Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Langit Masaha Putra Sabawana
"Penelitian ini menganalisis kebijakan antiterorisme yang dikemukakan oleh Presiden Prancis François Hollande dan Emmanuel Macron melalui pidato kenegaraan mereka. Menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough (2003), penelitian ini mengeksplorasi bagaimana kedua presiden membingkai narasi kebijakan mereka dalam konteks serangan teror yang mengguncang Prancis tahun 2015. Selain itu, penelitian ini merujuk pada konsep perbedaan pandangan politik yang diungkapkan oleh Raymond Aron dalam bukunya L’Opium des Intellectuels (1955), yang menyoroti pengaruh ideologi dan konteks sosial terhadap kebijakan publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hollande, meskipun berusaha menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, seringkali terjebak dalam kebijakan yang memperkuat langkah-langkah keamanan yang ketat. Sebaliknya, Macron menunjukkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih tegas dan militaristik, terutama setelah pengesahan undang-undang kontraterorisme yang kontroversial. Penelitian ini mengungkapkan ketegangan antara retorika politik dan realitas kebijakan yang diimplementasikan, serta tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyeimbangkan antara keamanan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika kebijakan anti-terorisme di Prancis dan implikasinya terhadap masyarakat, serta pentingnya memahami hubungan antara wacana politik dan struktur kekuasaan dalam konteks global yang semakin kompleks.

This research analyzes the anti-terrorism policies articulated by French Presidents François Hollande and Emmanuel Macron through their state speeches. Utilizing the Critical Discourse Analysis (CDA) approach developed by Norman Fairclough (2003), this study explores how both presidents frame their policy narratives in the context of terrorist attacks that have shaken France in 2015. Additionally, the research references the concept of differing political perspectives articulated by Raymond Aron in his book L’Opium des Intellectuels (1955), highlighting the influence of ideology and social context on public policy. The analysis results indicate that while Hollande strives to emphasize humanitarian values and solidarity, he often becomes trapped in policies that reinforce strict security measures. Conversely, Macron demonstrates a shift towards a more assertive and militaristic approach, particularly following the controversial enactment of counter-terrorism laws. This research highlights the tension between political rhetoric and the realities of implemented policies, as well as the challenges faced by the government in balancing security and human rights. Thus, this study provides indepth insights into the dynamics of anti-terrorism policy in France and its implications for society, emphasizing the importance of understanding the relationship between political discourse and power structures in an increasingly complex global context."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yessyca Megasari Christianto
"Prancis adalah salah satu negara dengan kebijakan hak reproduksi yang progresif. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan mengenai aborsi di Prancis yang terus mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Kebijakan pertama yang berkaitan dengan dekriminalisasi aborsi di Prancis adalah La Loi Veil yang diresmikan tahun 1975. Pada perkembangan terakhir, tanggal 8 Maret tahun 2024, Prancis resmi menjadi negara pertama yang menetapkan hak aborsi ke dalam konstitusi negara. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan bagi perempuan, tetapi juga menimbulkan perdebatan. Penelitian ini menganalisis keberpihakan politisi kanan terhadap isu konstitusionalisasi hak aborsi di Prancis dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (2013). Hasil analisis menunjukkan bahwa wacana yang dimiliki politisi kanan dalam isu hak aborsi memengaruhi terjadinya kompromi strategis atas teks akhir konstitusi, terutama dalam pengaturan kebebasan yang dijamin. Ambiguitas dalam bahasa hukum membuka peluang bagi pemerintah untuk membatasi hak aborsi di masa depan, menunjukkan kerentanan hak tersebut. Dengan menggunakan perspektif Feminist Legal Theory Martha Albertson Fineman (2005), penelitian ini menyimpulkan bahwa kompromi yang ada memperkuat subordinasi perempuan dalam kerangka hukum yang masih didominasi nilai-nilai patriarkal. Meskipun langkah konstitusional ini signifikan, perlindungan hak aborsi memerlukan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan implementasinya bersifat adil dan tidak diskriminatif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hana Chaterein Immanuela
