Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147662 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fairuz Azahra Putri
"Bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) merupakan bangunan bersejarah peninggalan masa penjajahan Belanda yang dibangun pada abad ke-19. Bangunan ini sudah 3 kali berganti fungsi, awalnya bangunan ini difungsikan sebagai Rumah Pastoran, lalu beralih fungsi menjadi SMPK Kasih, dan sekarang berfungsi sebagai Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Bangunan kantor Yayasan Cornelis Chastelein sangat terawat hingga menarik untuk dikaji gaya arsitektur dan adaptasi yang dilakukan pada kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein. Metode penelitian yang digunakan mencakup proses formulasi penelitian, implementasi penelitian, pengumpulan data, pemrosesan data, analisis data, penafsiran data, dan publikasi hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bangunan ini mengadopsi gaya Indische Empire, yang merupakan bentuk dari arsitektur Indis yang berkembang pada abad ke-19. Dalam perkembangannya, bangunan ini telah mengalami berbagai adaptasi untuk memenuhi kebutuhan modern sambil memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian bangunan cagar budaya.

The office building of the Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) is a historic structure from the Dutch colonial period, built in the 19th century. This building has undergone three functional changes: initially serving as a rectory, later transforming into SMPK Kasih, and currently functioning as the office of the Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). The YLCC office building is well-preserved, making it an intriguing subject for studying its architectural style and the adaptations applied over time.The research methodology employed includes the processes of research formulation, research implementation, data collection, data processing, data analysis, data interpretation, and publication of findings. The research findings indicate that the building adopts the Indische Empire style, a form of Indische architecture that developed in the 19th century. Over time, the building has undergone various adaptations to meet modern needs while adhering to the principles of cultural heritage preservation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muchammad Syawaludin Ilham
"Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein atau eks rumah pastori merupakan bukti karya kebudayaan dan wujud pencapaian karya arsitektural yang unik, khas, dan langka, mengandung nilai arkeologis dan sejarah pada masa kolonial. Salah satu cara untuk memperkuat hubungan antara masyarakat dan warisan budaya adalah melalui pemanfaatan, dimana cagar budaya diusahakan agar memiliki nilai dan manfaat yang konkret bagi masyarakat. Namun pada studi kasus objek penelitian ini, pengelola sekaligus sebagai pemilik bangunan tidak serta merta menerapkan prinsip pemanfaatan yang berdaya guna untuk masyarakat luas sebagaimana hal ini disebutkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya. Metode yang dipakai pada kajian riset berikut umumnya dilakukan lewat tiga proses, yaitu pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran data. Untuk menguraikan pemanfaatan bangunan saat ini, penelitian ini didasarkan pada data yang didapatkan ketika datang langsung ke lapangan. Selain itu, data yang didapatkan tersebut ditunjang dengan data wawancara terhadap tokoh terkait. Bersumber UU Cagar Budaya No.11/2010, pengelola sekaligus pemilik bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein tidak secara maksimal memanfaatkan bangunannya demi urusan keagamaan, kebudayaan, sosial, ilmu pengetahuan, pendidikan, serta teknologi. Meskipun begitu, pengelola pada hal tersebut memiliki rencana untuk memaksimalkan pemanfaatan bangunan untuk kepentingan pariwisata sekaligus pengetahuan, yakni dimanfaatkan sebagai museum. Maka dari itu, penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa bentuk pemanfaatan bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein sampai dengan saat ini selain sebagai sarana perkantoran adalah untuk kepentingan pariwisata dan pengetahuan. Pemanfaatan terhadap objek penelitian ini didapatkan belum mengerahkan peran serta masyarakat secara luas. Namun pada satu sisi, bangunan Kantor Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein ini dalam pemanfaatannya sudah berlandaskan pada kaidah pelestarian.

