Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eddy Rusli
"Scope and Method of Study: Typhoid and paratyphoid fever are still a major problem in developing countries viewed from epidemiological, laboratory, as well as clinical aspects. Reliable laboratory diagnosis is the blood culture. However, failure of the blood culture occurs, due to the bactericidal effect of blood (phagocytes, complement, and specific and nonspecific antibodies, among others). Microbiologists are challenged to improve the blood culture by adding sodium polyanethol sulphonate (SPS) in the media. SPS is capable to inactivate the blood bactericidal effect, is an effective anticoagulant, non-toxic to most pathogens, stable to high temperature, acid and alkaline solutions, and is water-soluble.
The objective of this study is to compare bile culture plus 0.05% SPS to conventional bile culture for the growth of salmonella in blood. The result was evaluated by the rate of growth in both cultures after 1 minute, 4 hours and 12 hours (logarithmic phase). The number of organisms was calculated from growth on nutrient agar plates when the range-of growth were 30-300 colonies per 0.1 ml inoculum, and the dilution of both cultures.
Findings and Conclusions: Fifty isolates representing five species of salmonellae has been tested and showed that the number of organisms per ml in the SPS bile culture was not significantly different compared to conventional bile culture. In conclusion, the SPS bile culture is the same as conventional bile culture for the growth of S. typhi, S. pa-atyphi A, B, C, and S. typhimurium in blood from healthy humans, with a blood-broth ratio of 1: 10."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Saifullah Napu
"RINGKASAN
Untuk mengetahui kegunaan foto toraks awal sebagai petunjuk prognosis kematian dini (30 hari) infark miokard akut (IMA) diteliti secara prospektif 80 foto toraks pada 80 pasien pasca infark miokard akut (IMA).
Pasien terdiri dari 72 laki-laki dan 8 wanita, umur rata-rata 56,3 ±10,2 tahun.
Foto toraks dibuat kurang dari 24 jam setelah sakit dada khas. Posisi pasien setengah duduk (450), eksposi film antero-posterior (AP). Variabel pada foto toraks yang dinilai adalah derajat Kongesti Vena Pulmonalis (KVP), Rasio Kardio Toraks (RKT) dan Ukuran Jantung Kiri (UJK).
KVP dibedakan atas 4 derajat. Derajat 0 ; normal, tidak terdapat KVP (n =38). Derajat I ; redistribusi aliran darah paru (n = 16), Derajat II ; sembab paru intersisial (n = 13), Derajat III ; sembab paru alveolar terlokalisir (n = A), Derajat IV ; sembab paru alveolar difus (n = 5).
Kematian dini secara bermakna (p < 0,05) lebih tinggi pada KVP derajat II ( 5 dari 13, 38,5%), derajat III (5 dari 8, 62,5% ) dan derajat IV {4 dari 5, 80,0% ) dibanding derajat I (2 dari 16, 12,5%).
Resiko relatif kematian dini pada KVP derajat II, III dan IV lebih besar dibanding dengan KVP derajat I yaitu 3,1 : 5,0 : 6,4 kali. Tidak terdapat kematian dini pada derajat 0.
Diantara variabel KVP, RKT dan UJK pada foto toraks, variabel KVP derajat II, III dan IV mempunyai nilai prediksi yang lebih bermakna terhadap kematian dini dibanding KVP derajat I, RKT dan UJK.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa derajat KVP pada foto toraks awal dapat dipakai untuk menentukan tinggi rendahnya risiko relatif kematian dini pasca IMA sehingga mempunyai arti klinis dan prognosis penting terhadap usaha tindakan pengobatan selanjutnya. KVP derajat 0 dengan atau tanpa kardimegali mempunyai prognosis lebih baik terhadap kematian dini.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jetty H. Sedyawan
"ABSTRAK
Angina pektoris Tak Stabil (ATS) adalah sindroma klinik yang berbahaya, merupakan pola angina pektoris yang dapat berubah menjadi infark miokard ataupun kematian. ATS menarik perhatian karena letaknya pada spektrum iskemia miokard di antara angina pektoris stabil dan infark miokard, sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan faktor-faktor penunjuk prognosis, mengetahui gambaran insiden infark miokard dan tingkat kematian pada ATS selama perawatan rumah sakit dan perawatan tindak lanjut ("follow up").
