Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219699 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widyan Grani Pramestiparamitha
"Fenomena pencemaran nama baik lintas batas negara sebagai perbuatan melawan hukum menghadirkan tantangan unik dalam ranah hukum perdata internasional, terutama jika dilihat melalui perspektif sistem hukum Indonesia dan Australia. Tulisan ini mengkaji dinamika kompleks pencemaran nama baik lintas batas sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum perdata internasional, dengan menganalisis pendekatan hukum yang dibandingkan antara Indonesia dan Australia. Studi ini menggunakan kasus penting Soeharto melawan Time dan Dow Jones v. Gutnick sebagai titik fokus, dengan mengeksplorasi prinsip yurisdiksi, hukum yang berlaku, serta pelaksanaan putusan dalam sengketa pencemaran nama baik lintas batas. Dalam kajian ini, konsep lex loci damni (hukum tempat terjadinya kerugian) dan lex loci delicti commissi (hukum tempat terjadinya perbuatan melawan hukum) menjadi penting untuk menentukan hukum yang berlaku dan lokasi penyelesaian sengketa. Hukum Indonesia menekankan prinsip teritorialitas dan perlindungan kehormatan individu, sementara hukum Australia, sebagaimana tercermin dalam kasus Gutnick, mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dengan menekankan pada lokasi kerugian terhadap reputasi. Perbedaan pendekatan ini mengungkapkan interaksi rumit antara hukum substantif dan prosedural dalam menangani pencemaran nama baik lintas yurisdiksi. Artikel ini juga menyoroti pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) di Indonesia untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih harmonis dan responsif terhadap perkembangan teknologi digital serta sifat komunikasi tanpa batas.

The phenomenon of cross-border defamation as a tort presents unique challenges in the realm of private international law, particularly from the perspective of the legal systems of Indonesia and Australia. This paper examines the complex dynamics of cross-border defamation as a tort within the context of private international law by analyzing and comparing the legal approaches of Indonesia and Australia. Using the landmark cases of Soeharto v. Time and Dow Jones v. Gutnick as focal points, this study explores principles of jurisdiction, applicable law, and the enforcement of judgments in cross-border defamation disputes. In this analysis, the concepts of lex loci damni (the law of the place where the harm occurred) and lex loci delicti commissi (the law of the place where the tort was committed) are crucial in determining the applicable law and the forum for dispute resolution. Indonesian law emphasizes the principle of territoriality and the protection of individual honor, while Australian law, as reflected in the Gutnick case, adopts a more flexible approach, emphasizing the location of reputational harm. These differing approaches reveal the intricate interplay between substantive and procedural law in addressing cross-jurisdictional defamation. This article also highlights the importance of enacting Indonesia’s Draft Private International Law Bill (RUU HPI) to create a more harmonized and responsive legal framework that accommodates the realities of advancing technology and the borderless nature of digital communication."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alika Putri Fachira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep pencemaran nama baik dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dengan melakukan perbandingan antara peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dan Australia. Definisi pencemaran nama baik tidak secara spesifik dijelaskan dalam KUHPerdata Indonesia. KUHPerdata hanya mengatur tentang upaya hukum pencemaran nama baik yang dicantumkan dalam Pasal 1372-1380. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan melawan hukum ini juga tidak seragam, ada yang menyebutnya sebagai pencemaran nama baik, sementara dalam beberapa sumber yang lain, termasuk KUHPerdata, menyebutnya sebagai penghinaan. Sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut, korban memiliki hak untuk menggugat pelaku dan menuntut pertanggungjawaban untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan pemulihan nama baik serta kehormatannya. Sementara di Australia, pencemaran nama baik diatur secara spesifik dalam undang-undang yang dikenal sebagai Defamation Act 2005 dan Model Defamation Amendment Provisions 2020. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dikenal sebagai tort yang umumnya digolongkan dalam ranah hukum perdata. Walaupun Australia merupakan negara federal, tetapi undang-undang tersebut berlaku nasional karena mengikat seluruh negara bagian serta wilayah teritorinya. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan suatu perbandingan hukum terkait konsep pencemaran nama baik sebagai suatu perbuatan melawan hukum antara Indonesia dan Australia dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan berbentuk doktrinal. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi baik persamaan maupun perbedaan pengaturan terkait konsep pencemaran nama baik di kedua negara tersebut.

