Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151151 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghitha Zahra Haifa
"Kelainan jantung univentrikel tanpa restriksi aliran darah paru perlu dilakukan tindakan paliatif tahap awal berupa pulmonary artery banding (PAB) untuk menurunkan tekanan paru sebelum dilanjutkan tindakan bidirectional cavopulmonary shunt / BCPS. Namun, interval waktu optimal antara kedua tahap pembedahan paliatif tersebut masih belum diketahui. Dilakukan penelitian kohort retrospektif pada pasien kelainan jantung univentrikel tanpa restriksi aliran darah paru yang menjalani tindakan BCPS dengan riwayat PAB. Total sebanyak 41 subjek yang dianalisis. Terdapat hubungan bermakna antara interval waktu tindakan PAB–BCPS dan mortalitas dini pasca-BCPS (p = 0,018), dengan nilai median interval waktu pada pasien yang mengalami mortalitas lebih singkat dibandingkan pada pasien yang hidup [9(8–10) vs. 26(12–97) bulan]. Tidak terdapat hubungan/korelasi bermakna antara interval waktu PAB–BCPS dan mortalitas 1 tahun (p = 0,645), lama penggunaan ventilator (r = 0,053;p = 0,768), lama rawat ICU (r = 0,064;p = 0,693), dan lama rawat RS (r = -0,098;p = 0,544) pascaoperasi BCPS. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara interval waktu tindakan PAB–BCPS dan kejadian mortalitas dini pasca-BCPS. Pasien yang mengalami mortalitas memiliki nilai interval waktu lebih singkat dibandingkan dengan pasien yang hidup.

Univentricular heart defects with unrestricted pulmonary blood flow require pulmonary artery banding (PAB) as an initial palliative procedure to reduce pulmonary pressure before proceeding with the second-stage surgery (bidirectional cavopulmonary shunt / BCPS). However, the optimal time interval between these two palliative surgeries remains unknown. A retrospective cohort study was conducted on patients with univentricular heart defects and unrestricted pulmonary blood flow who underwent BCPS with a history of PAB. A total of 41 subjects were analyzed. There was a statistically significant association between the time interval of PAB–BCPS and early mortality after BCPS (p = 0.018), with a shorter median interval time in patients who experienced mortality compared to those who survived [9(8–10) vs. 26(12–97) months, respectively]. No significant association between the PAB–BCPS time interval and one-year mortality (p = 0.645), period of ventilator use (r = 0.053; p = 0.768), ICU length of stay (r = 0.064; p = 0.693), or hospital length of stay (r = -0.098; p = 0.544) following BCPS. In conclusion, the time interval between PAB and BCPS is significantly associated with early mortality after BCPS. Patients who did not survive had a shorter interval compared to those who survived."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghitha Zahra Haifa
"Kelainan jantung univentrikel tanpa restriksi aliran darah paru perlu dilakukan tindakan paliatif tahap awal berupa pulmonary artery banding (PAB) untuk menurunkan tekanan paru sebelum dilanjutkan tindakan bidirectional cavopulmonary shunt / BCPS. Namun, interval waktu optimal antara kedua tahap pembedahan paliatif tersebut masih belum diketahui. Dilakukan penelitian kohort retrospektif pada pasien kelainan jantung univentrikel tanpa restriksi aliran darah paru yang menjalani tindakan BCPS dengan riwayat PAB. Total sebanyak 41 subjek yang dianalisis. Terdapat hubungan bermakna antara interval waktu tindakan PAB–BCPS dan mortalitas dini pasca-BCPS (p = 0,018), dengan nilai median interval waktu pada pasien yang mengalami mortalitas lebih singkat dibandingkan pada pasien yang hidup [9(8–10) vs. 26(12–97) bulan]. Tidak terdapat hubungan/korelasi bermakna antara interval waktu PAB–BCPS dan mortalitas 1 tahun (p = 0,645), lama penggunaan ventilator (r = 0,053;p = 0,768), lama rawat ICU (r = 0,064;p = 0,693), dan lama rawat RS (r = -0,098;p = 0,544) pascaoperasi BCPS. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara interval waktu tindakan PAB–BCPS dan kejadian mortalitas dini pasca-BCPS. Pasien yang mengalami mortalitas memiliki nilai interval waktu lebih singkat dibandingkan dengan pasien yang hidup.

