajat nekrosis adenokarsinoma mammae pada mencit

This research focuses on identifying the effect of environmental temperature exposure on cell proliferation & degree of necrosis of adenocarcinoma mammae. True experimental design (parallel) research was conducted in which the subjects (mice that have been transplanted with adenocarcinoma mammae) were divided into 4 groups with each group was exposed for 2 weeks (6 hours/day) to a environmental temperature of certain range; 20-220C, 25-270C, 32-340C, & 37-390C. In the process, the last group was excluded since all of the subjects in this group died. Sample analysis based on AgNOR & HE method was then done. From the AgNOR study, it was found that there is a significant difference in cell proliferation response between the remaining three temperature groups (ANOVA: p mAgNOR = 0.000; p pAgNOR = 0.000). The high temperature group (32-340C) shows greater cell proliferation compared to the low temperature group (20-220C). However, HE study failed to show significance in the necrosis response between the three temperature groups (Mann Whitney Test: Asymp. Sig (2-tailed) value between low & control group = 0.241; Asymp. Sig (2-tailed) value between control & high temp group = 0.575). In summary, AgNOR study shows that cell proliferation response in adenocarcinoma mammae shows a positive correlation with the temperature ranges. In contrast, HE study shows that temperature of any range has no effect on the degree of necrosis in mice with adenocarcinoma mammae.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wa Ode Zulhulaifah
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor proliferasi sel sebagai peyebab ketidaksiapan endometrium untuk implantasi setelah pemberian berbagai dosis rekombinan FSH (rFSH) dengan melihat tingkat ekspresi FSH-Reseptor (FSHR) dan ekspresi protein KI-67. Sampel penelitian ini adalah bahan biologi tersimpan (BBT) dari jaringan endometrium Macaca nemestrina. Total sampel 15, sampel terdiri dari tiga kelompok yang diberikan GnRH agonis dosis tetap dan rFSH dengan dosis stimulasi berbeda, yaitu 30IU, 50IU, dan 70IU dan satu kelompok kontrol. Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara berbagai dosis rFSH yang diberikan dengan ekspresi FSHR dan ekspresi protein Ki67 pada sel endometrium Macaca nemestrina. Tingkat ekspresi FSHR dan ekspresi Ki67 ditemukan tidak berkorelasi siginifikan. Dosis rFSH yang lebih tinggi tidak menurunkan ekspresi FSHR dan Ki67 serta tidak terdapat korelasi antara ekspresi FSHR dengan ekspresi Ki67.

This study was conducted to look at cell proliferation factors as causes of endometrial unpreparedness for implantation after administration of various recombinant FSH doses (rFSH) by looking at FSH-receptor (FSHR) expression and expression of KI-67 proteins. The study sample was stored biological material (SBM) from endometrial tissue of Macaca nemestrina. The total sample was 15, the sample consisted of three groups given fixed-dose GnRH agonists and different stimulation doses, namely 30IU, 50IU, and 70IU and one control group. we found not significantly different between various doses of rFSH with FSHR and Ki67 expression in endometrial tissue Macaca nemestrina. We found not correlation significantly between FSHR expression and Ki67 Expression endometrial tissue Macaca nemestrina. Higher rFSH doses did not reduce FSHR expression and Ki67 and there was no correlation between FSHR expression and Ki67 expression."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Adli Aulia Fattah
"Kanker kulit termasuk salah satu kanker dengan kasus terbanyak di seluruh dunia dan menjadi penyebab kematian terbanyak adalah kanker kulit melanoma. Pendeteksian dan diagnosis dini berhasil meningkatkan angka survival rate untuk melanoma tingkat awal sebesar 95%. Oleh karena itu, analisis gambar medis sangat penting dalam upaya pengobatan penyakit kulit sedini mungkin. Cara pendeteksiaan saat ini yang menggunakan metode manual masih kurang handal dan memakan banyak waktu. Adanya pengembangan teknologi deep learning dan computer vision dapat membantu dokter dalam melakukan segmentasi lesi kulit dengan lebih cepat dan akurat. Penelitian ini mengusulkan penggunaan arsitektur Recurrent Residual U-Net (R2U-Net) dalam melakukan tugas segmentasi lesi kulit. Arsitektur ini menggunakan recurrent residual block yang terinspirasi dari residual connection dan Recurrent Convolutional Layer (RCL) ke dalam arsitektur berbasis U-Net. Unit residual dengan RCL membantu mengembangkan model lebih dalam yang efisien. Dataset yang digunakan pada penelitian ini adalah dataset yang berasal dari International Skin Imaging Collaboration (ISIC) 2018. Penelitian ini berhasil meningkatkan kinerja model dalam memprediksi segmentasi lesi kulit pada nilai Dice Similarity Coefficient (DSC), jaccard index, akurasi, sensitivitas, spesifisitas, dan presisi masing-masing sebesar 88,16%, 79,03%, 94,07%, 87,25%, 96,98%, dan 89,50%, dengan rata-rata kenaikan sebesar 2,4%.