This paper analyzes how the concept of defamation is considered as a tort, by comparing the laws and regulations in Indonesia and Australia. The definition of defamation is not specifically explained in the Indonesian Civil Code. The Civil Code only regulates the remedy of defamation which is included in Articles 1372-1380. The term used to describe this unlawful act is also inconsistent, some refer to it as defamation, while some other sources, including the Civil Code, refer to it as an insult. Because of these actions, the victim has the right to claim the actor and prosecute for liability to obtain compensation according to the provisions in Article 1365 of the Civil Code because it is considered an unlawful act and to restore his good reputation and honor. Meanwhile in Australia, defamation is specifically regulated in a law known as the Defamation Act 2005 and the Model Defamation Amendment Provisions 2020. Defamation is a legal act known as a tort which is generally classified as a civil law. Although Australia is a federal state, the law applies nationally because it applies to all states and territories. Therefore, as an inspirational function, this research conducts a legal comparison related to the concept of defamation as an unlawful act between Indonesia and Australia by employing a doctrinal comparative approach. Through this research, both similarities and differences in the regulation of the concept of defamation in both countries can be identified."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Adhyaksa Prabowo
"Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan karena pencemaran nama baik. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif normative legal research dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan: pertama, teori dan pengaturan perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan serta teori dan pengaturan tentang pencemaran nama baik. Perbuatan melawan hukum diatur di dalam Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, sedangkan pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo Pasal 310 sampai 320 KUH Pidana. Kedua, perlu atau tidaknya putusan pidana untuk mengajukan gugatan perdata karena pencemaran nama baik. Tidak adanya pengaturan mengenai kewajiban tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di putusan Hakim. Ketiga, analisis terhadap pertimbangan hakim di dalam Putusan No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut.
Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: i Definisi “penghinaan” dalam bidang Hukum Perdata perlu dibuat, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dengan menggunakan terminologi Hukum Pidana; ii Pengaturan mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik perlu diatur sehingga menimbulkan kepastian hukum dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara hakim; iii Penggugat seharusnya meminta kepada hakim untuk rehabilitasi nama baik dan kehormatan dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah.

This thesis discusses the unlawful act in the field of civil cases for defamation. This research is a juridical-normative legal normative research with a literature study. The research methods used to answer the problems: first, the theory of unlawful act and its regulation as well as the theory and the regularion of defamation. Unlawful act is regulated in Article 1365 until 1380 Civil Code, while defamation is regulated in Article 1372 to the 1380 Civil Code and Article 27 paragraph 3 ITE Law in conjunction with Article 310 to 320 of Penal Code. Second, is criminal verdict necessary or not to file a civil lawsuit for defamation. This lack of regulation caused diifferent opinion in the Judge's decision. Third, analysis of the judges' considerations in the Verdict No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut.
The result of this study suggest that: i Definition of "defamation" in the field of civil law needs to be made, because to avoid ambiguity by using the terminology of the Penal Code, ii There is need the regulation that criminal verdict is not necessary to file a civil lawsuit for defamation, in order to certainty of law and no different of opinion among the judges; iii Plaintiff's should request for rehabilitation of the reputation and honor by way of settlement decisions in public and that defendant made a statement that his act of doing is defamation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S52648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Julio Hibatul Wafi
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana suatu tindakan penghinaan sebagai salah satu bentuk perbuatan melawan hukum ditinjau menurut Hukum Perdata di Indonesia. Pengertian mengenai penghinaan tidak diatur secara spesifik di dalam KUHPerdata Indonesia. Di dalam KUHPerdata hanya diatur mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh dalam mengajukan gugatan perdata atas tindakan penghinaan yang tercantum pada Pasal 1372-1380 KUHPerdata. Korban dari tindakan penghinaan mempunyai hak untuk mengajukan gugatan untuk meminta ganti kerugian ke pengadilan atas kerugian yang diderita akibat dari tindakan penghinaan. Dalam hal pertanggungjawaban perdata, korban dari tindakan penghinaan dapat mengajukan ganti kerugian baik secara materiil maupun immateriil, serta meminta pemulihan nama baik sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam hal pertimbangan hakim di Indonesia dalam memutus gugatan perdata mengenai tindakan penghinaan masih terdapat perbedaan pendapat. Ada sebagian hakim yang mensyaratkan harus adanya putusan pidana terlebih dahulu agar dapat dibuktikan bahwa memang terjadi tindakan penghinaan. Namun, ada sebagian hakim yang berpendapat bahwa tidak harus menunggu adanya putusan pidana untuk dapat mengabulkan gugatan. Dalam hal ini dianalisis lebih lanjut mengenai pertimbangan hakim dalam memutus Perkara Nomor 511/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Utr atas gugatan perbuatan melawan hukum tindakan penghinaan.

