Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197318 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Audrey Rakhshanda Putri
"Bising merupakan salah satu bahaya yang memajan pekerja di aktivitas pekerjaan. Salah satu dampak dari pajanan bising yang melebihi standar (> 85 dBA) di tempat kerja adalah dampak yang tidak berhubungan dengan fungsi pendengaran (non-auditori). Tiga sub-gangguan non-auditori, seperti gangguan fisiologi, psikologi, dan komunikasi berpengaruh terhadap kinerja dan ketidaknyamanan pekerja dalam bekerja. Berbeda dengan gangguan auditori, gangguan non-auditori dapat diobservasi meskipun tingkat bising di area kerja berada di bawah 85 dBA. Batas pajanan bising di dalam ruangan adalah 55 hingga 65 dBA menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016. PT X sebagai perusahaan manufaktur yang bergerak di sektor agroindustri berisiko terpajan bising, termasuk pekerja di ruang kendali. Hasil pengukuran bising di ruang kendali Pabrik NPK Granulasi dan Phonska PT X berada pada rentang 58,8 hingga 71,5 dBA. Tingkat bising tersebut berisiko menimbulkan gangguan non-auditori pada pekerja di ruangan, yakni operator. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui gangguan non-auditori dan faktor yang mempengaruhinya pada operator di ruang kendali. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross-sectional pada 66 operator yang bekerja di ruang kendali Pabrik NPK Granulasi dan Phonska PT X pada bulan April hingga Mei 2025. Variabel dependen dan independen yang diteliti adalah gangguan non-auditori, faktor tingkat pajanan bising (tingkat bising dan durasi pajanan), faktor individu (usia, masa kerja, perilaku merokok, dan riwayat penyakit), serta faktor perilaku (penggunaan APT dan pajanan bising di luar pekerjaan). Hasil penelitian menunjukkan 92,4% responden mengalami gangguan non-auditori dengan rincian 45,5% mengalami gangguan fisiologi, 86,4% psikologi, dan 83,3% komunikasi. Hasil analisis dengan metode Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis memperlihatkan perbedaan yang signifikan terhadap skor gangguan non-auditori berdasarkan kelompok masa kerja (p = 0,047) dan riwayat penyakit (p = 0,009); skor gangguan fisiologi berdasarkan kelompok usia (p = 0,031), masa kerja (p =  0,012), dan riwayat penyakit (p = 0,014); skor gangguan psikologi berdasarkan kelompok masa kerja (p = 0,024), riwayat penyakit (p = 0,021), dan pajanan bising di luar aktivitas pekerjaan (p = 0,047); serta skor gangguan komunikasi berdasarkan kelompok riwayat penyakit (p = 0,011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana gangguan non-auditori tetap dapat dialami oleh responden meski bising di bawah 85 dBA. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian, seperti memastikan tingkat pajanan bising di ruang kendali memenuhi persyaratan perundangan dan menambah bahan peredam bising di dalam desain ruang kendali.

Noise is recognized as one of the occupational hazards to which workers are frequently exposed. When noise exposure goes above the standard limit (>85 dBA), it can lead to effects that are not related to hearing, known as non-auditory effects. These effects are usually divided into three types: physiological, psychological, and communication-related. Non-auditory effects can impair work performance and contribute to discomfort in the workplace. Unlike auditory effects, non-auditory effects can be observed even when the noise level in the work area is below the health threshold. According to Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016, the indoor noise exposure limit ranges from 55 to 65 dBA. PT X is a manufacturing company in the agroindustry sector which is at risk of noise exposure. Its workers, including those in the control rooms, are potentially exposed to indoor noise. The noise levels in the control room of the NPK Granulation and Phonska Plant at PT X are in the range from 58,8 to 71,5 dBA. Control room operators may be at risk of non-auditory effects due to indoor noise exposure that exceeds the standard. Therefore, this