Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aris Sukardi
"Penelitian ini mengeksplorasi perubahan dan kontinuitas dalam tradisi pembuatan pinisi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pinisi merupakan warisan budaya yang tidak hanya mencerminkan inovasi lokal dalam menghadapi tantangan alam, tetapi juga simbol identitas budaya maritim Indonesia. Melalui pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini mengkaji bagaimana masyarakat setempat mempertahankan nilai-nilai tradisional sambil beradaptasi dengan teknologi dan kondisi sosial ekonomi modern. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam dengan ahli dan budayawan lokal, serta analisis dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun unsur-unsur modern telah diintegrasikan dalam proses pembuatan perahu, esensi ritual dan nilai-nilai tradisional seperti gotong-royong, kepercayaan terhadap alam, dan penghormatan terhadap leluhur tetap dijaga. Masyarakat lokal menggabungkan penggunaan alat-alat modern dengan metode tradisional dalam setiap tahap pembuatan perahu, dari pemilihan kayu hingga peluncuran ke laut. Keberlanjutan sumber daya kayu juga menjadi fokus utama, dengan praktik-praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan diterapkan untuk menjaga ketersediaan bahan baku. Penelitian ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara inovasi dan tradisi dalam menjaga relevansi dan keberlanjutan industri perahu Pinisi. Temuan ini memberikan wawasan tentang bagaimana tradisi lokal dapat beradaptasi dengan perubahan global tanpa kehilangan identitas budayanya. Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang dinamika sosial dan budaya masyarakat pembuat pinisi serta peran mereka dalam ekonomi pedesaan dan pelestarian warisan budaya."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2024
900 HAN 7:2 (2024)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Sukardi
"Penelitian ini mengeksplorasi perubahan dan kontinuitas dalam tradisi pembuatan pinisi di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pinisi merupakan warisan budaya yang tidak hanya mencerminkan inovasi lokal dalam menghadapi tantangan alam, tetapi juga simbol identitas budaya maritim Indonesia. Melalui pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini mengkaji bagaimana masyarakat setempat mempertahankan nilai-nilai tradisional sambil beradaptasi dengan teknologi dan kondisi sosial ekonomi modern. Data dikumpulkan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam dengan ahli dan budayawan lokal, serta analisis dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun unsur-unsur modern telah diintegrasikan dalam proses pembuatan perahu, esensi ritual dan nilai-nilai tradisional seperti gotong-royong, kepercayaan terhadap alam, dan penghormatan terhadap leluhur tetap dijaga. Masyarakat lokal menggabungkan penggunaan alat-alat modern dengan metode tradisional dalam setiap tahap pembuatan perahu, dari pemilihan kayu hingga peluncuran ke laut. Keberlanjutan sumber daya kayu juga menjadi fokus utama, dengan praktik-praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan diterapkan untuk menjaga ketersediaan bahan baku. Penelitian ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara inovasi dan tradisi dalam menjaga relevansi dan keberlanjutan industri perahu Pinisi. Temuan ini memberikan wawasan tentang bagaimana tradisi lokal dapat beradaptasi dengan perubahan global tanpa kehilangan identitas budayanya. Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang dinamika sosial dan budaya masyarakat pembuat pinisi serta peran mereka dalam ekonomi pedesaan dan pelestarian warisan budaya."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2024
900 HAN 7:2 (2024)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fatoni Ramadhan Perkasa
"Banyuwangi pada masa kolonial di Nusantara memegang peranan penting dalam perkembangan perdagangan dan telekomunikasi antar negara jajahan Eropa. Salah satu tinggalan sejarah yang penting di Banyuwangi adalah Kompleks Inggrisan yang berperan penting dalam sejarah Banyuwangi. Penelitian ini akan membahas mengenai bentuk dan gaya bangunan pada Kompleks Inggrisan serta fungsi dan peranan Kompleks Inggrisan dalam sejarah telekomunikasi Banyuwangi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis bentuk, analisis gaya, dan analisis kontekstual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bangunan–bangunan yang terdapat pada Kompleks Inggrisan menggunakan perpaduan bentuk dan gaya antara gaya arsitektur indische empire dengan gaya arsitektur tradisional Jawa pada masa Jawa Kuno serta Kompleks Inggrisan memiliki peranan dan fungsi penting dalam sejarah telekomunikasi antara Banyuwangi dan Australia.