This article analyzes how an act of defamation as a form of unlawful act is reviewed according to Civil Law in Indonesia. The definition of defamation is not specifically regulated in the Indonesian Civil Code. The Civil Code only regulates the legal remedies that can be taken in filing a civil lawsuit for an act of defamation as stated in Articles 1372 - 1380 of the Civil Code. The victim of an act of defamation has the right to file a lawsuit to seek compensation to the court for the losses suffered as a result of the act of defamation. In terms of civil liability, the victim of an act of defamation can file for compensation both materially and immaterially, and request restoration of good name according to the provisions stipulated in Article 1365 of the Civil Code. In terms of the considerations of judges in Indonesia in deciding civil lawsuits regarding acts of defamation, there are still differences of opinion. There are some judges who require that there must be a criminal decision first so that it can be proven that an act of defamation has indeed occurred. However, there are some judges who are of the opinion that it is not necessary to wait for a criminal decision to be able to grant a lawsuit. In this case, further analysis is carried out regarding the judge's considerations in deciding Case Number 511/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Utr regarding the lawsuit for unlawful acts of defamation. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ammar
"ABSTRAK
Anggota direksi dalam melaksanakan tugasnya memiliki resiko bertanggung jawab secara pribadi. Saat ini terdapat kecenderungan anggota direksi melakukan perjanjian pisah harta untuk membatasi tanggung jawab pribadinya. Tesis ini mengkaji tentang keberadaan perjanjian pisah harta untuk membatasi pertanggung jawaban anggota direksi dalam hal perseroan terbatas merugi akibat kelalaian anggota direksi tersebut dan perlindungan hukum terhadap kreditur apabila anggota direksi tersebut memiliki perjanjian pisah harta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pisah harta yang dilakukan anggota direksi yang bersalah atau lalai yang menyebabkan perseroan terbatas rugi dapat membatasi tanggung jawab anggota direksi tersebut apabila perjanjian pisah harta dibuat sebelum perkawinan dilakukan dan dalam bentuk akta notaries. Kreditur memang tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai dalam hal anggota direksi memiliki perjanjian pisah harta. Namun demikian kreditur tetap dapat melakukan upaya hukum lainnya agar kepentingannya terlindungi dengan meminta dibuatnya asuransi jabatan direksi atau melakukan gugatan Actio Pauliana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif, dengan bahan hukum sekunder sebagai bahan utama

ABSTRACT
Board of directors in carrying out their duties have personal responsibility risk. Currently, there is a tendency of the directors entered into a separation of property agreement to limit personal liability. This thesis examines the existence of separate property agreement to limit liability of the directors in terms of a limited liability company lost due to the negligence of the directors and the legal protection of creditors if the board member has a separate property agreement. The results showed that the separation of property agreement of the members of the board of directors at fault or negligence which causes loss of limited liability may limit the liability of directors when the separation of property agreement made ​​before marriage done and in a notary deed. The lender did not obtain adequate legal protection in the event a director has an agreement separate property. However, lenders can still make other remedies that protected its interests by requiring insurers made ​​the position of directors or making claims Actio Pauliana. The research was conducted by using normative juridical, with secondary materials as the main materials"
Universitas Indonesia, 2013
T33138
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partogi, Emanuel Sion
"Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997, 2015, dan 2019 menyebabkan kerugian bagi masyarakat di Singapura dan Malaysia. Hal ini dapat menjadi dasar menggugat perbuatan melanggar hukum bagi pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, tumpahan minyak dalam kasus Sanda v PTTEP Australasia (2009) menyebabkan kerugian bagi sekelompok petani rumput laut di Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Adapun minyak tersebut berasal dari kilang minyak milik PTTEP Australasia yang beroperasi di wilayah Pulau Ashmore dan Cartier, Australia. Adanya pencemaran lintas batas negara menyebabkan suatu persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI), jika muncul gugatan perbuatan melanggar hukum atas pencemaran tersebut. Oleh karenanya penting untuk menentukan hukum yang berlaku atas gugatan perbuatan melanggar hukum tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pencemaran telah terjadi berdasarkan hukum nasional negara tertentu dan akibat-akibat dari pencemaran tersebut, contohnya pembayaran ganti rugi. Penelitian ini akan membandingkan kaidah HPI Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Australia. 