Skin cancer is one of the most common cancers in the world and the leading cause of death is melanoma. Early detection and diagnosis can increase the survival rate for early-stage melanoma by 95%. Therefore, analysis of medical images is very important in efforts to treat skin diseases as early as possible. The current detection method that uses the manual method is still less reliable and takes a lot of time. The development of deep learning technology and computer vision can assist doctors in segmenting skin lesions more quickly and accurately. This study proposes the use of the Recurrent Residual U-Net (R2U-Net) architecture in performing the task of segmenting skin lesions. This architecture uses a recurrent residual block inspired by the residual connection and recurrent convolutional layer (RCL) in a U-Net-based architecture. Residual units with RCL help develop efficient deeper models. The dataset used in this study is a dataset from the International Skin Imaging Collaboration (ISIC) 2018. This research succeeded in improving the model's performance in predicting skin lesion segmentation on the Dice Similarity Coefficient (DSC), jaccard index, accuracy, sensitivity, specificity, and precision values of each respectively 88.16%, 79.03%, 94.07%, 87.25%, 96.98%, and 89.50%, with an average increase of 2.4%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Dinda Shezaria Hardy
"Potensi pemanfaatan sel punca mesenkimal dan conditioned medium dalam pengobatan terapi yang tinggi harus diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai. Umumnya menggunakan metode kultur statis (2D), namun produksinya sangat terbatas. Metode kultur dinamis (3D) menggunakan stirred bioreactor merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk meningkatkan produksi sel punca dalam skala besar. Selama proses kultur sel, conditioned medium kultur mengandung faktor tumbuh dan sitokin yang disekresikan oleh sel punca mesenkimal. Salah satu sitokin yang disekresikan ialah TGF-β. Sitokin TGF-β berperan penting dalam proliferasi, diferensiasi, dan proses seluler lainnya. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menjelaskan tentang pengaruh kultur statis (2D) dan kultur dinamis (3D) terhadap proliferasi sel, total protein conditioned medium dan kadar sekresi sitokin TGF-β pada sel punca mesenkimal asal tali pusat yang dikultur dalam medium alpha-MEM dan disuplementasi 10% thrombocyte concentrated. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui pengaruh kultur statis (2D) dan kultur dinamis (3D) terhadap proliferasi sel, kadar total protein conditioned medium, dan sitokin TGF-β pada sel punca mesenkimal asal tali pusat. Penelitian yang dilakukan mencakup proses kultur sel, uji Bradford, Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), dan uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan kultur dinamis (3D) dapat memproduksi sel dalam skala besar namun memiliki laju proliferasi yang lebih lama dibandingkan dengan kultur statis (2D). Produksi kadar total protein conditioned medium mengalami fluktuasi, namun secara keseluruhan kultur dinamis (3D) mampu memproduksi dalam skala besar, dan terdapat sekresi sitokin TGF-β oleh sel punca mesenkimal dari kedua metode kultur, namun masih membutuhkan uji lanjutan untuk memastikan bahwa sel pada kultur dinamis (3D) mensekresi sitokin TGF-β lebih banyak

The high potential of mesenchymal and conditioned medium stem cell utilization in therapeutic treatment should be balanced with an adequate increase in production. Generally using static culture method (2D), but production is very limited. Dynamic culture (3D) method using stirred bioreactor is one of the right choices to increase the production of stem cells on a large scale. During the cell culture process, the conditioned culture medium contains growth factors and cytokines secreted by mesenchymal stem cells. One of the cytokines secreted is TGF-β. The TGF-β cytokine plays an important role in proliferation, differentiation, and other cellular processes. Until now there has been no research that explains the effect of static (2D) and dynamic (3D) culture on cell proliferation, total protein conditioned medium and levels of secretion of cytokines TGF-β in mesenchymal stem cells from umbilical cord cultured in alpha-MEM medium and 10% concentrated thrombocyte supplementation. The purpose of this study was to determine the effect of static culture (2D) and dynamic culture (3D) on cell proliferation, levels of total protein in conditioned medium, and cytokine TGF-β in mesenchymal stem cells from the umbilical cord. The research conducted included cell culture process, Bradford test, Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), and Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) test. This study shows that the use of dynamic culture (3D) can produce cells on a large scale but has a longer proliferation rate than static culture (2D). The total protein content of the conditioned medium fluctuates, but overall dynamic (3D) culture is capable of large-scale production, and there is secretion of the cytokine TGF-β by mesenchymal stem cells from both culture methods, however, further tests are still needed to confirm that the cells in culture dynamic (3D) secretes more of the cytokine TGF-β."