Dilakukan penelitian prospektif terhadap penderita ATS yang dirawat di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta dalam periode waktu antara 1 Oktober 1985 sampai 1 Oktober 1987. Dari 114 penderita ATS yang dirawat dalam periode waktu tersebut, terdapat 48 penderita yang memenuhi persyaratan penelitian, terdiri dari 43 laki-laki dan 5 wanita dengan usia antara 43-67 tahun. Kriteria diagnosis ATS adalah angina pertama kali, angina kresendo, angina saat istirahat dan angina sesudah Infark Miokard Akut (IMA) tanpa disertai perubahan enzim dan elektrokardiogram dari IMA. Ketentuan lain adalah adanya perubahan sementara gambaran elektrokardiogram, yaitu segmen ST, gelombang T atau keduanya sewaktu angina. Penelitian meliputi 3 fase, yaitu fase akut, rawat dan tindak lanjut. Setiap kasus mengikuti ketiga fase tersebut. Rangkaian fase akut dan fase rawat merupakan lama perawatan rumah sakit. Lama fase tindak lanjut: 6-30 bulan dengan rata-rata: 17.23 ± 6.45 bulan.
Hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan merokok (p<0,05), Rasio Torak Jantung (CTR) >60% (p<0,01) dan adanya angina berulang ("recurrent angina") (p<0,01) merupakan faktor-faktor risiko terjadinya IMA pada ATS. Kombinasi faktor-faktor tersebut meningkatkan insiden IMA. Insiden IMA masing-masing 100% dan 0% pada penderita-penderita dengan 3 faktor dan tanpa faktor risiko. Nilai risiko relatif merokok 3.89, angina berulang 5.38 dan CTR>60 % 4.55. Insiden IMA dalam perawatan rumah sakit 6.25% dan pada fase tindak lanjut 20.45%. Tingkat kematian fase perawatan rumah sakit 2.08% dan fase tindak lanjut 0.00%.
Dengan mengetahui faktor-faktor risiko sebagai penunjuk prognosis dan data menunjukkan insiden IMA pada penderita ATS cukup tinggi, maka penatalaksanaan ATS harus optimal, khususnya yang disertai faktor-faktor risiko tersebut. Selain pengobatan farmakologis perlu dilakukan pemeriksaan angiografi koroner untuk selanjutnya bila ada indikasi dapat dilakukan tindakan revaskularisasi dalam upaya pencegahan terjadinya infark miokard dan kematian. "
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titiek Setyawati
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pola distribusi dan frekuensi kanker mulut sesuai letak, jenis kelamin, jenis kanker dan usia dari tahun 1985-1987. Diharapkan hasil yang didapat berguna untuk menambah / melengkapi data yang sudah ada. Pengambilan data dilakukan pada Rumah Sakit di 5 wilayah DKI Jakarta yang mempunyai Laboratorium Patologi Anatomi. Penentuan data berdasarkan diagnosa Histopatologi dari sediaan yang berasal dari jaringan mulut sesuai dengan klasifikasi ICD-WHO. Analisa data dilakukan dengan membuat persentasi menurut usia, jenis kelamin, letak kelainan dan jenis kanker.
Hasil Penelitian : Dari 3023 kasus yang diteliti didapatkan hasil 434 (14%) kasus kanker mulut dengan frekuensi tertinggi pada pria (54.84 %). Pada penelitian ini juga didapatkan "range" kanker mulut antara usia 6 bulan-95 tahun, dan kelompok usia 41-50 tahun mempunyai angka kejadian yang paling tinggi (20.74 %). Lokasi yang paling banyak terkena kanker adalah lidah (21.18 %). Dari 30 macam diagnosa histopatologi yang didapat, karsinoma sel skuamosa merupakan jenis kanker yang paling sering terjadi (52.07 %)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Juliati Adji
"ABSTRAK
Masalah kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan penanggulangannya, oleh karena dapat merupakan serta merupakan beban bagi penderita dan keluarganya, apalagi bila penderita adalah pencari nafkah. Prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2 %. Penyebab kebutaan menurut survei morbiditas DepKes 1982, 0,76 % disebabkan oleh katarak.
