Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37377 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aida Lydia
"Background: proliferative lupus nephritis (LN) has higher prevalence and worse prognosis than non-proliferative LN. Renal biopsy plays an important role in diagnosis and therapy of LN, but there are some obstacles in its implementation. A diagnostic scoring system for proliferative LN is necessary, especially for cases in which renal biopsy cannot be performed. This study aimed to develop a diagnostic scoring system of proliferative LN based on its diagnostic determinants including hypertension, proteinuria, hematuria, eGFR, anti-dsDNA antibody, and C3 levels.
Methods: a cross-sectional study with total sampling method was conducted. Our subjects were adult LN patients who underwent renal biopsy in Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2007 and June 2017.
Results: from a total of 191 subjects with biopsy-proven LN in this study, we found a proportion of proliferative LN of 74.8%. There were 113 subjects included for analysis of proliferative LN determinants. The multivariate analysis demonstrated that determinants for proliferative LN were hypertension (OR 3.39; 95% CI 1.30-8.84), eGFR <60ml/min/1.73m2 (OR 9.095; 95% CI 1.11-74.68), and low C3 levels (OR 3.97; 95% CI 1.41-11.17). After further analysis, we found that hypertension, eGFR <60ml/min/1.73m2, low C3 levels, and hematuria were essential components of the diagnostic scoring system on proliferative LN. The scoring system was tested with ROC curve and an AUC of 80.4% was obtained (95% CI 71.9-89).
Conclusion: the proportion of proliferative LN in biopsy-proven LN patients of Cipto Mangunkusumo Hospital is 74.8%. Components of scoring system for proliferative LN consist of hypertension, eGFR <60ml/min/1.73m2, low C3 levels, and hematuria.

Latar belakang: nefritis lupus (NL) proliferatif memiliki prevalensi yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan NL non-proliferatif. Pemeriksaan histopatologi memegang peranan penting dalam diagnosis dan terapi NL proliferatif, namun terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Sistem skor NL proliferatif diperlukan untuk membantu diagnosis NL proliferatif terutama pada kondisi biopsi ginjal tidak dapat dilakukan. Tujuan penelitian adalah menetapkan sistem skor diagnosis NL proliferatif berdasarkan determinan hipertensi, proteinuria, hematuria, eGFR, kadar anti-dsDNA, dan C3.
Metode: penelitian diagnostik dengan desain potong-lintang terhadap 113 pasien NL yang terbukti dari pemeriksaan Patologi Anatomik di RSCM sejak Januari 2007 hingga Juni 2017 dengan metode total sampling. Data yang digunakan adalah data sekunder. Analisis data dilakukan dengan program statistik SPSS Statistics 20.0 untuk analisis univariat, bivariat, multivariat, Receiving Characteristics Operator, serta analisis bootstrapping pada Kalibrasi Hosmer-Lemeshow.
Hasil: sebanyak 191 subjek dianalisis untuk proporsi NL proliferatif, didapatkan proporsi NL proliferatif pada pasien NL yang terbukti dari biopsi ginjal di RSCM sebesar 74,8%. Sebanyak 113 subjek dianalisis untuk mendapatkan determinan NL proliferatif. Pada analisis multivariat, hipertensi (OR= 3,39; 95%IK 1,30-8,84), eGFR <60ml/min/1,73m2 (OR= 9,095; 95%IK 1,11-74,68), dan penurunan kadar C3 (OR= 3,97; 95%IK 1,41-11,17) merupakan determinan NL proliferatif. Hipertensi, eGFR <60ml/min/1,73m2, penurunan kadar C3, dan hematuria, menjadi bagian sistem skor diagnosis NL proliferatif. Pada kurva ROC didapatkan AUC sebesar 80,4% (95% IK 71,9-89), dengan titik potong skor 3. Kesimpulan: proporsi NL proliferatif pada pasien NL yang terbukti dari biopsi ginjal di RSCM adalah 74,8%. Komponen sistem skor diagnosis NL proliferatif terdiri dari hipertensi, eGFR <60ml/menit/1.73m2, penurunan kadar C3, dan hematuria.