Banyuwangi in the colonial period in the archipelago played an important role in the development of trade and telecommunications between European colonial countries. One of the important historical remains in Banyuwangi is the English Complex which plays an important role in the history of Banyuwangi. This research will discuss the shape and style of the building in the English Complex as well as the function and role of the English Complex in the history of Banyuwangi telecommunications. The research method used in this research is qualitative research using form analysis, style analysis, and contextual analysis. The results of this study indicate that the buildings in the English Complex use a combination of shapes and styles between the Indische Empire architectural style and traditional Javanese architectural styles during the Old Javanese period and the English Complex has an important role and function in the history of Banyuwangi and Australia telecommunications."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuni Yustika Sari
"Pemaknaan terhadap warisan budaya memantik sebuah pembahasan dan perdebatan terkait diskusi warisan budaya secara global. Pembahasan seputar warisan budaya memiliki asal ontologis yang cukup kompleks, mengingat kehadiran wacananya yang bersifat lintas disiplin. Terlepas dari berkembangnya minat akademis dalam politik warisan budaya, belum terdapat pemahaman secara menyeluruh terhadap literatur warisan budaya dalam bingkai Ilmu Hubungan Internasional. Untuk mengisi ceruk tersebut, penulis melakukan tinjauan pustaka sistematis untuk menelaah badan literatur politik warisan budaya dalam Ilmu Hubungan Internasional. Penulis terlebih dulu memetakan perdebatan, konstruksi makna, serta tata kelola warisan budaya di tingkat global. Melalui pemetaan tersebut, penulis kemudian melakukan analisis tematis terhadap globalisasi wacana warisan budaya. Tema-tema tersebut di antaranya mencakup identitas, pascakolonialisme, diplomasi, keamanan, dan arus pariwisata. Berdasarkan kajian literatur, penulis berargumen bahwa: 1) terdapat jangkauan mengenai bagaimana warisan budaya dapat diidentifikasi atas dasar pengakuan oleh aktor-aktor internasional; 2) terdapat keterikatan warisan budaya dengan identitas simbolis suatu negara; serta 3) terdapat unsur wewenang dan tata kelola khusus atas rezim warisan budaya di tingkat internasional.

The meaning-making of cultural heritage sparks sequences of discussions and debates circumscribing the globalised past. A discussion surrounding cultural heritage embodies a complex ontological source, given the multidisciplinary nature of the globalised heritage discourse. Notwithstanding the growing level of scholarly interest towards heritage politics, a comprehensive understanding of cultural heritage literature within the International Relations framework is noticeably absent. To address this gap, I conveyed a systematic literature review to identify the state of knowledge on how cultural heritage politics is being scrutinised globally. The first half of the research maps the debate, construction, and the global governance of cultural heritage. Through the aforementioned mapping, the second half contains a thematic analysis towards the globalised discourse of cultural heritage. This research pinpoints five major themes, among others, including: identity, postcolonialism, diplomacy, security, and tourism. Based on a thorough literature review, I argue that: 1) there is a notion of how certain heritage is acknowledged by international actors; 2) there is a nexus between cultural heritage and a symbolic identity of a state; and 3) there is a particular authority and governance within the international heritage regime.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Maulida Shifa
"Penelitian ini membahas mengenai perkembangan Bangunan Pendopo dari bangunan Villa Maria menjadi Kantor Pusat PT KAI. Pada Bangunan Pendopo hingga saat ini masih dipergunakan sebagai kantor administrasi perkeretaapian dan telah mengalami adaptasi setelah ditetapkan menjadi cagar budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam adaptasi Bangunan Pendopo Kantor Pusat PT KAI serta menganalisis kesesuaian penerapan adaptasi yang sudah dilakukan dengan prinsip dan regulasi hukum yang berlaku. Metode yang digunakan yaitu analisis deskriptif dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi, dan penarikan kesimpulan. Hasil analisis didapatkan bahwa adaptasi mempengaruhi adanya perubahan fungsi ruang pada Bangunan Pendopo dan terdapat 3 bentuk adaptasi yang dilakukan, yaitu adaptasi dalam perubahan material, adaptasi dalam penambahan, dan adaptasi dalam pengurangan. Adaptasi dalam bentuk perubahan material dan penambahan pada Bangunan Pendopo telah sesuai dengan prinsip-prinsip adaptasi. Sedangkan bentuk pengurangan mengakibatkan merosotnya nilai penting yang terkandung dalam bangunan.