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cicia Firakania
"Proliferasi sel merupakan peningkatan dalam jumlah sel sebagai hasil dari pertumbuhan dan pembelahan sel. Selain terjadi pada sel normal pembelahan sel juga terjadi pada sel kanker yang ditandai dengan proliferasi tak terkendali. Banyak di antara penghambatan proliferasi dilakukan dengan cara menghambat sintesis DNA, yaitu mengintervensi pembentukan basa nukleotida purin atau pirimidin. Mengingat dalam sintesis purin de novo terdapat peran biotin yang merupakan koenzim dalam proses karboksilasi, maka penambahan avidin diduga kuat dapat mengikat biotin dengan afinitas yang sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi avidin dalam kemampuannya mengikat botin untuk menghambat mitosis. Pada penelitian ini SMDT dikultur dalam medium yang distimulasi oleh PHA, IL-2, serta PHA dan IL-2 dengan dan tanpa avidin. Efek dari penambahan avidin ini dilihat pada jam-jam tertentu dan dilakukan analisis terhadap proliferasi, viabilitas, serta siklus sel. Berdasarkan hasil penelitian, avidin menghambat proliferasi SMDT serta menurunkan viabilitas SMDT baik pada kultur yang distimulasi PHA maupun pada kultur yang distimulasi PHA dan IL-2. Penambahan avidin juga menghambat masuknya progresi SMDT yang dikultur selama 72 jam dari fase G0/G1 ke fase S. Penelitian ini menunjukkan bahwa avidin dapat mengikat biotin yang ada dalam medium sehingga proliferasi sel menjadi terhambat.

Cell proliferation is the increment of cell number as a result of cell growth and cell division. Cell division occurs not only in normal cells but also in cancer cells which undergo uncontrolled cell division. Most of the cell proliferation inhibition was done by inhibiting the DNA synthesis by which intervening the formation of purine or pyrimidine nucleotide bases. Considering the role of biotin in purine de novo synthesis as a coenzyme in the carboxylation reaction, it was assumed that avidin can bind biotin with very high affinity. The aim of this research is to study the potential of avidin to bind biotin for inhibit mitosis. In this study PBMC was cultured in a medium that stimulated by PHA, IL-2, PHA and IL-2 with and without avidin. The effect of the addition of avidin was observed at certain hours for the analysis of proliferation, viability, and cell cycle. This study suggest that avidin inhibits proliferation and decreases viability of PBMC both of PBMC stimulated by PHA and stimulated by PHA and IL-2. The addition of avidin also inhibits the entry of progression of PBMC when cultured for 72 hours from phase G0/G1 to S phase. Based on these data, we propose that avidin might bind extracellular biotin in the medium therefore the cell proliferation was inhibited.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Rahmiyati
"Hem merupakan komponen penyusun hemoprotein, salah satunya yaitu sitoglobin. Sitoglobin diketahui memegang peranan dalam perkembangan kanker. Saat ini, belum diketahui peran hambatan hem terhadap ekspresi CYGB pada sel lini sel kanker hati, HepG2 Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan penghambatan hem dalam mencegah proliferasi sel HepG2. Penghambatan hem dilakukan dengan menggunakan suksinil aseton.  Analisis aktivitas enzim ALAD diukur secara kolorimetrik. Analisis viabilitas dan proliferasi (doubling time) dilakukan dengan menggunakan MTT assay. Analisis ekspresi mRNA CYGB dilakukan dengan qRT-PCR. Ekspresi protein CYGB dianalisis dengan ELISA. Hasil yang diperoleh adalah hambatan sintesis hem pada sel HepG2 dengan menggunakan suksinil aseton berhasil dilakukan. Penurunan sintesis hem berdampak pada menurunnya ekspresi CYGB baik tingkat mRNA maupun protein. Viabilitas dan proliferasi sel HepG2 menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi suksinil aseton. Sebagai kesimpulan, pemberian suksinil aseton mampu menghambat sintesis hem karena menekan ekspresi CYGB yang berdampak pada penurunan viabilitas dan proliferasi sel HepG2.