Univentricular heart defects with unrestricted pulmonary blood flow require pulmonary artery banding (PAB) as an initial palliative procedure to reduce pulmonary pressure before proceeding with the second-stage surgery (bidirectional cavopulmonary shunt / BCPS). However, the optimal time interval between these two palliative surgeries remains unknown. A retrospective cohort study was conducted on patients with univentricular heart defects and unrestricted pulmonary blood flow who underwent BCPS with a history of PAB. A total of 41 subjects were analyzed. There was a statistically significant association between the time interval of PAB–BCPS and early mortality after BCPS (p = 0.018), with a shorter median interval time in patients who experienced mortality compared to those who survived [9(8–10) vs. 26(12–97) months, respectively]. No significant association between the PAB–BCPS time interval and one-year mortality (p = 0.645), period of ventilator use (r = 0.053; p = 0.768), ICU length of stay (r = 0.064; p = 0.693), or hospital length of stay (r = -0.098; p = 0.544) following BCPS. In conclusion, the time interval between PAB and BCPS is significantly associated with early mortality after BCPS. Patients who did not survive had a shorter interval compared to those who survived."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochelle De Mello Wahyudi
"Latar Belakang
Penggunaan cardiopulmonary bypass (CPB) dalam bedah jantung bidirectional cavopulmonary shunt (BCPS) pada anak dapat memicu low cardiac output syndrome (LCOS). Pasien dengan LCOS berhubungan dengan lama rawat intensive care unit (ICU) yang berkepanjangan, sehingga berisiko tinggi mengalami komplikasi penyerta. Meskipun faktor CPB dan LCOS berpotensi memengaruhi lama rawat ICU, belum ada penelitian serupa di Indonesia yang mengevaluasi hubungan ini pada pasien BCPS. Metode
Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan sampel 109 pasien (63 laki-laki, 44 perempuan) yang menjalani operasi BCPS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2019 hingga Juni 2024. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara penggunaan CPB dan faktor lainnya terhadap kejadian LCOS serta lama rawat ICU.
Hasil
Pasien yang menjalani BCPS tanpa CPB memiliki penurunan risiko mengalami LCOS (aOR = 0,29, CI 95% 0,11 – 0,77, p < 0,05). Namun, CPB bukan faktor prediktor independen yang signifikan terhadap lama rawat ICU (p > 0,05). Lama rawat ICU lebih dipengaruhi oleh adanya LCOS (p < 0,001), terlepas dari penggunaan CPB. Faktor usia dan berat badan tidak berhubungan signifikan dengan kejadian LCOS maupun lama rawat ICU (semua p > 0,05).
Kesimpulan
Penggunaan CPB dalam operasi BCPS berhubungan dengan peningkatan risiko LCOS, yang kemudian memperpanjang lama rawat ICU. Namun, lama rawat ICU pada pasien BCPS lebih ditentukan oleh adanya LCOS, bukan oleh penggunaan CPB itu sendiri.

Introduction
The use of cardiopulmonary bypass (CPB) in bidirectional cavopulmonary shunt (BCPS) surgery in children can trigger low cardiac output syndrome (LCOS). Patients with LCOS are associated with prolonged intensive care unit (ICU) stays, placing them at higher risk of associated complications. Although CPB and LCOS factors have the potential to affect ICU stays, there has been no similar study in Indonesia evaluating this relationship in BCPS patients.
Method
This study utilized a retrospective cohort design with a sample of 109 patients (63 males, 44 females) who underwent BCPS surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to June 2024. Bivariate and multivariate analyses were used to evaluate the relationship between CPB use and other factors on the incidence of LCOS and ICU length of stay.
Results
Patients who underwent BCPS without CPB had a reduced risk of developing LCOS (aOR = 0.29, 95% CI 0.11–0.77, p < 0.05). However, CPB was not a significant independent predictor of ICU length of stay (p > 0.05). ICU length of stay was more affected by the presence of LCOS (p < 0.001), regardless of CPB use. Age and weight factors were not significantly associated with either LCOS incidence or ICU length of stay (all p > 0.05).