Forest Fires that occurred in Indonesia in 1997, 2015, and 2019 caused massive losses for the citizens of Singapore and Malaysia. On this basis, the plaintiff can file a tort lawsuit to sue for damages. On the other hand, the oil spill in the case of Sanda v PTTEP Australasia (2009) also caused damage to a group of seaweed farmers in Rote, East Nusa Tenggara, Indonesia. In addition, the oil spills came from the wellhead owned and operated by PTTEP Australasia. The wellhead itself is located in the Territory of Ashmore and Cartier Islands, Australia. The presence of pollution across the nation’s border gives rise to the Private International Law issue if the party files the lawsuit. Therefore, determining the applicable law is foremost to analyse. It aims to know whether environmental damage has occurred regarding certain national laws and the outcomes from the damage, e.g., compensation settlement. This research will compare Indonesian, Singaporean, Malaysian, and Australian Private International Law.  "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Estheralda
"Komunikasi dan informasi merupakan kebutuhan yang fundamental sifatnya bagi manusia dalam kehidupan modern dewasa ini. Melalui informasi manusia memperoleh pengetahuan, pendidikan maupun hiburan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari informasi yang merupakan produk dari dunia pers. Dalam penyajian suatu informasi bagi dunia pers seringkali terjadi suatu penulisan atau pemuatan berita yang dirasakan merugikan pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan huKum khususnya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sering sulit untuk dibuktikan bahwa telah terjadi penghinaan tersebut. Hal. ini disebabkan dalam KUH Perdata "sendiri tidak terdapat definisi yang jelas dari penghinaan tersebut. Sehingga para sarjana seperti Wirjono Prodjodikoro misalnya mengatakan bahwa · titik berat dari soal penghinaan berada dalam lapangan dunia perasaan yang bersifat sekonyong-konyong dan biasanya tidak memberikan kesempatan berpikir secara tenang dan tenteram apakah sebetulnya isi dari perkataan orang yang dikatakan menghina itu. Tetapi hal yang nyata ialah bahwa pada waktu kata-kata itu diucapkan, sudah ada kesan dari ucapan itu dan mungkin perasaan seseorang sudah tertusuk waktu itu, padahal ia belum sempat berpikir tentang apakah maksud sebenarnya dari ucapan itu. Pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan batasan-batasan tertentu dalam praktek di pengadilan. Dalam dunia pers sendiri telah ditentukan batasan-batasan bagi wartawan dalam menyajikan suatu berita yaitu Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers, untuk menghindari penulisan yang bersifat menghina dan/atau mencemarkan nama baik. Dalam praktek di pengadilan, pemberitaan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan umum tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan menurut pasal 1376 KUH Perdata. Contohnya adalah berita-berita mengenai KKN yang perlu diketahui masyarakat seperti informasi mengenai dugaan KKN yang dilakukan pejabat negara, kolusi dengan pihak swasta dan konglomerat dan nepotisme dengan keluarga pejabat negara adalah berita yang masuk dalam pengertian kepentingan umum. Dalam pemberitaan mengenai kepentingan umum tidak ternyata adanya maksud untuk menghina sehingga bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dalam hal penghinaan dan/atau pencernaran nama baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Tenri Sa`na Said
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peraturan hukum perdata terkait proses penyelesaian gugatan pencemaran nama baik antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganut sistem hukum civil law yang dipengaruhi oleh hukum Belanda. Jenis penelitian yang digunakan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian hukum yang sifatnya doctrinal. Penelitian ini melihat pada peraturan yang terdapat dalam hukum Indonesia dan peraturan hukum yang ada di negara Malaysia khususnya pada kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan hasil penelitian, Perbandingan penyelesaian gugatan pencemaran nama baik dalam hukum perdata antara negara Indonesia dan Malaysia terdapat perbedaan substansi dan kuantifikasi gugatan. Substansi penyelesaian gugatan pencemaran nama baik di Indonesia dan Malaysia mencerminkan perbedaan mendasar dalam sistem hukum kedua negara. Indonesia, yang menganut civil law, mengatur pencemaran nama baik melalui Pasal 1365 KUHPerdata dengan fokus pada pembuktian perbuatan melawan hukum (PMH), adanya kerugian, serta hubungan kausal antara tindakan tergugat dan kerugian yang dialami penggugat. Sedangkan Malaysia, dengan sistem common law, menggunakan Defamation Act 1957, yang menuntut pembuktian bahwa pernyataan tergugat bersifat