"Laïcité merupakan konsep sekularisme yang telah berkembang dan dianut oleh Prancis sejak lama. Prinsip laïcité menekankan pemisahan secara ketat urusan agama dengan negara. Konsep ini mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Prancis (Kiwan, 2023). Undang-undang nomor 2004-228 tanggal 15 Maret 2004 merupakan salah satu implementasi konsep laïcité. Undang-undang ini mengatur penggunaan atau pemakaian atribut keagamaan di Prancis. Akan tetapi, semakin lama peraturan ini semakin berkembang dan terus membatasi penggunaan atribut khususnya milik umat Muslim, seperti pelarangan penggunaan jilbab, penutup wajah burqa dan niqab, pakaian renang burkini, dan pada tahun 2023 pelarangan penggunaan baju panjang abaya di institusi pendidikan Prancis oleh Gabriel Attal. Artikel ini akan membedah pernyataan-pernyataan dari Gabriel Attal dan Emmanuel Macron yang menunjukkan adanya ketakutan tertentu, serta melihat hal yang melatarbelakangi munculnya peraturan ini, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif milik Creswell (2014) dan teori Analisis Wacana Kritis milik Van Dijk (2015). Temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya motif tertentu dari Gabriel Attal di balik pelarangan abaya, yang mana hal ini memberikan keuntungan politik kepadanya. Selain itu, pernyataan-pernyataan milik Gabriel Attal dan Emmanuel Macron sebagai kepala negara yang negatif terhadap kaum Muslim memengaruhi pandangan masyarakat Prancis.

Laïcité is a concept of secularism that France has developed and embraced for a long time. The principle of laïcité emphasizes the strict separation of religion from the state. This concept regulates life and religious freedom in France (Kiwan, 2023). The law number 2004-228 dated March 15, 2004 is one of the implementations of the concept of laïcité. This law regulates the use or wearing of religious attributes in France. However, over time this regulation has grown and continues to restrict the use of attributes especially belonging to Muslims, such as the ban on the use of headscarves, burqa and niqab face coverings, burkini swimsuits, and in 2023 the ban on the use of abaya long dresses in French educational institutions by Gabriel Attal. This article analyzes statements from Gabriel Attal and Emmanuel Macron that show a certain fear, and looks at the background of the emergence of this regulation, using Creswell's qualitative research method (2014) and Van Dijk's Critical Discourse Analysis theory (2015). The results of this study show that Gabriel Attal has certain motives behind the abaya ban, which gives him political benefits. In addition, Gabriel Attal's and Emmanuel Macron's statements as head of state that are negative towards Muslims influence the perception of the French people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Darmawan
"Prancis saat ini menjadi negara di Eropa yang memiliki keberagaman di dalamnya, mulai dari agama, ras, dan etnis. Keberagaman ini disebabkan salah satunya oleh kedatangan para imigran dan orang asing, khususnya saat periode Pasca-Perang Dunia Kedua. Alasan awal kedatangan imigran adalah faktor ekonomi atau pekerjaan. Dalam menangani mobilisasi penduduk ini, Prancis memberlakukan kebijakan-kebijakan imigrasi yang beragam yang tertuang pada situs Kementerian Dalam Negeri dan Seberang Lautan. Oleh karena itu, perlu diketahui bentuk kebijakan imigrasi di Prancis. Penelitian ini kemudian berfokus pada kebijakan imigrasi pemerintahan François Hollande dan Emmanuel Macron berdasarkan perbedaan poros politik mereka. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan perbedaan isi kebijakan imigrasi antara pemerintahan Hollande dan Macron. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa kebijakan imigrasi kedua pemerintahan selama lima tahun menjabat. Untuk menemukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif oleh Iosifides dengan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough dan konsep ideologi politik oleh D. Parenteau dan I. Parenteau. Hasil temuan dari penelitian ini adalah orientasi kiri dari Hollande menghasilkan kebijakan imigrasi yang pro-masyarakat (imigran), sedangkan orientasi tengah Macron lebih memperketat kebijakannya terhadap masyarakat asing.