study aimed to examine the non-auditory effects, noise exposure levels, individual factors, and behavioral factors among control room operators at the NPK Granulation and Phonska Plant of PT X in 2025. This study was conducted using a cross-sectional method on 66 operators working in the control room of NPK Granulation and Phonska Plant at PT X from April to May 2025. Data collection was conducted from April to May 2025. The dependent and independent variables studied were non-auditory effects, noise-exposure levels (noise intensity and duration), individual factors (age, length of employment, smoking habits, medical history), and behavioral factors (use of HPD and noise exposure outside work). The results showed 92,4% of respodents experienced non-auditory effects, with 45,5% reporting physiological effects, 86,4% psychological effects, and 83,3% communication effects. The Mann-Whitney and Kruskal-Wallis tests showed significant differences in non-auditory effect scores based on length of employment (p = 0,047) and medical history (p = 0,009); in physiology effect scores based on age (p = 0,031), length of employment (p =  0,012), and medical history (p = 0,014); in psychological effect scores based on length of employment (p = 0,024), medical history (p = 0,021), and noise exposure outside of work (p = 0,047); in communication effect scores based on medical history (p = 0,011). Therefore, it is necessary to implement control measures, such as ensuring that the level of noise exposure in the control room within the regulatory limits and incorporating both sound-absorbing as well as sound-insulating materials into the control room design. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Zifa Murti
"Paparan debu yang tinggi di lingkungan kerja, terutama debu PM2,5, dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan pada pekerja. PT X sebagai produsen pupuk memiliki potensi paparan debu yang cukup tinggi, terutama pada tahap-tahap proses produksinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsentrasi paparan debu PM2,5 dengan gejala gangguan saluran pernapasan pada pekerja pabrik pupuk NPK Granulasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan melibatkan 96 responden yang tersebar di tiga pabrik, yaitu NPK II, III, dan IV. Variabel independen meliputi konsentrasi PM2,5, durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, kebiasaan merokok, dan penggunaan alat pelindung diri (APD), sedangkan variabel dependen adalah gejala gangguan saluran pernapasan. Pengumpulan data dilakukan melalui dua metode, untuk konsentrasi PM2,5 diukur menggunakan alat DustTrak, sedangkan data mengenai variabel lain seperti durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, kebiasaan merokok, penggunaan APD, dan gejala gangguan pernapasan diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi PM2,5 di ketiga pabrik melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan berdasarkan Permenkes No. 70 Tahun 2016. Selain itu, ditemukan bahwa 59,4% responden mengalami gejala gangguan saluran pernapasan, yang menandakan adanya potensi bahaya terhadap kesehatan pekerja. Namun, dari seluruh variabel yang dianalisis, hanya kebiasaan merokok yang menunjukkan hubungan yang signifikan dengan gejala gangguan saluran pernapasan (p = 0,003). Sementara itu, variabel lain seperti konsentrasi PM2,5, durasi paparan, usia, masa kerja, riwayat penyakit pernapasan, dan penggunaan APD tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik. Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan gangguan saluran pernapasan pada pekerja. Meski demikian, fakta bahwa konsentrasi PM2,5 melebihi NAB menunjukkan bahwa lingkungan kerja tetap mengandung risiko yang perlu ditangani secara serius. Oleh karena itu, PT X perlu memperkuat upaya edukasi dan pengendalian terhadap kebiasaan merokok di lingkungan kerja. Selain itu, pemantauan rutin terhadap paparan debu PM2,5 dan pengawasan ketat terhadap kepatuhan penggunaan APD perlu terus dilakukan secara konsisten, guna mencegah risiko kesehatan lainnya.