Jumlah penderita katarak di Poliklinik Mata R.S.C.M. yang dikumpulkan penulis dari tahun 1987-1988, ada 670 penderita 8,9% dari seluruh penderita penyakit mata baru 60,7 % penderita adalah wanita. Jumlah penderita katarak pada usia angkatan kerja /produktif (20 - 60 tahun) laki-laki dan perempuan ada 41 % .Data ini diambil penulis dari data komputer Poliklinik Mata RSCM . Melihat data di atas, kiranya kita perlu memberikan perhatian terhadap penderita katarak, terlebih bila sipenderita adalah pencari nafkah dan termasuk golongan produktif.
Katarak ialah kelainan patologik pada lensa berupa kekeruhan lensa, yang dapat digolongkan ke dalam : katarak clever lopmental misalnya, katarak kongenital atau juvenil; katarak degeneratif misalnya katarak senil; katarak komplikata dan traumatika. Yang sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari adalah katarak senil. Menurut penelitian data. Framingham, 87,2 % kekeruhan lensa disebabkan oleh katarak senil. Katarak tersebut berhubungan dengan bertambahnya umur dan berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi di dalam lensa. Secara klinis proses penuaan lensa sudah tampak pada dekade 4 yang dimanifestasikan dalam bentuk pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat mulai terjadinya sklerose lensa yang disebut sebagai presbiopia.
Pada umumnya katarak senil dapat digolongkan menurut lokasi kekeruhan di dalam lensa dan stadium perkembangannya. Klasifikasi menurut lokasi kekeruhan lensa : nuklear, kortikal dan subkapsular. Pada stadium yang dini bentuk bentuk tersebut dapat terlihat jelas, pada stadium lanjut terdapat campuran dari bentuk bentuk tersebut. Katarak nuklear dibagi menurut stadium dini dan lanjut. Stadium katarak subkapsular: dini, moderat dan lanjut. Stadium katarak kortikal : insipien ,imatur / intumesen, matur dan hipermatur.
Gejala dini pada katarak senil ialah penurunan tajam penglihatan, lentikular miopia, diplopia monokular dan adanya kesilauan (glare). Kesilauan ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya, serta dirasakan sebagai penurunan tajam penglihatan yang menyolok, misalnya : bila penderita sedang mengendarai mobil, bekerja di lapangan pada waktu siang hari, melihat sinar lampu mobil dari arah berlawanan di malam hari. Keluhan ini sangat menonjol pada penderita katarak subkapsular posterior. Bila dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan penderita ini di kamar periksa umumnya baik misalnya 6/10, jadi tajam penglihatan yang dilakukan di kamar periksa tidak cukup menggambarkan tajam pengelihatan yang sesungguhnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun Astarto
"Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan filtrasi glomerulus, sehingga dapat menyebabkan non visualisasi ginjal unilateral atau bilateral pada urografi intra vena.
Pemeriksaan Radioisotop renografi sebagai lanjutan pemeriksaan pada keadaan tersebut ini .dapat menunjukkan gangguan fungsi masing-masing ginjal secara terpisah dan pads fase apa terjadinya gangguan tersebut.
Terdapat 3 fase pada renogram :
1. Fase pengisian atau vaskular menggambarkan ekstensi aliran darah ke ginjal tersebut.
2. Fase pemekatan atau fase sekresi/fase tubular menggambarkan aliran darah arterial, filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan transportasi radioaktivitas intra renal ke pelvis dan ekstra renal.
3. Fase eliminasi atau fase ekskresi menggambarkan penurunan radio aktivitas dari seluruh ginjal.
Sedangkan kelainan yang dapat terjadi pada grafik renogram secara garis besar di bagi 3 tipe Obstruktif, Isothenuria dan Nefrektomi.
Karya tulis ini mengamati 21 kasus non visualisasi ginjal unilateral hasil urografi intra vena, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan radioisotop renografi, ternyata sebagian besar menunjukkan tipe nefrektomi (85,71%), sedangkan tipe obstrukti 4,76% dan tipe isothenuria 9,53%.