France is a country in Europe that embraces diversity in terms of religion, race, and ethnicity in its society. The arrival of migrants and foreigners, especially in the post-Second World War period contributed to France’s current demographic landscape. In dealing with the influx of population, France has adopted various immigration policies, as stated on the website of the Ministry of the Interior and Overseas, but has not significantly improved the current situation. As the immigration issue has continuously become prominent in French society, this research takes on comparing the policies carried by the governments of François Hollande and Emmanuel Macron on the issue while also taking into account their different political axes. Thus, the purpose of this study is to analyze the political discourses embedded in the immigration policies between the Hollande and Macron administrations. This research makes use of available sources from the immigration policies of both governments during their five years in office. The data was collected by employing qualitative research methods by Iosifides combined with critical discourse analysis theory by Norman Fairclough and the concept of political ideology by D. Parenteau and I. Parenteau. The findings of this research suggest that Hollande's leftist orientation contributed to his pro-people (immigrants) immigration policy, while Macron's center orientation attempted to tighten the immigration policy towards foreigners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sasyabella Febriani
"ABSTRAK
Keanggotaan Prancis dalam FATF dan Pendanaan Aksi Teror Paris Tahun 2015AbstrakPenelitian ini berupaya untuk mengetahui mengapa kebijakan penanggulangan pendanaan terorisme Prancis yang berdasarkan standar FATF tidak mampu dalam mencegah sejumlah praktek pendanaan aksi teror di Paris tahun 2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan historical institutionalism untuk melihat bagaimana evolusi kelembagaan FATF, keterlibatan Perancis dalam keputusan FATF, dan pengaruh keputusan FATF terhadap Prancis berkaitan dengan bidang penanggulangan pendanaan terorisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa walaupun Prancis memiliki peran yang penting dalam keanggotaan FATF dalam menentukan standar internasional terhadap kebijakan penanggulangan pendanaan terorisme, tetapi secara historikal, Prancis mengabaikan sejumlah hal-hal penting yang mendorong semakin terbukanya celah praktek pendanaan terorisme.
ABSTRACT
France Membership in Fatf and Financing Paris Terror Attacks in 2015 Abstract This study is attempt to explain why the French counter terrorism financing policy based on FATF standards is not able to prevent the financing terrorism activities of terror acts in Paris by 2015. This research used historical institutionalism approach to see how institutional evolution of FATF, France involvement in FATF decision, and the influence of FATF decision on France relates to the field of countering terrorism financing. The research method used qualitative approach. The result of this study indicate that although France has important role in FATF, but historically, France has ignored some important things which cause the financing activities for terrorist network. Keywords France, FATF, Europe, Terrorism Financing, Historical Institutionalism. "
2018
T51405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Florencia Irena
"Artikel ini membahas dinamika pandangan masyarakat Prancis terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi yang kemudian memengaruhi kebijakan pemerintah Prancis terhadap pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Pemerintah Prancis mulai memanfaatkan tenaga nuklir sebagai sumber energi semenjak mengalami embargo minyak dari negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEP pada 1974, sebagai akibat dari perang Arab-Israel. Prancis yang saat itu dipimpin oleh Presiden Georges Pompidou, memutuskan untuk memanfaatkan energi nuklir guna mengatasi krisis energi tersebut, sehingga pada 1977 Prancis sudah berhasil mengganti energi minyak bumi dengan energi nuklir untuk menopang sebagian besar industrinya. Namun, terjadi beberapa peristiwa besar yang mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai penggunaan tenaga nuklir. Kecelakaan reaktor tenaga nuklir di Ukraina dan Jepang menyadarkan rakyat Prancis akan bahaya yang ditimbulkan apabila terjadi ledakan reaktor nuklir. Desakan untuk