The Cornelis Chastelein Institute Foundation Office or former manse is evidence of cultural work and a form of achievement of unique, ditstinctive and rare architectural, containing archaeological and historical value during the colonial period. One way to streghthen the relationship between society an cultural heritage is through utilization, where cultural heritage is sought to have concrete value and benefits for society. However, within the case consider of this investigate protest, the director as well as the proprietor of the building does not fundamentally apply the guideline of viable utilize for the wider community as expressed within the Social Legacy Law. The method used for this research study is generally carried out trough three processes, namely data collection, processing, and interpretation. To decipher the current use of buildings, this study is based on data obtained when it comes directly to the field. In addition, the data obtained is supported by interview data on related figures. Based on Cultural Heritage Law no.11 of 2010, the manager and owner of the Cornelis Chastelein Foundation Office building does not optimally utilize the building for religious, social, cultural, educational, scientific and technological purposes. Even so, the manager in this case has a plan to maximize the use of buildings for tourism as well as knowledge, which is used as a museum. Therefore, this aim concluded that the form of use of the Cornelis Chastelein Foundation Office building until now other than as office facilities is for the benefit of tourism and knowledge. The use of this research object has not mobilized the participation of the community at large. But on the one hand, the Cornelis Chastelein Foundation Office building in its use is based on the principles of preservation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatoni Ramadhan Perkasa
"Banyuwangi pada masa kolonial di Nusantara memegang peranan penting dalam perkembangan perdagangan dan telekomunikasi antar negara jajahan Eropa. Salah satu tinggalan sejarah yang penting di Banyuwangi adalah Kompleks Inggrisan yang berperan penting dalam sejarah Banyuwangi. Penelitian ini akan membahas mengenai bentuk dan gaya bangunan pada Kompleks Inggrisan serta fungsi dan peranan Kompleks Inggrisan dalam sejarah telekomunikasi Banyuwangi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis bentuk, analisis gaya, dan analisis kontekstual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bangunan–bangunan yang terdapat pada Kompleks Inggrisan menggunakan perpaduan bentuk dan gaya antara gaya arsitektur indische empire dengan gaya arsitektur tradisional Jawa pada masa Jawa Kuno serta Kompleks Inggrisan memiliki peranan dan fungsi penting dalam sejarah telekomunikasi antara Banyuwangi dan Australia.

Banyuwangi in the colonial period in the archipelago played an important role in the development of trade and telecommunications between European colonial countries. One of the important historical remains in Banyuwangi is the English Complex which plays an important role in the history of Banyuwangi. This research will discuss the shape and style of the building in the English Complex as well as the function and role of the English Complex in the history of Banyuwangi telecommunications. The research method used in this research is qualitative research using form analysis, style analysis, and contextual analysis. The results of this study indicate that the buildings in the English Complex use a combination of shapes and styles between the Indische Empire architectural style and traditional Javanese architectural styles during the Old Javanese period and the English Complex has an important role and function in the history of Banyuwangi and Australia telecommunications."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku M. Yusuf Syah Putra
"Tanggung jawab dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat Kota Depok karena perkembangannya sangat cepat menuju kota modern. Kolaborasi bersama komunitas Kaoem Depok sebagai living heritage bersama seluruh stakeholder merupakan keniscayaan untuk menjadikan wilayah Depok Lama sebagai destinasi wisata sejarah Depok Lama dan menjadi ikon serta ruang publik baru bagi masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif studi kasus pada lokus cagar budaya Depok Lama fokus secara yuridis empiris. Penelitian ini menghadirkan kebaruan terhadap urgensi kebijakan yang sinkron serta komprehensif serta adaptif dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat pada obyek bangunan cagar budaya yang melibatkan partisipasi masyarakat. Memaknai identitas perlu formulasi hibrid yang multikultur, bukan milik suatu entitas/etnis tertentu. Secara geobudaya, Depok Lama menunjukkan kekhasan pola berdasarkan alam budaya terkait residu budaya kolonialisme Belanda. Bahkan, menjaga warisan budaya itu akan meningkatan kohesi sosial mengingat kota tanpa bangunan tua seumpama dengan manusia tanpa ingatan.