High dust exposure in the workplace, particularly PM2.5 dust, can increase the risk of respiratory disorders among workers. PT X, as a fertilizer manufacturer, has a high potential for dust exposure, especially during several stages of the production process. This study aims to analyze the relationship between PM2.5 dust concentration and respiratory symptoms among workers at the NPK Granulation fertilizer plant. This research employed a cross-sectional design involving 96 respondents from three factories: NPK II, III, and IV. The independent variables included PM2.5 5 concentration, duration of exposure, age, length of employment, history of respiratory illness, smoking habits, and the use of personal protective equipment (PPE). The dependent variable was the presence of respiratory symptoms. Data collection was carried out using two methods: PM2.5 concentration was measured with a DustTrak device, while information on other variables including exposure duration, age, work history, respiratory illness history, smoking habits, PPE use, and respiratory symptoms was gathered through a questionnaire completed by the respondents. The results showed that PM2.5 concentrations in all three plants exceeded the Threshold Limit Value (TLV) set by the Indonesian Ministry of Health Regulation No. 70 of 2016. Furthermore, 59.4% of the respondents reported experiencing respiratory symptoms, indicating a potential health hazard for workers. However, among all the variables analyzed, only smoking habits showed a statistically significant association with respiratory symptoms (p = 0.003). Other variables, such as PM2.5 concentration, exposure duration, age, length of employment, history of respiratory illness, and use of PPE, did not demonstrate a significant statistical relationship. Based on these findings, it can be concluded that smoking habits are the primary risk factor associated with respiratory disorders among workers. Nevertheless, the fact that PM2.5 levels exceeded the TLV highlights that the work environment still poses a serious health risk. Therefore, PT X should strengthen its efforts in smoking control and education within the workplace. In addition, regular monitoring of PM2.5 dust exposure and strict supervision of PPE compliance must be consistently enforced to prevent other potential health risks."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Rihadatul Aisy
"Pajanan kebisingan pada pekerja merupakan faktor risiko pekerjaan yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan pekerja. PT. X merupakan industri komponen otomotif yang memiliki sumber kebisingan yang berasal dari proses produksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara intensitas kebisingan dengan gangguan non-auditory pada pekerja di PT. X, Cikarang, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross-sectional, dengan jumlah sampel yang diteliti sebanyak 48 pekerja. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proportionate stratified random sampling. Data intensitas kebisingan diperoleh dari Dokumen UKL-UPL Bulan Desember 2019 PT. X, sedangkan data karakteristik, perilaku, dan gangguan non-auditory pada pekerja diperoleh dari hasil kuesioner. Variabel independen dalam penelitian ini adalah intensitas kebisingan di area produksi, variabel dependen adalah keluhan gangguan non-auditory, dengan karakteristik dan perilaku individu sebagai variabel confounding. Intensitas kebisingan PT. X berada di bawah NAB. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 24 pekerja (50%) mengalami keluhan gangguan non-auditory. Analisis bivariat menggunakan chi-square menunjukkan intensitas kebisingan memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan non-auditory (p value=0,019). Selain itu, variabel usia (p value=0,039), penggunaan APD (p value=0,042), dan hobi terkait bising (p value=0,021) memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan non-auditory, sedangkan variabel jenis kelamin (p value=0,182) dan masa kerja (p value=0,562) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan non-auditory pada pekerja di area mixing, preparation, dan with metal PT. X. Temuan pada penelitian ini menjadi acuan untuk meningkatkan pengendalian dan penanganan kebisingan dengan melakukan pengukuran kebisingan secara rutin, melakukan monitoring kesehatan pekerja baik auditory maupun non-auditory, dan penggunaan APD untuk pekerja yang terpajan kebisingan.

Noise exposure is an occupational risk factor that can affect the health and safety of workers. PT. X is an automotive component industry that has a noise sources from the production process. The purpose of this study was to determine the relationship between the intensity of noise exposure and non-auditory effects in workers at PT. X, Cikarang, West Java. This study used a quantitative approach and a cross-sectional study design, with a total sample of 48 workers. Sampling was done by using proportionate stratified random sampling method. Noise intensity data were collected from Environment Permit (UKL-UPL) document in December 2019 PT. X, while the data on characteristics, behavior, and non-auditory effects in workers were collected from the questionnaire. The independent variable in this study is the intensity of noise exposure, the dependent variable is non-auditory effects, with individual characteristics and behavior as confounding variables. The noise intensity of PT. X is under the noise TLV. The results showed that 24 workers (50%) experienced complaints of non-auditory effects. Bivariate analysis using chi-square shows that the intensity of noise exposure has a significant relationship with non-auditory effects (p value = 0.019). In addition, the variable age (p value = 0.039), use of PPE (p value = 0.042), and noise-related hobbies (p value = 0.021) had a significant relationship with non-auditory effects, while the gender variable (p value = 0.182) and length of work (p value = 0.562) did not have a significant relationship with non-auditory effects in workers in the areas of mixing, preparation, and with metal PT. X. The findings in this study serve as a reference for improving noise control and handling by measuring noise regularly, monitoring the health of both auditory and non-auditory workers, and using PPE for workers exposed to noise."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Raini Az-Zahrah Putri
