Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riki Alkamdani
"Latar belakang: Diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak sulit ditegakkan karena gejala tidak khas dan sulit memperoleh sampel sputum. Pemeriksaan antigen lipoarabinomannan (LAM) urin telah direkomendasikan oleh WHO. Namun, penelitian pada anak tanpa HIV di Indonesia masih sangat terbatas. Mengingat kesulitan dalam mendapatkan sampel sputum pada anak tanpa HIV, diperlukan metode diagnostik non-sputum yang mudah dilakukan, memberikan hasil cepat, serta dapat diterapkan langsung di lokasi pasien (point-of-care testing atau POCT).
Tujuan: Menilai dan membandingkan akurasi diagnostik dua alat deteksi LAM urin yaitu Abbott Determine TB LAMAg TM (Abbott LAM) dan Fujifilm SILVAMP TB LAM TM (Fuji LAM) untuk mendiagnosis TB pada anak.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan anak berusia 0 - 18 tahun dengan dugaan TB di tiga rumah sakit rujukan nasional. Data dikumpulkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pengambilan sampel urin menggunakan metode midstream atau urine collector. Sampel urin kemudian diperiksa menggunakan Abbott LAM dan Fuji LAM, lalu dibandingkan dengan standar diagnosis TB menurut Pedoman Kemenkes RI 2023 (TB klinis dan TB terkonfirmasi bakteriologis) serta standar pemeriksaan bakteriologis (GeneXpert®).
Hasil: Pada periode Oktober hingga Desember 2024, sebanyak 77 pasien dianalisis, dengan 18 pasien terkonfirmasi bakteriologis dan 22 pasien didiagnosis TB secara klinis.
Dibandingkan dengan alur diagnosis Kemenkes RI 2023 sebagai standar: Abbott LAM memiliki sensitivitas 52% dan spesifisitas 48,6%, Fuji LAM memiliki sensitivitas 22,5% dan spesifisitas 97,3%. Dibandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis sebagai standar: Sensitivitas dan spesifisitas Abbott LAM menurun menjadi 47,1% dan 42,5%, sensitivitas dan spesifisitas Fuji LAM meningkat menjadi 47% dan 97,5%.
Kesimpulan: Kedua alat memiliki sensitivitas yang lebih rendah dari standar minimal WHO (65%), sehingga tidak direkomendasikan untuk skrining atau diagnosis awal TB pada anak. Namun, Fuji LAM menunjukkan spesifisitas tinggi dan berpotensi menjadi alat diagnostik penguat dalam mendeteksi TB pada anak yang menunjukkan gejala, terutama bagi anak yang mengalami kesulitan dalam memperoleh sampel untuk pemeriksaan bakteriologis

Background: Diagnosing tuberculosis (TB) in children is challenging due to non-specific symptoms and difficulties in obtaining sputum samples. The World Health Organization (WHO) has recommended urinary lipoarabinomannan (LAM) antigen testing for TB detection. However, studies on HIV-negative children in Indonesia remain very limited. Given the challenges in obtaining sputum samples from HIV-negative children, a non-sputum diagnostic method that is easy to perform, provides rapid results, and can be implemented at the point of care (POCT) is needed.
Objective: To evaluate and compare the diagnostic accuracy of two urinary LAM detection tests, Abbott Determine TB LAM Ag™ (Abbott LAM) and Fujifilm SILVAMP TB LAM™ (Fuji LAM), for diagnosing TB in children.
Methods: This cross-sectional study involved children aged 0–18 years with suspected TB from three national referral hospitals. Data collection included medical history, physical examination, and urine sample collection using either the midstream method or a urine collector. Urine samples were tested using Abbott LAM and Fuji LAM, and results were compared with the 2023 Indonesian Ministry of Health TB diagnostic guidelines (clinical TB and bacteriologically confirmed TB) as well as the bacteriological testing standard (GeneXpert®).
Results: Between October and December 2024, a total of 77 patients were analyzed, including 18 bacteriologically confirmed TB cases and 22 clinically diagnosed TB cases. When compared to the 2023 Indonesian Ministry of Health TB diagnostic algorithm, Abbott LAM showed a sensitivity of 52% and specificity of 48.6%, while Fuji LAM had a sensitivity of 22.5% and specificity of 97.3%. When using bacteriological testing (GeneXpert®) as the reference standard, the sensitivity and specificity of Abbott LAM decreased to 47.1% and 42.5%, respectively, whereas Fuji LAM demonstrated improved performance with a sensitivity of 47% and specificity of 97.5%.