Conclusion
The use of CPB in BCPS surgery is associated with an increased risk of LCOS, which subsequently prolongs ICU stay. However, the length of ICU stay in BCPS patients is more determined by the presence of LCOS, rather than CPB use itself.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Noor Dwiprakoso
"Latar belakang: Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu PJB dengan jumlah kasus terbanyak. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi dengan prevalensi antara 2-10% dari seluruh kasus DSV. Pasien yang datang ke Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK) sudah dengan kondisi hipertensi pulmonal dan usia dewasa. Adanya perubahan pedoman internasional AHA/ESC dalam menentukan kelayakan operasi pada pasien DSV. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan nilai pulmonary artery resistance index (PARI) yang menjadi prediktor keluaran pada pasien yang dilakukan operasi penutupan DSV.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK Indonesia pada dewasa yang telah menjalani operasi tutup defek ventrikel pada periode 2015-2022. Variabel yang dinilai antara lain nilai pulmonary artery resistance index (PARI), lama penggunaan mesin jantung paru, lama penggunaan klem silang aorta, terhadap lama rawat, komplikasi pascaoperasi, dan kematian dini.
Hasil: Terdapat 66 subjek pada penelitian ini. Usia rerata subjek studi ini 22,5 tahun. Pada penelitian ini terdapat peningkatan yang bermakna pada durasi ventilator (p = 0,012) dan lama rawat ICU (p = 0,031) pada kelompok nilai PARI >5 WU dibandingkan dengan kelompok PARI < 5 WU. Keluaran kelompok nilai PARI <5 WU lebih baik dibandingkan kelompok PARI >5 WU dengan mortalitas (0% vs 15,6%, p = 0,02), kejadian aritmia (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), dan krisis hipertensi pulmonal (0% vs 9,4%, p = 0,1)
Simpulan: Terdapat hubungan antara nilai PARI dengan durasi ventilator mekanis dan lama rawat di ICU, namun tidak terdapat hubungan dengan aritmia dan kejadian krisis hipertensi pulmonal pascaoperasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai PARI dan mortalitas dini pascaoperasi penutupan defek septum ventrikel pada dewasa.

Background: Ventricular septal defect (DSV) is one of the most common CHDs. Pulmonary hypertension is one of the complications that can occur with a prevalence of between 2-10% of all DSV cases. Patients who come to Harapan Kita National Heart Center Hospital (RSPJNHK) already have pulmonary hypertension and are adults. There are changes in AHA/ESC international guidelines in determining the feasibility of surgery in DSV patients. It is necessary to conduct research on the relationship between the value of the pulmonary artery resistance index (PARI) which is a predictor of outcome in patients undergoing DSV closure surgery.
Method: This study is a retrospective cohort study based on secondary data from the medical record section of the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in adult patients who had undergone ventricular septal defect closure surgery in the 2015-2022 period. The variable assessed included pulmonary artery resistance index (PARI), duration of cardiopulmonary bypass, duration of aortic cross clamp, on length of stay, postoperative complications, and mortality.
Result: There were 66 subjects in this study. The mean age of the subjects was 22.5 years. In this study, there was a significant increase in ventilator duration (p = 0,012) and ICU length of stay (p = 0,031) in the PARI value >5 WU group compared to the PARI <5 WU group. The outcome of the PARI <5 WU group was better than the PARI >5 WU group with mortality (0% vs 15,6%, p = 0,02), arrhythmic events (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), and pulmonary hyperetension crisis (0% vs 9,4%, p = 0,1).