"
Jakarta: Interna Publishing, 2018
610 UI-IJIM 50:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Aziza Bawazier
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
610 LUC n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dratia Eka Fajarani
"Penyakit lupus merupakan penyakit kronis yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Orang dengan lupus disebut dengan odapus. Masalah fisik, psikologis, dan sosial merupakan dampak dari penyakit lupus. Oleh karena itu, pengetahuan tentang penyakit lupus dan dukungan sosial dari orang terdekat berperan penting terhadap interaksi sosial odapus di lingkungan masyarakat. Tujuan dari penelitian deskriptif korelatif ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang penyakit lupus dan dukungan sosial dari orang terdekat dengan interaksi sosial odapus di lingkungan masyarakat. Desain dari penelitian ini adalah cross-sectional. Jumlah sampel dari penelitian ini sebanyak 77 odapus dipilih dengan teknik consecutive sampling di RS Kramat 128 Jakarta dan RSUP Hasan Sadikin Bandung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan tentang penyakit lupus dan interaksi sosial odapus di lingkungan masyarakat (p=0,05; α=0,05). Sebaliknya, tdak terdapat hubungan antara dukungan sosial dari orang terdekat dan interaksi sosial odapus di lingkungan masyarakat (p=0,224; α=0,05). Penelitian ini memberikan implikasi kepada perawat sebagai tenaga kesehatan agar perlu untuk memberikan informasi tentang penyakit lupus kepada odapus dan orang terdekatnya sehingga orang terdekat mampu memberikan dukungan sosial yang maksimal kepada odapus. Pada akhirnya, odapus pun mampu berinteraksi dengan orang lain di lingkungan masyarakat. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi data penunjang untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya terkait penyakit lupus.

Lupus is a chronic disease attacking the human immune system. People who suffer from lupus are called odapus. Physical, psychological, and social problems are the effects of lupus disease. Therefore, knowledge about lupus and social supports from odapus's closest people have an important role in maintaining odapus's social interaction in society. The aim of this descriptive-correlative research was described the correlation between knowledge about lupus and social supports from odapus's closest people with their social interaction in society. The design of this research was cross-sectional. The amount of the sample was 77 odapus selected by consecutive sampling technique from RS Kramat 128 Jakarta and RSUP Hasan Sadikin Bandung.
The research's result showed that there was a correlation between knowledge about lupus and odapus's social interaction in society (p=0,05; α=0,05). Otherwise, there was not a correlation between social supports from odapus's closest people and odapus's social interaction in society (p=0,224; α=0,05). This research wants to give an implication for all nurses as the health professionals to give information about lupus disease to odapus and their closest friends and relatives, so they can give their maximum supports to odapus. Thus, odapus will be able to interact with other people in society. Besides, this research can be used as supporting data to accomplish the next research correlating to lupus disease.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56746
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang: Tujuan studi ini adalah membandingkan terapi antara siklofosfamid dan mikofenolat mofetil pada remisi nefritis lupus melalui sebuah laporan kasus berbasis bukti (evidence-based case report) yang diperoleh dari telaah sistematis dan meta-analisis.
Metode: Metode yang digunakan pada studi ini adalah laporan kasus berbasis bukti menggunakan telaah sistematis dan meta-analisis. Pertanyaan klinis adalah manakah terapi imunosupresan yang memberikan hasil lebih baik pada remisi nefritis lupus; siklofosfamid atau mikofenolat mofetil? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami melakukan pencarian dari situs PubMed dengan kata kunci ?lupus nephritis AND mycophenolate mofetil AND cyclophosphamide? dengan batasan telaah sistematis dan/atau meta-analisis, bahasa Inggris, dan hanya melakukan perbandingan secara spesifik terhadap kedua obat.
Hasil: Dari pencarian awal, kami memperoleh 11 artikel telaah sistematis dan/atau meta-analisis terkait terapi nefritis lupus. Satu artikel dieksklusi karena berbahasa Yahudi, empat artikel lain dieksklusi karena tidak spesifik melakukan perbandingan terhadap mikofenolat mofetil dan siklofosfamid sehingga diperoleh enam studi yang ikut serta dalam telaah kritis dan diskusi laporan kasus kami.