Kombinasi hasil urografi intra vena dan renogram memperjelas gambaran fungsi masing-masing ginjal secara terpisah. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting Suka, Industri
"Suatu kegiatan pembangunan mulai dari bentuk gagasan sampai pada perencanaan kemudian pelaksanaan, dimaksudkan untuk merangsang atau menciptakan perubahan sosial. Demikian pula dengan pembangunan waduk di Palasari Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali, memang ditujukan untuk merubah tatanan lingkungan sosial, khususnya masyarakat petani yang akan memanfaatkan kehadiran waduk tersebut, untuk keperluan pengairan, perikanan, dan pariwisata. Oleh karena itu pembangunannya akan meimbulkan dampak langsung kepada petani, khususnya kehidupan keluarga petani yang berada di sekitar waduk, salah satu diantaranya adalah keluarga petani di desa Ekasari.
Dampak pembangunan diartikan sebagai perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Dampak dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif berupa resiko pada lingkungan fisik dan non fisik, termasuk sosial budaya (UULH RI No. 4 tahun 1982). Salah satu dampak pembangunan waduk yang paling nyata adalah telah terjadi perubahan kehidupan keluarga petani menjadi lebih dinamis mengikuti arus perubahan lingkungan, terutama yang mengarah pada peningkatan atau pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan hidup keluarga petani. Yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah :
(1) Bagaimanakah dampak pembangunan waduk terhadap ke hidupan keluarga petani, yang meliputi aktivitas di bidang pertanian, fungsi dan struktur keluarga yang telah melembaga.
(2) Apakah dampak tersebut memberikan pengaruh positif atau negatif terhadap kehidupan keluarga.
Perubahan yang ingin ditelaah dalam penulisan ini adalah perubahan sosial yang paling mendasar memiliki ciri- ciri sebagai berikut : (1) Perubahan yang terjadi harus diterima dan dihayati oleh sebagian besar warga masyarakat bersangkutan. (2) Perubahan itu harus terintegrasi kedalam sistem sosialnya, sehingga menjadi bagian dari padanya, atau melembaga.
Tujuan penelitian ini untuk memberikan suatu realitas lingkungan sosial, dengan harapan dapat terungkap gambaran (deskripsi) tentang pengaruh pembangunan waduk, atau perobahan lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, terhadap kehidupan keluarga petani yang letaknya sangat dekat dengan lokasi pembangunan. Dan juga ingin mengetahui perubahan kualitas keluarga petani yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya petani.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa aktivitas keluarga yang telah melembaga di bidang pertanian, seperti kegiatan gotong royong mengerjakan semua pekerjaan di sawah tidak mengalami perubahan, Hal ini disebabkan kegiatan gotong royong merupakan norma atau patokan berperilaku, sehingga sangat sulit untuk menghilangkannya, walaupun telah terjadi perubahan lingkungan hidupdi de s a ini.
Di bidang fungsi keluarga, juga tidak terlihat perubahan yang mendasar. Para orang tua tetap bergairah menyekolahkan anaknya, dan tetap mengajarkan sikap toleransi terhadap tetangga baru dan lama, juga tetap meneruskan nilai-nilai religi dan tradisi kepada anaknya. Suatu hal yang menarik ditemukan di lapangan ialah masih kuat orientasi keluarga pada keluarga inti. Hal ini berpengaruh positif terhadap pemecahan masalah keluarga, tanpa perlu meminta bantuan pada keluarga lain. Orientasi yang kuat pada keluarga inti dapat membendung pengaruh yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga.
Di bidang struktur keluarga, maka kedudukan dan peranan setiap anggota keluarga masih berlandaskan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hubungan antara orang tua dan anak, demikian pula antara anak dan orang tuanya masih enampakkan keharmonisan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan yang mendasar dalam kehidupan keluarga petani akibat pembangunan waduk. Atau dapat dikatakan, perubahan lingkungan alam menjadi lingkungan buatan (waduk) tidak sampai merubah tatanan lingkungan sosial yang telah melembaga, yaitu kehidupan keluarga petani yang masih teguh memegang nilai-nilai budayanya.
Jumlah daftar pustaka adalah : 36 buah (mulai dari tahun 1964 sampai dengan 1988).