Conclusion: There is an association between PARI and duration of mechanical ventilation and length of ICU stay, but no association with arrhythmias and the incidence of postoperative pulmonary hypertensive crisis. There is a significant association between PARI and early mortality after ventricular septal defect closure surgery in adults.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Maruli Tua
"Latar Belakang: Hipertensi arterial paru (HAP) memiliki mortalitas yang tinggi. HAP dapat disebabkan oleh defek septum atrium sekundum (DSAS). DSAS dengan HAP perlu diperiksa dengan kateterisasi jantung kanan (KJK) untuk menilai resistensi vaskular paru (RVP). Pengukuran pulmonary artery compliance (Cp) dengan cara invasif merupakan prediktor miliki nilai prognostik untuk meramalkan penyakit vaskular paru (PVP) dan mortalitas dibanding RVP. Fasilitas KJK belum tersedia merata di Indonesia. Gambaran notch pada kurva PW Doppler alur keluar ventrikel kanan (AKVKa) ditemukan pada pasien dengan Cp rendah. Karena itu, kami mencoba mencari korelasi antara time-tonotch dengan Cp yang didapat secara invasif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara time-to-notch dengan Cp pada pasien DSAS. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DSA sekundum dewasa (≥ 18 tahun) yang menjalani kateterisasi jantung kanan (KJK) di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita sejak Maret 2019 sampai Juni 2022. Parameter time-tonotch dari ekokardiografi akan diuji korelasinya dengan Cp yang didapat dari KJK. Hasil: Terdapat 84 pasien DSAS yang dilakukan analisis. Dari korelasi bivariat didapatkan bahwa time-to-notch memiliki korelasi positif sedang dengan Cp (r = 0,575, p < 0.0001). Variabel lain yang bermakna dalam uji bivariat adalah TRVmax, AKVKa VTI, PVAccT, TAPSE dan hemoglobin. Melalui regresi linier didapatkan bahwa variabel time-to-notch, TRVmax dan TAPSE dapat memprediksi Cp (R2 =0,49). Kesimpulan: Terdapat korelasi positif dengan kekuatan sedang antara time-to-notch dan Cp pada pasien DSAS. Kombinasi time-to-notch, TRVmax dan TAPSE dapat memprediksi Cp.

.Background: Pulmonary arterial hypertension (PAH) is a devastating condition with a high mortality rate. Secundum atrial septal defect (ASD) may cause PAH. It needs right heart catheterization (RHC) to assess pulmonary vascular resistance (PVR) in such patients. Pulmonary artery compliance (Cp) is another parameter gained from RHC that has better diagnostic and prognostic value to assess PAH compared to RVP. RHC facility is still not widely available in Indonesia. Low Cp is one of the factors influencing the notching in the right ventricular outflow tract (RVOT) PW Doppler curve. Therefor we try to find the correlation between time-to-notch and Cp. Objective: The study aims to evaluate correlation between time-to-notch and Cp in patients with secundum ASD. Methods: This is a cross sectional study with consecutive sampling in grown-up secundum ASD patients (≥ 18 years old) undergoing right heart catheterization (RHC) in National Cardiac Centre Harapan Kita from March 2019 to June 2022. The correlation between time-to-notch gained from echocardiography and Cp gained from RHC are then assessed. Results: There are 84 patients with secundum ASD included for analysis. From bivariat correlation time-to-notch and Cp have positive moderate correlation (r = 0.575, p < 0.0001). Other variables that also have significant correlation with Cp include TRVmax, RVOT VTI, PVAccT, TAPSE, and haemoglobin. However, multivariate analysis shows that only time-to-notch, TRVmax and TAPSE can predict Cp (R2= 0.49). Conclusions: There is moderate positive correlation between time-to-notch and Cp in secundum ASD. Combination time-to-notch, TRVmax and TAPSE can predict Cp."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Marliau
"Latar belakang: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) merupakan terapi paliatif untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik, namun memerlukan tatalaksana antikoagulan pascaoperasi agresif untuk mencegah komplikasi oklusi shunt dan perdarahan yang berujung pada kematian. Penelitian ini menilai efektivitas pemeriksaan koagulasi alternatif yaitu Activated Clotting Time (ACT) yang lebih mudah dan cepat dihasilkan dibandingkan dengan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk regulasi antikoagulan yang lebih agresif untuk mencegah komplikasi pascaoperasi MBTS.