Hem is a component of hemoprotein, one of which is cytogloblin. Cytoglobin is known to play a role in cancer development. Currently, the role of heme inhibitors on CYGB expression in the liver cancer cell line, HepG2, is unknown. This study aims to see the ability of heme inhibition in preventing HepG2 cell proliferation. Hem inhibition was carried out using succinyl acetone. Analysis of ALAD enzyme activity was measured colorimetrically. Viability and proliferation (doubling time) analyzes were performed using the MTT assay. Analysis of CYGB mRNA expression was performed by qRT-PCR. CYGB protein expression was analyzed by ELISA. The results obtained were thatinhibition of hem synthesis in HepG2 cells using succinyl acetone was successfully carried out. Decreased heme synthesis resulted in decreased CYGB expression both at the mRNA and protein levels. HepG2 cell viability and proliferation decreased with increasing succinyl acetone concentration. In conclusion, succinyl acetone was able to inhibit hem synthesis cause it suppressed CYGB expression which had an impact on reducing the viability and proliferation of HepG2 cells."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Fitriana Sholikhah
"Latar Belakang: Sel punca hematopoietik perlu dikultur guna memperbanyak sel untuk kepentingan transplantasi sumsum tulang. Diperlukan medium kultur dengan serum yang berasal dari manusia. Akan tetapi, belum ada penelitian mengenai subtitusi suplementasi medium kultur dengan kombinasi Platelet-rich Plasma (PRP) dan Human Serum Albumin (HSA).
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kombinasi PRP dan HSA sebagai suplementasi medium kultur terhadap proliferasi dan kepuncaan sel punca hematopoietik.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental in vitro. Sampel yang digunakan adalah sel CD34+ yang diisolasi dari darah tali pusat. Sel dikultur dengan pengulangan dua kali menggunakan medium komplit serta penambahan suplementasi kontrol berupa serum darah tali pusat dan perlakuan berupa beberapa kombinasi PRP dan HSA. Pemeriksaan FACS dan perhitungan sel dilakukan pada hari ke-0 dan 7, morfologi diamati di hari ke-1, 3, 5, dan 7. Pewarnaan giemsa dilakukan di hari ke-7 untuk melihat perubahan morfologi sel.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan penurunan jumlah sel di hari ke-7 bila dibandingkan dengan jumlah sel pada hari ke-0. Hal ini terjadi pada seluruh kelompok dengan penurunan paling rendah terjadi pada suplementasi PRP 15% + HSA 5%, yaitu sebanyak 15%. Hasil flow cytometry menunjukkan penurunan persentase sel CD34+ pasca kultur 7 hari yang terjadi pada semua kelompok. Penurunan paling rendah terjadi pada suplementasi PRP 15% + HSA 3%, yaitu sebesar 69,5%. Hasil pewarnaan giemsa menunjukkan ditemukannya sel yang terwarna dan memiliki morfologi menyerupai metarubrisit.