"Kebisingan merupakan semua suara yang tidak dikehendaki yang pada umumnya bersumber dari benda atau peralatan proses produksi yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik gangguan pendengaran (efek auditory) maupun keluhan kesehatan subjektif yang bersifat non auditory . Keluhan subjektif non auditory merupakan efek yang ditimbulkan akibat paparan kebisingan, namun bukan pada organ pendengaran, melainkan efek yang menyebabkan ketidaknyamanan pada seseorang seperti keluhan fisiologis, keluhan psikologis, dan keluhan komunikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran keluhan non auditory pada pekerja dan menganalisis pengaruh dari tingkat pajanan kebisingan, karakteristik pekerja, dan perilaku pekerja terhadap keluhan non auditory pada pekerja bagian operasi di area unit 5-7 pada perusahaan pembangkit listrik PT. X Tahun 2022. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Mei dengan melibatkan 58 pekerja yang merupakan pekerja bagian operasi pada area unit 5-7. Desain yang digunakan pada penelitian ini ialah cross sectional dan pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner keluhan non auditory. Variabel independen pada penelitian ini diantaranya tingkat kebisingan (SEG), usia, masa kerja, penggunaan APT, pajanan kebisingan diluar aktivitas pekerjaan, dan pelatihan terkait bahaya bising. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 58 pekerja bagian operasi, terdapat 31 pekerja (53,4%) yang mengalami keluhan fisiologis, terdapat 43 pekerja (74,1%) yang mengalami keluhan psikologis, dan terdapat 43 pekerja (74.1%) yang mengalami keluhan komunikasi. Terdapat hubungan antara tingkat kebisingan (SEG) dengan keluhan psikologis dan keluhan komunikasi, namun tidak terdapat hubungan antara karakteristik dan perilaku pekerja pada keluhan non auditory.

Noise is unwanted sound that comes from objects or equipment from the production process that can cause health problems in the form of hearing loss and non-hearing complaints. Non-auditory effects are symptoms caused by exposure to noise, but not on the hearing organ. This effects will cause discomfort to a person such as physiological complaints, psychological complaints, and communication complaints. The purpose of this study was to describe the description of non-auditory complaints on workers and analyze the effect of noise exposure levels, worker characteristics, and worker behavior on non auditory complaints among operating workers in the unit area 5-7 at the power plant company PT. X on 2022. This research was conducted in March – May involving 58 workers who are operating division workers in units 5-7 area. The design used in this research is cross sectional and data collection is done by distributing questionnaires related to non-auditory. The independent variables in this study included noise intensity based on SEG, age, working period, use of Hearing Protection Devices (HPD), noise exposure outside of work activities, and training related to noise hazards Based on research conducted on 58 workers in the operations worker, there were 31 workers (53.4%) who have physiological complaints, there were 43 workers (74.1%) who have psychological complaints, and there were 43 workers (74.1%) who have communication complaints. There is a relationship between the noise level based on SEG with psychological complaints and communication complaints, but there is no relationship between the characteristics and behavior of workers on non-auditory complaints."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuristiawan Khairul Muslim
"ABSTRAK
Gangguan non-auditory merupakan salah satu efek yang disebabkan oleh terpajan kebisingan selain gangguan auditory. Perbedaannya adalah jika pada gangguan auditory efeknya terjadi pada organ pendengaran, gangguan non-auditory efeknya berkaitan dengan respon tubuh salah satunya peningkatan tekanan darah. Penelitian ini menggunakan desain studi analitik dengan pendekatan cross sectional yang melibatkan 30 orang pengemudi truk mixer sebagai subyek penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari data primer pengukuran kebisingan area dan dosis pajanan personal serta pengisian kuesioner untuk variabel umur, masa kerja, penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT), gejala gangguan fisiologis, gangguan psikologis, dan gangguan komunikasi. Hasil penelitian secara statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur pekerja dengan gejala gangguan fisiologis (p = 0,605), gangguan psikologis (p = 0,439), dan gangguan komunikasi (p = 1,000) dan antara masa kerja dengan gejala gangguan fisiologis (p = 0,301), gangguan psikologis (p = 1,000), dan gangguan komunikasi (p = 0,114). Pengendalian enjinering dan pemberian APT menjadi salah satu cara untuk mengurangi pajanan kebisingan.