Metode: Desain penelitian adalah retrospektif longitudinal. Semua pasien yang menjalani MBTS di periode Januari 2017 hingga Mei 2018 dibagi menjadi dua kelompok, yang menggunakan ACT setiap jam dan kelompok APTT yang diperiksa setiap empat jam. Kedua kelompok dievaluasi selama perawatan pascaoperasi adanya kejadian oklusi shunt, perdarahan, operasi ulangan, dan kematian
Hasil: Total subjek adalah 174 pasien yang menjalani MBTS, sebanyak 59 pasien dilakukan regulasi heparin pascaoperasi dengan ACT dan 115 pasien dilakukan pemeriksaan APTT. Angka kejadian operasi ulangan lebih rendah signifikasn pada kelompok ACT dibandingkan APTT sebesar 6,77% (p= 0,023).Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok pada kejadian oklusi (p=0,341; OR 0,571 IK95% 0,178-1,834), perdarahan pascaoperasi (p= 0,547; OR 0,563 IK95% 0,149-2,128), dan kematian (p=0,953; OR 0,975 IK95% 0,369-2,554). Kelompok ACT menunjukkan kecenderungan protektif terhadap kejadian-kejadian morbiditas pascaoperasi MBTS.
Simpulan: Regulasi dosis heparin menggunakan pemeriksaan ACT nenurunkan kejadian operasi ulangan dan menunjukkan hasil protektif terhadap morbiditas pascaoperasi MBTS lainnya sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya.

Background: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) is a palliative treatment for cyanotic congenital heart disease (CHD) which needs postoperative anticoagulant treatment to prevent shunt occlusion and postoperative bleeding. This study was to find out the effectivity of alternative coagulation test of Activated Clotting time (ACT) which is faster and easier to produce compared to Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) for a more aggressive anticoagulant regulation to prevent postoperative complcations.
Methods: The study design is retrospective longitudinal study. All patients that underwent MBTS from January 2017 to Mei 2018 is deviden into 2 groups, first using ACT to regulate heparin and the second group using APTT. Both groups are studied for the incidence of shunt occlusion, bleeding, redo operation, and death.
Results: Total subjects who underwent MBTS were 174 patients. Postoperative heparin is regulated using ACT in 59 patients and APTT in 115 patients. There are less shunt occlusion in ACT group (6,78%) compared to APTT (11,03%) but statistically insignificant (p = 0,341). Bleeding is less in ACT group (5,08%) compared to APTT (8,69%) but statistically insignificant (p= 0,547). Mortality is lower in ACT group (11,86%) compared to APTT (12,17%) but statistically insignificant (p = 0,953). Redo operation is significantly lower in ACT group (6,77%) compared to APTT (20%) with p = 0,023. Although statistically insignificant, ACT group showed clinically significant lower shunt occlusion, bleeding, and mortality.
Conclusion: No significant difference between ACT and APTT in shunt occlusion, bleeding, and mortality, but redo operation is significantly lower in ACT group. ACT might be considered as alternative test for easier and faster method to regulate postoperative MBTS heparin dose.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Pratiwi
"TOF dengan kriteria risiko tinggi pembedahan membutuhkan tindakan paliatif sebelum menjalani operasi korektif yaitu TOF repair. Pemasangan stent Alur Keluar Ventrikel Kanan (Stenting AKVK) yang merupakan terapi paliatif transkateter invasif beberapa tahun terakhir muncul sebagai alternatif terhadap terapi paliatif pembedahan modified-Blalock-Thomas Taussig Shunt (mBTTS). Akan tetapi, studi mengenai pola pertumbuhan arteri pulmonal pasca stenting AKVK dan mBTTS di Indonesia belum ada. Membandingkan kecepatan pertumbuhan arteri pulmonal pasca stenting AKVK dan mBTTS pada Fisiologi TOF. Studi merupakan uji klinis kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung bawaan dengan fisiologi TOF yang menjalani terapi paliatif di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada Desember 2019-Desember 2023. Pertumbuhan LPA dan RPA pasca terapi paliatif dinilai dengan serial ekokardiogram. Luaran primer yaitu pertumbuhan cabang arteri pulmonal harian menggunakan z-score per hari yang dianalisis dengan mixed-model. Sebanyak total 139 pasien [pasca stenting AKVK (n=35) dan pasca mBTTS(n=104)] dengan total 492 ekokardiogram serial didapatkan median z-score RPA/hari pasca stenting AKVK (2,5 x 10-3) lebih tinggi dibandingkan mBTTS (0,9 x 10-3) bermakna secara statistik (p<0,001). Median z-score LPA/hari pasca stenting AKVK (1,7 x 10-3) lebih tinggi dibandingkan mBTTS (0,7 x 10-3), bermakna secara statistik (p<0,001). Stenting AKVK memiliki rasio distribusi pertumbuhan LPA terhadap RPA secara bermakna yang lebih baik (0,93 (IQR 0,87-1,01) dibandingkan mBTTS [0,91(IQR 0,83-0,98),p<0,01]. Pertumbuhan cabang arteri pulmonal kanan dan kiri secara bermakna lebih cepat pasca stenting AKVK dibandingkan dengan mBTTS serta menghasilkan distribusi pertumbuhan cabang arteri pulmonal yang lebih simetris dibandingkan mBTTS pada pasien dengan TOF Fisiologi.