Conclusion: Both tests demonstrated lower sensitivity than the WHO-recommended minimum standard (65%), making them unsuitable for screening or initial TB diagnosis in children. However, Fuji LAM exhibited high specificity, suggesting that it may serve as a valuable additional diagnostic tool for children with TB symptoms who face challenges in providing sputum samples for bacteriological confirmation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Jihaan Nabila Budi
"Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan dapat menyerang paru-paru serta organ lainnya. Sesuai dengan ketentuan target product profiles (TPP) TB gagasan World Health Organization (WHO), diperlukan pengembangan alat tes cepat penunjang yang dapat mendeteksi berbagai jenis kasus TB menggunakan sampel alternatif, salah satunya berupa urine. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh informasi dasar terkait profil protein urine kelompok TB dan kelompok sehat melalui metode separasi protein sodium dodecyl sulphate- polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), sebagai langkah penelitian awal penentuan marka protein TB. Metode penelitian diawali dengan pooling sampel urine subjek terkonfirmasi TB Paru (5), TB Ekstra-paru (5), TB-HIV (5), dan TB Klinis (5), serta lima subjek sehat sesuai kelompok. Isolasi protein dan SDS-PAGE dilakukan terhadap pooling sampel tersebut, dilanjutkan dengan pewarnaan coomassie brilliant blue, serta analisis profil protein hasil SDS-PAGE menggunakan ImageJ. Profil protein kelompok sehat dan empat kelompok TB menunjukkan perbedaan jumlah dan intensitas pita protein yang terekspresi. Kelompok TB-HIV memiliki 12 pita protein terekspresi dengan intensitas pita protein yang tinggi dibandingkan dengan kelompok TB lain maupun kelompok sehat. Kelompok sehat hanya memiliki satu pita protein terekspresi pada kisaran berat molekul 66,01 kDa. Sementara, hampir seluruh kelompok TB menunjukkan keseragaman protein yang tampak pada kategori pita protein berberat molekul menengah dan rendah. Terdapat tiga pita protein yang memiliki keseragaman pada keempat profil kelompok TB dengan intensitas dan konsentrasi terestimasi yang cukup tinggi, yaitu pita dengan berat molekul 52,83±56,31kDa, 48kDa, dan 23,8±24,57kDa. Melalui metode SDS-PAGE, profil protein urine kelompok sehat dan kelompok TB dapat diamati dengan keseragaman pita terekspresi pada kelompok TB yang juga berpotensi dalam penemuan marka protein TB yang inklusif. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan langkah identifikasi protein pada pita protein yang memiliki keseragaman.

Tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis which can cause infection in lungs and various other organs. In accordance with the provisions from WHO TB target product profiles (TPP), it is necessary to develop a rapid test that could detect various types of TB cases using an alternative sample, urine. The aim of this study was to obtain basic information regarding urine protein profile of TB groups and the healthy group through SDS-PAGE protein separation method, as an initial research step to determine TB protein markers. This research begins with pooling urine samples of confirmed subjects with pulmonary TB (5), extra-pulmonary TB (5), TB-HIV (5), and clinical TB (5), as well as 5 healthy subjects according to groups, after isolation and protein separation using SDS-PAGE, gel was stained using Commassie Brilliant Blue dye, and the end results were analyzed using ImageJ. The urine protein profiles of the healthy group and the four TB groups showed differences in the number, intensity, and estimated concentration of the expressed protein bands. The TB-HIV group had high-intensity protein expression and was dominantly expressed in the low molecular weight category. The protein profile of TB groups showed uniformity in the intermediate and low molecular weight categories. There are three protein bands that have uniformity in the four profiles of the TB group with fairly high estimated intensity and concentration, namely bands with molecular weights of 52.83±56.31kDa, 48kDa, and 23.8±24.57kDa. Through the SDS-PAGE method, the urine protein profiles of the healthy and TB groups were successfully observed, and the uniformity of protein bands expressed in the TB group also has the potential for the discovery of inclusive TB protein markers. For further research, it is necessary to identify the protein band that has uniformity."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianing Latifah
"Latar Belakang: Rendahnya ketepatan kultur bakteriologis dan kurangnya fasilitas pencitraan terutama di daerah perifer, mendiagnosis meningitis tuberkulosis (MTB) pada anak menjadi suatu tantangan.