The responsibility to maintain and protect cultural heritage is a challenge for the government and the people of Depok City because of its very fast development towards a modern city. Collaboration with the Kaoem Depok community as Living Heritage with all stakeholders is a necessity to make the Old Depok area a historical tourist destination for the Old Depok and become an icon and a new public space for the community. This study uses a qualitative case study approach at the Depok Lama cultural heritage locus, with a juridical and empirical focus. This research brings novelty to the urgency of policies that are synchronous as well as comprehensive and adaptive to the pace of community economic growth on cultural heritage objects that involve community participation. Making sense of identity requires a hybrid formulation that is multicultural, not belonging to a particular entity/ethnicity. According to geoculture, Old Depok shows a distinctive pattern based on cultural nature related to the cultural residues of Dutch colonialism. In addition, preserving this cultural heritage will increase social cohesion considering that a city without old buildings is like a human without memory."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Maulida Shifa
"Penelitian ini membahas mengenai perkembangan Bangunan Pendopo dari bangunan Villa Maria menjadi Kantor Pusat PT KAI. Pada Bangunan Pendopo hingga saat ini masih dipergunakan sebagai kantor administrasi perkeretaapian dan telah mengalami adaptasi setelah ditetapkan menjadi cagar budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam adaptasi Bangunan Pendopo Kantor Pusat PT KAI serta menganalisis kesesuaian penerapan adaptasi yang sudah dilakukan dengan prinsip dan regulasi hukum yang berlaku. Metode yang digunakan yaitu analisis deskriptif dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisis didapatkan bahwa adaptasi mempengaruhi adanya perubahan fungsi ruang pada Bangunan Pendopo dan terdapat 3 bentuk adaptasi yang dilakukan, yaitu adaptasi dalam perubahan material, adaptasi dalam penambahan, dan adaptasi dalam pengurangan. Adaptasi dalam bentuk perubahan material dan penambahan pada Bangunan Pendopo telah sesuai dengan prinsip-prinsip adaptasi. Sedangkan bentuk pengurangan mengakibatkan merosotnya nilai penting yang terkandung dalam bangunan.

This paper discusses about the transformations of the Pendopo Building from Villa Maria building into the Central Office of PT KAI. The Pendopo building is still used as a railway administration office and has undergone adaptations after being a cultural heritage. This study aims to determine the changes that have occurred in the adaptation of the Pendopo building and to analyze whether the implementation of the adaptation that has been carried out in the cultural heritage building is in accordance with the adaptation principles and legal regulations. The method used is descriptive analysis starting from data collection, data analysis, interpretations, and conclusions. The results of the analysis found that adaptation affects changes in the function of space in the Pendopo Building and there were 3 forms of adaptation carried out in the Pendopo buildings, that is adaptation in material changes, adaptation in additions, and adaptation in reductions. Adaptation in the form of material changes and additions to the Pendopo building is in accordance with the adaptation principles. While the form of reduction results in a decline in the important value contained in the building."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Alauddin Arrisaputra
"Bangunan Landhuis Tjililitan merupakan salah satu peninggalan rumah Landhuis peninggalan Kolonial Belanda yang telah didirikan sejak abad ke-18. Kondisi bangunan Landhuis Tjililitan saat ini tidak terawat. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilai penting yang terdapat pada bangunan Rumah Besar Cililitan (Landhuis Tjililitan) dan menjelaskan upaya pelindungan cagar budaya yang dapat dilakukan terhadap bangunan Landhuis Tjililitan. Metode penelitian yang digunakan mengacu pada penelitian cagar budaya yang dikemukakan oleh Pearson dan Sullivan (1995) dengan penyesuaian dengan tidak melakukan analisis perbandingan. Hasil dari penelitian ini adalah bangunan Landhuis Tjililitan memiliki beberapa nilai penting antara lain nilai sejarah, nilai pendidikan, nilai ilmu pengetahuan, dan nilai kebudayaan. Nilai penting yang terkandung dapat menjadi dasar pertimbangan bagi penetapan bangunan Landhuis Tjililitan sebagai cagar budaya. Kemudian, penelitian ini juga mengemukakan upaya-upaya pelindungan cagar budaya yang dapat dilakukan terhadap banguna Landhuis Tjililitan