fitnah, telah dipublikasikan kepada pihak ketiga, dan berdampak signifikan pada reputasi penggugat. Malaysia juga memisahkan kasus fitnah menjadi libel (tertulis) dan slander (lisan), dengan opsi pembelaan seperti justifikasi, komentar wajar, dan hak istimewa terbatas. Kuantifikasi gugatan, Indonesia dan Malaysia memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kompensasi kerugian. Di Indonesia, kerugian yang dapat digugat meliputi kerugian materiil, seperti hilangnya pendapatan, dan kerugian immateriil, seperti kerusakan reputasi atau penderitaan emosional, dengan jumlah kompensasi yang ditentukan berdasarkan diskresi hakim. Sebaliknya, Malaysia menggunakan pendekatan yang lebih terstruktur, mencakup general damages (kerugian umum yang tidak memerlukan bukti spesifik), special damages (kerugian finansial konkret yang membutuhkan bukti), dan punitive damages (hukuman untuk memberi efek jera pada tergugat). Pendekatan kuantifikasi di Malaysia mencerminkan prinsip retributif dan deterensi, sementara di Indonesia lebih berfokus pada keadilan restoratif untuk memulihkan kerugian penggugat tanpa menekankan aspek penghukuman.

This study aims to analyze civil law regulations related to the resolution process of defamation lawsuits between Indonesia and Malaysia. Indonesia adheres to a civil law system influenced by Dutch law. The type of research used in this study is doctrinal legal research. This research examines the regulations in Indonesian law and the legal regulations in Malaysia, specifically concerning defamation cases. Based on the research findings, the comparison of defamation lawsuit resolutions in civil law between Indonesia and Malaysia shows differences in substance and quantification of claims.The substance of defamation lawsuit resolutions in Indonesia and Malaysia reflects fundamental differences in the legal systems of the two countries. Indonesia, which adheres to civil law, regulates defamation through Article 1365 of the Civil Code (KUHPerdata), focusing on proving unlawful acts, damages, and the causal relationship between the defendant’s actions and the plaintiff's losses. Meanwhile, Malaysia, with its common law system, applies the Defamation Act 1957, which requires proof that the defendant's statement was defamatory, published to a third party, and significantly affected the plaintiff's reputation. Malaysia also distinguishes defamation cases into libel (written) and slander (oral), with defense options such as justification, fair comment, and qualified privilege.In terms of quantification of claims, Indonesia and Malaysia take different approaches to compensating damages. In Indonesia, damages that can be claimed include material losses, such as loss of income, and immaterial losses, such as reputational harm or emotional distress, with the compensation amount determined at the judge's discretion. Conversely, Malaysia uses a more structured approach, encompassing general damages (general losses that do not require specific evidence), special damages (specific financial losses requiring evidence), and punitive damages (punishment to deter the defendant).Malaysia’s quantification approach reflects the principles of retribution and deterrence, while Indonesia focuses more on restorative justice to recover the plaintiff's losses without emphasizing punitive aspects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Tenri Sa`na Said
"Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peraturan hukum perdata terkait proses penyelesaian gugatan pencemaran nama baik antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia menganut sistem hukum civil law yang dipengaruhi oleh hukum Belanda. Jenis penelitian yang digunakan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian hukum yang sifatnya doctrinal. Penelitian ini melihat pada peraturan yang terdapat dalam hukum Indonesia dan peraturan hukum yang ada di negara Malaysia khususnya pada kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan hasil penelitian, Perbandingan penyelesaian gugatan pencemaran nama baik dalam hukum perdata antara negara Indonesia dan Malaysia terdapat perbedaan substansi dan kuantifikasi gugatan. Substansi penyelesaian gugatan pencemaran nama baik di Indonesia dan Malaysia mencerminkan perbedaan mendasar dalam sistem hukum kedua negara. Indonesia, yang menganut civil law, mengatur pencemaran nama baik melalui Pasal 1365 KUHPerdata dengan fokus pada pembuktian perbuatan melawan hukum (PMH), adanya kerugian, serta hubungan kausal antara tindakan tergugat dan kerugian yang dialami penggugat. Sedangkan Malaysia, dengan sistem common law, menggunakan Defamation Act 1957, yang menuntut pembuktian bahwa pernyataan tergugat bersifat fitnah, telah dipublikasikan kepada pihak ketiga, dan berdampak signifikan pada reputasi