Tujuan: untuk membentuk sistem skor yang terdiri dari manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk membantu diagnosis MTB pada anak.
Metode: Studi retrospektif menggunakan model prediktif diagnostik multivariabel dengan anak usia 3 bulan hingga 18 tahun terdiagnosis meningitis, dirawat inap selama periode Juli 2011 hingga November 2021 di rumah sakit tersier.
Hasil: Dari 10 variabel yang memiliki signifikansi statistik dengan TBM, diperoleh 8 variabel untuk membangun model prediksi untuk mengidentifikasi TBM. Variabel ini dibagi menjadi dua bagian skoring yang keduanya memiliki diskriminasi dan kalibrasi yang baik, sistem skoring sistemik (4 parameter, batas nilai skor ³3, sensitivitas 78,8%, spesifisitas 86,6% dengan AUC 89,9% (p<0,001) ) dan sistem skoring neurologis (4 parameter, batas nilai skor ³2, sensitivitas 61,2%, spesifisitas 75,2% dengan AUC 73,3% (p<0,001). Sistem skoring ini bila digunakan bersamaan dan memenuhi batas nilai skor masing-masing, dapat memprediksi diagnosis TBM pada anak dengan baik (sensitivitas 47,1%, spesifisitas 95,1%, dan nilai prediksi positif 90,9%).
Kesimpulan: Sistem skoring klinis yang terdiri dari dua bagian, skor sistemik dan skor neurologis, memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi diagnosis TBM pada anak.

Due to the low accuracy of culture techniques in bacteriological confirmation and the lack of brain imaging facilities especially in peripheral areas, diagnosing tuberculous meningitis (TBM) in children become a challenge
Objective : to establish scoring systems consisting of clinical manifestations and simple laboratory examination to help diagnosing TBM in children.
Method: Retrospective study using a multivariable diagnostic predictive model with children diagnosed as meningitis aged 3 months to 18 years, hospitalized during July 2011 until November 2021 period in a tertiary hospital.
Result: From 10 variables that have statistical significance with TBM, 8 variables were obtained for establishing the predictive model to identify TBM. These variables divided into two scoring parts which both had good discrimination and calibration, the systemic scoring system (4 parameters, total cut-off score ³3, sensitivity of 78.8%, specificity of 86.6% with AUC of 89.9% (p<0.001)) and the neurological scoring system (4 parameters, total cut-off score ³2, sensitivity of 61.2%, specificity of 75.2% with AUC of 73.3% (p<0.001)). Furthermore, these scoring systems when used together and met the cut-off score respectively, can predict the diagnosis of TBM in children well (sensitivity 47.1%, specificity 95.1%, and positive predictive value 90.9%).
Conclusion: a clinical scoring systems consist of two parts, systemic score and neurological score, have good ability in predicting the diagnosis of TBM in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahira Andini
"Kendala utama dalam diagnosis penyakit tuberkulosis (TB) paru di Indonesia adalah sulitnya pengeluaran sputum sebagai spesimen diagnostik dari pengidap TB paru, terutama pada kelompok anak dan lansia. Pengembangan spesimen alternatif, seperti urine, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan notifikasi kasus TB paru pada subjek yang belum terdiagnosis secara optimal. Penelitian ini mengevaluasi potensi urine pada 60 sampel terkonfirmasi TB paru positif, sebagai studi kasus-kontrol dengan subjek yang memiliki kondisi target. Tujuan penelitian ini meliputi evaluasi multiplex polymerase chain reaction (PCR), untuk mendeteksi gen ESAT6, IS6110, dan MPT64, serta real-time PCR untuk deteksi gen ESAT6 dalam menunjang diagnosis TB paru. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan nilai sensitivitas masing-masing metode dan gen diagnostik yang digunakan. Metode penelitian meliputi preparasi sampel urine, isolasi DNA, kuantifikasi DNA, amplifikasi DNA (multiplex PCR dan real-time PCR), elektroforesis DNA, dan analisis data. Hasil evaluasi menunjukkan kemurnian total DNA yang diisolasi dari urine berdasarkan A260/A280   (Mean 3,08  SD 1,08). Evaluasi multiplex PCR dengan gen deteksi ESAT6, IS6110, dan MPT64 memberikan nilai sensitivitas sebesar 68,3% (41/60), dan real-time PCR dengan gen deteksi ESAT6 sebesar 71,67% (43/60). Nilai sensitivitas real-time PCR diperoleh dengan ketentuan limit of detection (LOD) sebesar 13,04 kopi/μl. Nilai sensitivitas kedua metode tersebut menunjukkan bahwa urine dapat menjadi spesimen alternatif untuk pendeteksian Mycobacterium tuberculosis (Mtb) secara molekuler.