Kesimpulan: Berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang diperoleh, mikofenolat mofetil memberikan efektivitas yang sama (non-inferior) dengan siklofosfamid dalam mencapai remisi pada nefritis lupus, tetapi memiliki tingkat keamanan yang lebih baik daripada siklofosfamid. Pasien pada kasus mendapatkan mikofenolat mofetil dan telah menunjukkan perbaikan secara klinis ke arah remisi pada evaluasi pasca-rawat inap

Background: The aim of this case study is to compare the effectiveness between cyclophosphamide and mycophenolate mofetil to achieve remission of lupus nephritis in an evidence-based case report from meta-analyses.
Methods: Method in this case study is evidence-based case report using meta-analyses. Clinical question used in this paper is; which immunosuppressant gives better result in achieving remission in lupus nephritis patient: cyclophosphamide or mycophenolate mofetil? To answer this question, we search the evidence from PubMed with the keywords: ?lupus nephritis AND mycophenolate mofetil AND cyclophosphamide? with inclusion criteria of meta-analysis, written in English, and focused comparing cyclophosphamide and mycophenolate mofetil.
Results: From the searching method, we found 11 articles which is relevant. One has been excluded since it written in Hebrew, 4 articles excluded since are not focus answering the clinical question. At the end, 6 studies were included to the critical appraisal step.
Conclusion: Based on the evidences, mycophenolate mofetil is non-inferior to cyclophosphamide in achieving remission in lupus nephritis patients, but with the better safety profile. Patient in our case study get mycophenolate mofetil and shows better clinical condition towards remission as she are evaluated in the outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Kuswandhani Tedjojuwono
"ABSTRAK
"Lupus nephritis" (LN) ialah istilah keterlibatan ginjal pada penyakit otoimum "systemic lupus erythematosus" (SLE) yang gambaran histopatologinya bervariasi. Gambaran histopatologik tersebut menurut klasifikasi WHO dibagi menjadi 6 kelas yang ternyata memiliki prognosis berbeda pula. Penderita LN dengan gambaran histopatologik termasuk kelas IV dan VI memiliki prognosis buruk. Prediksi prognosis LN yang dibuat dengan mengaitkannya kepada klasifikasi gambaran histopatologik menurut WHO tidak selalu tepat, mungkin karena hanya menilai perubahan glomerulus semata. Perubahan gambaran histopatologik LN ditemukan sepanjang perjalanan penyakit. Oleh karena itu variabel patologik lain, yaitu indeks tubulo-intersisial, oleh beberapa peneliti dianggap merupakan parameter lainnya yang dapat dipakai menentukan prognosis LN. Penelitian retrospektif dilaksanakan untuk menilai kaftan indeks tubulo-intersisial dengan prognosis LN menurut klasifikasi WHO. Nilai indeks tubulointersisial diperoleh dari perhitungan skor untuk menilai indeks aktivitas dan kronisitas. Bahan penelitian yaitu sediaan patologi biopsi ginjal yang telah diperiksa di Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sejak tahun 1982 - 1992, dengan diagnosa klinik atau gambaran histopatologik LN.
Selama kurun waktu 10 tahun dijumpai 67 kasus LN, 63 perempuan dan 4 lelaki dengan perbandingan P:L = 16:1. Umur penderita termuda 10 tahun dan tertua 44 tahun (mean:25.24 tahun, s: 9.19). Pengelompokkan gambaran histopatologik 67 penderita LN menurut klasifikasi WHO sebagai berikut: 6(8.96%) penderita kelas I, 6(8.96%) penderita kelas II, 8(11.93%) penderita kelas III, 35(52.23%) penderita kelas IV, 6(8.96%) penderita kelas V, dan 6(8.96%) penderita kelas VL Penderita kelas IV dan VI merupakan kelompok terbesar 41(61.2%) yang menurut klasifikasi WHO berprognosis buruk dan sisanya penderita berprognosis baik 26(38.8%). Nilai skor indeks aktivitas kelompok penderita LN yang berprognosis buruk dan baik sesuai klasifikasi WHO berturut-turut ialah 9.8 dan 4.3. Nilai skor indeks kronisitas dikaitkan dengan hal yang sama ialah 2.8 dan 2.0, sedangkan nilainya indeks tubulo- intersisial ialah 1.6 dan 1.3. Nilai indeks aktivitas dan indeks kronisitas tersebut dengan uji statistik menunjukkan berkaitan bermakna dengan prognosis penderita LN menurut klasifikasi WHO, berturut-turut hasilnya ialah Z = 5.29 dan Z = 3.23. Berbeda dengan nilai dua indeks terdahulu, uji statistik nilai indeks tubulo-intersisial hasilnya tidak bermakna Z = 1.117. Dengan kata lain indeks tubulo-intersisial tidak dapat dipakai sebagai parameter untuk menilai prognosis LN sesuai klasifikasi WHO.