The Landhuis Tjililitan building is one of the remains of the Dutch Colonial Landhuis house which was founded in the 18th century. The current condition of the Landhuis Tjililitan building is not maintained. Therefore, the purpose of this study is to identify the significant values contained in the Landhuis Tjililitan building and explain the efforts to protect cultural heritage that can be carried out for the Landhuis Tjililitan building. The research method used refers to the cultural heritage research proposed by Pearson and Sullivan (1995) with adjustments by not carrying out a comparative analysis. The results of this study are that the Tjililitan Landhuis building has several significant values including historical values, educational values, scientific values, and cultural values. The significant values contained can be the basis for consideration for the designation of the Landhuis Tjililitan building as a cultural heritage. Then, this study also suggests efforts to protect cultural heritage that can be carried out on the Tjililitan Landhuis building."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmawan Sujoni Putra
"Pantjoran Tea House merupakan bekas dari bangunan Apotek Chung Hwa yang berdiri pada tahun 1928. Sempat terbengkalai, pada 2015 bangunan ini mengalami konservasi restorasi oleh proyek dari Jakarta Old Town Revitalization (JOTRC) dan arsitek Djuhara. Sejak dahulu, gedung yang merupakan landmark kawasan Pecinan ini belum mendapatkan status sebagai bangunan cagar budaya meskipun telah mengalami restorasi dan berperan dalam melestarikan nilai-nilai budaya di Pecinan Glodok dan letaknya di Kawasan Cagar Budaya. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui nilai-nilai penting apa saja yang melekat pada bangunan Pantjoran Tea House. Penelitian ini menggunakan metode kajian nilai penting berdasarkan metode Pearson dan Sullivan dengan delapan tahapan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pantjoran Tea House memiliki gaya Arsitektur Transisi (1890-1915) yang ditunjukkan unsur Gaveltoppen, Boucenlicht dan coloumn non-yunani dengan interior oriental Tionghoa lewat banyaknya penggunaan kayu pada bangunan. Hasil akhir penelitian ini memperlihatkan kriteria nilai penting pada bangunan yang terdapat pada UU Cagar Budaya, yaitu nilai ilmu pengetahuan, nilai sejarah, nilai kebudayaan, dan nilai pendidikan. Temuan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk mengusulkan penetapan Pantjoran Tea House sebagai cagar budaya.

Pantjoran Tea House is the former building of Apotek Chung Hwa, which was established in 1928. After being neglected for a period, the building underwent a conservation and restoration project in 2015 by the Jakarta Old Town Revitalization (JOTRC) and architect Djuhara. Throughout its history, this building, which serves as a landmark in the Pecinan area, has not yet received the official status as a cultural heritage despite having undergone restoration and played a role in preserving cultural values in Pecinan Glodok, located in the Cultural Heritage Area. The purpose of this research is to identify the significant values associated with the Pantjoran Tea House. This study adopts the method of assessing the significant values based on the Pearson and Sullivan method, involving eight stages. The findings reveal that Pantjoran Tea House exhibits the Transitional Architecture style (1890-1915) characterized by Gaveltoppen, Boucenlicht, and non-Greek columns, with a Chinese Oriental interior featuring extensive use of wood in the building. The results of this research demonstrate the criteria of significant values in a building according to the Cultural Heritage Law, encompassing scientific value, historical value, cultural value, and educational value. These research findings could be considered for proposing the recognition of Pantjoran Tea House as a cultural heritage site."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Setiawan
"Kelenteng Boen Hay Bio merupakan salah satu tempat peribadatan tertua dari tiga kelenteng di kawasan Tangerang. Dua diantaranya telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Belum ditetapkannya kelenteng ini sebagai cagar budaya menjadi dasar dilakukannya penelitian ini dengan tujuan mengidentifikasi nilai penting pada bangunan beserta peringkatnya. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kualitatif melalui studi pustaka, observasi lapangan, dan wawancara yang akan digunakan dalam menentukan nilai penting dan peringkat kelenteng. Hasil identifikasi nilai ini mengindikasikan bahwa kelenteng Boen Hay Bio memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai cagar budaya karena memiliki salah satu atau gabungan dari nilai sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan agama. Penelitian ini berkontribusi dalam penentuan kebijakan pelestarian kelenteng sebagai upaya pelestarian cagar budaya.