penggugat. Malaysia juga memisahkan kasus fitnah menjadi libel (tertulis) dan slander (lisan), dengan opsi pembelaan seperti justifikasi, komentar wajar, dan hak istimewa terbatas. Kuantifikasi gugatan, Indonesia dan Malaysia memiliki pendekatan yang berbeda terhadap kompensasi kerugian. Di Indonesia, kerugian yang dapat digugat meliputi kerugian materiil, seperti hilangnya pendapatan, dan kerugian immateriil, seperti kerusakan reputasi atau penderitaan emosional, dengan jumlah kompensasi yang ditentukan berdasarkan diskresi hakim. Sebaliknya, Malaysia menggunakan pendekatan yang lebih terstruktur, mencakup general damages (kerugian umum yang tidak memerlukan bukti spesifik), special damages (kerugian finansial konkret yang membutuhkan bukti), dan punitive damages (hukuman untuk memberi efek jera pada tergugat). Pendekatan kuantifikasi di Malaysia mencerminkan prinsip retributif dan deterensi, sementara di Indonesia lebih berfokus pada keadilan restoratif untuk memulihkan kerugian penggugat tanpa menekankan aspek penghukuman.

This study aims to analyze civil law regulations related to the resolution process of defamation lawsuits between Indonesia and Malaysia. Indonesia adheres to a civil law system influenced by Dutch law. The type of research used in this study is doctrinal legal research. This research examines the regulations in Indonesian law and the legal regulations in Malaysia, specifically concerning defamation cases. Based on the research findings, the comparison of defamation lawsuit resolutions in civil law between Indonesia and Malaysia shows differences in substance and quantification of claims.The substance of defamation lawsuit resolutions in Indonesia and Malaysia reflects fundamental differences in the legal systems of the two countries. Indonesia, which adheres to civil law, regulates defamation through Article 1365 of the Civil Code (KUHPerdata), focusing on proving unlawful acts, damages, and the causal relationship between the defendant’s actions and the plaintiff's losses. Meanwhile, Malaysia, with its common law system, applies the Defamation Act 1957, which requires proof that the defendant's statement was defamatory, published to a third party, and significantly affected the plaintiff's reputation. Malaysia also distinguishes defamation cases into libel (written) and slander (oral), with defense options such as justification, fair comment, and qualified privilege.In terms of quantification of claims, Indonesia and Malaysia take different approaches to compensating damages. In Indonesia, damages that can be claimed include material losses, such as loss of income, and immaterial losses, such as reputational harm or emotional distress, with the compensation amount determined at the judge's discretion. Conversely, Malaysia uses a more structured approach, encompassing general damages (general losses that do not require specific evidence), special damages (specific financial losses requiring evidence), and punitive damages (punishment to deter the defendant).Malaysia’s quantification approach reflects the principles of retribution and deterrence, while Indonesia focuses more on restorative justice to recover the plaintiff's losses without emphasizing punitive aspects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Theresia Lamtarida
"Pencemaran nama baik merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum. Dalam penulisan ini, terdapat dua permasalahan utama yakni bagaimana pencemaran nama baik diatur sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan penerapan konsep ganti rugi yang terjadi dalam perkara terkait. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif.
Berdasarkan hasil analisis ini, Pasal 1365 KUHPerdata merupakan pasal yang tepat untuk digunakan, karena adanya perluasan perbuatan melawan hukum. Pencemaran nama baik adalah perbuatan yang telah melanggar hak subyektif dan harus diberikan ganti rugi agar nama baik pihak yang terhina menjadi pulih. Dengan demikian, suatu pencemaran nama baik perlu penggantian kerugian dan pemulihan nama baik dan kehormatan korban.

Defamation is an act that is against the law. In this writing, there are two main issues: how defamation regulated as a unlawful act and the application of the concept of damages that occur in related case. This study uses normative juridical research.
Based on the results of this analysis, Article 1365 of Civil Code is the right article to use because it consist of the expansion of unlawful act. Defamation is an act that violated the rights of subjective and should be compensated so that the good name of the party who insulted be recovered. Thus, a defamation needs a compensation for loss and recovery of good name and the honor of the victim.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>