ABSTRACT
Non-auditory effects are one of the effects caused by exposure to noise in addition to auditory effects. The difference is that if the auditory interference effect occurs in the organ of hearing, non-auditory effects disorders associated with body responses, one of them is an increase in blood pressure. This study design is using analytic study with cross sectional approach involving 30 people mixer truck drivers as research subjects. The data collected in this study is derived primarily from noise measurement in the area and personal noise dose as well as filling out the questionnaire for age, working period, the use of protective ear equipment (APT), physiological symptoms, psychological disorders, and disruption of communications. The results showed that there was no statistically significant relationship between workers age with physiological disturbances (p = 0.605), psychological disorders (p = 0.439), and communication disorders (p = 1.000) and between working period with physiological disturbances (p = 0.301), psychological disorders (p = 1.000), and communication disorders (p = 0.114). Engineering control and provision of APT are some of the ways to reduce the noise exposure."
2015
S61058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahratunnisa
"Stres kerja merupakan respons fisik dan emosional yang merugikan akibat ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan yang dirasakan dengan sumber daya, kemampuan, serta kebutuhan individu dalam mengatasinya. Berdasarkan penelitian terdahulu, stres kerja merupakan permasalahan global dengan prevalensi tinggi di berbagai sektor dan profesi. Risiko serupa juga dialami oleh pekerja kantoran yang menghadapi tekanan dari beban kerja kompleks, tuntutan tinggi, serta jam kerja fleksibel. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor psikososial dan faktor individu terhadap kejadian stres kerja pada karyawan PT X, sebuah perusahaan manufaktur di DKI Jakarta. Faktor yang diteliti adalah faktor individu, faktor konteks kerja, dan faktor konten kerja. Penelitian menggunakan desain cross-sectional dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Analisis data meliputi uji chi-square untuk hubungan bivariat dan regresi logistik untuk variabel dengan kategori >2 menggunakan SPSS 22.0 guna mengidentifikasi pengaruh faktor independen terhadap stres kerja. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa prevalensi stres kerja sedang di PT X adalah sebesar 8,7%. Hubungan signifikan (p-value<0,05) ditemukan pada 8 faktor, yaitu jenis kelamin, status pernikahan saat ini, status kepegawaian, pengembangan karier, home-work interface, lingkungan dan peralatan kerja, beban/kecepatan kerja, serta jadwal kerja. Oleh karena itu, diperlukan penerapan manajemen stres kerja yang holistik, terutama pada faktor yang berhubungan dengan stres kerja, untuk mencegah kejadian stres kerja yang lebih besar serta meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja.

Work related stress is a harmful physical and emotional response resulting from an imbalance between perceived job demands and available resources, individual capabilities, and coping needs. Previous research shows it’s a prevalent global issue across professions and sector, including office workers facing complex workloads, high demands, and flexible schedules. This cross-sectional study examined psychosocial (work context and content) and individual factos influencing work related stress among employees at PT X, located in DKI Jakarta, that is a manufacturing company, using questionnaire data analyzed with chi-square test and logistic regression (SPSS 22.0). Results indicated an 8,7% moderate stress prevalence, with significant associations (p<0,05) found for gender, marital status, employment type, career development, work-home interface, work environment, workload, and work schedules. These findings support the need for holistic stress management interventions targeting these factors to improve employee welbeing and productivity. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Sartika
"Bising di tempat kerja dapat menimbulkan dampak terhadap sistem auditory maupun sistem non-auditory. PT X merupakan industri manufaktur yang mempunyai proses produksi yang menghasilkan bising. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dosis pajanan bising harian, usia, masa kerja, dan pemakaian alat pelindung telinga APT dengan gangguan non-auditory. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran dosis pajanan bising harian secara langsung di lapangan dan gangguan non-auditory melalui wawancara terstruktur. Hasil pengukuran dosis pajanan bising harian diketahui seluruh unit kerja yang diukur berada diatas NAB Nilai Ambang Batas . Di samping itu, hasil pengukuran gangguan non-auditory dari 52 responden diperoleh tingkat gangguan non-auditory berat sebanyak 59,6 dan gangguan non-auditory ringan sebanyak 40,4 . Analisis rata-rata dosis pajanan bising harian dengan gangguan non-auditory menggunakan uji-t diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerja yang mengalami tingkat gangguan non-auditory. Sedangkan analisis antara variabel usia, masa kerja, dan pemakaian APT dengan gangguan non-auditory diperoleh hubungan yang tidak signifikan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan gangguan non-auditory yang dialami oleh pekerja lebih disebabkan oleh dosis pajanan bising harian. Rekomendasi yang diberikan yaitu mengendalikan gangguan non-auditory dengan menurunkan dosis pajanan bising harian yang ada hingga di bawah NAB.

