Ditemukan 127393 dokumen yang sesuai dengan query
Afdhal Mahatta
Jakarta: Prenadamedia , 2023
347.01 AFD p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Ismail Suny
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0520
UI - Pidato Universitas Indonesia Library
Shalma Aisyah Anandhia Prasetya
"Skripsi ini mengkaji permasalahan hukum dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia, dengan tujuan mengusulkan mekanisme pengisian yang bebas dari intervensi politik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan analitis serta pendekatan perbandingan hukum. Pengisian jabatan hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan hal krusial dalam menentukan independensi kehakiman. Berdasarkan temuan, terdapat intervensi politik yang dilakukan oleh DPR dalam pemilihan hakim agung yang ditunjukkan dalam pengambilan keputusan subjektif dan ketidakpatuhan DPR terhadap aturan dalam pengisian hakim agung. Sedangkan dalam pengisian hakim konstitusi, intervensi politik terjadi karena ketiadaan peraturan baku yang memungkinkan penyelundupan hukum oleh Pemerintah dan DPR. Solusi yang diajukan melibatkan penambahan syarat masa tenggang bagi anggota partai politik yang mendaftar sebagai calon hakim agung, penguatan sistem nonrenewable term dan penambahan syarat masa tenggang bagi calon hakim konstitusi. Pemerintah juga disarankan untuk mengatur penambahan ketentuan dalam UU tentang MK yang memaksa lembaga pengusul membentuk mekanisme baku yang transparan, profesional, dan memprioritaskan independensi kekuasaan kehakiman.
This thesis examines legal issues in the appointment of Supreme Court and Constitutional Court judges in Indonesia, aiming to propose a mechanism free from political intervention. The research employs a doctrinal approach with analytical and comparative legal methods. The appointment of judges in the Supreme Court and Constitutional Court is crucial in determining judicial independence. Findings indicate political intervention by the DPR (People's Consultative Assembly) in the selection of Supreme Court judges, evidenced by subjective decision-making and non-compliance with appointment regulations. In the case of Constitutional Court judges, political intervention arises due to the absence of standardized regulations, allowing legal smuggling by the Government and DPR. Proposed solutions involve adding a cooling-off period for political party members applying for the position of Supreme Court judge, strengthening the nonrenewable term system, and introducing a cooling-off period requirement for Constitutional Court candidates. Additionally, it is recommended to amend the Constitutional Court Law to compel proposing institutions to establish standardized mechanisms that are transparent, professional, and prioritize judicial independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
JY 4:1 (2011) (1)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Belinda Gunawan
"Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Republik Indonesia adalah ?kekuasaan kehakiman yang merdeka?. Hakim disini memegang peran sentral dalam peradilan sebagai personifikasi dari peradilan, sehingga kedudukan hakim dan kemerdekaan hakim harus dijamin dalam sebuah undang-undang (UU). Saat ini, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim di Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang terdapat pada UUD 1945 dan instrumen-instrumen internasional. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilengkapi dengan pendekatan sejarah, perbandingan dengan negara lain dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No. 48 Tahun 2009 telah memiliki norma-norma yang mengatur kemerdekaan hakim, namun tetap masih terdapat kekurangan dan ketidaklengkapan dari materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim, sehingga perlu diadakan perbaikan terhadap UU No. 48 Tahun 2009.
Article 24 of The 1945 Amended Constitution of Republic of Indonesia stated that "The judicial power branch shall be independent". In here, judge has a central role on the judiciary, that judge as the personification of judiciary, therefore judge's status and independence shall be secured by law. Now, the judicial power is regulated on Act No. 48 Year 2009 (The Judical Power Act), so then the purpose of this writing is to analyze the substance of Act No. 48 Year 2009 in accomodating judge's independence in the Republic of Indonesia based on the judicial principles on the 1945 Constitution and international instruments. This is a normative study and also be improved by historical approach, comparative approach and case study method. The result of this study showed that the Act of No. 48 Year 2009 has contained the general norms to protect judge?s independence, but still has to be revised because of its material incompleteness in order to protect judge's independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62602
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kamila Insani
"Pengaturan mengenai masa jabatan kepala desa sebaiknya bisa menyesuaikan periode ideal masa jabatan dengan tujuan mewujudkan tatanan pemerintahan desa yang demokratis sebagai upaya menghindari abuse of power. Masa jabatan kepala desa tidak diatur secara terperinci dalam konstitusi seperti halnya masa jabatan presiden dan wakil presiden yang diatur pada Pasal 7 UUD NRI 1945 selama 5 tahun dalam 2 periode. Masa jabatan kepala desa diatur dalam pasal 39 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 selama 6 tahun dalam 3 periode. Hal tersebut kemudian menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat karena pengaturan masa jabatan kepala desa yang lebih panjang dibandingkan pengaturan masa jabatan presiden telah dianggap melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi. Di sisi lain, ada juga usulan untuk lebih memperpanjang lagi masa jabatan kepala desa yang sudah dianggap sangat panjang tersebut. Penelitian ini menganalisis bagaimana konsep masa jabatan kepala desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa yang dikaitkan dengan prinsip demokrasi dan bagaimanakah periodisasi masa jabatan kepala desa yang ideal di terapkan di Indonesia berdasarkan prinsip demokrasi sebagai upaya menghindari abuse of power. Penelitian doktrinal ini menggunakan studi kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa, pengaturan masa jabatan kepala desa dalam UU Desa tidak melanggar konstitusi karena pengaturan tersebut termasuk open legal policy dan telah menerapkan prinsip demokrasi melalui pembatasan masa jabatan dalam penerapannya. Maka dari itu, sudah tepat masa jabatan kepala desa diatur selama 6 tahun dalam 3 periode karena wilayah desa memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan pengaturan masa jabatan pemimpin lain. Solusi yang ditawarkan ialah tetap mempertahankan pengaturan masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dalam 3 periode serta memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa.