This paper discusses about the transformations of the Pendopo Building from Villa Maria building into the Central Office of PT KAI. The Pendopo building is still used as a railway administration office and has undergone adaptations after being a cultural heritage. This study aims to determine the changes that have occurred in the adaptation of the Pendopo building and to analyze whether the implementation of the adaptation that has been carried out in the cultural heritage building is in accordance with the adaptation principles and legal regulations. The method used is descriptive analysis starting from data collection, data analysis, interpretations, and conclusions. The results of the analysis found that adaptation affects changes in the function of space in the Pendopo Building and there were 3 forms of adaptation carried out in the Pendopo buildings, that is adaptation in material changes, adaptation in additions, and adaptation in reductions. Adaptation in the form of material changes and additions to the Pendopo building is in accordance with the adaptation principles. While the form of reduction results in a decline in the important value contained in the building."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Calistasela Aulia
"Bangunan Cagar Budaya merupakan peninggalan bersejarah yang memiliki peran yang sangat penting, yakni untuk mentrasfer identitas budaya pada generasi selanjutnya. Namun, adanya penurunan kondisi Bangunan Cagar Budaya terkait usia serta kurangnya perawatan berdampak akan kondisi Bangunan Cagar Budaya yang memprihatinkan. Maka dari itu, melakukan pelestarian Bangunan Cagar Budaya merupakan hal yang krusial untuk dilakukan untuk menjaga keberlanjutan akan keberadaannya. Selain menjaga keberlanjutannya, menjaga keaslian bangunan juga tidak kalah penting, mengingat tanpa keasliannya, Bangunan Cagar Budaya kehilangan hal mendasar yang menjadi tujuan keberadaanya. Oleh karenanya, melakukan pelestarian sesuai dengan tahapan yang benar serta sesuai etika dan kaidah konservasi merupakan hal yang harus dipahami dan diperhatikan demi terjaganya keaslian Bangunan cagar Budaya. Dengan demikian, maka nilai-nilai sejarah dapat tetap terjaga.