Right Ventricular Outflow Tract Stenting (RVOT stenting) has emerged as an invasive transcatheter palliative therapy alternative to modified-Blalock-Thomas Taussig Shunt (mBTTS). However, pulmonary artery growth rate comparison after both option is limited. This study aimed to compare pulmonary artery growth rate after RVOT stenting and mBTTS on TOF physiology. The study was a consecutive retrospective cohort of TOF physiology who underwent palliative therapy at the Cardiovascular Center Harapan Kita between December 2019-2023. RPA and LPA growth post palliative therapy assessed by serial echocardiogram. Primary outcome was daily pulmonary artery growth represented by z-score per day and analysed using mixed-model. Total 139 patients [RVOT stenting (n=35); mBTTS (n=104)] were obtained. Results of analysis of a total 492 echocardiograms, median RPA z-score/day after RVOT stenting were higher significantly [(2.5 x 10-3 ) vs (0.9 x 10-3), p<0.001)]. Median LPA z- score/day after RVOT stenting were higher significantly [(1.7 x 10-3) vs (0.7 x 10-3), p<0.001)]. RVOT stenting had better LPA to RPA growth distribution ratio significantly [0.93 (IQR 0.87-1.01) vs 0.91(IQR 0.83-0.98),(p<0.01)]. RVOT stenting significantly promotes faster growth of pulmonary artery branches resulting in a more symmetric distribution of growth than mBTTS in TOF physiology."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ameru Ulfalian
"Latar belakang : Arterial switch operation (ASO) adalah operasi pilihan untuk penanganan penyakit jantung bawaan transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). Namun, terdapat komplikasi regurgitasi katup neoaorta yang memengaruhi keluaran jangka pendek dan panjang pascaprosedur ASO. Prosedur pulmonary artery (PA) banding yang merupakan bagian dari ASO dua tahap bagi pasien TGA IVS berusia di atas tiga minggu merupakan salah satu faktor risiko yang diduga memengaruhi regurgitasi katup neoaorta. Akan tetapi, belum diketahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO, karakteristik pasien TGA IVS, prevalensi regurgitasi katup neoaorta, dan pengaruh faktor risiko lain (rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta) terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada TGA IVS di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK), Indonesia.
Metode : Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK pada pasien TGA IVS yang dilakukan dan tidak dilakukan PA banding sebelum ASO pada periode 2010-2022. Variabel yang dinilai antara lain PA banding, rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta.
Hasil : Hasil penelitian ini terdapat 123 subjek yang terdiri dari 41 subjek kelompok PA banding dan 82 subjek kelompok tidak PA banding; median usia kelompok PA banding 14 (4–172) minggu, tidak PA banding 7 (4–364) minggu. Prevalensi regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia adalah 37,4%; derajat regurgitasi ringan mendominasi pada kelompok PA banding tidak PA banding sebelum ASO dengan persentase 74,0% dan 60,9%. Pulmonary artery banding memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis multivariat dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 3,01 (IK 95% 1,30 – 6,95) kali dibandingkan tanpa PA banding. Rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis bivariat subgrup dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 2,46 (IK 95% 1,21 – 5,00) kali dibandingkan dengan rentang waktu cepat.
Simpulan : Berdasarkan penelitian ini, PA banding dan rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan regurgitasi katup neoaorta dan meningkatkan risiko regurgitasi katup neoaorta pada pasien TGA IVS yang menjalani ASO.