mengganti energi nuklir dengan energi yang lebih aman mulai muncul, yang mengakibatkan pemerintah menyusun program untuk mulai mengurangi ketergantungannya pada energi nuklir ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan teori Dekonstruksi Jacques Derrida yang digunakan untuk menjelaskan perubahan kebijakan pemanfaatan nuklir di Prancis. Perubahan kebijakan ini, terjadi karena terutama karena kekhawatiran masyarakat Prancis akan bahaya penggunaan nuklir sehingga mendorong pemerintah Prancis untuk menyelenggarakan debat nasional mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Setelah penyelenggaraan Le Débat National sur la Transition Énergetique pada 2014-2015, pemerintah Prancis di bawah Presiden François Hollande yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Emmanuel Macron, sepakat untuk mengurangi penggunaan energi nuklir sebagai penopang energi industrinya dari 75% menjadi 50% pada 2023. Upaya untuk menggantikannya dengan energi yang terbarukan menjadi tantangan tersendiri bagi kepala negara Prancis guna merealisasikan tuntutan warganya agar dapat hidup tanpa adanya ketakutan terhadap kemungkinan meledaknya reaktor nuklir di negaranya.

This article discusses the dynamics of the French public's view of the use of nuclear as an energy source which influences the French government's policy towards the use of nuclear as an energy source. The French government began to use nuclear as an energy source since oil embargo by the Arab countries that joined OPEP in 1974, as a result of the Arab-Israeli war. France, which was led by President Georges Pompidou, decided to use nuclear energy to overcome the energy crisis, so that in 1977 France had succeeded replacing petroleum energy with nuclear energy to sustain most of its industries. However, there were several major events that affected the public's view about the use of nuclear power. Nuclear power reactor accidents in Ukraine and Japan made the French people aware of the dangers posed by a nuclear reactor explosion. The urge to replace nuclear energy with safer energy began to emerge, which resulted in the government setting up a program to start reducing its dependence on nuclear energy. This study uses historical research methods and Jacques Derrida's deconstruction theory which is used to explain changes in nuclear utilization policies in France. This policy change occurred mainly because of the French public's concern about the dangers of nuclear use, which prompted the French government to hold a national debate on the use of nuclear. After Le Débat National sur la Transition Energetique in 2014-2015, the French government with President François Hollande, which was then followed by President Emmanuel Macron, agreed to reduce the use of nuclear energy as a support for industrial energy from 75% to 50% in 2023. replacing it with renewable energy is a challenge for the head of state of France to realize the demands of its citizens to live without fear of the possibility of a nuclear reactor exploding in his country."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Bijou Thalian
"Komunitas LGBTQIA+ di seluruh dunia masih sering mengalami diskriminasi dari masyarakat karena orientasi seksual mereka. Adanya diskriminasi membuat orang-orang dalam komunitas LGBTQIA+ ingin meningkatkan kesadaran dan toleransi masyarakat terhadap diri mereka, sehingga pada akhirnya kekerasan terhadap mereka berkurang. Hal ini dilakukan dengan melaksanakan berbagai acara dan yang paling terkenal adalah pawai LGBTQIA+. Pawai ini berawal dari Amerika Serikat. Di Prancis, pawai ini dikenal dengan nama Marche des fiertés. Dalam pelaksanaanya, Marche des fiertés mengalami tantangan dalam bentuk perusahaan-perusahaan yang ikut mendanai pawai, tetapi sebenarnya tidak mendukung semuahak LGBTQIA+ (pinkwashing). Dengan menggunakan poster-poster Marche des fiertés tahun 2018–2022, data statistik homofobia di Prancis tahun 2018–2023, dan siaran pers oleh penyelenggara parade penelitian ini memperlihatkan bagaimana dampak pinkwashing pada gerakan Marche des fiertés dan kaitannya dengan perjuangan melawan homofobia. Untuk menjawab masalah penelitian ini, digunakan metode penelitian kualitatif oleh Wahidmurni (2017) dan teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Norman Fairclough (1995). Ditemukan bahwa Marche des fiertés berhasil mengurangi tingkat homofobia ketika pawai dilakukan tanpa adanya gangguan dari pinkwashing.