Occupational Noise can cause either auditory system or non auditory system disorder. PT X is a manufacturing industry which has production process that produces noise. The purpose of this study is to observe the relationship between daily noise exposure dose, age, working time and utilization of hearing protection to non auditory disorders. Data collection was done by direct measurement for daily noise exposure dose and structural interview for non auditory disorders. The result from measurement of daily noise exposure dose in all working units showed the value above the Threshold Limit Value TLV . In the other hand, the result for non auditory disorder measurement showed 59.6 of 52 respondents suffered severe non auditory disorders and 40.4 suffered mild non auditory disorders. Analysis using T Test resulted in significant difference on means value of daily noise exposure dose between non auditory disorders levels. Furthermore, analysis of age, working time, and utilization of hearing protection to non auditory disorder resulted in insignificant relationship. Based on the result of the study, it could be concluded that non auditory disorder suffered by workers was mostly caused by daily noise exposure dose. Hence, the recommendation to control the non auditory disorders is to reduce daily noise exposure dose until lower than TLV. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S66173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anshor
"Penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja di bidang industri diharapkan dapat menunjang terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi pekerja serta terciptanya produktivitas kerja yang optimal. Namun demikian, potensi bahaya dan resiko di tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan pekerja. Salah satu keluhan yang sering muncul adalah kelelahan pada pekerja di sektor industri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan kerja (kebisingan dan pencahayaan) dan proses kerja (beban kerja) yang berhubungan dengan tingkat kelelahan pada operator produksi Powder PT. X. Jenis penelitian ini adalah cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 42 orang. Tingkat kelelahan diukur menggunakan kuesioner yang mengacu kepada IFRC (International Fatigue Research Committee) yang dimodifikasi. Beban kerja diukur berdasarkan denyut jantung sedangkan tingkat kebisingan dan tingkat pencahayaan berdasarkan data hasil pengukuran yang telah dilakukan oleh PT. X.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 83,3% mengalami kelelahan (69% kelelahan ringan dan 14,3% kelelahan menengah).dimana gejala kelelahan yang paling banyak dirasakan oleh responden adalah rasa lelah pada sekujur badan dan badan tidak merasa fit. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hanya pencahayaan yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kelelahan.

Implementation of Occupational Health and Safety program in industry will expected to create safe and healthy working places for worker and optimal productivities. However, hazards and risk on working places can impact to worker healthiness. One of dominant case is fatigue on worker in industries.
This study aims to determine the relationship of environmental factors (noise and lighting) and working process (working load) to the level of fatigue on Powder production operators, This study use cross sectional study with number of sample is 42 people. The level of fatigue was measured using questionnaire refer to modified IFRC (International Fatigue Research Committee). Working load was measured using heart rate monitoring, while noise and lighting base on data from measurement conducted by PT. X.
The result of this research is 83,3% respondents indicate having fatigue (69% is slight level and 14,3% is medium level), while the most widely perceived symptoms of fatigue were feel of tired on the whole of body and feel of un-fit. The result of statistical test showing that only lighting which have significant relationship with the level of fatigue.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31347
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktaria Penny
"Tingginya kebutuhan manusia yang harus dipenuhi menyebabkan peningkatan produksi di berbagai sektor industri. Salah satu caranya adalah dengan memberlakukan sistem shift kerja. Penerapan sistem shift kerja ini berdampak kepada kelelahan pada pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan pada operator plastic injection di PT X. Faktor yang diteliti merupakan faktor karakteristik pekerja (umur, masa kerja, kondisi kesehatan, dan kuantitas tidur) dan faktor pekerjaan (shift kerja, waktu istirahat, commuting time, dan pekerjaan tambahan). Pengukuran kelelahan pada operator diukur dengan menggunakan Fatigue Severity Scale. Penelitian ini bersifat subjektif analitik dengan menggunakan desain studi cross sectional. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 99 orang atau 46,5% pekerja mengalami kelelahan. Selain itu juga dapat diketahui bahwa masa kerja, kondisi kesehatan, dan kuantitas tidur mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kelelahan pada operator plastic injection. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap kelelahan, baik dari pihak manajemen maupun operator itu sendiri.