The Impact Of Palasari Dam Construction To The Farmer Family (A Case Study Ekasari Village at Jembrana, Province of Bali)A construction activity starting from an idea up to the designing then to the executing implementation of the construction, is meant to motivate of bring about a social change. So, inasmuch as the construction of a dam in Palasari, in the regency of Jembrana., province of Bali, it is, indeed, meant to change the social circle arrangement, particularly farmers who will profit much of the presentation of the dam, for the irrigation of requirements, for the fisheries, and for the tourism. In view of the fact that the development will affect directly to the farmers, particularly the life of the families of the farmers at the surroundings of the dam, one of which is the families of the farmers of Ekasari Village.
An impact of the development is meant to be the changes in the ecological form of matters caused by the physical human activities. It can have been either positive or negative in nature that it is in the form of some risks of physical and non-physical environment, included the effect upon the cultural and social elements. (UULH = The Law of Ecological Warranty, RI No. 4 1982). One of the impacts of the development of the dam is the most real changes in the life style of the farmer's families, they become energetic to follow the flow of change in their environments, especially, everything that tends to increase the economic growth and the welfare of farmer's family lives. Therefore, the problems of this thesis are :
(1) What is the impact of dam construction to the farmer family, covering some activities in the field of agricultural enterprises, the function and the institutionalized family structure ?
(2) Does the impact provide some positive or negative influence upon the farmer's family lives ?
In this thesis we want to study the changes in the social phenomenon which is the most fundamental and have some characteristics such is : (1) The changes occurs should be accepted and sensed by most members of the social communities concerned. (2) The changes should be integrated into the social system, so that they become the integrated parts, and internalized.
We have an achievement here in order to give something real in the social environments, hoping that we can see something about the description of how the effects work on the construction of the dam, or we can see how the changes of natural environments become the changes to man ? made environment. We cant to study about the changes in the aspects of the lives of the family farmers near the surrounding places of the dam where it had been contracted. We also want to study the changes of quality in the families having the values and norms of social and cultural aspects characteristic to farmers family.
From the results of the research we have had an outlook concerning the activities of the families in the filed agriculture, such as the mutual aids in executing their routine works in the rice fields remains unchanged. This is because the mutual aids in the working in the rice - fields is the norm on the line of actions, where we' find difficult if we want to end this, though they happen to have some changes their habits.
It the functions of family, we do not also see the changes fundamentally,. Parents remain eager to send their children to schools, and remain teach their children to have tolerance of attitudes upon the new and old neighbors. They also remain teach their children to continue their religious esteems and traditional patterns. Something that is interesting to be found in the field of study is that remain strongly oriented to the core family. It has a positive influence upon a problem solving about some family problems; without any help of another family. This can hold the influence that comes from the outside world that will make a disharmonious life in the family.
In the family structures, the position and the roles of every member of family remain take the foundation in the value and the norms of the social community doctrines. The relation between parents and children, also between children and parents remain show the features of harmony.
The conclusion is that there is no fundamental change 'in farmers lives caused by dam construction, or in other words, the change of natural environment to man made environment does not effect the settled social structure of the Farmers, who still keep their cultural norms.
The number of bibliographical reference books are : 36 books (starting from 1964 up to 1988)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T 1933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Gunawan
"ABSTRAK
Norplant, suatu cara kontrasepsi implant yang hanya mengandung progesteron, telah diperkenalkan di Indonesia dengan nama KB susuk.
Berdasarkan kepustakaan pemberian harmon steroid terbukti dapat menimbulkan perubahan profil lipid dan memperbesar risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data mengenai perubahan profil lipid serta menilai besarnya risiko terjadinya penyakit jantung koroner pada akseptor Norplant dibandingkan dengan akseptor kontrasepsi oral. Selain itu juga untuk mendapat asupan mengenai perkiraan saat terjadinya perubahan profil lipid akseptor Norplant dan Noriday serta jenis uji laboratorium yang diperlukan untuk memantaunya.