Penelitian ini memperlihatkan jumlah penderita LN lelaki yang jauh lebih sedikit (P:L = 16:1) dibanding hasil peneliti lain(P:L = 13:1). Umur rata-rata penderita LN pada penelitian ini (25 tahun) juga lebih rendah dari hasil peneliti lain (30 tahun). Disarankan untuk melaksanakan penelitian yang lebih luas dalam arti jumlah penderita dan lokasi penelitian guna menerangkan perbedaan umur dan kelamin penderita LN. Keterkaitan indeks aktivitas dan kronisitas dengan prognosis LN menurut klasifikasi WHO dapat dimengerti karena perhitungan skornya berpegang pada perubahan glomerulus. Hal tersebut berbeda dengan perhitungan skor indeks tubulo-intersisial. Penelitian untuk menilai indeks tubulo-intersisial sebagai parameter prediksi prognosis LN perlu dilanjutkan dengan mengkaitkan kepada perubahan gambaran histopatologik sepanjang perjalanan penyakitnya."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Aziza Bawazier
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
616.462 LUC n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Schur, Peter H.
"Often considered the prototypic autoimmune disease, Lupus is characterized by protean manifestations and affects a wide range of organ systems. Despite widespread availability of anti nuclear antibody testing and other technological diagnostic advances, the diagnosis of lupus can be elusive, difficult, and inexact. Treatment of the disease can also be challenging. Advances in immunology and biotechnology have led to a burgeoning world of new therapies in development that offer patients the real possibility of new therapies and physicians and scientists novel insights into the pathogenesis of this complicated immunological disease. Lupus erythematosus : clinical evaluation and treatment summarizes the clinical aspects of lupus facing the general clinician in the 21st century. In this invaluable, practical book, the reader will find introductory chapters regarding general diagnostic and treatment principles, followed by chapters addressing the lupus-specific organ manifestations. Special topics regarding pregnancy and comorbidities are also presented. Written by highly experienced physicians with special expertise in lupus."
New York: Springer, 2012
e20426100
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Harini Oktadiana
"Latar Belakang: Nefritis lupus, merupakan manifestasi penyakit yang sering dan berat dari Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Pemeriksaan laboratorium untuk menilai aktivitas penyakit nefritis lupus menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang terbatas untuk membedakan antara penyakit aktif yang sedang berlangsung dan kerusakan organ kronis. Belum adanya biomarka non invasif yang dapat membantu diagnosis awal, penilaian aktivitas penyakit dan penilaian respon terapi pada nefritis lupus.Tujuan: Mengetahui peran Interleukin-16 (IL-16) urine pada nefritis lupus dan mengetahui perbedaan kadar IL-16 urine pada nefritis lupus berdasarkan status aktivitas penyakit. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan pengambilan sampel secara konsekutif pada 76 pasien LES dengan nefritis lupus yang berusia ≥ 18 tahun. Partisipan dianamnesis dan dilakukan pemeriksaan urine lengkap dan IL-16 urine. Pemeriksaan IL-16 urine menggunakan reagen Elabscience Human IL-16 ELISA yang menggunakan prinsip Sandwich-ELISA. Partisipan dibagi dalam dua kelompok berdasarkan status aktivitas penyakit nefritis lupus yang menggunakan skor renal SLEDAI menjadi 38 subjek nefritis lupus aktif dan 38 subjek nefritis lupus tidak aktif. Uji perbedaan dua kelompok menggunakan uji Mann Whitney. Hasil: Penelitian ini menemukan bahwa median kadar IL-16 urine pada kelompok nefritis lupus aktif lebih tinggi (2,992 [1,938-10,817] pg/ml) dibandingkan pada kelompok nefritis lupus tidak aktif (2,619 [2,050-5,508] pg/ml). Terdapat perbedaan kadar IL-16 urine yang bermakna pada kelompok nefritis lupus aktif dan tidak aktif (p=0,014). Simpulan: Terdapat perbedaan kadar IL-16 urine pada nefritis lupus berdasarkan status aktivitas penyakit.