The main obstacle in the diagnosis of pulmonary tuberculosis (TB) in Indonesia is the difficulty of extracting sputum, as a diagnostic specimen for people with pulmonary TB, especially in the group of children and the elderly. The development of alternative specimens, such as urine, is urgently needed to increase the notification of pulmonary TB cases in subjects who have not been diagnosed optimally. This study evaluated the urine potency of 60 samples of confirmed positive pulmonary TB, as a case-control study with subjects with the target condition. The objectives of this study include the evaluation of multiplex polymerase chain reaction (PCR), to detect the ESAT6, IS6110, and MPT64 genes, as well as real-time PCR to detect the ESAT6 gene in supporting the diagnosis of pulmonary TB. In addition, this study is expected to describe the sensitivity value of each diagnostic method and gene used. Research methods include urine sample preparation, DNA isolation, DNA quantification, DNA amplification (multiplex PCR and real-time PCR), DNA electrophoresis, and data analysis. The evaluation results showed the total purity of DNA isolated from urine based on A260/A280   (Mean 3,08  SD 1.08). Evaluation of multiplex PCR with ESAT6, IS6110, and MPT64 detection genes gave a sensitivity value of 68,3% (41/60), and real-time PCR with ESAT6 detection genes of 71,67% (43/60). Real-time PCR sensitivity value was obtained with the limit of detection (LOD) of 13,04 copies/μl. The sensitivity values of both methods indicate that urine can be an alternative specimen for molecular detection of Mycobacterium tuberculosis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Velanie Frida
"Latar belakang: Malnutrisi merupakan masalah utama di negara berkembang dan menimbulkan banyak implikasi dalam tumbuh kembang anak. Malnutrisi sering dikaitkan dengan berbagai penyakit infeksi, salah satunya adalah TB. Terapi medikamentosa berupa pemberian OAT dan nutrisi adekuat diharapkan dapat meningkatkan status nutrisi. Penelitian spesifik yang mengamati perkembangan luaran status nutrisi pada pasien TB anak belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: (1)Mengetahui proporsi status nutrisi awal pasien TB anak dan karakteristiknya (2)Mengetahui perubahan status nutrisi dan perubahan berat badan dengan kesesuaian dosis dan keteraturan minum OAT (3)Mengetahui hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada 62 anak dengan penyakit TB dan gizi kurang/buruk usia 1 bulan - 5 tahun yang terdiagnosis pertama kali pada 1 Januari 2010 - 31 Desember 2015. Usia, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis TB, lama terapi, efek samping, jalur nutrisi, status nutrisi dan berat badan saat awal diagnosis, bulan ke-2,4,6 dinilai dalam penelitian ini.
Hasil: Proporsi pasien TB anak dengan gizi kurang adalah 53/62 (85,5%). Sebagian besar subyek berusia 2 tahun, lelaki, bertempat tinggal di DKI Jakarta dan sakit TB paru (42,8%). Seluruh subyek mendapat OAT yang sesuai dan hanya 1 subyek yang minum OAT tidak teratur. Sebanyak 45,2% subyek mendapat terapi OAT selama 6 bulan. Efek samping OAT yang ditemukan adalah neuropati perifer (1 subyek), peningkatan SGOT dan SGPT (1 subyek) dan kolestasis (1 subyek). Proporsi subyek yang mendapat nutrisi enteral adalah 15/62 (24,2%). Sebanyak 56/62 (90,3%) subyek dengan dosis OAT sesuai mengalami perbaikan status nutrisi dan 55/61 (90,1%) subyek yang minum OAT teratur mengalami perbaikan status nutrisi. Peningkatan berat badan sebesar 5% tiap 2 bulan dan 17% setelah 6 bulan terapi OAT terjadi pada 97% subyek. Tidak ada hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).
Simpulan: Perbaikan status nutrisi terjadi pada 90% subyek. Peningkatan berat badan pada 97% subjek setiap 2 bulan adalah 5% dan 17% pada bulan ke-6 terapi OAT. Tidak terdapat hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).