Penelitian dilakukan terhadap 2 kelompok akseptor Norplant, masing-masing 26 orang akseptor Norplant selama 2 tahun dan 19 orang akseptor Norplant selama 4-5 tahun yang berasal dari Klinik Raden Saleh, Jakarta. Akseptor kontrasepsi oral yang diteliti berasal dari Klinik KB Rumah Sakit Angkatan Udara Halim, Jakarta, juga terdiri dari 2 kelompok, masing-masing 13 orang akseptor Noriday selama 2 tahun dan 21 orang akseptor Noriday selama 4-5 tahun. Sebagai kontrol adalah talon akseptor Norplant yang berasal dari Klinik Raden Saleh, Jakarta.
Terhadap masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol-total dan trigliserida secara enzimatik serta kolesterol-HDL dan kolesterol-LDL dengan cara presipitasi dan enzimatik. Dilakukan pula penghitungan rasio kolesterol-total/ kolesterol-HDL dan kolesterol-LDL/ kolesterol-HDL. Pemeriksaan dilakukan antara bulan April - Juni 1987 di Bagian Patologi Klinik FRUI-RSCM, Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian Norplant sampai dengan 5 tahun lamanya tidak menimbulkan perubahan profil lipid yang bermakna dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Demikian juga dengan pemakaian Noriday, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa, keeuali kadar trigliserida, profil lipid akseptor Noriday sampai dengan 5 tahun lamanya tidak mengalami perubahan yang bermakna dan tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Profil lipid kelompok akseptor Norplant juga tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok akseptor Noriday.
Dari data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa pemakaian Norplant dan Noriday sebagai alat kontrasepsi sampai dengan 5 tahun lamanya tidak memperbesar risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Walaupun demikian nilai-nilai parameter lipid akseptor Norplant dan Noriday terlihat cenderung meningkat bersamaan dengan lamanya pemakaian. Karena itu pada penggunaan Norplant atau Noriday lebih dari 5 tahun disarankan agar pemantauan profil lipid dilakukan secara teratur setiap tahun. Parameter lipid yang dipantau adalah kadar kolesterol-total, trigliserida, kolesterol-HDL dan kolesterol-LDL serta penghitungan rasio kolesterol-total/kolesterol-HDL dan kolesterol-LDL/kolesterol-HDL.
Penggunaan Norplant dan Noriday sebaiknya dihentikan bila profil lipid menunjukkan peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan dianjurkan untuk dilakukan penilaian status kardiovaskulernya.
Selain itu juga perlu dilakukan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai profil lipid pada pemakaian Norplant dan Noriday lebih dari 5 tahun lamanya.
Terhadap calon akseptor Norplant atau Noriday sebaiknya terlebih dahulu dilakukan pemantauan profil lipid. Bila profil lipid yang didapat terletak di atas nilai cut off, dianjurkan agar menggunakan cara kontrasepsi yang lain."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Santoso Hadi
"ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk yang tinggi membawa berbagai masalah lingkungan perkotaan. Di kota-kota besar di Indonesia seperti Semarang, pada saat ini dirasakan ada gejala kualitas lingkungan yang menurun. Penanggulangan masalah lingkungan hidup perkotaan tersebut akan banyak memberi manfaat bila dimulai dari lingkungan pemukiman, khususnya pekarangan.
Pekarangan merupakan istilah yang belum didefinisikan secara baku dalam lingkup nasional Berbagai instansi pemerintah, masih memberikan penafsiran yang simpang siur. Dalam tesis ini digunakan definisi kerja Karyono (1981) yaitu "Pekarangan adalah sebidang lahan sekitar rumah, dengan batas tertentu, yang ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan fungsional dengan rumah yang bersangkutan".
Pekarangan mempunyai fungsi ganda bagi pemiliknya. Pada dasarnya fungsi pekarangan dapat dibedakan dalam fungsi (1) sosial, (2) estetik, (3) produksi subsisten, (4) komersial dan (5) pengawetan tanah dan sumberdaya genetik (Soemarwoto 1979, I979a). Cerminan ini di perkotaan, dapat dilihat dari bentuk dan pola penanaman serta kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pekarangannya.