Nowadays, the number of human need's demand is always tending to increase. In order to meet with that high demand of human needs, many industries try to increase their production activity supported by a shift work system. But in the reality, we almost find some complaint about a fatigue worker. This research aim to learn about several factors that causes a fatigue among plastic injection operator at PT X. That factors are divided into personal factors (age, years of services, worker's health condition, and a quantity of sleep) and work condition factors (shift system, break time, commuting time, and worker's second job). This research is using a subjective analytical method which is measured by a Fatigue Severity Scale with cross sectional design. The result of this research shows that 99 persons or 46.5% of plastic injection operator at PT X is experienced fatigue, and years of service, worker's health condition, and quantity of sleep factors are significantly related with the fatigue among plastic injection operator. Due to the result of this research, either the management of PT X or the workers itself have to manage that fatigue."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S53769
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evie Kemala Dewi
"Pekerja di sektor perkantoran, khususnya industri penerbitan, seperti editor buku, setter, desainer grafis, dan staf administrasi rentan mengalami gangguan muskuloskeletal (MSD) akibat posisi kerja statis, penggunaan komputer yang intensif, dan desain workstation yang kurang ergonomis. Namun, penelitian mengenai ergonomi di industri penerbitan di Indonesia masih terbatas dan perlu dikaji lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor risiko ergonomi yang memengaruhi keluhan gangguan muskuloskeletal pada editor buku, setter, desainer grafis, dan staf administrasi di Penerbit X tahun 2025 serta memberikan rekomendasi kegiatan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proportional random sampling. Jumlah sampel yang didapatkan yaitu 86 orang. Untuk mengukur keluhan gangguan muskuloskeletal menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM), dan untuk mengukur postur kerja menggunakan Rapid Rapid Office Strain Assesment (ROSA). Analisis data menggunakan uji Chi-square dengan nilai p <0,05. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat 54,7% responden mengalami keluhan gangguan muskuloskeletal. Keluhan terbanyak yang dirasakan responden yaitu daerah leher (85%), bahu (69%), punggung bawah (67%), punggung atas (60%), dan pergelangan tangan (52%). Sebagian besar skor ROSA responden <5, tetapi masih ada responden yang mendapatkan skor ≥5 (26,7%). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara usia responden (>28 tahun) dan keluhan gangguan muskuloskeletal, dengan nilai p = 0,041. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara postur kerja dan keluhan gangguan muskuloskeletal (p = 0,016). Masa kerja responden (>5 tahun) juga berhubungan dengan keluhan gangguan muskuloskeletal (p = 0,004). Selanjutnya, ditemukan pula hubungan antara kepuasan kerja responden dan keluhan gangguan muskuloskeletal, dengan nilai p = 0,034. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluhan gangguan muskuloskeletal pada pekerja di Penerbit X berhubungan dengan usia, postur kerja, masa kerja, dan kepuasan kerja.

Office workers, particularly those in the publishing industry such as book editors, setters, designers, and administrative staff, are prone to experiencing musculoskeletal disorders (MSDs) due to static working postures, intensive computer use, and poorly designed workstations. However, research on ergonomics in the publishing industry in Indonesia remains limited and requires further investigation. This study aims to analyze ergonomic risk factors that influence musculoskeletal complaints among book editors, setters, designers, and administrative staff at Publisher X in 2025, and to provide recommended interventions. This research employs a quantitative approach with a cross-sectional study design. Samples were selected using proportional random sampling, resulting in a total of 86 respondents. Musculoskeletal complaints were measured using the Nordic Body Map (NBM) questionnaire, while working postures were assessed using the Rapid Office Strain Assessment (ROSA) method. Data were analyzed using the Chi-square test with a significance level of p < 0.05. The results showed that 54.7% of respondents reported musculoskeletal complaints. The most frequently reported areas of discomfort were the neck (85%), shoulders (69%), lower back (67%), upper back (60%), and wrists (52%). Although most respondents had ROSA scores of less than 5, there were still some respondents with scores ≥5 (26.7%). This study found a significant association between respondents' age (>28 years) and musculoskeletal complaints, with a p-value of 0.041. Additionally, there was a significant relationship between working posture and musculoskeletal complaints (p = 0.016). The respondents’ length of service (>5 years) was also significantly associated with musculoskeletal complaints (p = 0.004). Furthermore, job satisfaction was found to be significantly related to musculoskeletal complaints (p = 0.034). Based on these findings, it can be concluded that musculoskeletal complaints among workers at Publisher X are associated with age, working posture, length of service, and job satisfaction."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>