LGBTQIA+ communities across the world still experience discrimination from society because of their sexual orientation. The existence of discrimination has led people in the LGBTQIA+ community to want to increase public awareness and tolerance towards them, so that eventually violence against them decreases. This is accomplished by organizing various events and the most famous is the LGBTQIA+ parade. This parade originated in the United States. In France, it is known as the Marche des fiertés. The Marche des fiertés experienced challenges in the form of companies funding the parade, but not actually supporting anything LGBTQIA+ (pinkwashing). Using Marche des fiertés posters from 2018-2022, homophobia statistics in France from 2018-2023, and press releases by parade organizers, this research shows how pinkwashing impacts the Marche des fiertés movement and how it relates to the fight against homophobia. To answer this research problem, Wahidmurni's (2017) qualitative research method and Norman Fairclough's (1995) Critical Discourse Analysis theory were used. It was found that the Marche des fiertés succeeded in reducing the level of homophobia when the march was conducted without any interference from pinkwashing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Emily Jessica
"Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan kebijakan mengenai aborsi di Prancis pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Aborsi atau yang dalam Bahasa Prancis disebut dengan LInterruption Volontaire de Grossesse, secara resmi adalah tindakan legal di mata hukum yang ditandai dengan deklarasi Hukum Veil tahun 1975 pada masa pemerintahan Valery Giscard dEstaing. Pelegalan aborsi ini menjadi salah satu momentum bersejarah bagi Republik Kelima di Prancis. Pelegalan aborsi menandai bahwa pemerintah mengakui hak para wanita untuk dapat memilih akan pilihan yang diambil terhadap tubuhnya. Dalam perkembangan dan praktiknya di masyarakat, hukum aborsi mengalami beberapa perubahan dan perkembangan. Perkembangan hukum aborsi ini memiliki karakteristik yang berbeda antara pemerintah yang satu dengan yang lainnya berdasarkan pengaruh ideologi politik dan kepentingan otoritas publik pada masa kedua pemerintahan.
Dengan menggunakan metode penelitian kebijakan dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini memaparkan perkembangan kebijakan aborsi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan Francois Hollande dan kondisi sosial masyarakat pada kedua masa untuk menguraikan keterkaitan ideologi politik kedua pemerintahan. Kebijakan yang dibuat keduanya akan berdampak pada praktik aborsi di masyarakat. Melalui analisis dengan konsep ideologi politik dan konteks pada masa kedua pemerintahan, hasilnya adalah bahwa ideologi politik dan kondisi sosial budaya mempengaruhi keduanya dalam membuat kebijakan dan kebijakan aborsi. Kebijakan yang diterapkan dalam masa pemerintahan Nicolas Sarkozy lebih mempersulit wanita melakukan aborsi dibandingkan dengan pada masa Francois Hollande."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andifa Chaerunnisa
"Berbagai jenis latar belakang sosial atau budaya, dikombinasikan dengan status wilayah atau sosial, masuk dalam produksi wacana lisan tertulis. Salah satu wacana lisan yang menarik untuk dibahas adalah wawancara politik. Sering terungkap di dalamnya alasan mengapa para pemimpin politik berbicara dengan cara tertentu. Meskipun ada beberapa yang bersikap halus dalam tutur kata mereka, ada juga beberapa yang tidak, salah satunya adalah presiden Filipina, Rodrigo Roa Duterte. Dikenal dengan kepribadiannya yang blak-blakan, ia sering menyatakan hal-hal kontroversial yang memengaruhi negaranya dan menuai kritik dari berbagai tempat. Menggunakan analisis wacana kritis model van Dijk (2004) tentang strategi makro penggambaran positif terhadap diri sendiri dan penggambaran negatif terhadap pihak lain 25 strategi mikro lainnya, penelitian ini menganalisis bagaimana Duterte memandang hubungan negara-negara lain dengan Filipina dalam wawancara bersama Russia Today. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Duterte menentang hubungan Filipina dengan Amerika Serikat yang terlihat dari representasi negatif yang diterimanya dibandingkan dengan Rusia dan Cina. Strategi diskursif yang paling banyak digunakan adalah implikasi, leksikalisasi, dan contoh/ilustrasi. Selain itu, strategi-strategi ini juga digunakan Duterte untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya.