Penelitian yang memilih lokasi di Kelurahan Krapyak, Kali Banteng Kulon, Gisikdrono, Salamanmloyo, Cabean, Karangayu, Krobokan, Bulu Lor, Bulu Stalan, dan Pendrikan pada Kecamatan Semarang Barat ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1) Dari jenis fungsi pekarangan yang diteliti, yaitu fungsi ekologik, estetik/ keindahan dan tempat usaba ternyata ketiga jenis fungsi tersebut dapat ditemukan pada pekarangan kota. Dapat dikemukakan, pertimbangan pemanfaatan pekarangan kota sebagai tempat usaha mungkin lebih diprioritaskan dari segi ekologik maupun estetik/ keindahan.
2) Luas pekarangan serta Building Coverage merupakan faktor yang mempengaruhi pola pengelolaan pekarangan kota secara nyata. Ternyata faktor karakteristik penghuni, baik karakteristik pekorangan maupun rumah tangga, tidak memiliki pengaruh hubungan yang nyata .
3) Faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap fungsi pekarangan, adalah sebagai berikut :
a. Terhadap Fungsi Ekologik Karakteristik Perorangan tingkat pendapataan kepala keluarga merupakan faktor yang langsung berpengaruh.
* Karakteristik Rumah Tangga
Status pemilikan rumah yang dihuni serta luas
Pekarangan dari rumah tersebut, merupakan faktor yang berpengaruh langsung.
* Pengelolaan Pekarangan
Building Coverage, merupakan faktor yang berpengaruh langsung.
b Terhadap Fungsi Estetik/Keindahan
* Karakteristik Perorangan
Telaah lanjut menunjukkan bahwa Pendidikan, Pendapatan dan Jenis Pekerjaan secara bersama memberikan pengaruh langsung.
* Karakteristik Rumah Tangga
Luas Pekaranganterlihat sangat nyata pengaruhnya.
* Pengelolaan Pekarangan
Hanya Building Coverage yang merupakan faktor berpengaruh.
c Terhadap Fungsi Tempat Usaha
* Karakteristik Perorangan
Pendidikan dan Pendapatan memberi pengaruh langsung.
* Karakteristik Rumah Tangga
Luas pekarangan yang berpengaruh, den inipun terjadi secara kurang nyata.
* Pengelolaan Pekarangan
Building Coverage dan Jenis tanaman tidak memberikan pengaruh sama sekali .
4) Implikasi
Luas pekarangan serta besaran Building Coverage merupakan faktor yang relevan secara langsung dengan kemungkinan kebijaksanaan pemerintah dalam lingkup perbaikan lingkungan kota. Secara tidak 1angsung, factor pendidikan, pendapatan disamping status pemilikan bermanfaat sebagai indikator sosioekonomis, dari kondisi warga masyarakat dimana kebijaksanaan tersebut ingin diterapkan

ABSTRACT
Rapid population growth in cities often brings about various environmental problems. In many big cities in Indonesia,Semarang for example, the phenomena of declining environment quality can be seen nowadays. It will be very advantageous if the efforts to over come such environmental problems in cities start from the residence area, especially the yard. Actually there is no clear and fixed definition about yard nationally accepted. That's why very often different interpretations on the term appear among government institutions. In this thesis the definition used is that of Karyono (1977) asserting that "A yard is a piece of land around a house which has fixed bounds, is planted with all sorts of planted with all sorts of plants and has a functional relationship with the house".
A yard has a double function for its owner. A yard has fundamentally different functions (1) social, (2) aesthetic, (3) subsistence productions, (4) commercial and (5) soil and genetic resources conservations (Soemarwoto 1979, 1979 a). The different functions of a yard can be seen easily in cities through the planting form and pattern as well as the way the town people manage their yards.
This research done in the village of Krapyak, Kali Banteng Kulon, Gisikdrono, Salamanmloyo, Cabean, Karangayu, Krobokan, Sulu lor, Bulu stalan, and Pendrikan in the district of Semarang Barat brings about conclusions as follows:
(1) The city yards have consecutively ecological function, that is to create micro climate; aesthetic function to embellish the yards; and productive function, as a place used for business purposes. From the point of view of its degree--among other functions of yards-- function for business purpose comes first.
(2) Size of the yard and building coverage were the significant factors that influences the way of the owners in managing their yards. Owner's characteristics such as individual and family characteristics have no significant influences on the yard's management.