Boen Hay Bio Temple is one of the oldest places of worship of the three temples in the Tangerang area. Two of them have been designated as cultural heritage buildings. This temple has not been designated as a cultural heritage which is the basis for conducting this research with the aim of identifying the important values of buildings and their level of significant. This study uses qualitative research techniques through literature study, field observations, and interviews which will be used in determining the importance and ranking of temples. The results of this value identification indicate that the Boen Hay Bio temple meets the requirements to be designated as a cultural heritage because it has one or a combination of historical, scientific, cultural and religious values. This research contributes to the determination of temple preservation policies as an effort to preserve cultural heritage.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Windriastuti
"Seorang konservator tidak hanya perlu menguasai ilmu sejarah dan/atau seni untuk memahami konteks informasi dari suatu objek, tetapi ia juga harus mahir di bidang kimia untuk melakukan stabilisasi maupun restorasi terhadap objek kultural tersebut. Mengingat besarnya peran seorang konservator, maka keberadaannya dalam sebuah lembaga informasi seharusnya terlihat pula. Namun, visibilitas dari profesi ini masih rendah, terutama di Indonesia. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengelaborasi atau memberi gambaran lebih jauh mengenai profesi konservator di lembaga informasi DKI Jakarta. Data yang terlampir dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan metode tinjauan literatur dan wawancara mendalam dengan beberapa pihak yang bekerja dalam bidang konservasi di lembaga informasi DKI Jakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab utama dari minimnya visibilitas konservator di DKI Jakarta adalah ketiadaan payung hukum yang mampu mengakomodir profesi tersebut, baik peraturan mengenai kualifikasi pendidikan hingga asosiasi profesi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan haknya. Jika isu tersebut tidak segera ditangani, maka secara pelan tapi pasti, warisan budaya Indonesia dapat terancam punah pula.

Abstrak Berbahasa Inggris:
Not only do conservators have to be knowledgeable in art and/or history in order to comprehend the contextual information within a cultural object, but they also have to be well-educated in chemistry in order to stabilize and/or restore said object. Considering the importance of their profession, the visibility of conservators should also be very high, especially amongst cultural institutes. Unfortunately in Indonesia, conservators still have a very mediocre visibility rate as a profession. The purpose of this qualitative research is to further elaborate the reality of conservators as a profession in DKI Jakarta’s various cultural institutes. The data in this research is collected through in-depth interviews with relevant informants to the subject as well as a literature review. The findings of this research shows that the main contributor to the mediocre visibility rate of conservators is its lack of governmental regulations and legal basis, including but not limited to policies regulating the standard educational qualification and/or professional competency as well as a professional association meant to accommodate them. If those deeply-rooted issues are not immediately handled by the government, then sooner or later, Indonesia’s cultural heritage might be at risk of vanishing altogether.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dhita Ashita Haruni
"Perlindungan terhadap warisan budaya pada awalnya bersifat relatif sempit yaitu perlindungan hanya terhadap benda cagar budaya. Namun seiring dengan jalannya waktu, timbul suatu kesadaran yang berpendapat bahwa folklor yang merupakan bagian dari warisan budaya juga layak untuk mendapatkan suatu perlindungan. Hal ini dikarenakan folklor merupakan salah satu kunci dalam memberikan suatu bangsa identitas yang khusus. Oleh karena itu, folklor suatu bangsa harus dilindungi dan dilestarikan oleh bangsa itu sendiri. Namun dalam perwujudannya, perlindungan dan pelestarian juga dapat diberikan oleh organisasi internasional melalui pembentukan berbagai instrumen hukum internasional. Saat ini Indonesia telah mengatur perlindungan folklor di bahwa rezim Hak Cipta. Namun pada kenyataannya, perlindungan tersebut jauh dari tujuannya. Karakteristik yang berakar dalam folklor dan Hak Cipta saling bertolak belakang, sehingga diperlukan suatu perlindungan yang lebih efektif terhadap folklor. Upaya-upaya perlindungan yang diberikan melalui berbagai instrumen hukum internasional bertujuan untuk mengurangi tindakan pengklaiman folklor yang tidak sah oleh pihak asing.

The protection against cultural heriage was relatively narrow at first, which only includes the protection of tangible cultural heritage. But along the course of time, arising from a conciousness that believes that folklore is a part of the cultural heritage, then folklore should also be eligible to obtain protection. This is because folklore is one of the key in providing a nation its own specific identity. Therefore, the folklore of a nation must be protected and preserved by the nation itself. However, in realization, protection and preservation can also be provided by international organizations through the establishment of various international legal instruments. Indonesia has set the protection of folklore in the copyright regime. But in reality, the protection is far from its objetive. The chacaracteristics that are rooted in folklore and copyright are conflicting. As a result, there`s a necessity for a more effective protection of folklor. The protection efforts that are provided trough various international legal instruments seek to reduce illicit claims of folklore done by a foreign partty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S26279
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>