Different types of social or cultural background, combined with a region or social status, go into the making of spoken or written discourse. One of the interesting spoken discourses to discuss is political interview. It often reveals the intention of political leaders way of speaking. While there are those who are subtle in their way of talking, there are also a few who do not, one of whom is the Philippines president, Rodrigo Roa Duterte. Known for his outspoken personality, he often states controversial things that influence his country and derive critics from various places. Using van Dijks (2004) framework on the macro strategies of positive self-presentation and negative other-presentation plus the other 25 micro strategies, this research analyzes how Duterte views other countries relations with the Philippines based on his most-watched English interview with Russia Today. The findings revealed that Duterte is against the Philippines relations with the USA as the latter is being presented negatively compared to Russia and China. The discursive strategies that are mostly used are implication, lexicalization, and example/illustration. Moreover, these strategies are also used to reach his own goals."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Ibrahim Ramadhan
"Le Monde, sebagai kanal berita Prancis yang bereputasi sebagai surat kabar acuan, beradaptasi di lingkungan digital dengan membuat kanal YouTube. Salah satu rubrik Le Monde di YouTube adalah Mappemonde, yang membahas isu-isu geopolitik kontemporer. Tiga video rubrik ini di antaranya adalah « Que fait la Chine en Afrique ? », « Que veut la Russie de Poutine ? », dan « Les États-Unis sont-ils toujours le gendarme du monde ? », yang masing-masing membahas Republik Rakyat Cina, Federasi Rusia, dan Amerika Serika, yang dilatarbelakangi adanya tatanan dunia baru dengan ketiga negara ini sebagai kutub-kutubnya. Penelitian ini menggunakan Analisis Wacana Kritis dengan Pendekatan Dialektis-Relasional Fairclough (2013) dan teori bingkai media D’Angelo (2017) untuk mendeteksi bingkai-bingkai yang digunakan Le Monde dalam rubrik Mappemonde. Ditemukan bahwa dua bingkai yang dominan digunakan adalah bingkai konflik dan bingkai konsekuensi ekonomi, yang menunjukkan bahwa penulis Mappemonde menggunakan paham realis dalam melihat hubungan internasional. Selain itu, ditemukan bahwa penulis Mappemonde memiliki sikap sinofobik, terutama dengan menekankan potensi RRC untuk mengubah status quo tatanan dunia.

Le Monde, as a French news channel with a reputation of being a point of reference, has adapted to a digital environment by creating a YouTube channel. One of Le Monde’s playlists on YouTube is Mappemonde, which discusses contemporary geopolitical issues. Among the videos in the playlist, three of them are « Que fait la Chine en Afrique ? », « Que veut la Russie de Poutine ? », and « Les États-Unis sont-ils toujours le gendarme gu monde ? ». These videos respectively discuss the People's Republic of China, the Russian Federation, and the United States, in the context of an emerging world order with the three countries as its poles. This study uses a critical discourse analysis with Fairclough’s Dialectical-Relational approach (2013) and D’Angelo’s theory of media frames to detect the frames used by Le Monde in the Mappemonde playlist. The two dominant frames in the playlisr are “conflict” and “economic consequences”, which show that the writer of Mappemonde subscribes to a realist understanding of international relations. Additionally, the writer of Mappemonde shows a sinophobic attitude, especially by emphasizing the potential of the PRC to disrupt the status quo of the world order."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>