Background: Lupus nephritis is a common and severe manifestation of Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Laboratory tests used to assess disease activity in lupus nephritis have shown limited sensitivity and specificity in differentiating between active ongoing disease and chronic organ damage. Currently, there is no non-invasive biomarker that can assist in early diagnosis, assess disease activity, and evaluate therapeutic response in lupus nephritis. Objective: To determine the role of urinary Interleukin-16 (IL-16) in lupus nephritis and to identify differences in urinary IL-16 levels in lupus nephritis based on disease activity status. Methods: This cross-sectional study consecutively enrolled 76 LES patients with lupus nephritis aged ≥ 18 years. Participants underwent medical interview and complete urine examination and urinary IL-16 examination. Urinary IL-16 was measured using the Elabscience Human IL-16 ELISA kit, which operates on the Sandwich-ELISA principle. Participants were divided into two groups based on the activity status of lupus nephritis disease, determined using the renal SLEDAI score, resulting in 38 subjects with active lupus nephritis and 38 subjects with inactive lupus nephritis. The differences between the two groups was tested using the Mann-Whitney test. Results: This study found that the median urinary IL-16 levels were higher in the active lupus nephritis group (2.992 [1.938-10.817] pg/ml) compared to the inactive lupus nephritis group (2.619 [2.050-5.508] pg/ml). There was a significant difference in urinary IL-16 levels between the active and inactive lupus nephritis groups (p=0.014). Conclusion: There was a difference in urinary IL-16 levels in lupus nephritis based on disease activity status."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Seorang wanita usia 22 tahun datang dengan keluhan utama timbul bercak kemerahan dan rasa gatal pada wajah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lainnya adalah timbul bengkak pada kedua tungkai, nyeri tenggorokan, dan batuk. Pasien sedang dalam pengobatan untuk lupus eritematosus sistemik dan tuberkulosis paru (sejak 12 hari yang lalu). Pada pemeriksaan fisik, pasien kompos mentis, hemodinamik stabil, dengan edema anasarka, lesi multipel makulo purpura yang tersebar pada tubuhnya, konjungtivis pada kedua mata, lesi multipel ulserasi di rongga mulut, dan tampak eritema pada mukosa genitalia. Hasil laboratorium menunjukkan anemia, lekopenia, hipoalbuminemia, proteinuria. Kami mencurigai pasien ini menderita sindrom Stevens Johnson akibat obat antituberkulosis. Selama perawatan, kami menghentikan pemberian obat antituberkulosis, dan memberikan metilprednisolon parenteral, serta terapi suportif lainnya. Pasien diizinkan untuk rawat jalan setelah terjadi perbaikan klinis dan dapat mobilisasi sendiri.

Abstract
A 22-year-old woman was admitted to the hospital because of 5-days history of redness and itch on her face. Additional complains were swelling on her feet, sore throat, and cough. Patient was on treatment for systemic lupus erythematosus and pulmonary tuberculosis (since 12 days). On physical examination, patient was alert, stable hemodynamic, anasarca edema, multiple purpuric macules lesion spread on her body, conjunctivitis of both eyes, multiple oral ulcers, erythema on genital mucosa. Laboratory results were anemia, leucopenia, hypoalbuminemia, proteinuria. We suspected this patient as Stevens Johnson syndrome due to tuberculostatic drugs. During treatment, we stopped the tuberculostatic drugs, and gave her parenteral methylprednisolone, with other supportive treatments. The patient was discharge after improvement of clinical condition and capable of self mobilization."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Atma Jaya. Fakultas Kedokteran], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>