Arrangements regarding the term of office of village heads should be able to adjust the ideal period of office with the aim of realizing a democratic village government order as an effort to avoid abuse of power. The term of office of the village head is not regulated in detail in the constitution as well as the term of office of the president and vice president stipulated in Article 7 of the 1945 NRI Constitution for 5 years in 2 periods. The term of office of the village head is regulated in article 39 of Law No. 6 of 2014 for 6 years in 3 periods. This then caused controversy in the community because the arrangement of village tenure that was longer than the arrangement of the presidential term was considered to violate the constitution and democratic principles. On the other hand, there is also a proposal to further extend the term of office of the village head which has been considered very long. This study analyzes how the concept of village head tenure based on Law No. 6 of 2014 on villages is associated with democratic principles and how the ideal term of office of village heads is applied in Indonesia based on democratic principles as an effort to avoid abuse of power. This doctrinal research uses qualitatively analyzed literature studies. From the results of the analysis, it can be explained that the regulation of the term of office of the village head in the Village Law does not violate the constitution because the arrangement includes an open legal policy and has applied democratic principles through term limits in its application. Therefore, it is appropriate that the term of office of the village head is set for 6 years in 3 periods because the village area has its own privileges that cannot be equated with the arrangement of the term of office of other leaders. The solution offered is to maintain the arrangement of the village head's term of office for 6 years in 3 periods and improve the governance of village governance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
"A judge is very susceptible to various temptations of the parties whose diverse interests in the case. The judge's independence to hear and decide cases is the key why the temptation is so strong. One case happened to a judge, with initials MA, who asked for sum of money to the party litigants whose case he handled. MA was eventually brought to trial on charges of corruption. He was guilty and sentenced two years in prison and fined Rp. 50 millions. This decision hurt the public sense of justice as the punishment was relatively mild, away from proper provisions as contained in the Corruption Act. Such court sentence will not generate deterrent effects to any law enforcer who is supposed to support government efforts to eradicate corruption."
JY 4:1 (2011)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2005
S25500
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Judicial review yang digagas oleh Muhammad Yamin dalam Rapat BPUPKI pada tahun 1945 namun hal itu tidak diterima. Judicial review merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), gagasan tersebut dapat dikatakan sebagai cikal bakal MK. Dalam KRIS 1949 judicial review mendapatkan wadah konstitusional namun dalam bentuk pengujian peraturan perundang-undangan tingkat daerah negara bagian terhadap konstitusi, sedangkan undang-undang Federal tidak dapat diganggu gugat dan dilanjtkan dalam UUDS 1950, sebagai cerminan sistem/paham supremasi parlementer. Gagasan tersebut muncul kembali di akhir pemerintahna Orde Lama namun dalam bentuk legislative review/political review namun MPRS gagal mewujudkannya. Barulah pada Era reformasi tahun 2000 legislative review tersebut terwujud melalui TAP MPR No. III/MPR/2000, kemudian dengan dibentuknya MK pada perubahan UUD 1945 tahun 2001-2002 mendapatkan bentuknya yang konkret dan dijabarkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu singkat MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tumbuh dan berkembang menjadi lembaga negara yang berwibawa dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan politik dan hukum ketatanegaraan antara lain penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara, sengketa pemilihan umum (legislatif dan pilpres/wapres), dan pengujian UU yang putusannya relatif dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa, karena dianggap cukup adil dan berimbang, dan tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik di masyarakat. Selain itu yang berkaitan dengan penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia yang merupakan hak dasar bagi warga Negara yang antara lain selama ini termatikan secara politik dan keperdataan."
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
347.01 MAR k
Buku Teks Universitas Indonesia Library