Background: Malnutrition is one of the major problems in developing countries and has many implications in growth and development of children. Malnutrition is always associated with many infection diseases, one of them is tuberculosis. Medical management includes antituberculosis therapy and adequate nutrition are indicated to improve nutritional status. There is no specific study regarding this outcome in Indonesian children.
Aim: (1)To determine the nutritional status proportion of children with tuberculosis and their characteristics (2)To determine nutritional status outcome and body weight gain associated with adequate dosage and regular antituberculosis therapy (3)To identify correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome.
Methods: A retrospective cohort study was performed in 62 children aged 1 month-5 years who have been first diagnosed with tuberculosis from January 2010 to December 2015. Age, sex, lodging, type of tuberculosis, duration of treatment, side effect, nutritional route, nutritional status, body weight at start, 2nd, 4th and 6th month of antituberculosis therapy were evaluated in this study.
Result: The proportion of mild-moderate malnutrition in children with tuberculosis is 53/62 (85.5%). Most of the subjects are 2 years old, male, live in Jakarta and have pulmonary TB (42.8%). All subjects received standard therapy with adequate dosage and only 1 subject did irregular therapy. The duration of treatment is 6 months for 45.2% subjects. The side effects were peripheral neuropathy (1 subject), elevation of transaminase enzymes (1 subject) and cholestasis (1 subject). Subjects received enteral nutrition are 15/62 (24.2%). There are 56/62 (90.3%) subjects with adequate dosage improved nutritional status and 55/61 (90.1%) subjects with regular treatment improved nutritional status after 6 months treatment. Body weight gain in 97% subjects was 5% every 2 months and 17% at the end of the treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
Conclusion: Nutritional status improvement was found in 90% subjects. Body weight gain in 97% subjects was 5% in every 2 months and 17% after 6 months of treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indriya Wardhani
"Tuberkulosis merupakan salah satu dari 9 penyebab kematian di dunia pada tahun 2015. Sebanyak 62% kasus tuberkulosis di dunia pada tahun 2017 berada di Wilayah SEAR (South-East Asia Region). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tuberkulosis pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 tahun 2014 dan memakai desain penelitian studi longitudinal. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 31.916 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis multivariat yang digunakan adalah Cox Regression. Insiden tuberkulosis pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia tahun 2014 sebesar 1% (327 orang) responden. Hasil Multivariat yaitu: Usia ≥ 65 tahun (RR= 3,86; 95% CI 2,46-6,06), pendidikan (RR=0,76; 95% CI 0,60-0,98), malnutrisi (RR=1,30; 95% CI 1,02-1,62), merokok (RR= 0,62; 95% CI 0,46-0,82), lantai rumah (RR= 0,26; 95% CI 0,06-1,04), bahan bakar memasak (RR= 0,54; 95% CI 0,36-0,79), dan kontak serumah dengan penderita (RR= 69,68; 95% CI 34,07-142,49). Faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap tuberkulosis pada usia ≥ 15 tahun dan lebih akurat yaitu usia baik hubungan langsung (bivariate) maupun hubungan dengan tuberkulosis setelah dikontrol dengan variabel lainnya (multivariate) (RR= 3,86; 95% CI 2,46-6,06 untuk responden yang berusia ≥ 65 tahun.

Tuberculosis is one of the nine causes of death in the world by 2015. 62% of tuberculosis cases in the world in 2017 is in the Region SEAR (South-East Asia Region). This study aims to determine the risk factors associated with tuberculosis at age ≥ 15 years in Indonesia. This study uses secondary data from the Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 in 2014 and put on a longitudinal study research design.The sample used in this study amounted to 31.916 respondents who meet the inclusion and
exclusion criteria. Multivariate analysis used is the Cox Regression.The incidence of tuberculosis at the age ≥ 15 years in Indonesia in 2014 amounted to 1% (327 people) of the respondents. Results Multivariate namely: age ≥ 65 years (RR = 3.86; 95% CI 2.46 to 6.06), education (RR = 0.76; 95% CI 0.60 to 0.98), malnutrition (RR = 1.30; 95% CI 1.02 to 1.62), smoking (RR = 0.62; 95% CI 0.46 to 0.82), floor of the house (RR = 0.26; 95% CI 0 , 06-1.04), cooking fuel (RR = 0.54; 95% CI 0.36 to 0.79), and household contact with patients (RR = 69.68; 95% CI 34.07 to 142 , 49). The factors that most influence on tuberculosis at the age ≥ 15 years and more accurately the age group either direct connection (bivariate) and relations with tuberculosis after controlling for other variables (multivariate) (RR = 3.86; 95% CI 2.46 to 6 06 for respondents aged ≥ 65 years)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danar Lukman Akbar
"Pendahuluan: Spondilitis tuberkulosis menempati 50% tuberkulosis tulang. Penyakit ini menyebabkan nyeri, masalah neurologis dan deformitas kifosis. Visual analogue scale (VAS), Frankel grade, sudut Cobb dan fusi merupakan luaran klinis dan radiologis yang dapat dievaluasi. Loss of correction (LOC) dapat terjadi setelah koreksi deformitas. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi VAS, Frankel grade, sudut Cobb sebelum dan sesudah koreksi deformitas, serta fusi dan LOC yang terjadi.