Kesimpulan: Pada penelitian ini, kombinasi PRP dan HSA pada kultur sel punca hematopoietic tidak meningkatkan proliferasi dan ekspresi sel CD34+. Suplementasi PRP 15% + HSA 5% pada medium kultur sel menunjukkan efek paling baik terhadap jumlah sel dan ekspresi CD34+ dibandingkan kelompok lain. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme yang mendasarinya.
Background: Hematopoietic stem cells need to be cultured to multiply cells for bone marrow transplantation purposes. A culture medium with human-derived serum is required. However, there has been no study on the substitution of culture medium supplementation with Platelet-rich Plasma (PRP) and Human Serum Albumin (HAS) combination.
Objective: This study aims to observe the effect of PRP and HSA combination as a culture medium supplementation on the proliferation and stemness of hematopoietic stem cells.
Methods: This study uses an in vitro experimental design. The sample used was CD34+ cells isolated from umbilical cord blood. Cells were cultured with two repetitions using complete medium and the addition of control supplementation in the form of cord blood serum and treatment in the form of several combinations of PRP and HSA. FACS examination and cell count were carried out on days 0 and 7, morphology was observed on days 1, 3, 5, and 7. Giemsa staining was done on the 7th day to see the change of cell morphology.
Result: The results showed a decrease in the number of cells on day 7 compared to the number of cells on day 0. This occurred in all groups with the lowest decrease occurring at 15% PRP supplementation + 5% HSA, which was as much as 15%. The flow cytometry results showed a decrease in the percentage of CD34 + cells after 7 days of culture that occurred in all groups. The lowest decrease occurred at 15% PRP supplementation + 3% HSA, which was 69.5%. Giemsa staining results show the discovery of cells that are colored and have a metarubrisite-like morphology.
Conclusion: In this study, the combination of PRP and HSA in hematopoietic stem cell culture does not increase proliferation and expression of CD34+. PRP 15% + HSA 5% supplementation showed the best effect on cell count and CD34+ expression compared to other groups. Hence, further research is needed to find out the underlying mechanism."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Syazili Mustofa
"Penghambatan proliferasi sel diaplikasikan dalam berbagai bidang kedokteran. Banyak di antara penghambatan proliferasi dilakukan dengan cara menghambat sintesis DNA, yaitu mengintervensi pembentukan basa nukleotida purin atau pirimidin. Dalam sintesis purin de novo terdapat peran enzim anhidrase karbonat yang merupakan pemasok CO2 dalam proses karboksilasi. Penghambatan enzim anhidrase karbonat diduga kuat dapat menghambat proliferasi. Pada penelitian ini model proliferasi sel adalah SMDT yang distimulasi dengan PHA, IL-2, serta PHA dan IL-2. Penghambat enzim anhdirase karbonat yang digunakan adalah asetazolamid. Dilakukan analisis efek pemberian asetazolamid pada saat puncak sintesis DNA sel, puncak viabilitas sel, serta analisis terhadap siklus sel. Hasil penelitian ini, asetozolamid menghambat sintesis DNA serta menurunkan viabilitas SMDT yang distimulasi PHA dan IL-2. Terjadi hambatan masuknya progresi SMDT dari fase G0/G1 ke fase S. Penelitian ini menunjukkan bahwa penghambatan enzim anhidrase karbonat dapat menyebabkan hambatan proliferasi sel.

Inhibition of cells proliferation are widely used in various medical fields. Most of cell proliferation inhibition can be done by inhibiting the DNA synthesis, notably by intervening the formation of purine or pyrimidine. In purine de novo synthesis, it was assumed that CO2 plays a role as a source of carbon in carboxylation reaction, one of the pivotal steps in the purine de novo pathways. The aim of this study was to see the acetazolamide potency to inhibit carboxylation reaction. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) was cultured in RPMI-1640 medium and stimulated by phytohemagglutinin (PHA) and interleukin-2 (IL-2), with or without acetazolamide. The effect of acetazolamide addition was observed at the peak of cell proliferation, cells viability, and cell cycle. Statistical analysis was done by one-way ANOVA. Acetazolamide inhibited cell proliferation and viability in PBMC culture stimulated by PHA and IL-2. Cell cycle analysis showed that acetazolamide arrested the progression of PBMC in G0/G1 phase. Inhibition of CO2 production by acetazolamide inhibitory effect to carbonic anhydrase can halt cell proliferation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>