The Cultural Heritage Building is a historical heritage that has a very important role, namely to transfer cultural identity in the next generation. However, the decreasing condition of age-related Cultural Heritage Buildings and the lack of maintenance have an impact on the poor condition of Cultural Heritage Buildings. Therefore, preserving the Cultural Heritage Building is a crucial thing to do to maintain the sustainability of its existence. In addition to maintaining its sustainability, maintaining the authenticity of buildings is no less important, bearing in mind that without its authenticity, the Cultural Heritage Building loses its fundamental purpose for being. Therefore, conducting conservation in accordance with the correct stages and according to the ethics and rules of conservation is something that must be understood and considered for the preservation of the authenticity of the Cultural Heritage Building. Thus, historical values ​​can be maintained.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmawan Sujoni Putra
"Pantjoran Tea House merupakan bekas dari bangunan Apotek Chung Hwa yang berdiri pada tahun 1928. Sempat terbengkalai, pada 2015 bangunan ini mengalami konservasi restorasi oleh proyek dari Jakarta Old Town Revitalization (JOTRC) dan arsitek Djuhara. Sejak dahulu, gedung yang merupakan landmark kawasan Pecinan ini belum mendapatkan status sebagai bangunan cagar budaya meskipun telah mengalami restorasi dan berperan dalam melestarikan nilai-nilai budaya di Pecinan Glodok dan letaknya di Kawasan Cagar Budaya. Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui nilai-nilai penting apa saja yang melekat pada bangunan Pantjoran Tea House. Penelitian ini menggunakan metode kajian nilai penting berdasarkan metode Pearson dan Sullivan dengan delapan tahapan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pantjoran Tea House memiliki gaya Arsitektur Transisi (1890-1915) yang ditunjukkan unsur Gaveltoppen, Boucenlicht dan coloumn non-yunani dengan interior oriental Tionghoa lewat banyaknya penggunaan kayu pada bangunan. Hasil akhir penelitian ini memperlihatkan kriteria nilai penting pada bangunan yang terdapat pada UU Cagar Budaya, yaitu nilai ilmu pengetahuan, nilai sejarah, nilai kebudayaan, dan nilai pendidikan. Temuan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk mengusulkan penetapan Pantjoran Tea House sebagai cagar budaya.

Pantjoran Tea House is the former building of Apotek Chung Hwa, which was established in 1928. After being neglected for a period, the building underwent a conservation and restoration project in 2015 by the Jakarta Old Town Revitalization (JOTRC) and architect Djuhara. Throughout its history, this building, which serves as a landmark in the Pecinan area, has not yet received the official status as a cultural heritage despite having undergone restoration and played a role in preserving cultural values in Pecinan Glodok, located in the Cultural Heritage Area. The purpose of this research is to identify the significant values associated with the Pantjoran Tea House. This study adopts the method of assessing the significant values based on the Pearson and Sullivan method, involving eight stages. The findings reveal that Pantjoran Tea House exhibits the Transitional Architecture style (1890-1915) characterized by Gaveltoppen, Boucenlicht, and non-Greek columns, with a Chinese Oriental interior featuring extensive use of wood in the building. The results of this research demonstrate the criteria of significant values in a building according to the Cultural Heritage Law, encompassing scientific value, historical value, cultural value, and educational value. These research findings could be considered for proposing the recognition of Pantjoran Tea House as a cultural heritage site."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Chandrika Vidiananda Andini Putri
"Kinmen dengan pesona alamnya merupakan salah satu kabupaten di kepulauan Formosa (Taiwan) yang kaya akan warisan budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Salah satu diantaranya adalah Dewa Singa Angin yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai pelindung dari badai dan roh-roh jahat. Oleh karenanya, ditemukan banyak sekali patung Dewa Singa Angin di Kinmen. Berdasarkan data yang tercatat pada kantor Pemerintah Kabupaten Kinmen, terdapat enam puluh delapan (68) patung Dewa Singa Angin yang tersebar di berbagai wilayah kabupaten tersebut. Penelitian ini memaparkan tentang Dewa Singa Angin sebagai salah satu representasi budaya di Kinmen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui studi kepustakaan dengan penulisan yang bersifat deskriptif analisis. Kepustakaan diperoleh dari berbagai sumber, baik sumber primer berbahasa Mandarin maupun sumber sekunder berbahasa Inggris dan Indonesia.