.Background : Arterial switch operation (ASO) is the treatment of choice for transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). However, regurgitation of neoaortic valve was one complication that affect the short-term and long- term outcome after ASO. Pulmonary artery (PA) banding procedure, the first of two step in two-stage ASO done particularly for patient older than three weeks old, was thought to be the risk factor for developing neoaortic valve regurgitation. However, there was no data supporting this statement in Indonesia.
Aim : The aim of this study is to understand the effect of PA banding on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS, patient’s characteristics, prevalence of neoaortic valve regurgitation and effect of other risk factors (age, gender, time interval between PA banding and ASO, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy) on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK), Indonesia.
Method : This study was a retrospective cohort based on secondary data from medical record of NCCHK on patient with TGA IVS who underwent and not underwent PA banding prior to ASO in 2010 to 2022 time period. The variables assessed including PA banding, time interval between PA banding and ASO, age, gender, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy.
Result : There were 123 subjects in this study, consisted of 41 subjects in PA banding group and 82 subjects in non PA banding group; median age in PA banding group was 14 (4–172) weeks, non PA banding group 7 (4–364) weeks. Prevalence of neoaortic valve regurgitation post ASO in TGA IVS in Indonesia was 37.4%; with mild regurgitation dominated in PA banding and non PA banding prior to ASO group with percentage of 74.0% and 60.9%, respectively. Pulmonary artery banding had statistically significant correlation (p = 0,010) with neoaortic valve regurgitation in multivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 3,01 (CI 95% 1,30 – 6,95) compared with non PA banding. Late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation (p = 0.010) with neoaortic valve regurgitation in subgroup bivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 2.46 (CI 95% 1.21 – 5.00) compared with rapid time interval between PA banding and ASO.
Conclusion : Based on this study, PA banding dan late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation with neoaortic valve regurgitation and increasing risk of developing neoaortic valve regurgitation in TGA IVS patient underwent ASO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brilliant
"Latar belakang: DSV (Defek Septum Ventrikel) adalah satu dari banyak kasus penyakit jantung bawaan dengan angka 2,6 per 1000 kelahiran di Dunia. Salah satu komplikasi DSV yang sering ditemukan adalah DSV dengan hipertensi pulmonal. Diagnosis intervensi terhadap hipertensi arteri pulmonal menjadi perhatian pada 2-10% kasus DSV, sehingga pasien DSV yang bermanifestasi hipertensi pulmonal dilakukan pemeriksaan kateterisasi. Pasien usia 6 bulan menjadi pedoman batas usia untuk dilakukan kateterisasi di RSPJDNHK (Rumahsakit Pusat Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita). Sehingga antrean operasi menjadi lebih lama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh usia terhadap nilai PARi pascates oksigen dan mencari kelompok usia yang tidak memiliki hasil nonreaktif terhadap tes oksigen.
Metode: Dilakukan studi Observasional retrospektif pada pasien DSV usia di bawah 5 tahun di RSPJDNHK tahun 2015 - 2020. Pengumpulan data melalui rekam medis pasien di divisi bedah jantung pediatrik RSPJDNHK. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan perhitungan besar sampel mengikuti perhitungan besar sampel untuk uji komparatif numerik lebih dari dua kelompok dengan satu kali pengukuran. Analisis deskriptif dan analisis bivariat dilakukan dengan bantuan SPSS v 20.0.
Hasil: Terdapat 178 sampel penelitian pada penelitian ini. Dari hasil penelitian diketahui bahwa usia berpengaruh atau berhubungan dengan nilai PARi pascates oksigen (p<0,05) pada pasien DSV usia di bawah 5 tahun.
Simpulan: Terdapat hubungan usia dengan nilai PARi pascates oksigen dan usia ≤2 tahun memiliki nilai mutlak reaktif terhadap tes oksigen.

Background: Ventricular Septal Defect (VSD) is one of the many cases of congenital heart disease with a rate of 2.6 per 1000 births in the world. One of the complications of VSD is pulmonary hypertension, with the prevalence of interventional diagnosis of pulmonary hypertension is about 2 – 10 % of VSD. Those who manifest pulmonary hypertension are undergone right heart catheterization. Patients aged six months are the limit for catheterization in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital leads to a long waiting list. The study aimed to determine the effect on the PARi value of oxygen delivery and find age groups that have reactive results on oxygen tests.