(3) Factors that have influences on perception of yard's functions, were as follows :
a Perception on Ecological Function.
* Individual characteristics
The family's head of income has apparent influence on the perception of the yard's ecological function.
* Family characteristics
Status of ownership and the size of yard has significant corellation with perception of ecological function.
* Yard's management
Building Coverage has direct and significant influences on ecological function.
b Perception on Esthetic function
* Individual characteristics
Family's head of level of education, amount of income and kind of job together has direct influences on esthetic function.
*Family characteristics
Size of yard has apparent relationship on esthetic function.
* Yard's management
Building Coverage was the only influencing factor on esthetic function.
c Perception on the prospect of the yard as a business place
* Individual characteristics
Family's head of income and amount of income have direct influences
* Family characteristics
Only size of yard that have influence, without no apparent association.
* Yard's management
Building coverage and kinds of plantings have no influences at all.
(4) Implication
Size of the yard and building coverage were the relevant factors associated with the possibility of government policy concerning in managing the city environment. Family's head of level of education and the amount of income were useful as the indicators of. the citizen socio-economic conditions in the area, where the government policy would be executed.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Sontani Halim
"Interaksi yang terjadi antara individu yang paling kenal maupun yang tidak biasanya mengikuti pola tertentu. Pola perilaku antar individu ini ditentukan oleh peraturan sosial yang dimiliki masyarakat tersebut.
Bila seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ia harus dapat menyesuaikan perilakunya (termasuk perilaku bahasanya) terhadap keadaan sekitarnya. Perilaku berbahasa ditentukan oleh tingkat keakraban antara dua individu, tempat (setting), jenis kelamin, status, dan lain sebagainya. Seorang individu harus memperhatikan hal-hal ini bila ia ingin berpartisipasi dalam suatu kehidupan sosial dan juga supaya ia dapat diterima oleh anggota masyarakat yang lain (Bailey, 1971).
Pousaaint (1967), orang dewasa dan bergelar doktor, merasa tersinggung ketika ia disapa dengan sapaan boy oleh seorang polisi lalu lintas pada salah satu jalan di Amerika. Hal ini terjadi karena polisi tersebut telah melanggar peraturan sapaan yang berlaku di masyarakat Amerika. Hal ini juga yang menyebabkan Dr. Poussaint merasa terhina. Penggunaan istilah sapaan yang salah dapat menyinggung perasaan kawan bicara dan juga menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya dari kedua interlokutor dalam berinteraksi.
Di Indonesia banyak bahasa dan kelompok masyarakat yang memberikan makna penting untuk etika sapaan. Menurut sensus penduduk 1980 distribusi bahasa yang dipakai sehari-hari di Indonesia adalah sebagai berikut:
Bahasa Minangkabau merupakan bahasa keenam terbanyak penuturnya di Indonesia. Pada tesis ini akan dibahas istilah sapaan dan istilah kekerabatan bahasa Minangkabau ini. Pemilihan jatuh pada bahasa ini karena diasumsikan bahasa Minangkabau akan menarik untuk diteliti mengingat masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat matrilineal, berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia yang kebanyakan paterilineal atau bilateral.
1.2. Masalah Penelitian
Tulisan ini memusatkan perhatian pada sebagian aspek kebudayaan masyarakat Minangkabau. Aspek kebudayaan yang akan dibahas di sini terbatas pada peraturan dan pemakaian bentuk istilah sapaan bahasa Minangkabau saja.
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu golongan etnik yang utama di Indonesia. Terdapat lebih kurang 3.698.767 atau sekitar 2.52 persen dari penduduk Indonesia tahun 1980 yang menggunakan bahasa Minangkabau sebagai bahasa yang dipergunakan sehari-hari.
Daerah Minangkabau kira-kira seluas propinsi Sumatera Barat dan terdiri dari daerah darek (darat), pasisie (pesisir) atau rantau (Yunus, 1979). Secara tradisional daerah darek terbagi dalam tiga luhak (kurang lebih sama dengan kabupaten), yaitu, Tanah Datar, Agam, dan Limo Pulueh Kato; kadang-kadang .ditambah dengan Solok?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>