One of the counties in the Formosa (Taiwan) archipelago, the Kinmen Islands, with its natural beauty and rich in cultural heritage that has been last for hundred years. One of the heritage is the Wind Lion God which is believed by the local community to be the protector from storms and evil spirits. Therefore, so many statues of Wind Lion God that can be found in Kinmen. According to the data recorded by the Kinmen County Government Office, there are 68 Wind Lion God statues scattered across various areas of the county. This paper will explore the Wind Lion God as representation of culture in Kinmen. The method for this paper uses qualitative method where utilizing library research with descriptive analytical writing. The library research obtained from many kinds of sources, such as primary sources in Mandarin language and secondary sources in English and Indonesian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chandrika Vidiananda Andini Putri
"Kinmen dengan pesona alamnya merupakan salah satu kabupaten di kepulauan Formosa (Taiwan) yang kaya akan warisan budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Salah satu diantaranya adalah Dewa Singa Angin yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai pelindung dari badai dan roh-roh jahat. Oleh karenanya, ditemukan banyak sekali patung Dewa Singa Angin di Kinmen. Berdasarkan data yang tercatat pada kantor Pemerintah Kabupaten Kinmen, terdapat enam puluh delapan (68) patung Dewa Singa Angin yang tersebar di berbagai wilayah kabupaten tersebut. Penelitian ini memaparkan tentang Dewa Singa Angin sebagai salah satu representasi budaya di Kinmen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui studi kepustakaan dengan penulisan yang bersifat deskriptif analisis. Kepustakaan diperoleh dari berbagai sumber, baik sumber primer berbahasa Mandarin maupun sumber sekunder berbahasa Inggris dan Indonesia.

One of the counties in the Formosa (Taiwan) archipelago, the Kinmen Islands, with its natural beauty and rich in cultural heritage that has been last for hundred years. One of the heritage is the Wind Lion God which is believed by the local community to be the protector from storms and evil spirits. Therefore, so many statues of Wind Lion God that can be found in Kinmen. According to the data recorded by the Kinmen County Government Office, there are 68 Wind Lion God statues scattered across various areas of the county. This paper will explore the Wind Lion God as representation of culture in Kinmen. The method for this paper uses qualitative method where utilizing library research with descriptive analytical writing. The library research obtained from many kinds of sources, such as primary sources in Mandarin language and secondary sources in English and Indonesian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windriastuti
"Seorang konservator tidak hanya perlu menguasai ilmu sejarah dan/atau seni untuk memahami konteks informasi dari suatu objek, tetapi ia juga harus mahir di bidang kimia untuk melakukan stabilisasi maupun restorasi terhadap objek kultural tersebut. Mengingat besarnya peran seorang konservator, maka keberadaannya dalam sebuah lembaga informasi seharusnya terlihat pula. Namun, visibilitas dari profesi ini masih rendah, terutama di Indonesia. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengelaborasi atau memberi gambaran lebih jauh mengenai profesi konservator di lembaga informasi DKI Jakarta. Data yang terlampir dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan metode tinjauan literatur dan wawancara mendalam dengan beberapa pihak yang bekerja dalam bidang konservasi di lembaga informasi DKI Jakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab utama dari minimnya visibilitas konservator di DKI Jakarta adalah ketiadaan payung hukum yang mampu mengakomodir profesi tersebut, baik peraturan mengenai kualifikasi pendidikan hingga asosiasi profesi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan haknya. Jika isu tersebut tidak segera ditangani, maka secara pelan tapi pasti, warisan budaya Indonesia dapat terancam punah pula.

Abstrak Berbahasa Inggris:
Not only do conservators have to be knowledgeable in art and/or history in order to comprehend the contextual information within a cultural object, but they also have to be well-educated in chemistry in order to stabilize and/or restore said object. Considering the importance of their profession, the visibility of conservators should also be very high, especially amongst cultural institutes. Unfortunately in Indonesia, conservators still have a very mediocre visibility rate as a profession. The purpose of this qualitative research is to further elaborate the reality of conservators as a profession in DKI Jakarta’s various cultural institutes. The data in this research is collected through in-depth interviews with relevant informants to the subject as well as a literature review. The findings of this research shows that the main contributor to the mediocre visibility rate of conservators is its lack of governmental regulations and legal basis, including but not limited to policies regulating the standard educational qualification and/or professional competency as well as a professional association meant to accommodate them. If those deeply-rooted issues are not immediately handled by the government, then sooner or later, Indonesia’s cultural heritage might be at risk of vanishing altogether.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>