Metode: Desain studi potong lintang pada 13 anak penderita spondilitis tuberkulosis yang menjalani koreksi deformitas, debridemen, stabilisasi dan fusi selama 2015-2020 di RS Cipto Mangunkusumo. VAS dan Frankel grade diperoleh sebelum operasi dan saat follow-up minimal 12 bulan setelah operasi. Sudut Cobb diperoleh sebelum operasi, sesudah operasi dan saat follow-up minimal 12 bulan setelah operasi. LOC dihitung dari sudut sesudah operasi dengan saat follow-up. Fusi dievaluasi dengan klasifikasi Christensen.
Hasil: Perbaikan VAS signifikan (p=0,001) dari 8 (2-9) menjadi 0 (0-1). Perbaikan Frankel grade signifikan (p=0,026). Perbaikan sudut Cobb signifikan (p=0.046) dari 33,94 (12,43-100,78) menjadi 15,8 (4,0-55,74). Sebelas pasien terjadi fusi. Dua pasien doubtful fusion. Terjadi LOC pada berbagai kelompok usia
Diskusi: Koreksi deformitas menjadikan spine stabil, mengurangi kompresi, perbaikan nyeri, aliran darah, fungsi neurologis, sudut Cobb. Cincin apofisis tulang belakang tidak semua rusak. Apofisis yang intak menambah progresifitas kifosis. Terjadinya LOC di berbagai fase pertumbuhan bersamaan dengan proses fusi.
Kesimpulan: Terjadi perbaikan VAS, Frankel grade dan sudut Cobb setelah koreksi deformitas. LOC muncul pada semua fase pertumbuhan.

Introduction: Tuberculous spondylitis accounts for 50% bone tuberculosis causing pain, neurological problem and kyphotic deformity. Visual analogue scale (VAS), Frankel grade, Cobb’s angle and fusion evaluated as clinical and radiological outcome postoperatively. Loss of correction (LOC) may happen after correction. This study aims to evaluate VAS, Frankel grade, Cobbs’s angle before and after deformity correction, also fusion and LOC.
Methods: Cross-sectional study conducted in 13 children with tuberculous spondylitis underwent deformity correction, debridement, stabilization and fusion during 2015-2020 at Cipto Mangunkusumo Hospital. VAS and Frankel grade taken before and at least 12 months after surgery. Cobb’s angle taken before, after surgery and at latest follow-up. LOC measured from postoperative and latest follow-up x-ray. Fusion evaluated using Christensen classification.
Results: VAS significantly decreased (p=0,001) from 8 (2-9) to 0 (0-1). Frankel grade significantly improved (p=0,026); six (46.2%) subjects showed neurological improvement, the other six already Frankel E and one (7.7%) showed no improvement. Cobb’s angle significantly decreased (p=0,046) from 33,94 (12,43-100,78) to 15,8 (4,0-55,74). Fusion in 11 patients. Doubtful fusion in 2 patients. LOC may happen in all age.
Discussion: Deformity correction produces stable spine, reduces compression, decreases pain, improves blood flow and neurological function. Not all apophyseal ring destructed. Intact part of apophyseal ring increase kyphosis. LOC happen in all growth phase simultaneously with fusion process.