Methods: A retrospective crossectional study was carried out in the pediatric cardiac surgery division of the National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. Data were taken from the medical record, enrolling those treated from January 2015 to December 2020 with subjects under five years old with VSD pulmonary hypertension who underwent cardiac catheterization. Samples were taken randomly by calculating the sample size following the sample size calculation for the comparative numerical test of more than two groups with one measurement. Descriptive analysis and bivariate analysis were carried out using SPSS v 20.0.
Results: There were 178 subjects enrolled in this study. The age correlated to the post-oxygen test PARi value (p<0.05) on VSD patients under five years of age.
Conclusions: This study showed that age correlated to the PARi value after oxygen test, and age ≤2 years old has absolute reactive value to oxygen test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjorang, Christine N S
"Latar Belakang : Terdapat dua modalitas terapi paliatif pada populasi pasien penyakit jantung bawaan biru pulmonary duct dependent yaitu intervensi kateterisasi dengan PDA stent dan pembedahan dengan mBTT shunt. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan luaran kedua tindakan paliatif ini pada usia yang lebih tua.
Tujuan: Mengetahui luaran tindakan PDA stent dibandingkan dengan mBTT shunt sebagai terapi paliatif pada pasien penyakit jantung bawaan sianotik dengan pulmonary duct dependent.
Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif menggunakan data sekunder terhadap 143 pasien yang menjalani terapi paliatif PDA stent dan mBTT shunt pada periode Agustus 2016 sampai Agustus 2022 di RS Pusat Jantung Harapan Kita. Dilakukan pemantauan selama perawatan hingga 30 hari pasca tindakan.
Hasil: Total 143 pasien yang dimasukkan ke dalam analisis luaran primer dan sekunder; 43 pasien menjalani PDA stent dan 100 pasien menjalani mBTT shunt dengan median usia kelompok PDA stent 110 (31-1498) hari dan kelompok mBTTshunt 174.5 (30-1651) hari. Komposit luaran primer tidak bermakna pada kedua kelompok meliputi mortalitas 30 hari (6(14%) vs 14 (14%), p=1,000), reintervensi (1(2,3%) vs 7 (7%),p = 0,436) , dan rehospitalisasi 30 hari (0(0%) vs 2(2%),p=0,319). Analisis luaran sekunder didapatkan angka lama rawat inap ICU lebih pendek pada kelompok PDA stent(2 (0-16) hari vs 4 (1-63) hari, p =0,002).
Kesimpulan: PDA stent memiliki luaran yang tidak berbeda dengan tindakan mBTT shunt pada komposit luaran meliputi mortalitas 30 hari, reintervensi, dan rehospitalisasi 30 hari namun berbeda bermakna pada lama rawat ICU.

Background: There are two modalities of palliative therapy in the population of patient with pulmonary duct dependent which is catheterization intervention with PDA stent and surgery with BTT shunt. To date, there have been no studies that have compared the outcomes of these two palliative strategy in older age.
Objectives: To determine the outcome of PDA stent compared to mBTT shunt as palliative therapy in patients with pulmonary duct dependent congenital heart disease.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using secondary data on 143 patients undergoing palliative therapy for PDA stents and mBTT shunts from August 2016 to August 2022 at National Cardiovascular Center Harapan Kita. Monitoring was carried out during treatment up to 30 days after the procedure.
Results : A total of 143 patients were included in the primary and secondary outcome analysis; 43 patients underwent PDA stent and 100 patients underwent mBTT shunt with median age of PDA stent group 110 (31-1498) days and mBTT shunt group 174.5 (30-1651) days. Primary outcome composite was not significant in both groups including 30 days mortality (6(14%) vs 14(14%), p=1.000), reintervention (1(2.3%) vs 7(7%),p=0.436) , and 30 days rehospitalization (0(0%) vs 2(2%),p=0.319). Secondary outcome analysis showed shorter ICU length of stay in the PDA stent group (2 (0-16) days vs 4 (1-63) days, p = 0.002).
Conclusion: PDA stent has an outcome that is not different from the mBTT shunt procedure in the composite outcome including 30 days mortality, reintervention, and 30 days rehospitalization but significantly different in ICU length of stay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>