Conclusion: VAS, Frankel grade and Cobb's angle improved after deformity correction. LOC appear at all phase of growth.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezadi Satya Wardhana
"Latar belakang: Pengendalian infeksi dan penelusuran kontak erat di tempat risiko tinggi seperti asrama merupakan hal penting untuk mengontrol penularan Tuberkulosis TB . Penelitian ini menggunakan metode potong lintang untuk penelusuran household contact dengan pasien TB di satu asrama. Metode: Lima puluh tujuh mahasiswi perempuan berusia 20-22 tahun yang tinggal di satu asrama dengan pasien TB paru BTA positif selama lebih dari 3 bulan. Subjek dianamnesis mengenai gejala dan riwayat TB, riwayat BCG lalu diperiksakan foto toraks, sputum Xpert M.TB Rif dan uji Interferon gamma release assay IGRA . Penelitian ini juga mengukur Air change per hour ACH untuk menentukan baik atau tidaknya ventilasi udara. Hasil penelitian: Terdapat 57 subjek dengan riwayat imunisasi BCG terdapat pada 84 subjek. Satu subjek 2 terbukti TB ekstra paru efusi pleura dari foto toraks. Empat subjek 7 tanpa gejala dan riwayat TB mendapatkan hasil uji IGRA positif. Xpert M.TB Rif semua subjek adalah negatif. Nilai ACH adalah 8x/jam jauh dibawah nilai standar World health organization WHO yaitu 12x/jam. Kesimpulan: Penelusuran kontak erat di asrama mampu mendeteksi TB laten sebanyak 7 dan TB TB ekstra paru sebanyak 2 .

Background Infection control and contact tracing in the high risk place such as dormitory is important for controlling Tuberculosis TB transmission. This is a cross sectional study of contact investigation of a pulmonary TB patient in a college dormitory. Methods Fifty seven female students ages 20 22 years old who live in the same dormitory with the TB patient acid fast bacilli positive for more than three months. Subjects were interviewed regarding past and present TB history, Bacillus Calmette Guerin BCG vaccination followed by chest x ray, Xpert M.TB RIF sputum and Interferon gamma release assay IGRA test. This study also measured an Air change per hour ACH to determine a good ventilation. Results There were 57 subjects in this study with BCG was vaccinated in 84 subjects. Two 1 57 proven for extra pulmonary TB pleuritis TB from chest x ray. Four subjects 7 without past and present TB history exhibited positive IGRA result. All subjects showed negative Xpert M.TB RIF. The ACH level is 8x hour below the World health organization WHO standard 12x hour. Conclusion Contact investigation of the dormitory have able to indicate 7 subjects for LTBI and 2 for TB pleuritis TB ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gayatri
"Pada Lansia, masalah inkontinensia urin merupakan masalah yang sering terjadi. Prevalensi inkontinensia urin di komunitas pada orang yang berumur lebih dari 60 tahun berkisar 15-30 % dan angka kejadian pada wanita dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Appleby, 1995). Menurut Wetle, et all (1995) kemungkinan Lansia bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Di Indonesia data tentang Lansia dengan masalah inkontinensia urin belum ada, sehingga prevalensi pasti tentang hal tersebut tidak diketahui. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya laporan dari Lansia tentang masalah ini sehingga petugas kesehatan tidak menyadari adanya masalah ini. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa rata-rata sampel mempunyai pandangan bahwa inkontinensia urin merupakan bagian dari proses penuaan tetapi mereka yakin bahwa inkontinensia urin dapat disembuhkan. Dampak yang dirasakan oleh responden antara lain; merasa kurang percaya diri, malu menemui orang lain, sehingga mereka tidak ingin melakukan perjalanan jauh. Apabila mereka harus pergi keluar rumah sering membatasi minum agar tidak merepotkan bila sedang berkemah. Rasa malu dan menganggap masalah ini bukan sebagai sesuatu yang serius serta anggapan bahwa inkontinensia urin merupakan bagian dari proses penuaan menyebabkan mereka tidak pernah menanyakannya pada petugas kesehatan. Pada responden mempunyai tingkat pemahaman tentang inkontinensia urin yang tinggi akan segera mencari pertolongan pada tenaga kesehatan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ermita Isfandiary Ibrahim
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Penentuan LBM penting untuk penetapan dosis pemakaian obat-obatan, pemberian cairan, penentuan taraf metabolisme, pengaturan gizi pada masa pertumbuhan, penentuan kegemukan dan evaluasi kegemukan. Selama ini yang dipakai adalah Berat Badan Total (BBT), padahal jumlah lemak tubuh normal ialah 15 - 18% BBT pada pria dewasa atau 20 - 25% BBT pada wanita dewasa. Banyak cara untuk menentukan LBM antara lain ekskresi kreatinin urin 24 jam. Cara ini didasarkan atas pemikiran bahwa kreatinin berasal dari kreatin sedangkan ± 98% kreatin terdapat di otot yang merupakan bagian terbesar LBM.
Tujuan penelitian ialah mempelajari hubungan antara kreatinin urin 24 jam dengan LBM pada orang Indonesia. Bila hubungan ini cukup kuat akan dibuat suatu rumus prediksi LBM, rumus ini kemudian dibandingkan dengan 3 rumus lain yaitu rumus dari Forbes, Cheek dan Miller. Penelitian dilakukan pada 77 mahasiswa pria umur 20 - 23 tahun. LBM diperoleh dari BBT dikurangi lemak tubuh, sedangkan lemak tubuh diperoleh dengan memasukkan berat jenis tubuh (BJT diperoleh dengan densitometer) ke dalam rumus Siri. Kemudian dibuat persamaan regresi dengan LBM sebagai variabel dependen dan kreatinin urin 24 jam sebagai variabel independen.
Hasil dan Kesimpulan: Didapat hubungan cukup kuat antara kreatinin urin 24 jam dan LBM dengan r = 0,59. Rumus prediksi yang diperoleh ialah : LBM = 25,76 + 0,0145 Cr mg/24 jam. Nilai rata-rata dari selisih antara nilai LBM perhitungan dengan nilai prediksi LBM hasil rumus Peneliti, Forbes, Cheek, dan Miller berturutturut: 0,38%; 3,50%; 9,46% dan 6,95%. 'Standard error' masingmasing 0,85%; 1,08%; 1,13% dan 1,33%. Kisarannya berturut-turut: -19,66% sampai +20,69%; -19,53% sampai +23,83%; -14,19% sampai +31,93%; dan -6,73% sampai +-36,03%. Ditetapkan bahwa suatu rumus dapat diterima bila 95% subyek penelitian dengan nilai prediksi LBM berkisar ± 10%. Jumlah subyek penelitian yang masuk dalam kisaran ± 10% darn. LBM perhitungan, bila nilai LBM nya diprediksi dengan keempat rumus di atas berturut-turut: 65 orang = 84,42%; 55 orang = 71,43%; 39 orang = 50,65%; dan 38 orang = 49,35%. Mengingat tak ada satu pun rumus yang dapat diterima maka perlu dilakukan pengujian kembali rumus yang telah dibuat.

ABSTRACT
24-Hour Creatinine Excretion And Lean Body Mass (LBM)Scope and Method of Study: LBM is important in determining dosage of drugs, administration of fluids, metabolic rate, nutrition in growth and obesity. Total body weight (TBW) is usually used for this purpose, whereas in reality it includes total body fat which is 15-18% of TBW in males, and 20-25% in females. There are many ways of determining LBM, one of which utilizes 24-hour urinary creatinine excretion. The method is based on the fact that creatinine is formed from creatine, and about 98% of creatine can be found in muscles which makes up most of LBM. The aim of this investigation is to study the correlation between 24-hour urinary creatinine excretion and LBM in Indonesians. If a strong correlation exists, a predictive formula will be constructed, which will then be compared with 3 other formulae from Forbes, Cheek, and Miller.
The study was done on 77 male students aged 20-23 years. LBM was calculated from TBW minus body fat; body fat was derived from Siri formula using Total Body Density measured with a densitometry. A regression equation was made with LBM as dependent variable and 24-hour urinary creatinine as independent variable.
Findings and Conclusions: A strong correlation exists between 24-hr urinary creatinine excretion and LBM with r = 0.59. The predictive formula obtained is: LBM (kg) = 25.76 + 0.0145 Cr mg/24h. The mean difference between predicted LBM in this investigation, LBM obtained from Forbes, Cheek, Miller, and computed LBM are, respectively, 0.38%, 3.50%, 9.46%, and 6.95%, with standard error of 0.85%, 1.08%, 1.13% and 1.33%; ranging from -19.66% to +20.69%, -19.53% to +23.83%, -14.19% to +31.93%, and' -6.73% to 36.03%. An equation was accepted if 95% of all LBM predicted from that equation fell within ± 10% of the calculated LBM. Using subjects in this investigation, the amount of LBM obtained from the 4 mentioned equations that fell within ± 10 % of calculated LBM are, respectively, 65 subjects (84.42%), 55 subjects {71.43%), 39 subjects (50.65%), and 38 subjects (49.35%). Since none of the above equation can Be satisfactorily accepted, the LBM pre-diction equation obtained from this investigation needs to be tested further.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58505
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>